• Tidak ada hasil yang ditemukan

OBAT TETES (GUTTAE)

Dalam dokumen langkah formulasi strategi anal (2) (Halaman 96-117)

BAB IX SEDIAAN CAIR

CONTOH LARUTAN ORAL : LARUTAN (SOLUTIONES)

VI. 2. OBAT TETES (GUTTAE)

Menurut Farmakope Edisi III, obat tetes adalah sediaan cair berupa larutan, emulsi, suspensi, yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa:

1. Guttae (Obat tetes), apabila tidak ada penjelasan lain, merupakan obat dalam yang digunakan dengan cara meneteskan ke dalam makanan atau minuman.

Resep Guttae Bleekeri R/ Tinctura Opii 3

Oleum menth pip. 1 Eter cum spiritus 6 Spir. Dil. 15

2. Guttae oris (Tetes mulut), merupakan obat tetes yang digunakan untuk pengobatan pada mulut, dengan cara mengencerkan dengan air kemudian dikumur-kumur tetapi tidak boleh ditelan.

3. Guttae auriculares (Tetes telinga). Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV disebut sebagai Larutan Otik. Tetes telinga merupakan obat tetes yang digunakan untuk pengobatan pada telinga dengan cara meneteskan ke telinga. Kecuali dinyatakan lain, cairan pembawa yang digunakan bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan atau viskositas tertentu yang sesuai untuk sediaan tetes mata, misalnya gliserol, propilenglikol, etanol, heksilen glikol dan minyak nabati. Jika tidak dinyatakan lain, cairan pembawa memiliki pH 5,0 – 6,0.

4. Guttae nasales (Tetes hidung), merupakan sediaan obat tetes yang digunakan untuk pengobatan pada hidung dengan cara meneteskan ke dalam hidung. Selain mengandung bahan obat dan cairan pembawa, sediaan tetes hidung dapat pula mengandung zat pensuspensi seperti sorbitan, dan polisorbat dengan kadar tidak lebih dari 0,01% (b/v), dapar dan pengawet. Zat pengawet yang biasanya digunakan adalah benzalkonium klorida 0,01% (b/v) – 0,1% (b/v). Cairan pembawa yang umum digunakan adalah air. Minyak lemak atau minyak nabati tidak dapat digunakan sebagai cairan pembawa untuk sediaan tetes hidung. Bila tidak dinyatakan lain, pH cairan pembawa berkisar antara 5,5 – 7,5, dengan kapasitas dapar sedang dan sedapat mungkin cairan pembawa harus isotonis. Kondisi isotonis merupakan suatu kondisi dimana tekanan osmosis larutan hampir sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh.

Resep Guttae Nasales Protargoli R/ Ephedrin HCl 0,1

Protargol 0,1

Glucose 0,45

Aquadest ad 10 S. guttae nasales

5. Guttae ophtalmicae (Tetes mata). Tetes mata merupakan sediaan cair berupa larutan atau suspensi, digunakan untuk pengobatan pada mata dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar kelopak mata dan bulu mata. Persyaratan yang harus dipenuhi sediaan tetes mata adalah:

 Harus steril

 Isotonis yaitu tekanan osmose sediaan tetes mata harus sama dengan tekanan osmose cairan mata

 Isohidris, yaitu pH sediaan tetes mata harus sama dengan pH cairan mata  Berupa cairan jernih, bebas partikel asing, serat-serat dan benang

 Volume maksimal 15 mL

Isotonis dan isohidris dapat diperoleh dengan menggunakan pelarut yang cocok. Pelarut yang sering digunakan adalah Larutan NaCl 0,9%, aqua destilata, larutan 2% asam borat (pH = 5), larutan boraks-asam borat (pH = 6,5) dan larutan basa lemah boraks-asam borat (pH = 8). Zat pengawet untuk sediaan tetes mata adalah Fenilraksa nitrat dan Fenilraksa asetat 0,002% (b/v) serta benzalkonium klorida 0,01% (b/v). Pemilihan pengawet berdasarkan kompatibilitas pengawet tersebut dengan bahan obat lain dalam

sediaan tetes mata, misalnya benzalkonium klorida tidak dapat bercampur dengan anestetik lokal.

Resep Tetes mata:

R/ Sulfas Zinci 0,05

Aquadest 10

S. Guttae ophtalmic.

Kecuali dinyatakan lain, sediaan tetes dapat dibuat dengan beberapa cara, antara lain: 1. Obat dilarutkan dalam campuran antara cairan pembawa dan

pengawet, disaring kemudian dimasukkan dalam wadah dan disterilkan dengan cara sterilisasi A yaitu sterilisasi menggunakan autoklaf suhu 115°C-116°C selama 30 menit. 2. Obat dilarutkan dalam campuran antara cairan pembawa dan

pengawet, kemudian disterilkan dengan cara sterilisasi C yaitu: sterilisasi dengan penyaringan melalui penyaring bakteri steril, kemudian dimasukkan ke dalam wadah secara aseptik dan ditutup rapat.

3. Obat dilarutkan ke dalam campuran antara cairan pembawa dan pengawet, disaring, kemudian dimasukkan ke dalam wadah, ditutup rapat dan disterilkan dengan cara sterilisasi B yaitu sterilisasi dengan suhu 98°C - 100°C selama 30 menit. Jika volume sediaan yang akan disterilkan lebih dari 30 mL, maka waktu sterilisasi harus diperpanjang sampai seluruh isi tiap wadah mencapai suhu 98°C - 100°C.

Menurut Farmakope Indonesia Edisi II, ada 5 (lima) cara sterilisasi, yaitu:  Sterilisasi cara A : Pemanasan dalam autoklaf

Sediaan yang akan disterilkan, diisikan ke dalam wadah yang cocok, kemudian ditutup kedap. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 100 mL, sterilisasi dilakukan dengan uap air jenuh pada suhu 115°C – 116°C selama 30 menit. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 100 mL, waktu sterilisasi diperpanjang hingga seluruh isi tiap wadah berada pada suhu 115°C – 116°C selama 30 menit.

 Sterilisasi cara B : Pemanasan dengan bakterisida

Sediaan dibuat dengan melarutkan atau mensuspensikan bahan obat dalam larutan klorokresol P 0,2% b/v dalam air untuk injeksi atau dalam larutan bakterisida lain yang cocok dalam air untuk injeksi. Isikan ke dalam wadah, kemudian ditutup kedap. Jika

volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 30 mL, panaskan pada suhu 98°C - 100°C selama 30 menit. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30 mL, waktu sterilisasi diperpanjang hingga seluruh isi tiap wadah berada pada suhu 98°C – 100°C selama 30 menit. Jika dosis tunggal obat suntik yang digunakan secara intravena lebih dari 15 mL, pembuatan tidak dilakukan dengan cara ini.

 Sterilisasi cara C : Penyaringan

Larutan disaring melalui penyaring bakteri steril. Kemudian ditutup kedap, diperiksa sterilitasnya, dan larutan harus memenuhi syarat percobaan terhadap sterilitas.

 Sterilisasi cara D : Pemanasan kering

Larutan, emulsi, dan suspensi dalam minyak atau dalam pembawa lain bukan air dimasukkan ke dalam wadah kemudian ditutup kedap atau penutupan ini dapat bersifat sementara untuk mencegah cemaran. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 30 mL, panaskan pada suhu 150°C selama 2 jam. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30 mL, waktu sterilisasi diperpanjang hingga seluruh isi tiap wadah berada pada suhu 150°C selama 2 jam. Wadah yang ditutup sementara kemudian ditutup kedap.

 Sterilisasi cara E : Aseptik

Jika larutan, emulsi, atau suspensi tidak tahan pemanasan pada suhu 150°C , pembuatan dilakukan secara aseptik. Pembawa disterilkan dengan pemanasan kering pada suhu 150°C selama 1 jam. Isikan segera larutan, emulsi atau suspensi ke dalam wadah steril kemudian ditutup kedap.

Sediaan obat tetes dikemas dalam wadah kaca atau plastik yang tertutup kedap dan ditambah penetes. Pada etiket harus diberi penandaan ”Tidak boleh digunakan lebih dari 1 (satu) bulan setelah tutup dibuka”

VI.3. SUSPENSI

Suspensi atau sering disebut mikstur gojog (Mixtura agitandae) adalah sediaan cair yang mengandung bahan obat dalam bentuk serbuk atau partikel padat tidak larut, yang terdispersi dalam fase cair (cairan pembawa). Apabila tidak terdapat penjelasan lain, sediaan suspensi tersebut digunakan secara oral untuk obat dalam. Ada beberapa jenis penggolongan sediaan suspensi yaitu:

1. Susu

Istilah susu digunakan untuk sediaan suspensi dalam pembawa yang mengandung air yang ditujukan untuk pemakaian oral, misalnya Susu Magnesia.

2. Magma

Istilah magma digunakan untuk menyatakan sediaan suspensi zat padat anorganik dalam air seperti lumpur atau krim, jika zat padatnya mempunyai kecenderungan terhidrasi dan teragregasi kuat yang menghasilkan konsistensi seperti gel dan sifat rheologi tiksotropik, misalnya Magma Bentonit. Magma biasanya lebih kental daripada suspensi dan kecenderungan pemisahannya rendah. Sebagian besar digunakan sebagai obat dalam kecuali magma Bentonit yang digunakan sebagai obat luar.

3. Lotio

Merupakan sediaan suspensi topikal dan emulsi untuk pemakaian pada kulit, misalnya Lotio Calamin dan Lotio Kumerfeldi.

Suspensi dapat digunakan dengan beberapa cara antara lain: 1. Per Oral

Suspensi oral adalah sediaan cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam pembawa cair dengan bahan pengaroma yang sesuai, dan ditujukan untuk penggunaan oral. Sediaan suspensi yang termasuk golongan ini adalah suspensi, susu dan magma. Obat yang biasanya diberikan dalam bentuk suspensi oral adalah antibiotik golongan sulfa, misalnya suspensi Trisulfapiridin. Obat golongan sulfa bersifat asam lemah, tidak larut dalam air tetapi larut dalam basa. Akan tetapi apabila dibuat larutan dengan basa, maka larutan menjadi alkali sehingga biasanya dibuat dalam bentuk sediaan suspensi. 2. Topikal

Suspensi topikal adalah sediaan cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam pembawa cair yang ditujukan untuk pengobatan topikal pada kulit. Sediaan suspensi yang termasuk golongan ini adalah lotio.

3. Rektal, misalnya suspensi Para nitro sulfathiazol

4. Intramuskular injeksi. Suspensi yang diberikan dengan cara injeksi intramuskular biasanya dimaksudkan sebagai depot obat untuk memperoleh efek terapi dalam jangka waktu tertentu (prolong released medication), misalnya injeksi Prokain, injeksi Penisilin G dan injeksi Depoprogestin. Sediaan suspensi ini harus steril, mengandung partikel sangat halus dan tidak boleh menyumbat jarum suntik.

5. Tetes mata, misalnya suspensi Kortison asetat 6. Tetes telinga

Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair mengandung partikel-partikel halus yang ditujukan untuk diteteskan pada telinga bagian luar.

Suspensi dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu sediaan suspensi yang siap digunakan dan serbuk yang dicampur dengan sejumlah air untuk injeksi (aqua pro injection / aqua p.i.) atau pelarut

lain yang sesuai sebelum digunakan. Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal.

Sediaan suspensi mempunyai 2 (dua) komponen utama yaitu fase dispersi dan medium dispersi. Fase dispersi merupakan bahan atau partikel padat tidak larut yang didistribusikan sedangkan medium dispersi merupakan cairan pembawa yang digunakan untuk membuat sediaan suspensi. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap untuk menjamin keseragaman dosis. Apabila dikocok perlahan, endapan harus mudah terdispersi kembali. Ada beberapa alasan mengapa dibuat sediaan suspensi yaitu:

 Obat-obat tertentu tidak stabil dalam bentuk larutan tetapi stabil dalam bentuk suspensi

 Bentuk cair lebih disukai daripada bentuk padat, karena lebih mudah ditelan  Penyesuaian dosis untuk anak-anak lebih mudah

 Rasa obat yang tidak enak, kurang terasa dibanding dalam bentuk larutan Sifat-sifat yang diinginkan dalam sediaan suspensi farmasi adalah:

 Sediaan suspensi mengendap secara lambat dan harus terdispersi kembali dengan penggojokan ringan

 Suspensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogen

 Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran partikel yang terdispersi mendekati konstan terutama untuk suspensi yang dapat disimpan dalam jangka waktu panjang.

Suspensi dapat mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi yang dikenal sebagai suspending agent. Sebagai suspending agent dapat digunakan:

1. Pulvis Gummi Arabicum (PGA) atau Gom Arab/Gom Akasia, diperoleh dari batang kering Acasia senegal. PGA bersifat mudah larut dalam air.

2. Tragacanth, tidak larut dalam air tetapi mengembang dalam air membentuk larutan yang viskus atau kental. Sebagai suspending agent biasanya digunakan dengan kadar 1%. 3. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dan Methyl Cellulose

4. Bentonit, merupakan tanah liat, tidak larut dalam air, tetapi menyerap air dan mengembang dalam air membentuk larutan kental.

5. Sterculia Gum (Gom Karaya), mempunyai sifat yang hampir sama dengan tragacanth. Digunakan sebagai suspending agent dengan kadar sama dengan atau sedikit lebih besar dari konsentrasi tragacanth. Gom karaya sangat baik digunakan sebagai suspending agent

6. Sodium alginat, diperoleh dari alga terutama alga coklat dan beberapa alga merah. Pertama kali diperoleh dari jenis alga coklat (Brown algae). Sebagai suspending agent

biasanya digunakan dengan kadar 1 – 2%.

Suspending agent berfungsi untuk memperlambat pengendapan sehingga keseragaman dosis terjamin, mencegah pengenapan menjadi enapan yang sukar diresuspensi (cake) dan mencegah koagulasi dari bahan-bahan berlemak dan resin. Dengan demikian, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih suspending agent, antara lain; cara pemakaian sediaan yang diinginkan, apakah secara oral, topikal atau rektal, komposisi kimia dari suspending agent tersebut, stabilitas dari medium dispers (cairan pembawa) dan fase dispers, Expired date dari produk dan ketercampuran (inkompatibilitas) dari suspending agent

dengan bahan-bahan obat lain dalam sediaan. Jumlah suspending agent yang diperlukan tergantung dari besarnya volume cairan. Suspending agent bekerja dengan meningkatkan viskositas medium dispers sehingga mencegah pengenapan sesuai dengan persamaan dalam Hukum Stokes. Hukum Stokes:  18 ) 2 1 ( 2    gd V Keterangan:

V = Kecepatan pengendapan partikel g = Konstanta gravitasi

d = Diameter partikel ℓ1 = Kerapatan partikel ℓ2 = Kerapatan cairan

η = Viskositas medium dispersi

Kecepatan pengendapan partikel berbanding lurus dengan diameter partikel dan berbanding terbalik dengan viskositas medium dispersi. Dengan menurunkan ukuran partikel atau pengecilan ukuran partikel, misalnya dengan penggerusan, maka kecepatan pengendapan akan turun. Sebaliknya dengan meningkatkan viskositas medium dispersi, maka kecepatan pengendapan partikel juga akan turun.

Disamping suspending agent, dalam pembuatan sediaan suspensi kadang-kadang diperlukan bahan pembasah (wetting agent), terutama untuk bahan-bahan yang sukar larut dan sukar dibasahi (serbuk hidrofobik). Ada 2 (dua) jenis serbuk yaitu serbuk yang sukar dibasahi (serbuk hidrofobik) dan serbuk yang mudah dibasahi (serbuk hidrofil). Contoh serbuk

hidrofobik adalah sulfur, carboadsorbens, dan Magnesium stearat. Contoh serbuk hidrofil adalah Zinc oksida dan Magnesium oksida. Mudah atau sukarnya serbuk untuk dibasahi, dapat dilihat dari sudut kontak yang dibentuk serbuk dengan permukaan cairan. Serbuk dengan sudut kontak ± 90º, akan menghasilkan serbuk yang sukar dibasahi dan mengapung pada permukaan cairan. Serbuk yang mengambang didalam cairan mempunyai sudut kontak lebih kecil, sedangkan serbuk yang tenggelam, tidak membentuk sudut kontak dengan permukaan cairan. Wetting agent bekerja dengan menurunkan tegangan antarmuka sehingga akan menurunkan sudut kontak dan serbuk mudah dibasahi. Wetting agent yang sering digunakan adalah gliserin, sirup, propilen glikol dan PEG.

Selain itu, pada sediaan suspensi dapat pula ditambahkan zat tambahan, seperti penambah rasa misalnya sirup atau larutan gula lainnya, pemberi aroma, dan pengawet misalnya asam benzoat 0,1%, natrium benzoat 0,1%, kombinasi metil paraben (nipagin) 0,05% dan propil paraben (nipasol) 0,03%.

Terdapat dua sistem dalam suspensi yaitu flokulasi dan deflokulasi. Sistem yang diinginkan adalah flokulasi. Pada flokulasi, partikel bergabung membentuk agregat longgar dengan afinitas (gaya kohesi) antar partikel yang lemah, partikel cenderung lebih cepat mengendap tetapi tidak membentuk endapan yang sukar diresuspensi (cake). Kelemahannya, wujud suspensi yang dibuat tidak menyenangkan karena terlihat pemisahan antara 2 fase yaitu fase dispers dan medium dispers akibat tingginya kecepatan pengendapan fase dispers. Sedangkan pada sistem deflokulasi, partikel-partikel kecil fase dispers terpisah satu dengan yang lain dengan kecepatan pengendapan lebih lambat, tetapi terbentuk cake yang sukar disuspensikan kembali. Keuntungan dari sistem deflokulasi ini, wujud suspensi yang dibuat menyenangkan, tidak terlihat adanya pemisahan antara fase dispers dan medium dispers dan supernatan tetap berkabut walaupun sudah terbentuk endapan.

Metode pembuatan suspensi ada 2 (dua) yaitu: 1. Metode Dispersi

Pada metode dispersi, serbuk obat dibasahi dengan wetting agent kemudian didispersikan dalam cairan pembawa.

2. Metode Presipitasi

Pada metode presipitasi, serbuk obat yang hendak didispersikan, dilarutkan dalam pelarut organik yang bisa campur dengan air. Setelah larut dalam pelarut organik tersebut, kemudian ditambahkan larutan pensuspensi dalam air.

Contoh resep suspensi:

Champora 3 Liq. Plumbi Subasetat q.s Gliserin

Aqua

Cara peracikan: ZnO diayak terlebih dahulu kemudian dibasahi dengan gliserin. Champora ditetesi dengan spiritus fortior, lalu dicampurkan dengan ZnO yang telah dibasahi dengan gliserin. Setelah itu ditambah Liq. Plumbi Subasetat dan aqua.

R/ Phenacetin 6 Metil selulosa 3% 30 Alkohol 20 Gliserin 3 Tween 60 1 Eliksir thiamin ad 100

Cara peracikan: Phenacetin dibasahi dengan gliserin, kemudian dicampur dengan Tween 60 dan mucilago metil selulosa 3%. Kemudian dicampur dengan campuran alkohol dan eliksir thiamin.

VI.4. EMULSI

Emulsi merupakan sediaan cair, mengandung bahan obat cair yang terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi / emulgator / emulsifying agent. Jadi ada 3 komposisi utama dalam emulsi yaitu fase dispersi/fase internal/fase diskontinu, medium dispersi/fase eksternal/fase kontinu, dan emulgator. Emulgator berfungsi untuk menstabilkan emulsi dengan mencegah koagulasi atau penyatuan partikel-partikel kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya memisah, sehingga dihasilkan emulsi yang stabil.

Ada 2 (dua) tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (emulsi O/W atau emulsi M/A) dan emulsi air dalam minyak (emulsi W/O atau emulsi A/M). Pada emulsi tipe O/W (M/A), fase dispersinya adalah minyak dan medium dispersinya adalah air, sedangkan pada emulsi tipe W/O (A/M), fase dispersinya adalah air dan medium dispersinya adalah minyak. Tipe emulsi tergantung pada emulgatornya. Emulgator yang larut dalam air akan membentuk

emulsi tipe M/A, sedangkan emulgator yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam minyak, akan membentuk emulsi dengan tipe A/M.

Linimentum amoniae R/ Ol. Sesami

Acid oleinic crud Amoniae

Pada resep Linimentum amoniae, yang berperan sebagai emulgator adalah sabun ammonium. Sabun ammonium dapat larut dalam air sehingga emulsi yang terbentuk adalah emulsi tipe O/W atau M/A.

Linimentum calcis R/ Ol. Lini

Aq. Calcis

Pada resep Linimentum calcis, yang berperan sebagai emulgator adalah sabun kalsium. Sabun kalsium larut dalam minyak sehingga emulsi yang terbentuk adalah emulsi tipe W/O atau A/M.

Ada beberapa cara membedakan kedua tipe emulsi tersebut, antara lain: 1. Dengan pengenceran

Emulsi tipe M/A, dapat diencerkan dengan air tetapi tidak dapat diencerkan dengan minyak. Sedangkan emulsi tipe A/M, dapat diencerkan dengan minyak tetapi tidak dapat diencerkan dengan air.

2. Dengan zat warna

Dengan zat warna Sudan III yang dapat larut dalam minyak, emulsi tipe M/A tidak berwarna sedangkan emulsi tipe A/M akan membentuk warna merah. Dengan menggunakan zat warna metilen blue yang dapat larut dalam air, emulsi tipe M/A akan membentuk warna biru sedangkan emulsi tipe A/M tidak berwarna.

3. Metode konduktivitas listrik

Dengan menggunakan metode ini, apabila elektrode yang dihubungkan dengan lampu indikator, dicelupkan kedalam emulsi maka emulsi tipe M/A akan menyebabkan lampu indikator menyala sedangkan emulsi tipe A/M tidak menyebabkan lampu indikator menyala (lampu mati). Hal ini disebabkan karena air merupakan konduktor atau

penghantar listrik yang baik sedangkan minyak bukan merupakan penghantar listrik yang baik.

Tipe emulsi yang akan kita pilih dalam membuat sediaan emulsi farmasi tergantung dari cara penggunaan sediaan yang kita inginkan. Emulsi tipe O/W (M/A), biasanya lebih disukai untuk penggunaan secara oral, karena rasa tidak enak dan bau tidak sedap dari minyak lebih dapat ditutupi dan fase dispersi yang berupa minyak lebih mudah disesuaikan oleh sistem emulsi. Sedangkan emulsi tipe W/O (A/M) biasanya digunakan untuk penggunaan obat secara eksternal, misalnya untuk sediaan lotion atau krim. Dengan memilih tipe emulsi yang sesuai dengan cara penggunaan obat ynag kita inginkan, absorpsi dan penetrasi obat dapat dipercepat atau diperlambat sesuai kebutuhan. Misalnya, antiseptik dan beberapa obat lainnya lebih efektif jika diberikan dalam bentuk emulsi tipe O/W (M/A). Emulsi tipe W/O (A/M) yang digunakan secara eksternal, memberikan efek emollient lebih besar, lebih lembut dan memberikan aksi terapetik lebih panjang.

Emulsi dikatakan tidak stabil jika:

1. Fase dispers membentuk agregat pada pendiaman 2. Agregat membentuk lapisan pekat fase dispers

3. Semua/sebagian fase dispers tidak teremulsi dan membentuk lapisan Faktor-faktor yang dapat memecah emulsi sehingga emulsi tidak stabil adalah:

• Kimia : penambahan bahan yang dapat menarik air (CaO, CaCl2), penambahan garam dan alkohol yang menyebabkan perubahan viskositas

• Fisika : Pemanasan, pendinginan, penyaringan, pemutaran dengan sentrifuge

Pemanasan mengakibatkan viskositas medium dispersi menurun, pendinginan mengakibatkan air cenderung memisah, penyaringan mengakibatkan butir-butir fase intern/fase dispers menjadi satu sehingga emulsi tidak stabil.

Bentuk-bentuk ketidakstabilan emulsi antara lain: • Creaming

Merupakan suatu kondisi dimana emulsi terpisah menjadi 2 lapisan, lapisan yang satu mengandung butir fase dispers lebih banyak daripada lapisan yang lain. Proses ini bersifat reversible (dapat terbalikkan) dengan penggojogan ringan.

Cracking dan Breaking

Merupakan suatu kondisi dimana emulsi retak dan pecah, memisah menjadi 2 lapisan yang tidak saling campur. Keadaan ini bersifat irreversible (tidak dapat terbalikkan).

pula disebabkan karean adanya perubahan viskositas akibat penambahan garam, alkohol, dan bahan-bahan yang dapat menarik air, perubahan pH yang ekstrem, perubahan temperatur dan pengadukan kuat yang berlebihan.

Emulgator untuk sediaan emulsi farmasi, harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: 1. Tidak toksik

2. Stabil, tidak terurai

3. Dapat campur dengan bahan-bahan lain 4. Tidak mempengaruhi terapi obat

Beberapa emulgator yang sering digunakan dalam pembuatan emulsi farmasi, antara lain: Karbohidrat:

1. Pulvis Gummi Arabicum (PGA), yang dapat larut dalam air dan menghasilkan emulsi tipe M/A. Untuk membuat emulsi dari minyak-minyak, diperlukan 1 bagian gom arab untuk mengemulsikan 4 bagian minyak. Untuk minyak menguap, diperlukan 1 bagian gom untuk mengemulsikan 2 bagian minyak menguap, kadangkala untuk minyak menguap dengan viskositas rendah, diperlukan 1 bagian gom untuk mengemulsikan 1 bagian minyak menguap. Gom arab sebagai emulgator menghasilkan emulsi dengan viskositas rendah dan cenderung mengalami creaming. Oleh karena itu, biasanya gom arab dikombinasikan dengan emulgator lain yang lebih viscous/kental, seperti tragacanth, agar-agar atau pektin.

2. Tragacanth, tidak larut dalam air tetapi mengembang dan menghasilkan larutan yang

viscous/kental, sehingga tidak stabil dan kurang halus. Tragacanth sering digunakan sebagai emulgator bersama dengan gom arab sehingga dihasilkan emulsi yang lebih kental dan untuk mencegah creaming. Untuk tujuan tersebut, biasanya digunakan 0,1 gram tragacanth per 1 gram gom arab.

3. Pulvis Gummosus 4. Agar-agar (1,5-2%) 5. CMC 0,5-1% Protein

Emulgator protein akan membentuk emulsi tipe M/A 1. Kuning telur

Emulsi yang dihasilkan dengan emulgator kuning telur, tergantung pada kondisi dan umur telur. Telur yang masih baru, akan menghasilkan emulsi seperti krim dan kecenderungan pemisahannya rendah. Sedangkan emulsi dengan emulgator telur yang berumur tua, lebih kasar dan warna kuning yang terjadi lebih tajam. Biasanya

Dalam dokumen langkah formulasi strategi anal (2) (Halaman 96-117)