• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Ber-Asrama dalam Menanamkan Karakter Bangsa

MORAL SEBAGAI VISI DAN MISI PESANTREN (ASRAMA)

Definisi tentang pesantren (asrama) di atas sebenarnya telah menggambarkan bahwa Pesantren sejak awal didirikan dini-atkan dalam rangka mendidik, melatih dan menanamkan nilai-ni-lai luhur kepada santrinya tentang moral dan spiritualitas. Beber-apa nilai moralitas yang selalu ditekankan dalam ajaran-ajaran di pesantren adalah keikhlasan (al-Ikhlash), kemandirian (al-I’timad ‘ala al-Nafs), kesederhanaan hidup (al-Iqtishad), asketis (al-Zuhd), menjaga diri (al-Wara’), dan lain-lain. Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya menulis mengenai tujuan pesantren sebagai berikut:

Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk mem-perkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiri-tual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para

49 Maju Bersama Pendidikan ~ Dahlan

santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bu-kanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan.

Maka, tak dapat disangkal bahwa orientasi ajaran seperti ini pada gilirannya sangat memengaruhi pandangan, pemikiran dan sikap hidup para santri. Aktifitas kehidupan sehari-hari mere-ka banyak diliputi praktik-praktik moralitas sufisme tersebut. Ori-entasi hidup semacam ini di satu sisi dapat membentuk karakter-karakter kesalehan individual, akan tetapi pada sisi lain, dimensi nalar-intelektual-rasional, seringkali kurang memperoleh tempat yang signifikan di pesantren, bahkan seringkali dihindari. Ini bo-leh jadi merupakan kelemahan pesantren, tetapi ia adalah sebuah pilihan dengan seluruh konsekuensinya.

Sejumlah penelitian terhadap pesantren memang men-emukan bahwa dalam kenyataannya bidang fiqh (hukum Islam), menjadi pelajaran dominan dan faktor penting dalam memben-tuk tradisinya. Namun segera dikemukakan bahwa dalam kajian yang lebih mendalam ditemukan bahwa fiqh yang dipelajari di pesantren pada umumnya adalah fiqh yang diwarnai oleh pikiran-pikiran sufisme. Para peneliti menyebutnya “Fiqh Sufistik”.

50 Dahlan ~ Maju Bersama Pendidikan AKHLAQ/TASAWUF BERMAKNA NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata akhlak diar-tikan sebagai budi pekerti; kelakuan. Akan tetapi sebenarnya ia berasal dari bahasa Arab (al-akhlaq), dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti perangai, tabiat. Akhlak sebenarnya adalah kata plural. Sementara kata “mufrad” atau singularnya adalah “khuluq”. Kata ini memiliki akar kata “khalq” yang berarti ciptaan. Yakni sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Karena itu ia melekat dalam setiap diri manusia, dari manapun ia berasal, apa-pun warna kulit, jenis kelamin, suku, kebangsaan, agama dan se-bagainya.

Imam Al-Ghazali (450 H-1111 M) menyebut sejumlah definisi akhlaq. Salah satu di antaranya adalah “sifat (hai-ah) yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbua-tan secara mudah (reflektif), perbua-tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika sifat tersebut melahirkan perbuatan-perbua-tan yang indah (al-jamilah) dan terpuji (al-mahmudah) menurut agama dan akal, maka ia dinamakan akhlak yang baik (khuluqan hasanan), dan apabila menghasilkan perbuatan-perbuatan yang buruk (qabihah), maka ia dinamakan akhlak yang buruk (khuluqan sayyi-an)”. “ Makna ini menunjukkan bahwa akhlak merupakan si-fat dan gambaran jiwa.

Makna ini sesungguhnya sama dengan arti etika dan mor-al. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan, 1988) dipaparkan makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang

51 Maju Bersama Pendidikan ~ Dahlan

berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Haryatmoko meny-impulkan bahwa etika (yang disamakan maknanya dengan moral) merupakan wacana normative dan imperative yang diungkapkan dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden.

Meski akhlak bisa berarti perilaku atau sikap yang baik dan buruk atau positif dan negatif, akan tetapi dalam banyak perbincangan masyarakat sehari-hari kata “akhlak” hampir selalu memiliki konotasi baik dan positif, seperti kejujuran, ketulusan, kesabaran, rendah hati, kasih, keberanian, murah hati, santun, bertindak adil, menghargai orang lain dan sebagainya. Dalam teks-teks Islam, akhlak yang baik disebut al-Akhlaq al-Karimah.

Kecenderungan paling umum menganggap bahwa akhlaq yang diamalkan di pesantren lebih berdimensi sufistik. Dan dalam banyak perbincangan sosial, Tasawuf atau sufisme terlalu sering diberi makna ekslusif, tertutup, individual sehingga seakan-akan tidak memberi makna bagi kehidupan social dan peradaban ma-nusia. Tasawuf dipandang sebagai suatu cara hidup asketis (zuhd), mengasingkan diri dan mementingkan diri sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu, sufisme sering distigmatisasi sebagai penyebab ke-hancuran dan kebangkrutan peradaban Islam. Ini karena, menu-rut sebagian orang, ia mengajarkan anti rasionalisme dan anti filsafat. Sufisme juga menganjurkan kemiskinan dan membenci kemewahan kehidupan dunia. Pandangan atau kesan-kesan ter-hadap sufisme seperti ini biasanya muncul dalam masyarakat modern dan rasional.

52 Dahlan ~ Maju Bersama Pendidikan mental Islam, yaitu Tauhid. Artinya “tidak ada tuhan kecuali Tu-han Yang Satu”. Ia acapkali disebut sebagai “kalimah al-ikhlas”. Ka-limat ini tidaklah semata-mata pernyataan verbal belaka, melain-kan memiliki implikasi-implikasi sosial-kemanusiaan. Pernyataan ini mengandung makna kebebasan, kesetaraan, dan penghargaan atas martabat manusia. Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip ini adalah bahwa semua manusia di manapun adalah bersaudara. Sufisme menegaskan bahwa tidak ada persaudaraan kecuali per-saudaraan yang menghimpun seluruh prinsip kemanusiaan. Ma-nusia menyatu dengan yang lain; pertama-tama, dalam hubun-gan keluarga, kemudian hubunhubun-gan umat dan akhirnya hubunhubun-gan kemanusiaan. Hubungan yang terakhir ini melampaui batas-batas geografis. Manusia juga menyatu dalam kemanusiaannya pada masa lampau, kini dan mendatang. Banyak jalan menuju Allah. Tetapi hanya ada satu Jalan yang lurus. Yaitu melepaskan Anani-yyah (individualisme).

Jika kita harus menyimpulkan, maka akhlak, etika atau moral yang dianut Pesantren mengandung nilai-nilai yang sepenuhnya bermakna kemanusiaan, baik dalam bentuknya yang dikesankan sebagai personal atau individual, seperti ketulusan, kejujuran, kesederhanaan, dan rendah hati maupun dalam relas-inya dengan individu atau komunitas yang lain, seperti penghar-gaan terhadap perbedaan berpikir, kebebasan mengekspresikan pendapat dan keyakinan, penghormatan terhadap eksistensi “li-yan” (the others) dan persaudaraan universal.

Dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang berdimensi publik-politik di atas, nilai-nilai kemanusiaan itu mendapatkan formulasinya dari salah satu tokoh besar

53 Maju Bersama Pendidikan ~ Dahlan

tan masyarakat pesantren; Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M). Dalam kitabnya yang terkenal “Al-Mustashfa min Ilm al Ushul”, al-Ghazali menyebut lima prinsip perlindungan yang harus menjadi basis dalam setiap relasi antar manusia. Lima prinsip itu adalah “Hifzh al-Din (perlindungan terhadap hak beragama dan berkeya-kinan, Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifz al-‘Aql (hak berpikir dan ber-ekspresi), Hifzh al-Nasl (hak kehormatan diri dan berketurunan, dan Hifz al-Mal (hak atas kepemilikan/proferti). Lima nilai ini menurut Imam al-Ghazali merupakan cita-cita agama (Maqashid al-Syari’ah).

Demikianlah, pesantren (asrama) sepanjang sejarahnya, terlepas kekurangan dan kelemahanannya, telah memberikan sumbangan yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat bangsa, bukan hanya dalam kerangka pembentukan karakter positif bagi individu-individu anak bangsa, melainkan juga bagi utuhnya sistem Negara Bangsa dengan seluruh pilar-pilarnya. Agaknya model pendidikan pesantren (asrama) seperti ini, men-arik sekaligus relevan untuk dijadikan bahan pemikiran dan in-spirasi untuk kondisi Indonesia yang tengah dilanda krisis moral yang akut ini.***

54 Dahlan ~ Maju Bersama Pendidikan DAFTAR PUSTAKA

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

al-Ghazali, Abu Hamid, tt. Ihya Ulum al-Din, Juz.III. Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Isa al-Baby al-Arabi.

Haryatmoko, 2011. Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Amin, Ahmad, 1969. Zhuhr Islam, Juz.II. Beirut: Dar Kitab al-‘Arabi.

55 Maju Bersama Pendidikan ~ Nurkholis

D

I dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia ditegas-kan bahwa pendididitegas-kan merupaditegas-kan sarana mencerdas-kan kehidupan bangsa. Hal ini tercantum dalam Pem-bukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yaitu :

Melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kes-ejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mewujudkan itu semua perlu diusahakan terse-lenggaranya satu sistem pendidikan nasional yang bermutu dan

[5]