• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi ASN BPS Provinsi Sumatera Utara terhadap 6 (enam)

BAB IV. HASIL PENELITIAN

4.3 P APARAN D ATA

4.3.1 Persepsi ASN BPS Provinsi Sumatera Utara terhadap 6 (enam)

4.3.1.1. Interpretasi terhadap Ujaran Kebencian dan Hoax

Wawancara terhadap informan yang merupakan ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara dan merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) pada level jabatan struktural eselon III dan IV. Pertanyaan yang diajukan peneliti yakni apakah Bapak/Ibu sudah memahami tentang ujaran kebencian dan hoax?

Informan pertama yakni BapakDwi menjawab telah memahami tentang kebencian dan hoax karena sering mengikuti berita di televisi dan surat kabar, berikut penuturannya,

―Saya sering mengikuti informasi dari media televisi dan surat kabar.‖

Walau dari konsumsi media informasi dari televisi, Bapak Ramlan mengetahui tentang ujaran kebencian dan hoax.. Berikut penuturannya ketika berada di ruang Kabag TU BPS Provinsi Sumatera Utara,

―Saat ini informasi dapat dari televisi saja. Kalau pakai whatsapp, facebook sudah tidak aktif lagi karena banyaknya hoax itu‖

Universitas Sumatera Utara

Keresahan dirasakan oleh Ibu Emilza karena fenomena ujaran kebencian dan hoax yang saat ini semakin masif. Berikut penuturannya ketika berada didalam ruangan kantor,

―Sebenarnya Hoax sudah meresahkan kita semua. Kalau semua orang Indonesia bisa berfikir cerdas, bisa memilah-milah, tetapi ada saja oknum (ASN) yang memposting ulang, menyebar berita yang sama yang terjadi bertahun yang lalu. Kejadian yang sudah berlalu, kemudian diposting ulang.‖

Dengan percaya diri Ibu Maiza menjawab pertanyaan peneliti dengan tegas. Selain memahami apa itu hoax dan ujaran kebencian, Ibu Maiza sangat yakin mampu membedakan mana berita hoax dan mana yang fakta.

Ibu Maizas ecara santai dan dengan wajah tersenyum, berikut penuturannya,

―Saya membaca saja bisa mengetahui apakah itu hoax atau tidak, oh biarpun katanya begini begitu, kita sudah taulah, karena orang yang gunakan dari membaca, diskusi dari teman-teman. Sebenarnya feeling saja, kelihatan itu kalau ada aneh-anehnya.‖

Perasaan antusias untuk menjelaskan pemahamannya terkait hoax dan ujaran kebencian ditunjukkan oleh Bapak Hakim Parapat, Kepala Seksi pada Bidang Statistik Sosial, berikut penuturannya,

―Kalau ujaran kebencian sebetulnya hanya mengarah, karena gini, untuk hoax pengertian hoax itu apa, berita palsu. Sesuatu yang tidak benar. Kalau misalnya saya bilang, besok akan hujan? Itu hoax atau tidak? Belum tau kan. Kadang ada orang contoh mas lulus nih, mas akan melakukan tindakan seperti ini? Pertanyaannya apakah itu hoax atau bukan?, makanya banyak ujaran seperti itu. Kalau kamu begini, maka tunggulah maka akan jadi begini. Saya sulit mengatakan itu hoax atau tidak. Kecuali contoh, tadi pagi hujan deras, sehingga

Universitas Sumatera Utara

medan banjir. Mas bisa katakan itu hoax karena tidak terbukti. Yang sering terjadi mengarah ke ujaran kebencian. Kalau si A atau si B terpilih, maka hasilnya seperti ini. Dengan dibumbui informasi yang menyudutkan salah satu pihak dan cenderung menjelek-jelekkan.―

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa media komunikasi yang digunakan beberapa informan adalah media televisi dan surat kabar. Beberapa informan sebelumnya pernah menggunakan media sosial, akan tetapi saat ini tidak aktif menggunakannya. Pengetahuan tentang ujaran kebencian dan hoax telah dimiliki seluruh informan, bahwa secara konotatif menjelaskan apa makna dari ujaran kebencian dan hoax.

Peneliti selanjutnya menanyakan ―apakah ada ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara yang diduga menyebarkan pendapat melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian dan hoax?‖.

Informan pertama yakni Bapak Dwi menyampaikan bahwa di BPS Provinsi Sumatera Utara tidak ada pegawai yang diduga melakukan perbuatan menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Berikut penuturannya,

―Kebetulan yang ada di facebook saya, nggak ada ya. Semua orang rata-rata pegawai BPS yang ada didalam group saya, ada juga kawan-kawan SMA, SMP. Tapi yang saya amati di facebook, kayaknya jarang ada berita hoax. Tapi kalau mengarah ujaran kebencian, biasanya saya tidak mengikuti lagi. Yang menjadi pemicu saya, emosi. Mendingan saya gak ikuti, kan saya sudah lama sekitar 4 bulan tidak begitu aktif membuka facebook. Kalau melihat facebook Saya, Saya tidak pernah membuat statement. Paling like-like saja. Membuat status tidak pernah.‖

Apa yang diungkapkan oleh Pak Dwi Prawoto, tampaknya diamini oleh Bapak Zainal, berikut penyampaiannya,

―Saya belum pernah mendengar, karena kemari-kemari itu berita-berita jarang saya ikuti. Sekedar membaca, oh ini pancasila ...

Universitas Sumatera Utara

mendengar saja pernah, karena saya tidak punya facebook, twitter.

Saya gak pernah membaca, mengikuti, like, dislike. Kebetulan sepengetahuan saya nggak ada, setahu saya kalau ada di whatsapp yang penting baru saya baca, kalau tidak penting sekedar angin lalu saja. Whatsapp group saya kan terkait kerjaan. Terkadang ada yang nyeleneh ngirim macem-macem, tapi tidak fokus kesitu, fokusnya ke kerjaan. Kalau mendengar (hoax dan ujaran kebencian) iya, di tv dengar... tapi tidak terus mengikuti.‖

Bapak Hakim Parapat berpendapat bahwa ada perasaan takut yang dirasakan oleh ASN ketika menyebarkan berita bermuatan ujaran kebencian. Berikut pernyataannya,

―ASN agak kurang, yang lebih berani itu orang luar, perusahaan BUMN pelat merah itu ada. Kalau ASN ada, bukan di group tapi japri.

Kalau japri itu saya tidak mau menanggapi. Biasanya materinya adalah meneruskan pendapat orang dan ditambah komentar.‖

Hakim berpendapat bahwa ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara cenderung bersikap baik, dan tidak akan melakukan hal yang melanggar peraturan.

―Nggaklah, baik-baiknya disini (ASN). Maksudnya begini, kalau BPS itu kan cerdas, orang-orangnya cerdas. Adapun itu, contoh kita tidak suka sama si B dan seterusnya, biasanya kita lebih sportif dan lebih menghargai dan taat hukum. Kalau saya tidak suka, tidak saya bilang.‖

Ibu Emilza menyampaikan bahwa tidak ada ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara yang menyebarkan berita bermuatan ujaran kebencian dan hoax, akan tetapi ada ASN di Badan Pusat Statistik Pusat menyampaikan pendapat dan juga meneruskan postingan orang lain di media sosial tentang ujaran kebencian terhadap pemerintah. Berikut jawabannya,

―Di BPS Provinsi Sumatera Utara saat ini tidak ada. Yang saya temukan yaitu teman Saya (ASN) yang melakukan itu (menyebarkan pendapat bermuatan ujaran kebencian dan hoax)berada pada level strukutral. Teman (ASN) ada menyampaikan kritik ke pemerintah. Itu

Universitas Sumatera Utara

pendapat dia pribadi, berdasarkan pemikiran dia. Biasanya dia meng-quote berita sebelum di repost, menurut Saya belum tentu benar beberapa postingannya. Menurut Saya masih diragukan kebenarannya, mungkin bagi dia menarik untuk disampaikan ke orang lain. Teman (ASN) tersebut hanya fokus untuk kritik terhadap pemerintah. Tidak ada kebencian terhadap suku ataupun agama. Hanya kritik terhadap pemerintah sekarang.‖

Apa yang diungkap oleh informan utama, tampaknya berbeda dari penuturan informan tambahan yakni staf kepegawaian dan hukum di BPS Provinsi Sumatera Utara. Winny Saraswati mengungkapkan, sebagai berikut,

―Untuk di BPS Sumatera Utara, saya mendengar ada salah satu ASN yang memberikan dukungan pada salah satu paslon capres. Pada saat itu pimpinan eselon II menegur ASN tersebut dan mengingatkan untuk tidak berpolitik praktis dan menyebarkan hoax dan ujaran kebencian.‖

Senada dengan Winny, Dara membenarkan informasi tersebut,

―Iya, ada. Tapi tidak HD (Hukuman Disiplin), pimpinan (Kepala BPS) yang langsung mengangani, dengan men-japri (jaringan pribadi) di WA (Whatsapp Group) ASN yang bersangkutan agar tidak menyebarkan hoax dan ujaran kebencian terkait Pilpres (Pemilihan Presiden).‖

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara tidak pernah menyebarkan ujaran kebencian dan hoax, sebaliknya apa yang sampaikan oleh triangulator yang berasal dari staf di subbagian kepegawaian hukum menyatakan sebaliknya bahwa seorang ASN melakukan perbuatan diduga menyampaikan pendapat di media sosial berkategori ujaran kebencian.

Wawancara dilanjutkan dengan memberikan pertanyaan ―Bagaimana kesan pertama sekali saat Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang

Universitas Sumatera Utara

6 (enam) aktivitas ujaran kebencian yang berkategori pelanggaran disiplin ASN ini dikeluarkan dan disosialisasikan di BPS Provinsi Sumatera Utara?‖

Pemahaman yang belum lengkap terkait isi dari Rilis BKN tersebut disampaikan Bapak Dwi Prawoto, berikut penuturannya,

―Sosialisasi pertama kali bulan januari 2019, gak terlalu detail seperti di rilis ini, kesannya ya ada ketentuan baru lagi, yaitu ASN gak boleh ini dan gak boleh itu. Kali ini gak boleh sebarkan berita yang gak jelas‖

Perasaan ingin tahu akan informasi yang baru ditunjukkan oleh Ibu Emilza ketika pimpinan memberikan sosialisasi singkat tentang kehadiran Rilis BKN tentang larangan menyebarkan ujaran kebencian dan hoax.

―Waktu apel pagi itu hari senin, pimpinan memberitahukan bahwa saat ini ada ketentuan tidak boleh menyebarkan berita hoax. Ya saya fikirnya, apa lagi ya diatur-atur yang gimana gitu?. Tapi ya namanya informasi saya fikir, dengerin saja dulu lah.‖

Harapan pentingnya komitmen dalam melaksanakan peraturan yang dikeluarkan dan tidak tebang pilih memunculkan keraguan dibenak Bapak Hakim Parapat, berikut keraguannya,

―BKN (mengeluarkan Rilis BKN nomor 006/RILIS/BKN/V2018) kan sudah bagus, kemudian harus ada penegakan hukum. Apapun ceritanya tanpa penegakan hukum itu gak jalan. Saya setuju. Hanya saja, tadi ada kata-kata kepastian hukum. Artinya pasti ditegakkan dan pasti berlaku untuk semua. Dan maaf, saya ndak tahu apakah saya dibohongi oleh berita, yang saya lihat itu setahu saya tidak berlaku semua. Ada dua kemungkinan, contoh saya dihukum, mas dihukum.

Saya dari pihak A dan mas dari pihak B. Sebenarnya kita sama-sama

Universitas Sumatera Utara

dihukum saat ini. Tapi yang diberitakan, saya saja yang dihukum, mas tidak diberitakan seolah-olah mas tidak dihukum. Nah ini terjadi keberpihakan. Kemungkinan yang kedua, ini yang lebih parah memang saya saja yang dihukum, mas tidak dihukum. Jadi itu harus kita cek lagi. Sekarang berita itu marak, misalnya hanya dari pihak oposisi yang diproses, pihak pemerintah tidak diproses. Kenyataaanya apakah seperti itu, atau sengaja tidak diberitakan untuk

―menjatuhkan‖, kan kita harus cek lagi. Termasuk untuk ujaran kebencian, ini kan untuk ASN. Pertanyaannya, ASN ada yang pro 01 tidak diproses, yang pro 02 di proses. Ada dua kemungkinan, memang benar-benar tidak diproses, atau tidak diberitakan.‖

Tanggapan yang biasa saja ditunjukkan Bapak Zainal ketika diberitahukan tentang ketentuan larangan menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Berikut penuturannya,

―Pada waktu upacara, tidak detail (disampaikan). Pertama kita tidak boleh melakukan ujaran kebencian tentang Pancasila. Saya tidak tahu bahwa larangan itu berupa rilis saja, Kepala BPS menyampaikan bahwa ada peraturan keluar dari BKN tentang ujaran kebencian, jadi jangan lagi mempermasalahkan Pancasila, SARA yang intinya, sampai dengan like dan dislike sebuah tweet itu jangan lagi, karena memang jadi delik untuk hukuman. Itu kata pimpinan. Di berita kan memang ada.‖

Perasaan ingin tahu tentang informasi yang terbaru ditunjukan oleh Ibu Maiza, Rilis BKN nomor 006/RILIS/BKN/V2018 tentang 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN. Dengan santai dan ceria, Ibu Maiza menuturkan sebagai berikut,

―Rilis BKN yakni 6 aktivitas terkait hoax dan ujaran kebencian, sudah waktunya diatur dan saya menanggapi positif kebijakan ini.‖

Pertanyaan selanjutnya yang diberikan kepada informan adalah

―Bagaimana ketentuan rilis BKN no. 006 tahun 2018 ini menarik perhatian dan harus diketahui oleh seluruh ASN?‖

Universitas Sumatera Utara

Bapak Dwi Prawoto memberikan pendapat bahwa sosialisasi secara luas kepada seluruh ASN dapat menarik perhatian dan diketahui oleh seluruh ASN. Berikut penuturannya,

―Ya, namanya dia (BKN) sebagai institusi yang mengayomi seluruh pegawai, Saya kira kewajiban BKN untuk memberikan kenyamanan, lebih baik memberikan informasi seperti ini, mengajak seperti ini.

Sebagai seorang ASN harus mengikuti (peraturan). Saya setuju, harusnya ini sudah disosialisasikan ke banyak instansi.‖

Perasaan dikekang secara pribadi menimbulkan keresahan bagi Ibu Emilza. Perasaan terkekang karena ketentuan Rilis BKN No.

006/RILIS/BKN/V/2018 mengatur aktivitas pribadi ASN untuk like, dislike, retweet. Berikut kekhawatirannya,

―Substansi rilis BKN sebenarnya menurut Saya secara pribadi mengekang. Sama dengan orang yang kritis akan sangat mengekang kebebasan mereka ketika ada peraturan ini. Namun Aparatur Sipil Negara (ASN) punya tugas mempersatukan, jadi semestinya tidak merasa terkekang. Sebagai ASN posisinya harus sadar berada dimana, dan tidak seharusnya menyatakan bahwa ketentuan ini mengekang individu ASN. Itu kalau sebagai ASN, kalau berdiri sebagi pribadi saya tetap merasa rilis ini mengekang dan membatasi kebebasan berpendapat‖

Senada dengan pendapat para informan sebelumnya, Ibu Emilza mengatakan pentingnya ketentuan Rilis BKN No.

006/RILIS/BKN/V/2018, berikut penjelasannya.

―Rilis ini belum terlalu besar efeknya, karena banyak ASN tidak paham dan peduli terkait substansi ujaran kebencian. Tetapi akan menjadi pertimbangan sendiri, apabila sudah mengetahui (melalui sosialisasi) bahkan sebatas menyatakan dukungan dengan memberi like, love, cuma like saja terhadap substansi unggahan tersebut apabila terbukti sudah dapat dijatuhi hukuman disiplin.‖

Wawancara dilanjutkan dengan memberikan pertanyaan ―Menurut anda apakah Rilis BKN No. 006 Tahun 2018 dapat diterapkan pada setiap

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran terkait penyebaran ujaran kebencian dan hoax di BPS Provinsi Sumatera Utara?‖.

Sikap tegas yang ditunjukkan Bapak Dwi dengan menyarankan seluruh ASN untuk mematuhi ketentuan pada Rilis BKN No.

006/RILIS/BKN/V/2018, berikut pernyataannya,

―Kalau ASN Saya kira punya pemikiran yang sama, kalau itu sudah aturan ya dijalankan. Ya kalau sudah disampaikan, pasti ada sanksi setiap pelanggaran. Kita menyampaikan itu harus kedua belah pihak (PPK) dan ASN. Kalau melakukan ini, ada konsekuensinya. Kalau ada yang merasa itu tidak benar, ya harus ikut aturan.‖

Rasa khawatir masih dirasakan Emilza karena multi tafsirnya 6 (enam) ujaran kebencian yang diatur dalam rilis BKN No. 006 Tahun 2018. Berikut keraguannya,

―Apabila dikategorikan pada pelanggaran disiplin, saya juga masih bingung, sejauh apa ujaran-ujaran itu dianggap melanggar disiplin.

Kan tidak langsung ketika kita menulis sesuatu langsung dikategorikan pelanggaran disiplin, kategorinya seperti apa. Prosesnya bagaimana, terlalu umum. Apakah dilihat jumlah followernya atau postingannya seperti apa yang kemudian dapat dikategorikan melanggar disiplin. Perlu penjelasan, harusnya ada aturan lebih mendalam dari rilis ini.‖

Kekhawatiran dirasakan oleh Emilza, oleh karenanya menyarankan perlu adanya peraturan setingkat Peraturan Kepala BKN untuk menindaklanjuti rilis ini.

―Rilis ini harusnya dibuatkan peraturan kepala (PERKA) di BPS sendiri untuk menindaklanjuti ketentuan rilis ini. Harus ada dasar yang kuat, ketika kita akan menghukum berat seseorang karena melakukan ujaran kebencian karena kalau tidak dengan prosedur yang baku maka berpotensi akan digugat oleh ASN keputusan hukuman disiplin yang sudah dijatuhkan.‖

Universitas Sumatera Utara

Berbeda hal nya dengan Maiza, bahwa ketentuan Rilis BKN No.

006/2018 tentang 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN ideal untuk diberlakukan.

―Rilis ini sudah ideal mengatur perbuatan menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Kritik boleh, tapi tidak menggunakan hoax dan ujaran kebencian. Kritik itu beda, boleh kritik tapi jangan bebas sebebasnya. Rilis ini tidak mengekang ASN dalam berpendapat.‖

4.3.1.2. Interpretasi ASN tentang 6 (enam) Akitivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN

Rilis BKN No. 006 tahun 2018 tentang 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin telah disosialisasikan di Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara sejak Januari 2019. Kepala Bagian Tata Usaha BPS Provinsi Sumatera, Bapak Ramlan, MM membenarkan bahwa berdasarkan rilis BKN tersebut setiap ASN tidak boleh menyebarkan berita yang bermuatan ujaran kebencian perihal SARA, serta mengarahkan ASN agar tetap menjaga integritas, loyalitas, dan berpegang pada empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

BKN melalui siaran pers-nya menyatakan akan melayangkan imbauan bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pusat dan Daerah untuk melaksanakan ketentuan dalam Rilis BKN No.

006/RILIS/BKN/V/2018 tentang 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian

Universitas Sumatera Utara

berkategori pelanggaran disiplin ASN. Ketentuan pada rilis tersebut menimbulkan atau memunculkan berbagai macam interpretasi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di BPS Provinsi Sumatera Utara, khususnya tentang 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian yang dikategorikan pelanggaran disiplin. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan para informan, peneliti menemukan variasi penafsiran terhadap 6 (enam) aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN yang diatur di dalam Rilis BKN tersebut, sebagai berikut :

a. Interpretasi aktivitas ujaran kebencian ―Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.‖

Dwi Prawoto mengungkapkan bahwa ASN seharusnya mengikuti ketentuan sebagaimana sudah ditetapkan, sanksi akan diberikan apabila melanggar ketentuan. Berikut penuturannya,

―Pada point pertama, dimaksudkan supaya agar ASN tidak melakukannya sesuai yang tertulis, ikutin ajalah yang sudah terjadi.

Pancasila dan UUD, supaya tidak ada lagi tafsiran-tafsiran lain, itu aja. Sebenarnya kalau Pancasila, sudah adanya seperti itu, kalau ada yang mengganti dengan lain, saya rasa banyak yang tidak akan setuju.

Lalu kalau pribadi yang akan menyampaikan dan dijamin oleh UU silakan saja. Selama itu dijamin UU, pasti kalau dijamin itu ada larangannya. Mengungkapkannya dijamin, tapi ternyata ada larangan yang dilanggar, maka berhadapan dengan hukum. Itu aja. Kalau Saya prinsipnya boleh-boleh saja, selama dia nanti berfikirnya, bertentangan atau tidak. Kalau dia tahu bertentangan, pasti akan berhadapan dengan hukum. Jadi kalau sama sekali melarang, kayaknya sih gak. Karena ekspresi orang dijamin UU.‖

Universitas Sumatera Utara

Menurut Dwi Prawoto, membenci tidak bisa diarahkan kepada Pancasila, tetapi ada keinginan untuk menggantinya dengan ideologi lain, berikut penuturannya,

―Ya itulah, ujaran kebencian Pancasila. Pancasila kan dasar negara.

Kalau dasar negara itu tidak bisa dibenci, tapi untuk diubah atau diganti. Yang dibenci itu kan seseorang, person. Kalau sudah peraturan, saya misalnya menantang, atau menolak atau tidak setuju.

Saya tidak bisa membenci undang-undang. Bencinya itu artinya menolak atau tidak setuju terhadap aturan itu. Mungkin tidak setuju dengan aturan yang ada. Kalau dia benci kepada Pancasila, berarti dia tidak setuju terhadap salah satu aturan yang ada di Pancasila.‖

Dwi menambahkan bahwa kategori membenci Pancasila, Undang Undang Dasar RI 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, berbeda dengan aktivitas membenci pemerintah. Berikut penjelasannya,

―Menurut saya maksud benci itu menentang, ingin mengganti atau tidak sesuai. Kalau bencinya (kepada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI) gak ada. Kalau benci kepada pemerintah itu pada person yang melaksanakan. Berarti benci kepada person yang melaksanakan aturan. Apakah aturannya benar atau salah, menurut pandangan seseorang itu bisa salah. Atau aturannya benar, tapi melaksanakan tidak sesuai aturan. Kebenciannya seperti itu. Karena aturan itu dilaksanakan oleh person. Pemerintah itu dipersonalisasikan seperti presiden, bisa menteri atau aparat pemerintah. Aturan bakunya sudah benar barangkali, tapi person yang melaksanakan menurut orang yang benci itu tidak sesuai.‖

Senada dengan pendapat Dwi, Hakim memisahkan aktivitas ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI menjadi satu kategori dan membenci pemerintah di kategori yang berbeda.

Berikut penuturannya,

―Kalau menurut saya, ini beda menyampaikan kebencian dengan kritik. Kalau benci contohnya Saya bilang ―Pancasila itu gak betul gitu ya. Kenapa mesti ada Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap orang kan sudah berakal‖ Nah itu, gak suka. Itu kebencian. Kalau kritik itu semisalnya Saya bilang ―Pancasila sudah bagus, tapi seharusnya

Universitas Sumatera Utara

dibuat dong detailnya seperti P4, dibuat seperti itu‖. Nah ini kan gak ada. Maksud saya, kadang pasal ini seperti pasal karet, mungkin saya sebenarnya tidak mengatakan benci Pancasila, tapi saya lebih senang Pancasila itu dipraktekkan, detailnya. Contoh Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa itu mau diapain. Kan seperti itu, seharusnya sudah ada seperti menghormati agama. Terkadang koreksi seperti itu dianggap benci. Mungkin kalau di media sosial, seperti di Youtube. Mengapa marak ujaran kebencian dan hoax, karena orang yang mengucap boleh tidak bertanggung jawab. Contoh di WA, saya orang belakang, pakai nama palsu dan segala macam.‖

Hakim menyatakan setuju dan mengingatkan agar ketentuan tidak multi interpretasi khususnya dalam membenci Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, berikut pernyataannya,

―Jadi saya setuju, tidak boleh (ASN) menghina Pancasila, UUD, Bhineka Tunggal Ika. Yang boleh itu kritik. Hanya saja, ya, karena pasal (ketentuan) itu ―dikaretkan‖, yang kritikpun terkadang dianggap menghina, gitu loh. Di kita ini komunikasi kurang, hanya ―kritik‖ tapi tidak bertanggung jawab.Tidak semua orang pandai menyampaikan pendapatnya, maksud dan tujuannya tadi, sehingga terkadang salah menyampaikan pendapat, sehingga terkesan menghina dan ujaran kebencian‖.

Hakim menjelaskan perihal kebencian terhadap pemerintah, bahwa sering terjadi kritik yang berujung ujaran kebencian karena tidak

Hakim menjelaskan perihal kebencian terhadap pemerintah, bahwa sering terjadi kritik yang berujung ujaran kebencian karena tidak