• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompleks Vulkanik Krakatau terletak di Selat Sunda, Lampung Selatan terdiri atas empat pulau, yaitu Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau. Krakatau menjadi gunungapi terkenal di dunia karena letusan dahsyat (paroksismal) pada 27 Agustus 1883. Setelah 44 tahun tidak ada kegiatan, erupsi baru terjadi di pusat kaldera, tepatnya di antara kawah Danan dan Perbuatan pada 29 Desember 1927, yang menandai kelahiran Gunung Anak Krakatau, secara geografi terletak pada koordinat 6°06’05,8” LS dan 105°25’22,3” BT, dan secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Kompleks Gunungapi Krakatau dapat dicapai dari beberapa jalur laut. Jalur pertama berangkat dari

Informasi Umum

Pelabuhan Tanjung Priuk dengan menggunakan kapal Jet-Foils atau Kapal Pesiar. Jalur kedua dapat ditempuh dari Pelabuhan Labuan, kota kecamatan di pantai barat Banten, dari pelabuhan ini dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang berkapasitas antara 5 sampai 20 orang. Jalur ketiga ditempuh dari Pelabuhan Canti, Kalianda, di pelabuhan ini juga dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang akan menempuh Krakatau melalui P. Sebuku dan P. Sebesi. Waktu yang paling baik untuk berkunjung ke Krakatau adalah pada musim panas, yaitu antara Mei sampai September dari arah Jakarta, Banten maupun dari Kalianda. Kompleks vulkanik ini tidak berpenduduk, tetapi dijadikan objek daya tarik pariwisata yang bertujuan untuk penelitian ilmiah atau menikmati pemandangan alamnya.

Anak Krakatau 77 Foto letusan strombolian tanggal 22 Juli 2018 (atas), letusan diikuti aliran lava 16 September 2018 (kiri bawah), dan kondisi kawah pada 12 November 2019 (kanan bawah).

Sejarah dan Karakteristik Letusan

Krakatau diketahui dalam sejarah pada saat terjadi letusan besar pada 416 SM, yang menyebabkan tsunami dan pembentukan kaldera. Letusan paroksismal pada 27 Agustus 1883 dianggap kejadian terbesar dalam sejarah letusannya, melontarkan rempah vulkanik dengan volume 18 km3, tinggi asap 80 km dan menimbulkan gelombang pasang (tsunami) setinggi 30 m di sepanjang pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung. Tsunaminya menewaskan 36.417 jiwa. Diperkirakan 2000 orang tewas di Sumatera bagian selatan oleh “abu panas” dan terdapat bukti nyata bahwa piroklastik mencapai jarak tersebut. Sebanyak 3150 jiwa tewas diarah piroklastik ini, pada pulau-pulau antara Krakatau dan Sumatera.

Krakatau tenang kembali mulai Februari 1884 sampai Juni 1927, ketika pada 11 Juni 1927 erupsi yang berkomposisi magma basa muncul di pusat komplek Krakatau, yang dinyatakan sebagai kelahiran G. Anak Krakatau.

Catatan sejarah kegiatan vulkanik G. Anak Krakatau sejak lahirnya 11 Juni 1930 hingga 2017, telah mengadakan

erupsi, baik bersifat eksplosif maupun efusif. Dari sejumlah letusan tersebut, pada umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya. Waktu istirahat berkisar antara 1 - 8 tahun dan umumnya terjadi 4 tahun sekali berupa letusan abu dan leleran lava.

Letusan pada 22 Desember 2018 diketahui didahului dengan terjadinya gempa tektonik dengan kekuatan 5 SR, yang diikuti oleh kejadian kejadian longsoran tubuh G. Anak Krakatau. Longsoran tersebut mengakibatkan tsunami yang melanda wilayah Lampung Selatan dan pantai Utara Banten dan menyebabkan korban jiwa. Letusan terjadi secara menerus hingga tanggal 26 Desember 2018.

Aktivitas yang biasa terjadi hingga saat ini berupa letusan tipe volcano menghasilkan abu dan pasir kemungkinan awan panas berselingan dengan tipe strombolian menghasilkan lontaran batu (pijar)/bom vulkanik, sering diakhiri dengan leleran lava, sedangkan lahar tidak pernah terjadi.

Anak Krakatau 79 Pemantauan Gunung Anak Krakatau secara permanen

dilakukan sejak 1985 dari Pos Pengamatan Gunungapi (PGA) G. Anak Krakatau di Pasauran, Serang, dengan menggunakan satu komponen seismograf sistem telemetri radio (RTS) jenis PS-2, kemudian pada 1995 dibangun pos pengamatan lainnya yang berlokasi di Desa Hargopancuran, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan dengan tujuan agar Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan yang memiliki wilayah Krakatau dapat menerima informasi kegiatan G. Anak Krakatau secara langsung. Pengamatan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau saat ini menggunakan metode visual, kegempaan, deformasi, dan infrasound dilakukan secara menerus. Sistem pemantauan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau terdiri dari 4 (lima) stasiun seismik (St. Tanjung, St. Lava93, St. Sertung, St. Pulosari), 2 (dua) stasiun Tiltmeter (Puncak, Tanjung), satu GPS (Lava93), 3 (tiga) Infrasound (Lava93, Pos PGA Pasauran, Po PGA Kalianda), dan tiga kamera CCTV (Puncak, Lava93, Pos PGA Pasauran).

Sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan penanggulangan bencana gunungapi kaitannya dengan kemungkinan bahaya tsunami, terutama di daerah pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung, walaupun hal ini masih jauh namun perlu diantisipasi. Pembuatan struktur pemecah gelombang ataupun penanaman tanaman (mangrove) di sepanjang pantai-pantai yang berpotensi dilanda tsunami dan pemasangan sistem peringatan dini tsunami.

Memberdayakan masyarakat yang bermukim di kawasan yang rawan bahaya tsunami bagaimana menyelamatkan diri dari bahaya tsunami dan tindakan apa yang perlu dilakukan bila sewaktu-waktu terjadi tsunami.

Bila erupsi nampak menerus, perencanaan dan komunikasi sangat penting. Pemerintah Daerah, perhotelan, pelaku

Strategi Mitigasi

bisnis wisata, dan masyarakat lainnya harus diberi informasi situasinya.

Kawasan Rawan Bencana dan Potensi Ancaman Jiwa

Berdasarkan tingkat kegiatan, sejarah kegiatan/frekuensi erupsinya, Anak Krakatau mirip dengan gunungapi Merapi (Jawa Tengah) diklasifikasikan sebagai gunungapi sangat giat/sering meletus. Sesuai dengan ketentuan Standardisasi Nasional Indonesia nomor SNI 13-4689-1998, Peta Kawasan Rawan Bencana G. Anak Krakatau dibagi dalam tiga tingkat kerawanan dari rendah ke tinggi, yaitu Kawasan Rawan Bencana I, Kawasan Rawan Bencana II, dan Kawasan Rawan Bencana III.

Kawasan Rawan Bencana I

Kegiatan yang terjadi hingga saat ini, Krakatau sangat jarang menghasilkan awan panas yang biasa membentuk lahar, sehingga bahaya lahar dianggap tidak ada. Berdasarkan produk erupsi yang saat ini, Kawasan Rawan Bencana I hanya berpotensi terkena hujan abu tanpa memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran batu (pijar). Berdasarkan erupsi terdahulu yang terjadi sejak lahirnya Anak Krakatau hingga saat ini, bila jatuhan piroklastik ukuran kerikil dapat mencapai 5 km dari pusat erupsi, maka pasir dan abu dapat mencapai lebih jauh lagi hingga 8 km tergantung kuatnya tiupan angin saat erupsi terjadi. Pada jarak tersebut, di sekitar Anak Krakatau hanya terdapat pulau-pulau Rakata, Sertung dan Panjang yang tidak berpenduduk, kecuali sewaktu-waktu pengunjung insidentil terdiri atas wisatawan dan kemungkinan nelayan.

Kawasan Rawan Bencana II

Secara umum Kawasan Rawan Bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, lontaran batu (pijar), hujan abu lebat dan aliran lahar. Telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa dalam waktu sejarah di Krakatau awan panas jarang terjadi. Selain dari pada itu, sungai sebagai pengangkut lahar juga tidak ada, sehingga selain tidak ada bahaya lahar juga tidak membahayakan

karena tidak ada penduduk yang bermukim di Krakatau. Kawasan Rawan Bencana II ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Kawasan Rawan Bencana II terhadap aliran massa, aliran lava, dan awan panas. Data geologi dan sejarah kegiatan Anak Krakatau menunjukkan bahwa produk letusan Anak Krakatau sejak lahirnya dan erupsi-erupsi setelahnya banyak menghasilkan lava, sementara aliran piroklastik/awan panas jarang terjadi. Lereng timur-timurlaut, baratdaya dan barat lebih berpotensi dilalui aliran lava.

b. Kawasan Rawan Bencana II terhadap bahaya lontaran dan hujan abu lebat. Bahaya lontaran adalah semua jenis batuan letusan yang dilontarkan ke udara berupa bom vulkanik (kerak, roti), jatuhan piroklastik/hujan abu lebat dan juga pecahan batuan tua (fragmen lithik). Batas kawasan ini berbentuk lingkaran dengan radius 5 km dari pusat erupsi. Pada jarak 5 km di sekitar Anak Krakatau terdiri atas pulau-pulau Rakata Besar, Sertung, dan Panjang yang merupakan pulau-pulau terdekat tidak berpenduduk, sedangkan pulau yang berpenduduk adalah Sebesi berjarak lk. 30 km sebelah utara Anak Krakatau.

Kawasan Rawan Bencana III

Secara umum, berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 13-4689-1998) Kawasan Rawan Bencana III adalah kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), dan gas racun. Sejak lahirnya Anak Krakatau pada 1927 hingga erupsi terakhir, hanya menghasilkan aliran lava dan abu serta lontaran batu (pijar) dan kadang-kadang dan awan panas, apalagi guguran batu (pijar) dan gas racun tidak pernah terjadi. Kawasan Rawan Bencana III hanya diperuntukan bagi

Anak Krakatau 81 gunungapi yang sangat giat atau sering meletus. Telah

disebutkan bahwa Krakatau termasuk gunungapi sangat giat atau sering meletus. Pada Kawasan Rawan Bencana III tidak diperkenankan untuk hunian tetap dan aktivitas lainnya (komersial).

Kawasan Rawan Bencana III terdiri atas dua bagian, yaitu: a. Kawasan Rawan Bencana III yang sering terlanda aliran

massa berupa: lava, dan kemungkinan awan panas. Peta geologi Krakatau menunjukkan bahwa aliran lava mendominasi tubuh Krakatau, dimana sebarannya hampir ke sekeliling lerengnya kecuali lereng timur-timurlaut, dan jarak sebarannya umumnya mencapai pantai hingga laut lk. 1,5 km. Erupsi Krakatau jarang menghasilkan awan panas, sebarannya hanya terbatas di daerah puncak.

b. Kawasan Rawan Bencana III yang sering terlanda material lontaran berupa bom vulkanik dan lontaran batu lainnya, serta jatuhan piroklastik (hujan abu lebat). Sebaran lontaran batu (pijar)/bom vulkanik mencapai jarak 500 m hingga 1,0 km dari pusat erupsi, sedangkan yang berukuran kerikil dan lebih kecil dapat mencapai 2 km dari pusat erupsi.

Potensi penduduk yang terancam di kawasan rawan bencana I, II, dan III Gunung Anak Krakatau tidak ada karena pada ketiga KRB ini tidak berpenduduk. Potensi ancaman hanya membahayakan kepada pengunjung yang terdiri atas wisatawan atau nelayan yang kebetulan berada di kawasan rawan bencana tersebut.

Gede 83

Gede13