• Tidak ada hasil yang ditemukan

KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN A Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

B. Kurikulum Keagamaan

3. Model-model Pengembangan Kurikulum

Model-model yang dapat digunakan dalam proses pengembangan kurikulum sebagaimana dikemukakan oleh para ahli pendidikan mulai dari suatu model yang sederhana sampai dengan model yang paling sempurna, model-model tersebut biasa dijadikan rujukan oleh pengembang kurikulum dalam proses perbaikan atau perubahan kurikulum diantaranya adalah:

a. Model Pengembangan Kurikulum Hilda Taba

Model Taba lebih menekankan pada bagaimana melakukan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum yang sedang berjalan. Taba tidak setuju dengan pendekatan deduktif, alasannya kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum. Menurut Taba, sebaiknya kurikulum dilakukan secara induktif. (Widyastono, 2014: 44)

Sukmadinata (2012: 166) menyebutkan ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba ini, yaitu:

1) Mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dengan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan eksperimen di dalam kelas menghasilkan data-data yang untuk menguji landasan teori yang digunakan. 2) Menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan

di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas atau tempat lain untuk mengetahui validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun data bagi penyempurnaan. 3) Mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data,

data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal itu dilakukan, sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada suatu sekolah belum tertentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi.

4) Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh atau

berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan para professional kurikulum lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui konsep- konsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk dan dipakai. 5) Implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru ini pada daerah atau

sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini kemungkinan adanya masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan dihadapi, baik berkenaan dengan kesiapan guru- guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.

Bagan 2.4

Prosedur Pengembangan Kurikulum Model Taba (Wahyudin, 20114: 65)

Model Taba ini, memungkinkan pengembangan kurikulum yang sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan dan kebutuhan masyarakat, karena melakukan proses pengembagan dimulai langsung dari pelaksana kurikulum yakni guru. Guru sebagai pelaksana kurikulum baik dikelas atau di sekolah, tentunya lebih mengetahui apa saja yang sesuai dan dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat sekitar.

b. Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp

Model pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh Beaucamp seorang ahli kurikulum. Beucamp dalam Sukmadinata (2012: 163) mengemukakan lima langkah yang dapat dilakukan di dalam suatu pengembangan kurikulum:

1) Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi, ataupun seluruh daerah. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum.

2) Menetapkan personalia yaitu menetapkan siapa-siapa saja yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (a) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar; (b) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru terpilih; (c) para profesional dalam sistem pendidikan; (d) profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.

3) Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta kegiatan evaluasi dan dalam menentukan

keseluruhan desain kurikulum. Beaucamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu:

a) Membentuk tim pengembang kurikulum.

b) Mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan.

c) Studi penjajakan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru. d) Merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru. e) Penulisan dan penyusunan kurikulum baru.

4) Implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah menerapkan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana sebab membutuhkan kesiapan yang meyeluruh baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya di samping kesiapan managerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat. 5) Langkah ini merupakan langkah terakhir yaitu mengevaluasi kurikulum. Dalam langkah

ini mencakup empat hal, yaitu:

a) Evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru. b) Evaluasi desain kurikulum.

c) Evaluasi belajar siswa.

d) Evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum data yang diperoleh dari hasil evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem dan desain kurikulum serta prinsip- prinsip pelaksanaannya.

Bagan 2.5

Model pengembangan kurikulum yang diterapkan Beauchamp berbeda dengan model yang diterapkan oleh Taba dan Tyler, yakni seperti model Taba yang lebih menekankan pada pendekatan induktif yang dilakukan oleh pelaksana pendidikan dalam hal ini guru, sedangkan pada model Beauchamp, menerapkan pendekatan deduktif, yakni melibatkan berbagai kalangan yang berhubungan dengan kurikulum dalam cangkupan yang lebih luas, seperti: para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru terpilih, para profesional dalam sistem pendidikan, profesional lain, dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal tersebut memungkinkan perubahan kurikulum secara Nasional. Hambatan pada pelaksanaan kemungkinan terjadi dalam hal hasil kurikulum yang diterapkan pada lembaga pendidikan, seperti ketidak sesuaian kurikulum yang diberikan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki perbedaan kebutuhan dan sosial budaya yang berbeda-beda.

Berbagai model pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh para ahli, kesemuanya memiliki persamaan yakni mengikuti struktur kurikulum dan komponen- komponennya. Perbedaannya terlihat pada perincian dan kelengkapan pada setiap tahapannya. Pemilihan pada salah satu model di atas, dalam pengembangan kurikulum yakni dengan melihat kekuatan dan kelemahan, kemungkinan pencapaian yang maksimal serta kesesuai dengan sistem dan konsep pendidikan yang digunakan.

Model pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh Taba berdasarkan pendekatan induktif yakni berdasarkan pengalaman belajar dari dalam dengan melibatkan guru-guru sebagai pelaksana kurikulum. Taba tidak setuju dengan pendekatan deduktif, alasannya kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum. Selain itu, model Taba ini bersifat hanya memperbaiki dan mengembangkan kurikulum sudah ada. Model Taba ini, dapat digunakan sebagai acuan lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren yakni dengan mengikuti langkah-langkah pada model taba ini.

Pertama, membuat unit-unit eksperimen oleh guru dan pemimpin atau pengasuh pesantren (kiai) yang merupakan orang-orang yang biasa terlibat langsung dalam pelaksanaan kurikulum dan pendidikan, yaitu dengan melihat kebutuhan dan minat masyarakat akan pengetahuan. Dalam hal ini, kebutuhan dan minat masyarakat modern adalah ingin mendapatkan pengetahuan akan agama agar dapat bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, namun tetap dalam metode dan sistem yang modern. Kemoderenan dapat dilakukan pesantren yakni dengan melengkapi dengan fasilitas-fasilitas serta sarana prasarana yang baik. Selanjutnya, merumuskan tujuan, visi, dan misi sebuah lembaga pendidikan pesantren, dengan mengetahui tujuan, visi, dan misi maka dapat menentukan isi atau materi pelajaran dan pengalaman belajar atau metode apa saja yang perlu diterapkan tentunya juga berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Kedua, menguji eksperimen. Dengan pengetahui apa saja kebutuhan dan minat masyarakat, mengetahui tujuan, visi, dan misi, dan menentukan isi atau materi serta metode apa saja yang harus diterapkan pada pesantren, maka langkah selanjutnya adalah menguji eksperimen tersebut. Apakah hasil eksperimen tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dari pesantren.

Ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Langkah ini dapat dilakukan dengan melihat hasil pengujian eksperimen, dengan begitu pesantren dapat memilih hasil yang sudah sesuai dengan kebutuhan dan tujuan atau merevisi hasil yang belum sesuai.

Keempat, mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum. Langkah ini dapat dilakukan dengan memilih dan mengembangkan materi, metode, dan pengalaman belajar

apa saja yang perlu diterapkan. Untuk selanjutnya adalah pelaksanaan dari kurikurim tersebut.

Selanjutnya, model Beauchamp. Kemungkinan dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren adalah dengan dua cara, yaitu:

Pertama, model Beauchamp ini dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan melakukan diskusi antara pemerintah terkait dengan para ahli bersama perwakilan beberapa guru yang kemudian mengembangkan atau memperbarui kurikulum pesantren secara nasional yang kemudian dapat diterapkan pada lembaga pendidikan pesantren. Hal ini sebagaimana yang dilakukan pemerintah dalam memberikan standar kurikulum nasional kepada pesantren-pesantren yang memiliki lembaga pendidikan kombinasi, yakni kurikulumnya berdasarkan kurikulum pemerintah dan kurikulum yang dibuat oleh bidang kurikulum pesantren sendiri.

Kedua, model Beauchamp dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren besar, yang memiliki beberapa unit-unit, yakni dengan berdiskusi antara ketua yayasan, pengasuh/kiai, perwakilan beberapa guru, dengan menentukan tujuan pesantren, materi dan metode apa saja yang perlu dikembangkan atau ditambah berdasarkan kebutuhan peserta didik dan masyarakat, yang kemudian diterapkan pada masing-masing unit-unit sesuai dengan jenjang pendidikannya. Kemungkinan ada kekurangan pada model ini, yaitu belum tentu kurikulum yang diterapkan tersebut sesuai pada masing-masing unit dalam persantren tersebut. Kelebihan pada model ini, memungkinkan pesantren memiliki standar kurikulum yang dapat digunakan pada masing-masing unit pesantren tersebut.

Menurut Qomar (2014: 42-43) terdapat beberapa model pengembangan kurikulum yang dapat dipertimbangkan oleh lembaga pendidikan pesantren, yaitu: pengembangan pesantren menekankan kemampuan santri pada pendalaman ajaran Islam melalui literatur- literatur atau sumber-sumbernya yang asli (al-Qur‟an, Hadits, dan kitab-kitab bahasa Arab baik kitab kuning/kutub al-safra‟ maupun kitab putih/al-kutub al-baida‟, baik kitab warisan/al-kutub al-turats maupun kitan hasil modifikasi), kemudian ditambah dengan beberapa keilmuan di antaranya:

(1) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan mendakwahkan Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman baik dalam sekala lokal, nasional, maupun internasional.

(2) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan meneliti (menggali, menemukan, dan mengembangkan khazanah keislaman.

(3) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki keterampilan kewirausahaan.

(4) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki konsentrasi keahlian. Model-model yang ditawarkan Qomar (2014: 43-44) tersebut, menurutnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

Pertama, untuk mewujudkan santri memiliki kemapuan tambahan yakni berdakwah, diperlukan tambahan wawasan kepada santri tentang cara-cara dan metode- metode dakwah yang dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan perkembangan berpikir masyarakat.

Kedua, agar santri memiliki tambahan kemampuan untuk meneliti, maka dapat dilakukan dengan menambah mata pelajaran yang terkait langsung dengan metodologi penelitian terhadap bidang sosial keagamaan, seperti metode penelitian hadits, metode penelitian sejarah, dan metode penelitian yang terkait dengan memperkuat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan.

Ketiga, untuk menambah kemampuan santri dalam bidang kewirausahaan, diperlukan pelajaran tambahan pelajaran-pelajaran yang terkait dengan kewirausahaan, adapun kaitan kewirausahaan dengan nilai-nilai keagamaan seperti hasil-hasil keterapilan kaligrafi yang dapat digunakan sebagai produk keterampilan yang dapat dipasarkan keberbagai tempat. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pengetahan dasar- dasar bisnis kewirausahaan, ekonomi bisnis, dan manajeman perekonomian yang dapat dilakukan dengan melaksanakan lokakarya/workshop yang terkait dengan kewirausahaan, maupun memberikan keterampilan yang dapat membuka peluang ekonomi selain itu dapat pula dengan membuka kelas sekolah kejuaruan.

Keempat, langkah yang dapat dilakukan agar santri memiliki tambahan konsentrasi keahlian pada bidang tertentu, yaitu diperlukan pendalaman-pendalaman dalam beberapa keilmuan yang diajarkan, seperti dengan menambah tenaga-tenaga pengajar konsentrasi yang professional dan tenaga khusus dengan menyeleksi bakat dan minat santri.

Dari empat model yang ditawarkan oleh Qomar tersebut, perlu diperhatikan lebih mendalam yakni dalam penguasaan ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan ciri khas dari pesantren harus benar-benar dipertahankan. Dalam hal ini, jika santri memiliki kemampuan selain ahli dalam keagamaan, juga memiliki kemampuan dibidang lain, ini berararti sudah sesuai dengan tujuan dari pesantren yakni menjadikan santri sebagai calon ulama yang intelektual, paling tidak merupakan tambahan sebagai bekal untuk kehidupannya kelak.