• Tidak ada hasil yang ditemukan

P ERSEPSI ASN BPS P ROVINSI S UMATERA U TARA TENTANG 6 ( ENAM )

BAB V. PEMBAHASAN

5.1. P ERSEPSI ASN BPS P ROVINSI S UMATERA U TARA TENTANG 6 ( ENAM )

Menurut Rakhmat (2004:51) persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sama halnya dengan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang merupakan ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara pastinya memiliki berbagai pengalaman dengan menyimpulkan informasi dan menafsiran Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V2018 tentang 6 (enam) ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN.

Informasi tentang ujaran kebencian dan hoax sebelumnya telah dikumpulkan oleh PPK selama melakukan interaksi di kehidupan sosialnya. Hal tersebut terlihat dari ungkapan-ungkapan PPK tentang pengetahuan mereka terhadap ujaran kebencian dan hoax yang diperoleh dari televisi, media internet, informasi yang disampaikan oleh orang lain ketika berdiskusi di masyarakat ataupun di media

Universitas Sumatera Utara

sosial. Kegiatan PPK untuk mengumpulkan berbagai macam informasi (stimuli) tersebut merupakan pengorganisasian. Menurut Mullet, K & Sano, D (1995) dalam Liliweri (2016:172) ‗organisasi‘ sebagai tahap pembentukan tidak dapat dipisahkan dari teori Gestalt dimana setiap individu selalu menerima stimulus (informasi yang tampil dalam bentuk potongan-potongan). Cara terbaik menginterpretasikan potongan-potongan (informasi) tersebut adalah dengan mengelompokkan ke dalam satuan-satuan berdasarkan karakteristik tertentu.

Seluruh informasi tentang ujaran kebencian dan hoax yang pernah diterima oleh masing-masing PPK akan disimpan ke dalam memori dan akan dipanggil kembali ketika PPK mengingat informasi tertentu.

Pengetahuan tentang ujaran kebencian dan hoax dimiliki oleh PPK dapat dibaca dari ungkapan-ungkapan PPK berikut: ujaran kebencian berarti membenci atau mencela terhadap sesuatu, sedangkan hoax merupakan berita palsu yang saat ini masif disebarkan dan mengkhawatirkan, dapat merusak anak bangsa, menjadi sumber pertikaian dan perpecahan bangsa. Kemampuan untuk menyatakan jawaban-jawaban tentang pertanyaan peneliti tersebut tidak terlepas dari kemampuan PPK untuk memanggil kembali memori yang telah tersimpan tentang ujaran kebencian dan hoax. Proses memanggil kembali (recall) menurut Devito (2009) dalam Liliweri (2016:173) dibagi menjadi empat jenis: yaitu (1) perception recall yakni kemampuan mengakses apa yang harus dipersepsikan berdasarkan ingatan, (2) free recall yaitu mengingat kembali suatu peristiwa namun mempunyai efek kebaruan pada saat sekarang, (3) Cued recall kegiatan merangsang daya ingat kemudian diuji dengan bantuan satu isyarat atau kata

Universitas Sumatera Utara

tertentu, (4) Serial recall adalah kemampuan untuk mengingat urutan item kejadian suatu peristiwa, kemampuan ini diuji dengan mengingat kembali hal-hal penting melalui penggunaan bahasa. PPK yang menyatakan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang enam aktivitas ujaran kebencian tersebut termasuk kedalam perception recall yakni kemampuan mengakses apa yang harus dipersepsikan berdasarkan ingatan. Pengetahuan tentang ujaran kebencian dan hoax yang diperoleh ketika menerima informasi dari televisi, membaca berita konvensional dan online, mendengarkan dari orang lain, diakses kembali untuk memberikan jawaban terhadap seluruh pertanyaan peneliti.

Setelah proses pemanggilan kembali tersebut, PPK memberikan interpretasi dan memberikan makna terhadap 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin. Tafsiran dan proses memberikan makna tersebut dapat dibaca dari ungkapan-ungkapan PPK berikut ini: 6 (enam) ujaran kebencian masih harus dirincikan kembali karena berpotensi multi tafsir, aktivitas membenci tidak dapat ditujukan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal IKA karena bukan individu oleh karenanya harus dijelaskan kembali. Petunjuk pelaksanaan diperlukan sebagai tolak ukur untuk mengukur bahwa postingan di media sosial yang bagaimana dapat dianggap membenci pemerintah, suku agama, ras dan antar golongan, agar tidak dianggap ‗kriminalisasi‘ ASN.

Peneliti dalam wawancara memperoleh data yang sangat bervariasi, hal tersebut diperoleh dengan menggali respon setuju atau tidak setuju, senang-tidak senang dari PPK, di sisi lain kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa Peneliti juga memendam perasaan yang sama (respon setuju atau tidak setuju,

senang-Universitas Sumatera Utara

tidak senang, dan lain sebagainya). Dari apa yang dipaparkan oleh PPK, Hammad (2017:109) menyatakan bahwa interpretasi terjadi ketika kita memaknai isyarat-isyarat dalam lingkungan kita, apakah kita mengganggapnya penting atau sepele, serius atau lucu, baru atau lama, bertentangan atau konsisten, lucu atau mengkhawatirkan. Interpretasi yang dilakukan PPK terhadap 6 (enam) ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin dianggap penting, serius dan mengkhawatirkan.

PPK memaknai secara berbeda stimulus rilis BKN nomor 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin, hal tersebut dapat dibaca dari ungkapan-ungkapan yang disampaikan. Ungkapan informan bahwa rilis BKN tersebut layak untuk diterapkan karena masifnya ujaran kebencian dan hoax, keinginan untuk kedamaian tanpa adanya permusuhan yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian hoax, ketentuan rilis BKN yang multi tafsir, dapat disalah gunakan oleh pemerintah yang berkuasa, adanya sikap tidak adil pemerintah ketika menjalankan suatu peraturan dengan melakukan tebang pilih dalam penerapan suatu ketentuan, mengandung nilai-nilai emosional dan evaluatif. Kerap (1994) dalam Sobur (2003: 266) mengatakan bahwa makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, makna evaluatif. Makna konotatif adalah makna yang menggambarkan stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional.

Persepsi PPK terhadap enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN bervariasi. Persepsi PPK yang menyatakan setuju diterapkannya ketentuan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 berpendapat

Universitas Sumatera Utara

bahwa makin masifnya aktivitas ujaran kebencian dan hoax semakin mengkhawatirkan. Sebagai upaya antisipasi, 6 (enam) akitivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin dapat mencegah ASN untuk menyebarkan berita bermuatan ujaran kebencian dan hoax. Ketentuan Rilis BKN sama sekali tidak mengekang ASN sebagai individu dan mendukung untuk dilaksanakan. Adapun 6 (enam) aktifitas ujaran kebencian yang diatur dalam Rilis BKN No.006/RILIS/BKN/V/2018 telah mengakomodir aktivitas atau perbuatan menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial, yang sebelumnya tidak tidak pernah diatur didalam Peraturan Pemerintah (PP) 53 tahun 2010 tentang hukuman disiplin pegawai negeri sipil.

Berbeda dengan PPK yang menyatakan ketidaksetujuan diterapkan ketentuan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian dikarenakan ketentuan Rilis BKN tersebut bersifat multi tafsir, mengekang pribadi ASN dalam menyampaikan pendapat, perlunya aturan pelaksanaan agar ketentuan Rilis BKN tidak dianggap sebagai upaya pemerintah untuk meredam kritik. ASN bukan abdi pemerintah melainkan abdi negara, oleh karenanya tetap dapat menyampaikan kritik bahkan kepada pemerintah.

Untuk melengkapi proses penelitian, peneliti melakukan triangulasi terhadap temuan penelitian dan melakukan wawancara kepada Ibu Nurbani selaku pakar dalam psikologi komunikasi. Menyikapi dengan santai, Ibu Nurbani menjawab bahwa perbedaan persepsi wajar terjadi, berikut penuturannya,

―Wajar, setiap orang mempersepsikan berdasarkan nilai-nilai yang mereka yakini benar. Ketika dia menganggap bahwa nilai-nilai pada ketentuan itu

Universitas Sumatera Utara

(Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018) sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya, maka dia positif melihatnya, kalau tidak sesuai dengan nilai dirinya maka sebaliknya. Persoalannya sekarang, setiap orang melihat nilai-nilai ini berbeda-beda.‖

Peneliti menemukan fenomena yang menarik untuk dianalisi, bahwa informan yang telah menafsirkan ketentuan rilis BKN No.

006/RILIS/BKN/V/2018 pada dasarnya mengetahui dan memahami substansinya, bahkan mengetahui terdapat sanksi yang diatur apabila suatu peraturan dilanggar atau tidak dilaksanakan. Persepsi PPK yang tidak setuju diterapkannya ketentuan rilis BKN tersebut memunculkan pertanyaan, mengapa PPK yang mengetahui dan memahami suatu peraturan tetapi memilih untuk tidak melaksanakannya dengan berbagai alasan atau penjelasan?

Ketidaksesuaian yang dirasakan informan harus jelas-jelas disampaikan agar mengetahui apa-apa saja keberatan yang dirasakan. Ibu Nurbani mengungkapkan bahwa peraturan tersebut sudah dikaji sebelum itu di laksanakan. Dan keberatan-keberatan dari ASN dimaksud terkait materi apa, sehingga menjadi jelas. Berikut penuturannya,

―Biasanya peraturan yang dibuat sudah terlebih dahulu dikaji oleh pembuat kebijakan. Yang membuat peraturan sudah mengkaji itu (Rilis BKN No.

006/RILIS/BKN/V/2018), nah kalau misalnya keberatan maka ASN harus menjelaskan keberatannya dibagian mana? Yang pertama, keberatan tersebut tidak berkaitan dengan kepentingan pribadi. Sebagai ASN menjalankan peraturan adalah tugas, sudah melakukan prediksi akan keberatan-keberatan tersebut. Tetapi orang terkadang mencoba melihat sesuatu itu lebih banyak berdasarkan kepentingan pribadinya. Itu yang saya lihat.‖

Fenomena terjadinya perasaan tidak nyaman karena beberapa elemen dalam diri seseorang seperti persepsi, sikap, pengetahuan berbeda dengan orang lain ketika berkomunikasi merupakan disonansi kognitif yang terjadi dalam benak

Universitas Sumatera Utara

sesorang tersebut. Leon Festinger menamakan perasaan yang tidak seimbang tersebut sebagai disonansi kognitif (cognitive dissonance).

Teori disonansi kognitif mengatakan bahwa perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat yang lain mereka pegang‖ (West & Turner, 2008 : 137).

Konsep ini membentuk inti dari Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory-CDT), teori yang berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah mengurangi ketidaknyamanan itu. Dalam usaha seseorang untuk mengurangi perasaan disonansi, seseorang akan menghiraukan pandangan yang berlawanan dengan pandangannya, mengubah keyakinan mereka agar sesuai dengan tindakan mereka, atau mencari hal yang dapat meyakinkan mereka kembali untuk membuat sebuah keputusan sulit.

PPK yang mempersepsikan bahwa ketentuan rilis BKN tidak dapat diterapkan karena banyaknya kekurangan dan perlunya kejelasan dalam substansinya mengalami disonasi kognitif. PPK tersebut memilih untuk mengurangi perasaan disonansi dengan menghiraukan pandangan yang berlawanan dengan pandangannya. PPK tetap mempersepsikan bahwa ketentuan rilis BKN tidak dapat dijalankan secara serta merta di BPS Provinsi Sumatera Utara. Ketentuan rilis BKN tersebut bersifat multi tafsir dan belum mengatur secara rinci perbuatan-perbuatan yang merupakan ujaran kebencian. Ketentuan

Universitas Sumatera Utara

rilis BKN juga tidak secara lengkap mengatur bagaimana proses yang harus dijalankan ketika seseorang diduga melakukan perbuatan menyebarkan ujaran kebencian dan hoax.

Upaya untuk mengatasi disonansi tersebut tidak selamanya dengan menghiraukan pandangan yang berlawanan dengan pandangannya. Apabila ketidaknyamanan tersebut semakin mempengaruhi individu secara psikologi dan menekan eksistensi individu tersebut, maka adakalanya individu akan melakukan penanganan disonansi dengan mengubah keyakinan mereka agar sesuai dengan tindakan mereka, atau mencari hal yang dapat meyakinkan mereka kembali untuk membuat sebuah keputusan sulit.

Ibu Nurbani mengungkapkan bahwa persepsi kognitif tidak selamanya sejalan dengan afeksi dan konasi seseorang, hal tersebut bisa berubah. Berikut penuturannya,

―Persepsi kognitif, afeksi dan konasi tidak selamanya berjalan secara sejalan.

Ada ASN persepsinya yang sebelumnya setuju, karena dia melihat atasnyanya tidak setuju, akhirnya dia ikut tidak setuju. Perubahan itu terjadi, ketika manakala dia melihat kedalam realitas itu sendiri. Intinya Kognitif, afeksi dan konasi itu tidak berjalan secara sejalan, bisa berubah. Dan bisa jadi, yang dia lakukan A, tapi difikirannya itu C. Dijelaskan dalam teori dramaturgi. Ketika hatinya sedih, dan benar sedih, tetapi ketika dia ketemu orang lain yang dianggap atasannya, dia harus tersenyum bukan? Itu sebenarnya apa yang terjadi? yang riilnya? dipersepsinya yang terjadi adalah ―aku sebenarnya sedih, tetapi aku harus ramah‖? ini kembali ke 3 (tiga) tipe orang, ketika dia termasuk orang yang menyenangkan orang lain, dia tidak memperdulikan orang lain. Ada yang seimbang, ungkapannya dapat kita lihat seperti

―sebenarnya aku sedih, tapi coba gembira-gembira‖, tapi kalau misalnya dia memang memikirkan diri sendiri, mukanya akan jutek saja. Kembali ke manusianya, bagaimana cara memandangnya.‖

Universitas Sumatera Utara

5.2. Latarbelakang Pembentuk Persepsi ASN BPS Provinsi Sumatera Utara