• Tidak ada hasil yang ditemukan

KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN A Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

B. Kurikulum Keagamaan

2. Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren

Sebelum membahas lebih jauh apa itu pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren, perlu diketahui tentang konsep dan makna kurikulum secara umum terlebih dahulu. Kurikulum memiliki pengertian yang sangat bervariasi, para ahli kurikulum memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan pemikiran mereka masing-masing. Perbedaan pemikiran tersebut berjalan sesuai dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan yang digunakan.

Pengertian tentang kurikulum dibahas dalam dokumen kurikulum 2013, kementrian pendidikan dan kebudayaan (2012: 9-10) terdapat dua pengertian, yaitu:

Pertama, kurikulum sebagai rencana adalah rancangan untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu satuan atau jenjang pendidikan tertentu. Kedua, Kurikulum sebagai proses adalah totalitas pengalaman belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai konten pendidikan yang dirancang dalam rencana.

Apabila ditelusuri lebih jauh, kurikulum mempunyai berbagai arti, yaitu: (1) sebagai rencana pembelajaran, (2) sebagai rencana belajar murid, (3) sebagai pengalaman belajar yang diperoleh murid dari sekolah atau madrasah. (Hidayat, 2013: 20)

Menurut Arifin, (2013: 5) kurikulum diartikan sebagai semua kegiatan dan pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan

hidden curriculum (kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang aman, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut mendukung keberhasilan pendidikan. Pengertian kurikulum tersebut hampir sama dengan pendapat Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (2009: 10), yaitu

Pengertian yang sama juga dijelaskan oleh Tafsir (2013: 81), bahwa dalam pendidikan, kegiatan yang dilakukan peserta didik dapat memberikan pengalaman belajar, seperti pergaulan, olah raga, dan pramuka selain mempelajari bidang studi itu sendiri. Atas dasar inilah maka inti dari kurikulum adalah pengalaman belajar. Karena dalam kenyataannnya pengalaman belajarlah yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pendewasaan peserta didik. Pendewasaan disini bukan hanya dalam hal mempelajari mata pelajaran melainkan interaksi sosial juga, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.

Dalam sistem pendidikan Islam al-Syaibani sebagaimana dikutip oleh Tafsir (2013: 97), kurikulum dikenal dengan istilah „manhaj‟ yang berarti „jalan terang‟. Makna tersirat dari jalan terang tersebut menurut al-Syaibany adalah jalan yang harus dilalui oleh para pendidik dan anak-anak didikuntuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap mereka. Istilah „manhaj‟ yang mengandung arti „jalan terang‟ juga terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi:













































































































“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur‟an dengan membawa kebenaran,

membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan

itu.” (QS. al-Mâidah (5): 48)

Lebih lanjut al-Syaibany dalam Tafsir (2013: 98) menyatakan, bahwa kurikulum pendidikan Islam seharusnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(1) Menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak harus diambil dari al-Qur‟an dan hadis serta contoh-contoh dari tokoh-tokoh terdahulu yang shaleh. (2) Memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani,

akal, dan ruhani. Untuk pengembangan menyeluruh ini harus berisi mata pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek.

(3) Memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal, dan ruhani manusia.

(4) Memperhatikan seni halus, yaitu ukur, pahat, tulis indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu, memperhatikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, keterampilan, bahasa asing sekalipun semuanya iinidiberikan kepada setiap individu secara efektif berdasarkan bakat, minat, dan kebutuhan.

(5) Mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang sering terdapat masyarakat karena perbedaan tempat dan zaman.

Dari penjelasan para ahli mengenai pengertian kurikulum tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah rencana pembelajaran dan rencana belajar peserta didik, selain itu kurikulum merupakan pengalaman belajar peserta didik secara keseluruhan, baik berasal dari dalam maupun luar lingkungan sekolah. Pengertian kurikulum tersebut sangat tepat bila dikaitkan dengan proses pendidikan Islam seperti pesantren, karena di pesantren pembelajaran bukan hanya terjadi dalam lingkungan kelas saja, namun di luar kelas seperti asrama yakni pengalaman berinteraksi antar teman atau dengan guru (kiai), disiplin pada kegiatan keseharian, pembentukan karakter yang menanamkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia terjadi dalam keseluruhan lingkungan pesantren.

Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai kurikulum tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan tentang pengertian pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian sebagai komponen situasi belajar-mengajar, antara lain penempatan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar-mengajar. (Hamalik, 2013: 183)

Menurut Sukiman (2015: 5) pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah suatu proses yang dimulai dari kegiatan menyusun kurikulum, mengimplementasikan, mengevaluasi, dan memperbaiki sehingga diperoleh suatu bentuk kurikulum yang dianggap ideal. Wahyudin (2014: 62) juga menambahkan bahwa, pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensip yang meliputi perencanaan, penerapan, dan evaluasi karena pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan-perubahan dan kemajuan-kemajuan. (Wahyudin, 2014: 62) Secara sederhana menurut Pawlas dan Oliva (2008: 266) proses dari pengembangan kurikulum dapat terlihat pada bagan 2.2 berikut:

Bagan 2.2

Model Pengembangan Kurikulum (Pawlas dan Oliva, 2008: 266)

Model pengembangan kurikulum berdasarkan bagan di atas menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum dibutuhkan beberapa tahapan, yakni dimulai dengan melakukan perencanaan kurikulum, setelah itu adalah implementasi kurikulum, yakni

Evaluation Implementation

dengan merelisasikannya kedalam proses belajar-mengajar, kemudian kurikulum yang telah dilaksankan tersebut dievaluasi, dengan melihat sesuai atau tidaknya kurikulum yang telah dilaksankan tersebut dengan tujuan dari pengembangan kurikulum.

Secara lebih luas lagi Oliva sebagaimana dikutip oleh Pawlas dan Oliva (2008: 267) menggambarkan proses pada model pengembangan kurikulum yang terlihat pada bagan 2.3 di bawah berikut:

Bagan 2.3

Model Pengembangan Kurikulum Oliva

Menurut Hamalik (2012: 104) kegiatan pengembangan kurikulum dapat dilakukan pada berbagai kondisi, mulai dari tingkat kelas sampai dengan tingkat nasional. Kondisi- kondisi tersebut meliputi:

a. Pengembangan kurikulum oleh guru kelas.

b. Pengembangan kurikulum oleh kelompok guru dalam satu sekolah. c. Pengembangan kurikulum melalui pusat guru (teacher‟s center). d. Pengembangan kurikulum pada tingkat daerah.

e. Pengembangan kurikulum melalui proyek nasional.

Pengembangan kurikulum dilakukan dalam upaya agar kurikulum dapat berkembang kearah yang lebih baik dari kurikulum sebelumnya dan sesuai dengan perkembangan praktik pendidikan di sekolah, pengembangan kurikulum dapat dilakukan dengan menambah atau mengembangkan kurikulum sebelumnya. Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses perencanaan dan penyusunan kurikulum sekolah, mulai tingkat kelas hingga Nasional, kemudian diterapkan ke dalam kelas sebagai wujud proses belajar mengajar disertai dengan penilaian-penilaian terhadap kegiatan tersebut, sebagai langkah penyempurnaan sehingga memperoleh hasil yang lebih baik dan bagus.

Uraian dan pembahasan mengenai pengembangan kurikulum dan pendidikan keagamaan di atas, selanjutnya dapat dikaitkan mengenai maksud dari pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren. Pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren adalah proses pengembangan kurikulum terhadap ilmu-ilmu dan pendidikan keagaman yang dipersiapkan atau mengkader peserta didik untuk menjadi ahli agama atau ulama yang mengamalkan ilmunya.

Selanjutnya, perlu diketahui kurikulum keagamaan yang dikembangkan dalam sistem pendidikan di pesantren, namun terlebih dahulu perlu juga suatu pembahasan terkait dengan pengembangan kurikulum itu sendiri. Dalam pembahasan mengenai pengembangan kurikulum, terdapat beberapa hal penting yang terkait dengan pengembangan kurikulum, diantaranya adalah prinsip-prinsip, landasan-landasan, dan komponen-komponen kurikulum.

Kurikulum dalam pengembangannya haruslah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang akan menjadi kaidah, norma, pertimbangan atau aturan yang menjiwai kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah

Evaluation of The Curriculum Implementation of The Curriculum Design of Curriculum Plan Statement of Curriculum Objectives Statement of Curriculum Goals Statement of Philosophy and Aims

berkembang maupun prinsip yang diciptakan sendiri, sehingga bisa saja terjadi perbedaan prinsip di masing-masing lembaga pendidikan. (Arifin, 2013: 27)

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam kurikulum diantaranya, yaitu: prinsip secara umum dan khusus. Beberapa prinsip kurikulum secara umum yang perlu dibahas terlebih dahulu sebelum mengakaji prinsip pengembangan secara khusus. Adapun prinsip-prinsip umum tersebut, yaitu:

1) Prinsip Relevansi

Relevansi mempunyai kedekatan hubungan sesuatu dengan apa yang terjadi. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, berarti perlunya kesesuaian antara program pendidikan dengan tuntutan kehidupan masyarakat. Pendidikan dikatakan relevan bila hasil yang diperoleh akan berguna bagi kehidupan seseorang. (Idi, 2010: 179)

Dua macam relevansi yang harus dimiliki dalam program kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 150):

(a)Relevansi keluar, yaitu :

-Kesesuaian atas keserasian antara pendidikan dengan lingkungan hidup siswa

-Kesesuaian antara pendidikan dengan kehidupan anak didik disaat sekarang dan yang akan datang.

-Kesesuaian antara pendidikan dengan tuntutan dunia kerjanya bagi siswa.

Pada prinsip relevansi keluar tersebut dimaksudkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh, penyesuaian isi, tujuan, dan metode belajar pada peserta didik yang berada dilingkungan pedesaan idealnya berbeda dengan peserta didik yang berada di daerah kota-kota besar, karena lingkungan dan kebutuhan serta tuntutan dunia kerjanya masyarakatnya akan berbeda-beda pula. Contoh lainnya, seperti metode dan alat-alat yang digunakan pada masa lampau sudah tidak dapat digunakan pada masa sekarang. Untuk itu diperlukan penyesuaian-penyesuaian yang tepat agar tujuan dari kurikulum tersebut dapat tercapai sesuai yang dikehendaki.

(b)Relevansi ke dalam, yaitu :

Kurikulum juga harus memiliki relevansi ke dalam yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum. yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.

Pengembangan kurikulum dengan mempertimbangkan relevansi internal ini idealnya akan menghasilkan kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum tersebut, apabila terjadi ketidak sesuai kurikulum bisa jadi kemungkinan adanya ketidak sinkronan antar komponen-komponen kurikulum tersebut.

2) Prinsip Fleksibelitas

Prinsip fleksibelitas artinya kurikulum memungkinkan terjadinya penyesuaian- penyesuaian dengan kemampuan karakteristik peserta didik, karakteristik sekolah, serta kondisi dan potensi daerah. (Widyastono, 2014: 38)

Fleksibelitas yang dimaksud adalah tidak kaku artinya memberi sedikit kebebasan dan kelonggaran dalam melakukan atau mengambil suatu keputusan tentang suatu kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pelaksana kurikulum. Prinsip fleksibelitas juga berkaitan dengan adanya kebebasan siswa dalam menentukan program atau jurusan yang sesuai

dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Demikian pula memberi kebebasan kepada guru dalam mengembangkan program dan kegiatan-kegiatannya. (Hidayat, 2013: 77)

Fleksibelitas terhadap guru, dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan sendiri program-program pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum yang masih bersifat agak umum. Guru diberikan kebebasan menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya, sebagai salah satu contohnya, guru bidang studi keagamaan akan berbeda metode pembelajaran yang digunakannya dengan guru bidang studi matematika dan IPA.

Menurut Drajat, (2006: 127) memberi kebebasan terhadap ruang gerak peserta didik dan pendidikan dalam bertindak di lapangan. Hal ini dikarenakan dalam diri anak didik terdapat banyak perbedaan-perbedaan dalam segala hal, bakat, kemampuan membaca, menulis (belajar), keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian sekolah dapat memberi fasilitas yang luas terhadap siswa. Dengan terbentuknya pengadaan program pilihan, jurusan, program spesialisasi, program pendidikan keterampilan dalam program-program lain yang dapat dipilih siswa atas dasar kemampuan, kemauan serta minat dan bakat yang dimilikinya. Keadaan tersebut akan sulit terwujud apabila sekolah tidak dapat memenuhi kebutuhan peserta didik, seperti sedikitnya program-program pilihan yang di sediakan oleh lembaga pendidikan atau sekolah.

3) Prinsip Kontinuitas (Kesinambungan)

Prinsip ketiga adalah kotinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau tidak berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP, SMTA, dan Perguruan Tinggi. (Sukmadinata 2012: 151)

Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukkan adanya saling terkait antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi. Menurut Idi (2010: 182) minimal ada dua kesinambungan dalam pengembangan kurikulum ini, yaitu:

(a)Kesinambungan di antara berbagai tingkat sekolah:

- Bahan pelajaran (subject matters) yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi hendaknya sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya atau di bawahnya.

- Bahan pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah tidak harus diajarakan lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga terhindar dari tumpang tindih dalam pengaturan bahan dalam proses belajar mengajar.

(b)Kesinambungan di antara berbagai bidang studi:

Kesinambungan di antara berbagai bidang studi menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan hubungan antara bidang studi yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, untuk mengubah angka temperatur dari skala Celcius ke skala Fahrenheit dalam IPA diperlukan keterampilan dalam pengalian pecahan. Karenanya, pelajaran mengenai bilangan pecahan tersebut hendaknya sudah diberikan sebelum anak didik mempelajari cara mengubah temperatur itu.

Dengan adanya kesinambungan dalam program-program yang terdapat dalam kurikulum, baik pada berbagai tingkat pendidikan maupun pada berbagai macam mata pelajaran (bidang studi), tentunya akan memudahkan peserta didik dalam proses pembelajaran, sebagai contohnya pelajaran-pelajaran dasar yang terdapat pada tingkat dasar sebagai penentu keberlanjutan pada tingkat pelajaran selanjutnya yakni pada tingkat menengah atau apa saja yang sudah dipelajari pada tingkat dasar tidak perlu pengulangan mendalam pada tingkat selanjutnya, jika diperlukan pengulangan hal tersebut hanya bersifat review secara singkat saja.

4) Prinsip Praktis (Efisiensi)

Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efesiensi. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan- keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. (Sukmadinata, 2012: 151)

Menurut Sukiman (2015: 37) prinsip efisiensi maksudnya adalah berhubungan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan usaha yang dijalankan, atau biaya yang dikeluarkan. Suatu usaha dapat dikatakan efisien, apabila hasil yang dicapai telah sesuai dengan usaha atau biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya, jika hasil yang dicapai tidak sebanding dengan apa yang dikeluarkan, maka tidak dapat dikatakan efisien.

Efisien waktu dapat diwujudkan dengan merencanakan kegiatan belajar mengajar peserta didik agar tidak terjadinya waktu yang bayak terbuang. Efisiensi jumlah guru dan peralatan sekolah dengan menyesuaikan jumlah peserta didik yang ada. Hal tersebut akan memungkinkan efisiensi waktu dan biaya pendidikan.

5) Prinsip Efektifitas

Menurut Hidayat (2013: 75) efektifitas dalam kurikulum dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: (a) efektifitas pembelajaran terutama menyangkut sejauhmana jenis-jenis kegiatan pembelajaran yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik, (b) efektifitas belajar siswa atau peserta didik, terutama menyangkut seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang diinginkan dapat dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang ditempuh.

Sedangkan menurut Sukiman (2015: 37), selain efektifitas yang berkaitan dengan belajar siswa atau peserta didik, efektifitas dari segi pendidik atau guru juga perlu dipertimbangkan. Adapun upaya efektifitas terhadap guru, dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan tambahan untuk meningkatkan kompetensi guru, seperti melalui pelatihan-pelatihan, workshop, diskusi-diskusi, dan studi lanjut. Sedangkan upaya untuk memenuhi efektifitas peserta didik, yakni dengan memilih dan menggunakan strategi dan media pembelajaran yang dipandang paling tepat di dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Upaya-upaya tersebut di atas apabila dapat terlaksana sebagaimana yang dimaksudkan, tentunya akan berdapak pada efektifitas belajar mengajar yang terjadi di sekolah. Namun, apabila upaya-upaya tersebut belum dapat terpenuhi, sebagai dampaknya memungkinkan ketidak tercapaiannya tujuan kurikulum pendidikan secara menyeluruh.

Selain prinsip-prinsip umum di atas ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam mengembangkan kurikulum. Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi,

pengalaman belajar, dan penilaian. Berikut ini diuraikan dengan lebih mendetail tentang prinsip-prinsip khusus di atas, yaitu:

(1) Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan mencakup pada tujuan yang bersifat umum atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus). Perumusan tujuan pendidikan menurut Sukmadinata (2012: 153) bersumber pada :

(a) Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen lembaga negara mengenai tujuan dan strategi pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan.

(b) Survai mengenai persepsi orang tua siswa/masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka.

(c) Survai tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu dihimpun melalui angket atau wawancara, observasi dan dari berbagai media massa.

(d) Survai tentang manpower

(e) Pengalaman Negara-negara lain dalam masalah yang sama. (f) Penelitian

Perumusan tujuan di atas, harus adanya kesesuaian dan saling melengkapi yakni antara kebutuhan masyarakat, pandangan para ahli, pengalaman dari Negara-negara lain, pengalaman-pengalaman pelaksanaan pendidikan sebelumnya, dan tujuan yang ditentukan oleh pemerintah harus sinkron. Tujuan tersebut akan sulit dicapai apabila salah satu dari urutan tersebut, ada bahkan banyak perbedaannya dan tidak sinkron.

(2) Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan

Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah ditentukan para perencana kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 153) perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:

(a) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar.

(b) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap dan keterampilan. (c) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis. Ketiga

ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan diberikan secara simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan buku pedoman guru yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat pengajaran secara lebih mendetail.

Jadi, dalam perumusan yang berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan hendaknya adanya rician dari tujuan pendidikan/pengajaran tersebut, selain itu juga hendaknya mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Langkah-langkah tersebut dilakukan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki arah yang jelas.

(3) Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar

Menurut Sukmadinata (2012: 153) Pemilihan proses belajar mengajar digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Apakah metode atau tekhnik belajar mengajar yang digunakan cocok untuk mengajar bahan pelajaran?

2) Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa?

3) Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan uraian kegiatan yang bertingkat- tingkat?

4) Apakah metode atau tekhnik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotorik?

5) Apakah metode atau tekhnik tersebut lebih mengaktifkan siswa atau mengaktifkan guru atau kedua-duanya?

6) Apakah metode atau tekhnik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru? 7) Apakah metode atau tekhnik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah

dan di rumah juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di masyarakat?

8) Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan pada ”learning by doing?” di samping”learning by seeing and knowing?”

Pengembangan kurikulum dengan memperhatikan prinsip ini dibutuhkan kreatifitas serta pengalaman yang cukup dari praktik belajar mengajar, untuk menemukan metode apa yang sesuai dengan peserta didik. Keberagaman tingkat intelektual dan spikologi perserta didik, serta lingkungan juga dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan metode yang tepat. Dengan metode pembelajaran yang tepat maka diharapkan pembelajaran dapat berlangsung dengan baik dan mudah untuk dipahami oleh peserta didik.

(4) Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian

Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penilaian, sebagaimana dirumuskan oleh Sukmadinata (2012: 154):

(a) Dalam penyusunan alat penilaian (test) hendaknya diikuti langkah-langkah sebagai berikut: rumusan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Uraikan ke dalam bentuk tingkah laku murid yang dapat