• Tidak ada hasil yang ditemukan

KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN A Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

2. Ragam Pesantren

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang awal keberadaannnya adalah hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri dan masyarakat, pesantren memiliki berbagai bentuk dan ciri khusus tergantung selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun geografis yang yang berada disekelilingnya. Keberagaman pesantren dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti dari rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan dan kemoderenan, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya.

Pertama, pesantren dilihat dari segi kurikulumnya terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu (a) pesantren modern; (b) pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/usul al- fiqh, ilmu tafsir/Hadits, ilmu tasawwuf/tariqah, dan qira‟at al-Qur‟an); dan (c) pesantren campuran. (Arifin dalam Qomar, 2005: 16) Pembagian ketiga jenis pesantren ini, nampaknya tidak perlu dipertentangkan secara gradual. Ketiganya nampak jelas perbedaan satu sama lainnya, pada pesantren modern memang dikelompokkan sebagai pesantren jenis baru karena pada sistem pendidikannya berbeda dengan pesantren tahassus yang pada praktek pelaksanaan pendidikannya masih menggunakan sistem tradisional atau klasik. Kedua jenis pesantren tersebut tentunya berbeda dengan pesantren campuran, yang menggabungkan atau mengkombinasikan sistem kurikulum pendidikan modern dan tradisional.

Kedua, pesantren dilihat dari segi kemajuan muatan kurikulumnya, yaitu: (a) pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal sebagian dari al-Qur‟an; (b) pesantren sedang yang hanya berbagai kitab fiqh, aqidah tata bahasa Arab/nahwu saraf, dan terkadang amalan sufi; dan (c) pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah, tasawwuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya. (Qomar, 2005: 16) Pembagian kelompok pada jenis pesantren ini terasa masih kabur, karena kemajuan bukan hanya dilihat dari banyaknya mata pelajaran yang ditawarkan, namun dapat dilihat dari hasil atau alumninya. Pada pelaksanaan dibeberapa pesantren yang hanya lebih fokus dengan satu bidang ilmu malah lebih terlihat keahliannya pada ilmu tersebut, dibandingkan dengan pesantren yang lebih banyak menawarkan berbagai macam keilmuan namun tidak lebih fokus pada satu keahlian. Namun, tidak dipungkiri banyak juga pesantren yang menawarkan berbagai macam keilmuan melahirkan alumni yang berkompeten, tentunya dalam pelaksanaan kurikulum pendidikannya harus didukung oleh metode, visi, sarana prasarana, dan sistem yang baik dan sesuai.

Ketiga, pesantren dilihat dari segi jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu: (a) pesantren kecil jumlah santri kurang dari 1.000 santri dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten; (b) pesantren menengah memiliki santri antara 1.000 sampai 2.000 santri dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten; (c) pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2.000 orang dan memiliki pengaruh keberbagai kabupaten dan propinsi. (Dhofier, 2011: 79) pengelompokkan jenis pesantren ini nampaknya tidak perlu diperdebatkan, jika memang dilihat dari jumlah santri yang ada, namun jika diukur dengan tingkat keberhasilan penggolongan pesantren kecil, menengah, dan besar perlu dikaji lagi, yakni tidak menjadi sebuah standar bahwa pesantren yang jumlah santrinya sedikit tetapi

digolongkan pesantren kecil, bisa jadi pesantren dengan jumlah santri sedikit menghasilkan alumni yang berkualitas pada bidang tertentu dan pengaruhnya bisa menjangkau masyarakat di berbagai daerah yang memang tertarik dan membutuhkan sistem pendidikan pesantren tersebut.

Keempat, pesantren dilihat dari segi usia santri, yaitu (a) pesantren khusus anak- anak balita; (b) pesantren khusus orang tua; dan (c) pesantren mahasiswa. (Qomar, 2005: 18) pengelompokan jenis pesantren ini masih perlu dipertegas, yakni pada pesantren khusus orang tua, karena tidak ada pembagian batasan usia. Jika memang yang dimaksud orang tua di atas batas kelompok usia mahasiswa, maka perlu satu pengelompokan lagi dari pesantren berdasarkan tingkat usia ini, seperti pesantren khusus remaja yang berada pada standar usia sekolah.

Kelima, pesantren dilihat dari segi kecenderungan pada organisasi sosial keagamaan, yaitu: (a) pesantren NU; (b) pesantren Muhammadiyah; (c) pesantren Persis; dan (d) pesantren netral. (Qomar, 2005: 18) Jenis pesantren ini biasanya tidak semua melabeli dirinya secara langsung, jenis organisasi sosial keagamaan yang dianut pada nama lembaganya. Namun, dapat terlihat pada implementasi pendidikannya.

Keenam, pesantren dilihat dari segi sistem yang dikembangkan, dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: (a) memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai, kurikulum tergantung dengan kiai, dan pengajaran secara individual; (b) memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan palajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat di asrama untuk mempelajari pengetahuan agama dan umum; dan (c) hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah/madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama, kiai sebagai pengawas dan pembina mental. (Qomar, 2005: 18) Ketiga kelompok ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu bagi pesantren yang santri dan kiai tinggal bersama serta kiai sejara langsung memberikan pembelajaran secara individu memiliki kelebihan yakni adanya kedekatan emosional antara keduanya serta kiai dapat langsung memantau perkembagan santri, hal tersebut tentunya akan berbeda dengan kiai yang tinggal terpisah dengan santri dan hanya sebagai pengawas dan pembina mental saja, namun jenis pesantren ini biasanya memiliki kelebihan dalam sistem manajemen yang lebih baik, dibandingkan dengan pesantren yang masih menggunakan sistem tradisional.

Ketujuh, pesantren dilihat berdasarkan elemennya, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: (a) terdiri dari masjid dan rumah kiai; (b) terdiri dari masjid, rumah kiai, dan pndok (asrama); (c) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), dan pendidikan formal; (d) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), pendidikan formal dan pendidikan keterampilan; dan (e) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), madrasah, dan dilengkapi bangunan-bangunan fisik lainnya. (Qomar, 2005: 18) Pengelompokkan jenis pesantren ini memang perlu diperhatikan oleh pesantren dalam menghadapi perkembangannya, karena elemen-elemen dasar tersebut memang yang sangat penting untuk perkambangan pesantren.

Kedelapan, pesantren dikelompokkan berdasarkan unsur kelembagaan, yaitu: (a) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun sekolah umum; (b) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; (c) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; (d) pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta‟lim); dan (e) pesantren untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa. (Qomar, 2005: 18)

Pengelompokkan jenis pesantren ini, merupakan ciri khas tersendiri bagi masing-masing pesantren dan memiliki daya tarik sendiri berbagai kalangan masyarakat yang memiliki beragam kebutuhan akan jenis pendidikan pesantren. Namun, disini pesantren harus lebih jeli memperhatikan perkembagan dan kebutuhan masyarakat tersebut.

Kesembilan, pesantren dilihat dari segi keterbukaan terhadap perubahan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, yaitu: (a) pesantren salafiyah yang mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya, penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan tanpa mengenalkan pengajaran umum; (b) pesantren

khalafi memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrsasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren. (Dhofier, 2011: 76) Pesantren jenis ini, nampaknya yang paling popular dibandingkan pengelompokan pesantren-pesantren lainnya. Terlepas dengan adanya kerancuan dalam praktik tentang pemahaman pesantren salafiyah dan khalafiyah, untuk sementara istilah itu masih digunakan untuk memudahkan pemahaman terutama ditinjau dari perspektif jaringan dan perubahan sosial.

Variasi dan keberagaman pesantren merupakan ciri khas dari masing-masing pesantren tersebut, naman pesantren juga perlu melihat dan mempertimbangkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan tentunya harus menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan masyarakat tersebut. Jika, tidak dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat, pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat dan memilih jenis pendidikan lainnya.