• Tidak ada hasil yang ditemukan

KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN A Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

3. Pola Pendidikan di Pesantren

Pola Pendidikan di pesantren dapat diklasifikasikan berdasarkan kurikulum pendidikannya menjadi beberapa pola, diantaranya, yaitu:

Pesantren Pola I adalah pesantren yang materi pelajaran agama bersumber dari kitab-kitab kuning dan metode yang digunakan adalah wetonan dan sorogan, dan

bandongan tidak memakai sistem klasikal, juga tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Pesantren pola ini menurut Dhofier (2011: 76) adalah sebagai pesantren tipe lama (klasik), sedangkan menurut Rahim (2005: 76) pesantren pola ini disebut pesantren salafiyah. Pada pola ini juga terdapat beberapa pesantren yang hanya mengajarkan dan memperdalam satu bidang ilmu saja, Arifin (dalam Qomar, 2005: 18) menyebutnya sebagai pesantren tahassus, seperti Pesantren Krapyak dan Wonokromo misalnya, hanya mengkhususkan pendidikannya untuk pendalaman ilmu Qirâ‟at al-

Qur‟an, kemudian pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren Bendo Jampes yang

mengutamakan pengajaran gramatika bahasa Arab. Menurut Yasmadi (2002: 70-71) dalam konteks keilmuan pesantren tradisional (salafiyah) merupakan salah satu jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya.

Pola pengajaran di pesantren tersebut menjadikan kelebihan tersendiri sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang mewarisi sistem pengajaran Islam, yang digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan klasik. Dengan sistem tradisional ini tidak sedikit melahirkan alumni-alumni pesantren yang berbengaruh dan meneruskan sang guru “kiai” dengan membuka pesantren baru. Hal ini menjadi siklus yang berkelanjutan dalam melestarikan pendidikan dan ajaran-ajaran Islam.

Keberadaan pesantren-pesantren tradisional atau komunitas Islam tradisi yang merakyat sangat dirasakan manfaatnya. Hal ini dapat dilihat dari perspektif perlindungan dari serangan budaya Barat yang secara ekstrem merobek gaya hidup generasi muda yang sederhana menjadi individu-individu hedonis. Dengan pola hidup pesantren yang sangat

bersahaja, paling tidak menjauhkan pikiran materialistik. Meski peranannya cukup sentral dalam menjaga keilmuan namun bukan berarti pesantren tipe ini lepas dari kelemahan. Dalam pandangan Cak Nur pelaksanaan pola salafiyah secara kaku (rigid) merupakan kendala tersendiri. Dalam posisinya sebagai institusi pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya. (Madjid, 1997: 114)

Dalam konteks ini, ada baiknya pesantren salafiyah, disamping tetap mempertahankan kekhasan isi dan metode pendidikannya, hendaklah dapat melangkapi dengan kurikulum yang dapat disesuaikan dengan kemajuan zaman dan kebutuhan serta keinginan masyarakat yang beragam akan jenis pesantren saat ini. Namun, perubahan dan pengembangan yang dilakukan, semestinya hanya sebatas aspek oprasional dan manajemennya saja, bukan pada substansi pendidikan pesantren itu sendiri.

Contoh tradisi pesantren yang perlu dan harus dipertahankan menurut Qomar (2014: 13) adalah:

(1) Penggunaan kitab kuning berbahasa Arab.

(2) Penguasaan ilmu alat seperti nahwu, saraf, dan balaghah. (3) Penggunaan asrama (pondok).

(4) Memaksimalkan penggunaan masjid. (5) Hubungan batiniah antara kiai dan santri. (6) Kemandirian (sikap independent) pesantren.

Mempertahankan pengajaran dengan menggunakan kitab kuning berbahasa Arab dan didukung dengan penguasaan terhadap ilmu alat, dapat memungkinkan santri mengenal dan menguasai khasanah Islam klasik dan menjadikan santri terbiasa dengan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci dan wahyu. Selanjutnya, dengan memaksimalkan kegiatan melalui asrama dan masjid, tentunya dapat mendukung semua kegiatan santri, seperti sebagai tempat kegiatan belajar dan dapat mengontrol kedisiplinan ibadah santri. Selain itu, kedekatan hubungan batiniah antara kiai dengan santri dapat menghubungkan perasaan keduanya dalam proses pembentukan kepribadian. Terakhir, kemandirian (sikap independent) pesantren, dapat terlihat dalam sikap kemandirian kiai, ustadz, dan santri, yakni kebebasan menentukan dan merumuskan model pendidikan yang dipandang alternatif.

Unsur-unsur modernisasi tersebut dapat diambil oleh pesantren sebagai salah satu cara agar tetap dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, manfaat lainnya memungkinkan pesantren untuk memperluas wawasan santri tentang perkembagan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan pendukung lainnya.

Pesantren Pola II adalah sistem pendidikan yang dalam proses belajarnya sudah mengenal penjenjangan (klasikal), referensi utama dalam materi keislaman bukan kitab kuning, melainkan kitab-kitab baru yang ditulis para sarjana Muslim abad ke-20, sistem pendidikannya tidak mengikuti sistem pemerintah, yakni menggunakan kurikulum sendiri. (Subhan, 2012: 129) jenis pesantren ini biasa disebut pesantren modern (independent) karena dalam sistem pendidikannya berbeda dengan sistem pesantren tradisional, yakni memadukan pengetahuan agama dan non agama dalam satu sistem dengan kurikulum yang independent. Contoh pesantren dengan pola pendidikan tersebut adalah Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa-Timur. Menurut laporan Pohl (2006: 389-409) Terinspirasi oleh reformasi di Universitas al-Azhar Kairo, Gontor berusaha untuk memodernisasikan metode pengajaran dan memperluas ruang lingkup mata pelajaran yang diajarkan. Mulai tingkat

sekolah dasar sampai tingkat Universitas, bahasa Arab dan Inggris sebagai Bahasa pengantar, sertifikat yang ditawarkan oleh Gontor diakui oleh al-Azhar, Pesantren ini dikenal untuk mengirim sejumlah besar siswa ke Kairo.

Kurikulum pendidikan di Pesantren Modern Gontor mencakup semua kegiatan dalam berbagai bentuknya. Semua itu merupakan satu kesatuan kurikulum yang tidak dapat dipisahkan, yang mengatur seluruh kehidupan santri. Totalitas kegiatan yang ada memiliki nilai pendidikan dalam berbagai aspek, sehingga “segala yang dilihat,

didengarkan, dirasakan, dan dialami oleh santri adalah untuk pendidikan.” Kurikulum

yang mengintegrasikan antara kegiatan intra dan ekstra. Adapun pelaksanaan kurikulum itu didelegasikan kepada lembaga-lembaga yang telah ditetapkan, kegiatan intrakulukuler diselenggarakan oleh lembaga Kulliyat al-Mu‟alimin al-Islamiyah (KMI). Sedanglan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler merupakan tanggung jawab Lembaga Pengasuhan Santri. (Zarkasyi, 2005: 126)

Berbeda dengan pesantren tradisional yang cenderung „kurang membuka diri‟ dari unsur-unsur luar, maka lain halnya dengan pesantren modern. Pesantren jenis ini tampaknya lebih fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang sudah ada. Salah satu ciri pesantren modern yakni dalam proses belajarnya sudah mengenal penjenjangan (klasikal) dan kurikulum. Fenomena munculnya pesantren modern sangat terkait dengan keberadaan kolonialisme yang mendirikan sekolah-sekolah modern yang kemudian berpengaruh pada pola pikir para elit Islam tentang sistem pendidikan yang lebih baik.

Menurut Azyumardi Azra dalam sebuah pengantar yang diberi judul “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” yang terdapat dalam Madjid (1997: xii), bahwa harus diakui bahwa modernisasi paling awal dari sistem pendidikan Islam di Indonesia tidak bersumber dari kalangan muslim sendiri. Pendidikan dengan sistem yang lebih modern justru diperkenalkan oleh Belanda melalui perluasan kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan pada paruh kedua abad ke-19. Meskipun ada kesan terpaksa karena desakan komunitas internasional yang mengecam sikap pemerintahan kolonial yang eksploitatif, program pendidikan bagi kaum pribumi ini diimplementasikan pemerintah kolonial Belanda dengan cara mendirikan volkschoolen atau lebih dikenal dengan istilah sekolah rakyat.

Senada dengan Azra, dalam pandangan Madjid (1997: 89), suatu kenyataan sederhana namun cukup tajam adalah anggapan bahwa „modern‟ selalu dikonotasikan dengan „Barat‟. Munculnya anggapan ini karena masih banyak yang meyakini bahwa nilai- nilai kemodernan didominasi nilai-nilai dari Barat. Padahal sebetulnya nilai-nilai kemodernan itu sifatnya adalah universal, sangat berbeda dengan nilai-nilai Barat yang lokal atau regional saja. Ketika Barat mengalami kemajuan secara kebetulan akses informasi sudah berevolusi secara merata ke seluruh belahan dunia, hasilnya simbol modern melekat secara permanent. Yang menjadi arus bawah peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, jadi dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan kemodernan adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pandangan Cak Nur di atas memang merupakan realitas. Artinya komponen- komponen kemodernan pada dasarnya telah memiliki standar yang cukup jelas. Hakikatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja penguasaan teknologi itu saat ini berada dalam kendali Barat, sehingga seolah-olah Barat adalah sumber modernisasi. Dalam kaitannya dengan ini, umat Islam sesungguhnya memiliki kesempatan yang sama dengan Barat dalam merengkuh nilai-nilai modernitas. Hanya saja rasa percaya diri dan semangat sangat dibutuhkan. Hal tersebut dimungkinkan karena

secara historis Islam merupakan perintis berbagai bidang keilmuan seperti kedokteran, ilmu alam, dan aljabar. Bahkan seperti yang dikutip Azra (1998:104), Herbert A. Davies dalam A OutlineHitory of the World, mengemukakan bahwa umat Islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen.

Keinginan kuat dari kalangan pesantren yang berbasis tradisional untuk memperbarui sistem pendidikannya, yakni berawal dari keinginan untuk bertahan dari ekspansi lembaga-lembaga pendidikan umum, lembaga-lembaga pesantren tersebut mulai melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal. Sejumlah perubahan ini tentu menuntut kesiapan yang matang dari kalangan pesantren, sehingga tidak terkesan memaksakan diri.(Madjid, 1997: xv)

Unsur-unsur moderisasi dari sistem pendidikan sekuler yang perlu diambil menurut Qomar (2014: 13) di antaranya:

(1) Penerapan manajemen secara professional. (2) Penerapan kepemimpinan kolektif.

(3) Penerapan sikap kritis.

(4) Menghindari pemahaman pemikiran agama yang mensucikan pemikiran agama (taqdis afkar al-dinî).

(5) Penguatan epistemologi dan metodologi.

(6) Penerapan keharusan penelitian dan penulisan karya ilmiah. (7) Penggunaan alat-alat teknologi modern.

Unsur-unsur modernisasi tersebut dapat diambil oleh pesantren sebagai salah satu cara agar pesantren tetap dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, manfaat lainnya memungkinkan pesantren untuk memperluas wawasan santri tentang perkembagan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan pendukung lainnya.

Pada pekembangannya beberapa pesantren lainnya, mengadopsi sistem dan kurikulum modern pesantren Gontor, seperti Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, dan Pesantren Darun Najah (Pohl, 2006: 389-409). Namun, pesantren tersebut lebih cocok masuk dalam kelompok pesantren pola III karena dalam pelaksanaannya memadukan sistem kurikulum pendidikan Pondok Modern Gontor dan membuka sekolah/madrasah dengan mengikuti kurikulum pemerintah.

Pesantren Pola III adalah pesantren yang materi pelajaran agama bersumber dari kitab-kitab kuning dan metode yang digunakan adalah wetonan dan sorogan, hafalan, dan musyawarah serta memakai sistem klasikal dan non klasikal. Selain itu pendidikan keterampilan dan pendidikan organisasi juga diberikan. Memasukkan pengetahuan umum, mengkombinasi berbagai sistem pendidikan, yaitu sistem pengajaran menggunakan kitab- kitab klasik, membuka madrasah dan sekolah, (dengan menggunakan kurikulum pemerintah dan kurikulum pesantren yang dibuat sendiri), perguruan tinggi serta pendidikan keterampilan, seperti: pertanian, pertukangan, dan peternakan.

Menurut Dhofier (2013: 76) pesantren dengan pola tersebut adalah pesantren tipe baru, seperti Pesantren Tebuireng dan Rejoso di Jombang, telah membuka SMP dan SMA, dan Universitas. Begitu juga pada Yayasan Pendidikan Islam HM Tribakti (YPIT) yang kini menjadi Pesantren al-Mahrusiyah dan Pesantren Salaf Terpadu ar-Risalah, sebagai unit pengembangan pesantren Lirboyo Kediri, selain tetap mempertahankan sistem

pendidikan pesantren tradisional (salafiyah), juga membuat membuka sistem pendidikan umum sebagai cabangnya diluar pondok induk. (Anwar, 2008: 101) Sementara itu, Menurut Zuhdi (2006: 421) contoh pesantren yang memadukan sistem pendidikannya, seperti Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur adalah sebuah sistem pendidikan kombinasi, dengan memperbarui sistem pendidikannya, yang semula sebagai pesantren tradisional menjadi pesantren yang mengkombinasikan antara pesantren tradisonal dengan sistem sekolah dan madrasah, yakni (a) Sekolah: disediakan bagi santri/pesera didik yang berminat mempelajari pengetahuan non agama; (b) Madrasah: disediakan bagi santri/peserta didik yang berminat memperdalam pengetahuan agama. Selain sekolah dan madrasah juga mempertahankan pendidikan pesantren tradisional setelah jam sekolah/madrasah.

Contoh lain dari pesantren yang mengkombinasikan kurikulum pendidikannya, berdasarkan laporan Malik MTT (2008: 46) adalah Pesantren Darul Falah Bogor, memadukan pendidikan pesantren dan pendidikan pertanian, menurut Daulay (2009: 67) pesantren jenis ini lebih menitikberatkan pada pelajaran keterampilan disamping pelajaran agama. Selanjutnya, Pesantren Mahasiswa al-Hikam Jawa Timur. Menerapkan kurikulum dengan menggabungkan modernitas dan tradisi, melengkapi pendidikan perguruan tinggi sekuler dengan pelatihan agama berakar pada sufi dan lebih menerapkan tradisi pesantren. (Lukens-Bull, 2001: 350-372)