• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Sofyan Primulya

Sorik Marapi merupakan salah satu gunungapi aktif tipe A di Indonesia yang mempunyai danau kawah dengan airnya yang bersifat asam di bagan puncaknya. Secara administrasi, Sorik Marapi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Posisi geografis puncak 0°41’11.72”LS dan 99°32’13,09” BT serta ketinggian 2145 m dpl (di atas muka laut). Pos Pengamatan Gunung Sorik Marapi berada di Desa Sibanggor Tonga, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Dari kajian geologi, kemunculan G. Sorik Marapi diduga berhubungan dengan aktivitas Sesar Besar Sumatera (Semangko) yang berarah barat laut – tenggara. Di sekitar

Informasi Umum

tubuh gunungapi ini banyak terdapat manifestasi aktivitas vulkanik berupa solfatara/fumarola, kolam lumpur (mud pool), dan mata air panas, diantaranya Mata Air Panas Binanga, Sopotinjak, Purba Julu, Roburan Dolok-1, Roburan Dolok-3, Sibanggor Tonga-1 dan Sibanggor Tonga-2. Mata Air Panas Roburan Dolok-2 dan Mata Air Panas Sampuraga. Suhu solfatara di puncak Kawah sangat bervariasi antara 90°C- 249°C.

Gunung Sorik Marapi merupakan gunungapi yang produk erupsinya berkomposisi andesitik hingga andesitik basaltik, merupakan komposisi yang umum ditemukan di gunung-gunung berapi yang berada di jalur busur Sunda.

Sorik Marapi 25

Sejarah dan Karakteristik Letusan

Catatan sejarah letusan Sorik Marapi tidak begitu banyak, yaitu tahun 1830, 1879, 1892, 1893, 1917 dan 1970. Karakter letusan pada umumnya berupa letusan freatik berupa abu disertai lontaran batu, atau semburan lumpur dari kawah pusat karena adanya air danau kawah. Tahun 1830 dan 1879 terjadi letusan fretik dari kawah pusat menghasilkan abu, lumpur, dan lontaran material berukuran bomb. Pada 21 Mei 1892 terjadi letusan yang mengakibatkan timbulnya 2 buah lubang di kawah puncak. Endapan letusan ini telah menimbulkan lahar yang menelan korban jiwa 180 orang di Desa Sibangor, Pada Bulan Januari 1893 terjadi letusan

freatik berupa lumpur dan lontaran batu dari fumarola Sibangor Julu. Pada tanggal 20 Mei 1917 terjadi letusan freatik berupa abu selama 3 jam, disertai dentuman hebat terdengar sampai Kotanopan. Dan terakhir pada tahun 1970 terjadi letusan freatik berupa abu. Tahun 1987 terjadi peningkatan temperatur di solfatar Sibangor Julu dari 95°C menjadi 119° C yang diikuti oleh semburan lumpur panas. Kondisi saat ini, seringkali terjadi peningkatan temperatur pada solfatara di tubuh G. Sorik Marapi, serta sering diikuti oleh peningkatan kegempaan.

Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (KRB) adalah kawasan yang pernah terlanda atau diidentifikasi berpotensi terancam bahaya erupsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi merupakan peta petunjuk tingkat kerawanan yang berpotensi menimbulkan bencana pada suatu kawasan apabila terjadi erupsi gunungapi. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi disusun berdasarkan data geologi, kegunungapian, sebaran permukiman, dan infrastruktur. Peta ini memuat informasi tentang jenis bahaya gunungapi, daerah rawan bencana, arah/jalur penyelamatan diri dan lokasi pengungsian. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Lamongan hanya berlaku dengan syarat-syarat: erupsi terjadi di kawah pusat, arah erupsi kurang lebih tegak lurus, tidak terjadi pembentukan kaldera, morfologi puncak gunungapi relatif tidak berubah. Sehingga apabila terjadi erupsi/kegiatan baru yang menyimpang atau lebih besar dari erupsi/kegiatan normal maka Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi direvisi kembali.

Di Sorik Marapi, Kawasan Rawan Bencana III (KRB III) merupakan kawasan yang sangat berpotensi terlanda aliran piroklastik (awan panas), aliran lava, aliran lahar, lontaran batu (pijar), serta hujan abu lebat. Di KRB III yang sangat berpotensi terancam oleh material aliran berada di daerah puncak serta kaki gunung hingga ketinggian sekitar 1600 m dari puncak, dengan radius 1 km hingga 3 km.

Di KRB III sangat berpotensi tertimpa oleh lontaran batu (pijar) berdiameter lebih dari 64 mm hingga radius 1,5 km dari puncak. Di wilayah KRB III ini tidak terdapat pemukiman penduduk.

Kawasan Rawan Bencana II (KRB II) merupakan kawasan yang berpotensi terlanda perluasan aliran lava, guguran lava, lahar, lontaran batu (pijar, serta hujan abu (lebat).

KRB dan Potensi Ancaman Jiwa

Di KRB II yang berpotensi terancam oleh material aliran merupakan perluasan dari daerah KRB III meliputi kaki gunung hingga ketinggian sekitar 1000 m dari puncak. Beberapa pemukiman yang berpotensi terlanda oleh material aliran yaitu Desa Hutabaringin Julu, Desa Huta Baringin, Desa Sibanggor Julu, Desa Huta Lombang, Desa Tanabato, Desa Pagaran Gala-Gala, dan Desa Bulu Soma. Di KRB II yang berpotensi tertimpa oleh lontaran batu (pijar) berdiamater maksimum 64 mm hingga radius 6 km dari puncak. Desa-desa yang berpotensi tertimpa oleh lontaran batu, yaitu: Hutabaringin Julu, Huta Baringin, Sibanggor Julu, Huta Lombang, Tanabato, Pagaran Gala-Gala, Sopotinjak, Bulu Soma, Huta Baru, Sibangor Jae, Huta Julu, Huta Raja, Hutana Male, dan Desa Tarlola. Berdasarkan data dari Disdukcapil tahun 2018, total jumlah penduduk yang bermukim di desa-desa tersebut adalah 9.049 orang atau 2.217 kepala keluarga.

Kawasan Rawan Bencana I (KRB I) merupakan kawasan yang berpotensi terlanda aliran lahar, lontaran batu, serta hujan abu. Wilayah pemukiman yang berpotensi terlanda aliran lahar merupakan desa-desa yang yang dilalui oleh aliran dari sungai-sungai yang berhulu di puncak atau sekitar puncak, diantara Batang Binanga, Batang Roburan, Batang Pancur, Batang Sibanggor, Batang Namilas, Batang Sitinjak, Batang Sipalis, Batang Antunu, dan Batang Sampean. Desa-desa yang dilalui oleh aliran sungai tersebut diantaranya: Desa Hutabaringin Julu, Desa Huta Baringin, Desa Sibanggor Julu, Desa Huta Lombang, Desa Tanabato, Desa Pagaran Gala-Gala, Desa Bulu Soma, Desa Huta Baru, Desa Sibangor Jae, Desa Huta Julu, Desa Huta Raja, Desa Hutana Male, dan Desa Tarlola.

Di Kawasan Rawan Bencana I (KRB I) yang berpotensi terlanda oleh lontaran batu berdiameter kurang dari

Sorik Marapi 27 10 mm hingga radius 8 km dari puncak. Untuk material

lontaran yang berukuran lebih kecil seperti abu dan lapili halus maka arah sebarannya nya akan lebih bergantung kepada arah dan kecepatan angin. Berdasarkan data

dari Disdukcapil tahun 2018, total jumlah penduduk yang bermukim di desa-desa tersebut adalah 11.063 orang atau 2714 kepala keluarga.