• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Soko

Ialah gelar yang diterima turun temurun di dalam suatu kaum yang fungsinya sebagai kepala kaum/kepala adat (penghulu). Soko sifatnya turun temurun semenjak dahulu sampai sekarang menurut garis ibu lurus kebawah. Soko turun temurun, dalam lingkungan cupak adat, dalam payung sapatagak, nan basasok bajarami, bapandan bapakuburan, nan batanggua bapanabangan, dimano batang tagolek, disinan cindawan tumbuah, dimana tanah tasirah, disinan tambilang makan.

Sifat Sako

Gelar pusako terbagi atas empat sifat yakni :

1. Dipakai, artinya Soko (gelar pusako) tersebut dipakai oleh kaum yang bersangkutan. Gelar soko dalam suatu kaum bisa dipakai (didirikan), apabila dalam kaum tersebut telah di peroleh kata sepakat yang bulat tentang siapa yang akan memangku jabatan gelar pusaka tersebut, atau salah seorang kemenakan laki – laki dari kaum yang bersangkutan (bertali darah menurut garis ibu), dipilih bersama – sama oleh anggota kaum soko itu sendiri. Pelaksanaan selanjutnya kepada waris yang tertua mengajukan kebulatan kaum ini kepada kerapatan suku, setelah kerapatan suku menerima dengan meneliti orang (calon) yang telah diajukan itu tentang :

a. Sifat – sifatnya b. Budi pekertinya c. Kepemimpinannya d. Kewibawaannya

e. Iktikad baiknya terhadap adat dan agama Islam kemudian kerapatan suku meneruskan kebulatan suku atas persetujuannya orang (calon) yang telah disepakati bersama untuk menjabat gelar pusaka tadi. Dengan penelitian yang sama Kerapatan Adat Nagari melakukan apa yang diajukan oleh kerapan suku, kemudian mengambil kebulatan untuk mendapat pelaksanaan peresmiannya/dinobatkan gelar pusaka tersebut dalam suatu upacara adat yang berlaku dan dengan memenuhi segala persyaratan penobatan seorang menjadi penghulu yakni :

- Adat diisi, limbago samo dituang, darah samo dikacau, tanduak samo ditanam, dagiang samo dilapah

133 Setelah diberlakukan segala ketentuan (prosedur), maka resmilah seseorang memangku jabatan sokonya. Diakui duduak samo rendah, tagak samo tinggi dengan ninik mamak nagari bersangkutan. Seterusnya tidaklah dibenarkan menurut adat Minangkabau terhadap orang yang memangku jabatan gelar pusaka tadi, dipanggil nama kecilnya seperti biasa. Sorang mamak, ayah, ibu dari seorang yang telah resmi menjabat gelar pusakanya dianjurkan tiada menyebut namanya, sebaiknyalah memanggilkan dengan gelarnya, umpamanya : Datuk/penghulu....-Rangkayo..., lebih – lebih lagi kepada orang lain baik besar maupun kecil, tuo dan mudo, laki – laki atau perempuan, mutlak menurut adat memanggilkannya dengan gelar. Setiap penobatan seorang menjadi penghulu (sekarang sudah zaman modern) seharusnyalah mengucapkan sumpah jabatan, biasanya berbunyi sebagai berikut :

- Demi Allah saya berjanji - Akan menghukum madie

- Bakato bana, mamaliharo anak kamanakan

- Manuruik aluah nan luruieh, manampuah jalan nan bana - Mamaliharo harato pusako

- Kusuik kamanyalasaikan, karuah ka manjanieh

- Mamaliharo anak kamanakan, saroto korong jo kampuang, sampai ka koto jo nagari

- Penghulu sabuah hukum

- Sakato lahie jo bathin, sasuai muluik jo hati - Imanat samo di paciek, ikaro samo diunyi - Kalau indak :

Ka ateh indak ba pucuak, kabawah indak baurek, ditangah dilariek kumbang, bak barakok tumbuah di batu, iduik anggan mati tak namuah, kanai kutuak kalamullah.

2. Dilipek artinyo suatu gelar pusako (soko) dilipek. Terjadinya adalah disebabkan ahli waris yang bersangkutan (waris bertali darah menurut garis ibu) tidak memperoleh kata sepakat yang bulat tentang orang yang akan memangku jabatan gelar pusakanya. Maka di dalam ketentuan hukum adat apabila waris yang bersangkutan tidak memperoleh kata sepakat, gelar pusako tersebut DILIPEK. Kalau sudah ada kata kesepakatan yang bulat dikemudian hari baru bisa bisa didirikan kembali, dengan

134 ketentuan sekali – kali jangan dipaksa – paksakan. Kerapatan Adat Nagari berkewajiban memegang dan menguatkan ketentuan ini tanpa mencari – cari ketentuan lain, kecuali ahli ahli waris yang bersangkutan dari suatu gelar pusaka mendapat kata kebulatan yang lain bentuknya, seumpama gadang balega, tuah baganti, kaedah adat mengatakan :

- Badiri penghulu sepakat kaum - Badiri adat sepakat nagari - Nak rajo mangisi ka alam - Nak penghulu mengisi ka nagari

Babelok – belok alang samad, ranting babaliak ka pangkanyo, kalau tidak pandai manabang duri, duri tacucuak, ka dalam mato, kalau tak pandai bamain budi, ameh habih badan binaso. Tataruang lidah ameh padanya, tataruang kaki inai palainyo. 3. Tataruah, artinya suatu gelar pusako yang dalam lingkaran cupak adat payuang

sapatagak (waris bertali darah dari garis ibu), tidak ada yang laki – laki hanya keturunannya yang perempuan saja, atau ada laki – laki tapi tidak memenuhi syarat, umpanya kurang ingatan, bodoh, gila, atau penyakit yang sukar sembuhnya, maka gelar pusaka tadi belum bisa di bangun dan ini tidak boleh pula diberikan kepada orang lain di luar lingkungan kaum itu sendiri. Keadaan seperti ini disebut di dalam adat Minangkabau TATARUAH, biasanya gelar pusaka (soko) penghulu ini berpuluh tahun kemudian baru dapat dibangun kembali, namanya membangkit batang taradam. Pimpinan adat buat sementara waktu dipegang oleh penghulu yang berdekatan menurut adat dalam pasukan yang bersangkutan (bertali hadist).

4. Tabanam, suatu soko yang waris bertali darah ibu menurut adat telah habis (punah), maka gelar pusaka tersebut disebut TABANAM. Keturunan menurut menurut adat Minangkabau : dianyuik ka aie dareh, dibuang ka tanah lakang, salamo dunia takambang, nan gala tidak bapakai lai. Yang menyangkut dengan harta pusaka yang tinggal seperti sawah ladang dan sebagainyo, akan dipusakai oleh waris bertali adat yang terdekat menurut adat, seperti kata pepatah : Soko tetap, Pusako baranjak

Sebabnyo/coraknyo/kapan gelar pusaka itu dibangun :

1. Hiduik bakurilaan, artinya seorang pemangku jabatan dari satu gelar penghulu (soko) yang usianya telah lanjut, tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya, maka untuk kepentingan anak kemenakan, korong kampung, dan nagari dengan arti : Bakieklah taraso tinggi, kok lurah lah taraso dalam, adat indak taisi, limbago nan tidak tatuangi.

135 2. Mati batungkek budi, artinya disebabkan seorang yang menjabat gelar selaku penghulu (soko) meninggal dunia. Dan dalam waktu yang singkat sebagai yang akan menggantikannya telah dapat kata sepakat, maka gelar pusaka tersebut buat sementara disebut : Batungkek batang Bodi (asal katanya), tentang peresmian dilaksanakan kemudian hari setelah selesainya upacara do‟a mando‟a yang biasanya setelah tiga bulan kemudian, selama masa tiga bulan itu ianya dapat menjalankan fungsi jabatannya.

3. Baputiang di tanah sirah/gadang di pakuburan, artinya setelah dipersiapkan sebelumnya dengan semufakat anak kemenakannya dari yang meninggal, maka sebelum mayat ditanamkan diumumkan kepada yang hadir bahwa sebagai pemangku jabatan gelar pusaka yang dipegang oleh yang meninggal. Selanjutnya harus dilaksanakan peresmiannya sesuai aturan adat yang berlaku.

4. Adat tak berdiri

Di dalam suatu kaum ditemui sebab untuk membangun Soko (Gelar Pusako), karena mati batungkek budi, hiduik bakurelaan, bapuntieng di tanah sirah dan sebagainya, yang mana adat perlu diisi, limbago perlu dituangi. Karena perongkosan untuk pelaksanaannya tidak ada sama sekali, maka menurut adat Minangkabau diperbolehkan menggadai harta pusaka tinggi. Tetapi hal yang seperti ini pun jarang terjadi, karena soko yang akan didirikan milik bersama dan kebesaran bersama pula seharusnya pula dipersamakan tentang pembiayaannya, bukan ditanggung sendiri oleh orang yang akan memegang jabatan gelar pusaka tersebut. Dari keempat macam hal, dimana diperbolehkan menggadai harta pusaka tinggi tersebut di atas (sawah, ladang saja), hal tersebut kalau benar – benar telah ditemui alasan seperti kata adat :

Lah tasasak ikan kaampang Lah tasasak kijang karimbo Maawai saabieh aso

Manguak lah sahabieh gauang

Kalua tidak beralasan yang sungguh tidaklah dibenarkan menggadaikannya. Apabila dilaksanakan juga berarti seorang penghulu/pemimpin adat dalau kaum itu telah melumpuhkan sendiri ekonomi anak kemenakannya.

136

B. PUSAKO

Pusako adalah harta pusaka tinggi, seperti sawah ladang, banda buatan labuah, tapian rumah tangga, pandam pakuburan, hutan tanah yang belum diolah, adalah ulayat (wilayah) dari kekuasaan seseorang penghulu atau pimpinan pewaris. Diatas tanah tersebutlah berkembangnya rakyat yang terdiri dari anak kamanakan dari yang bersangkutan, tempat mencari hidup dan kehidupan.

Harta pusaka adalah manah yang diterima dari orang tua – tua dan nenek moyangnya yang harus dijaga dan diteruskan kepada generasi selanjutnya di dalam kaum itu sendiri dengan ketentuan hukum adat yang berlaku.

Manah jaan pupuieh Bangso jaan hilang Suku jaan baranjak Jua indak dimakan tali Sando indak dimakan gadai

Maksudnya agar penghulu – penghulu yang bersangkutan haruslah berusaha sejauh mungkin tidak menggadaikan, apabila menjual atau memberikan kepada orang lain harta pusakanya, karena hal demikian akan mengakibatkan hilangnya : manah dari orang tua, beranjak suku ke suku lain. Seorang pemimpin harus mempertahankan hak ulayat yang merupakan daerah kekuasaan itu, jangan berpindah kesuku lain, karena akan berakibat anak kemenakan akan kehilangan daerah tempat tinggal dia diam dan berkembang, tempat dia bersawah dan berladang, berumah tangga berkubur. Istilah jual beli dalam adat Minangkabau tidak dikenal sama sekali tentang harta pusaka tinggi.

Pegang gadai

Pegang gadai di dalam Adat Minangkabau dibolehkan dengan syarat – syarat yang diatur sendiri pula oleh adat. Karena pegang gadai berfungsi sosial tolong menolong di dalam adat, maka di boleh oleh adat dengan syarat :

1. Rando Gadang tak balaki

Seorang anak kemenakan yang akan dipersuamikan telah lewat umurnya sedangkan untuk suami belum dapat. Maka untuk keperluan tersebut dibolehkan menggadai kepada : tali adat yang berdekatan dengan pasukan secara bajanjang.

2. Membangun Gelar (Soko) 3. Mayat terbujur di atas rumah

137 4. Mendirikan rumah adat

HIBAH (Pemberian)

Di dalam adat Minangkabau karena ajarannya selalu berdasarkan budi, yang lahir dalam bentuk raso dan pareso, malu dan sopan sesamanya, maka hibbah berlaku di dalam Adat Minangkabau, yang artinya adalah pemberian. Karena adat sangat mengutamakan kelansungan dari harta pusaka tinggi untuk dilanjutkan kepada anak cucu kaum itu dibelakang hari, maka adat mambagi Hibah (pemberian) ini tiga macam :

1. Hibah laleh 2. Hibah bakeh 3. Hibah pampeh

Ket :

1. Hibah laleh hanya kepada anak dari seorang yang menguasai harta – harta pusaka tinggi dari suatu kaum yang telah punah (habis keturunan bertali darah menurut adat). Atau kepada kemenakan sepesukuan, yang akibatnya tidak berpindah manah dan suku serta bangsa kesuku lain. Hibah ialah berlaku kepada anak kandung dengan jalan menjadikan anak kanduang tersebut menjadi kemenakan, tetap tinggal dan hidup keturunan di dalam suku dan keluarga korong kampung pusaka yang dihibahkan oleh sibapak, disebut dalam adat : Dianyuek ka aie dareh, dibuang ka tanah lapang salamo dunia takambang nan harato indak kababaliek lai atau kepada orang yang sangat dicintai karena jasanya.

2. Hibah Bakeh ialah harta pusaka yang dihibahkan oleh seorang bapak yang telah punah kepada anak kandungnya, yang sifatnya pemberian itu berlaku selama umur anak yang ditunjuk atau semua anak laki – laki dan perempuannya. Setelah anak – anak itu meninggal dunia maka harta pusaka tinggi tersebut kembali dengan sendirinya, maka kepada suku yang bersangkutan penguasaan selanjutnya kepada anak cucu yang akan datang :

Kabau mati kubangan tingga Baju tasaruang ka nan punyo Karieh baliek ka saruangnyo Harato pulang ka pangkanyo Sirieh pulang ka gagangnyo Pinang pulang ka tampuaknyo

138 3. Hibah pampeh yaitu harta pusaka tinggi yang diberikan oleh sesorang penghulu kepada anak atau orang lain, mungkin karena banyak harta pusaka atau mungkin karena punah, tetapi diberikan papasannya berupa uang atau emas yang dinilai jumlahnya. Setelah jangka waktu yang telah ditentukan telah habis, maka anak kemenakan yang bersangkutan dapat menerima kembali harta pusaka yang dihibahkan itu dengan memberikan pampasan (tebusan). Dalam adat disebutkan : majua indak saharagonyo mambali indak jo sapatuieknyo. Di dalam pagang gadai dan hibah yang tiga macam ini sangat memerlukan kata mufakat dari anggota kaum yang bersangkutan dari pusaka tinggi yang aka digadaikan dan dihibahkan agar tidak terjadi saling sengketa dalam kaum itu sendiri dan jangan sekali – kali untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, bak kata adat :

Gadai bapamaciek Hibah basitahu – tahu

Berpedoman kepada sifat – sifat yang harus dipunyai oleh seorang penghulu, yakni benar, benar, jujur, cerdik dan sebagainya, maka tidaklah akan timbul persengketaan tentang pegang, walaupun telah beratus tahun, asal dituruti ketentuan tentang gadai. Harta pusaka ini seperti : menghadirkan jihat (pasupadan) yakni orang – orang yang merupak jihat dari harta pusaka yang digadaikan sebagai saksi, yang mempunyai tanggung jawab moral untuk mematuhi apa yang telah terjadi tentang harta usaka sepadanya. Umpanya tergadai, beberapa piringnya dan dimana tempatnya dan berapa pula harga gadainya. Tanggung jawab jihat ini dikuatkan pula oleh niniak mamak (penghulu) yang bersangkutan dari harta pusaka tersebut dan juga oleh penghulu orang tempat.manggadai (memegtang), begitupun oleh penghulu – penghulu jihat yang menyaksikannya. Selanjutnya menjadi tanggung jawab moral bagi orang yang menghadiri dan melihat pelaksanaan gadai ini meneruskan (mewariskan) kepada anak kemenakannya masing – masing untuk tetap dipegang sebagaiman mestinya. Untuk itu dalam adat diperlukan :

1. Basitahu – tahu baik oleh yang menggadaikan, maupun oleh yang memegang dan begitupun jihat dengan harta pusaka tersebut.

2. Dua tahun cukup ketiga ialah suatu penggadaian harta pusaka yang telah disepakati secara bersama itu, hendaklah dalam masa dua tahun lebih ditebusi kembali oleh yang punya pusaka. Dan mungkin saja ada kesulitan karena belum ada kesanggupan umpanya, maka adat pun mengaturnya tentang yang demikian itu :

139 a. Dua tahun cukup ketiga ( dua tahun lebih ) sedikit dianjurkan untuk menebusi

kembali

b. Dialihkan kepada orang lain menggadaikan

c. Dipedalam artinya kalau tidak bisa menebus harta tersebut karena belum ada kemampuan, maka boleh ditambahkan jumlah harga gadainya. Baik menebus kembali, maupun memindahkan gadai harta tersebut kepada orang lain haruslah diketahui oleh orang – orang (penghulu) dan jihat yang diwaktu pelaksanaan mula – mulanya dihadirkan dari kedua belah pihak sipenggadai dan sipemegang.

d. Disabuiek – sabuiek untuk tidak timbul dan kejadian penyimpangan dari gadai yang sebenarnya, umpamanya dibilang oleh sipemegang artinya, pusakanya bukan dipegang atau sudah dibelinya. Maka dalam adat kalau belum ada kemampuan menebus kembali, begitupun memindahkan gadai atau mempedalam karena suatu hal, maka perlu disebut – sebut kepada sipemegang setiap tahun begitupun kepada jihat bahwa harta tersebut adalah harta sipenggadai. Apabila hal tersebut di atas dilakukan secara baik dan tertib tidaklah terjadi silang sengketa atau kekeliruan, walaupun tidak tertulis sekalipun.

C. SANGSAKO

Sangko adalah gelar yang bukan sifatnya turun temurun, tetapi adalah gelar yang sifatnya diberikan dengan mufakat karena jasanya atau karena dia untuk menggapai sesuatu tugas didalam adat, ini disebut di dalam adat :

Sangsako pakai mamakai

Gelar ini bisa saja berpindah – pindah dari satu lingkungan yang lain dan penempatan gelar sangsako ini senantiasa dilandaskan kepada kata mufakat dan menurut mungkin dan patut. Sebagai contoh tentang gelar ini ialah yang diberikan kepada seorang penghulu karena dia dipilih menjadi kepala suku, maka digelarilah dengan datuak suku, Imam di dalam adat atau pemberian yang sama dengan itu kepada seseorang. Sangsako ini tidak ada sangkut pautnya dengan harta pusaka tinggi, karena dia bukan gelar pusako tinggi (Soko) yang diterima secara turun temurun semenjak dahulu dari nenek moyang, atau termasuk dalam cupak buatan adat.

140

TOKO POKOK PENGHULU/PEMIMPIN