KAJIAN PUSTAKA
3. Penilaian autentik
2.1.4 Pendekatan Berbasis Genre (Genre Based Approach)
Pendekatan Berbasis Genre pertama kali dikembangkan di Australia oleh kaum Linguistik Sistemik Fungsional (SFL) dari Halliday. Kemunculan pendekatan ini disebabkan oleh pengajaran Bahasa inggris di Australia pada waktu itu mengabaikan pengajaran tata Bahasa (Lewin dkk., 2001). Salah satu pandangan penting dari kaum SFL ini adalah bahwa makna sangat dipengaruhi oleh konteks budaya masyarakat pemakai bahasa itu. Pendekatan ini juga disebut sebagai pedagogik intervensionis karena menekankan pentingnya guru dalam proses belajar siswanya. Para ahli GBA juga berpendapat bahwa pendidik atau pengajar mempunyai tanggung jawab untuk melakukan intervensindalam proses belajar (Emilia, 2011)
GBA telah mempengaruhi sistem Pendidikan secara keseluruhan di Australia dan telah diadopsi di berbagai jenjang pendidikan. Derewianka (2003) telah mencatat bahwa GBA telah digunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi, baik bagi pemelajar bahasa Inggris kepada penutur asli maupun bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (TESL)
atau bahasa asing (TEFL) di berbagai negara: Amerika Serikat, Canada, Inggris, Italia, Australia, Hongkong, China, Thailand sampai Singapura.
Ada beberapa prinsip Pembelajaran Berbasis Genre. Dalam hal ini, Derewianka (2003) mengemukakan bahwa prinsip PGB berfokus pada teks, berfokus pada tujuan sosial, berfokus pada makna dan pilihan, bahasa dalam konteks, serta budaya dan ideologi. Berikut penjelasannya masing-masing.
1. Pembelajaran menggunakan PBG berfokus pada teks. Siswa dituntut untuk memahami dan membentuk teks secara utuh. Butir-butir kebahasaan seperti kalimat, kata, morfem, dan fonem didayagunakan untuk memahami dan membentuk teks utuh. Tujuan sosial berbahasa adalah menyampaikan makna, sedangkan makna mengacu pada teks dengan konteksnya. Oleh karena itu, teks dianggap satuan bahasa yang paling tepat untuk menyampaikan makna. Teks menjadi fokus, bukan kalimat dan satuan-satuan di bawahnya.
2. Pembelajaran berfokus pada tujuan sosial. Teks yang dipahami dan diproduksi sesuai dengan tujuan sosial yang dimaksudkan oleh penutur. Pemakaian bahasa berorientasi pada tujuan (sosial): apakah penutur bermaksud memenuhi kebutuhan seperti berbelanja, menceritakan sakitnya pada dokter, atau sekedar ngerumpi dengan teman akrab dalam situasi yang santai dan tidak formal. Tujuan sosial menentukan jenis teks apa yang digunakannya: teks untuk tawar-menawar di pasar tradisional berbeda dengan teks ketika menceritakan rasa sakit kepada dokter, berbeda pula dengan teks untuk sekedar mengobrolkan hal-hal yang ringan secara santai.
3. Pembelajaran berfokus pada makna dan pilihan. Dalam pembelajaran bahasa, memahami dan menyatakan makna merupakan hal yang utama. Untuk menyatakan suatu makna tersedia banyak pilihan gramatika dan kosakata. Untuk mendeskripsikan tempat wisata yang menjadi pilihan tujuan ketika liburan datang, tersedia banyak jenis kalimat dan kosakata yang sesuai. Memang ada jenis kalimat tertentu untuk jenis teks tertentu. Misalnya, untuk membuat deskripsi lebih banyak digunakan kalimat berita, sementara untuk teks resep masakan, misalnya, banyak digunakan kalimat perintah dseperti dalam teks prosedur.
4. Bahasa dalam konteks. Hal ini berhubungan dengan cara memahami dan menguratakan maksud sesuai dengan tujuan sosialnya, siswa hendaknya memperhatikan konteks situasi. Konteks situasi itu mencakup siapa berbiara kepada siapa (tenor), menggunakan bahasa apa (mode), dan membicarakan apa (field). Suatu teks yang dimaksudkan untuk menyampaikan rasa sakit (field) seorang pasien kepada dokter (tenor) dengan bahasa lisan yang jelas dan sopan (mode), berbeda dengan teks yang digunakan untuk menyampaikan pengalamannya di tempat kerja yang baru kepada temannya dalam surat elektronik pribadi. Demikianlah, dalam PBG konteks situasi berbahasa menjadi faktor penting yang menentukan jenis teks yang dipilihnya.
5. Budaya dan ideologi. Dalam teori tentang teks terdapat satu pandangan kritis bahwa tidak ada teks yang tidak bermuatan budaya dan ideologi. Jenis teks dapat berbeda dari satu budaya ke budaya lain. Misalnya, berbicara secara
“lemah-lembut” dapat dianggap penakut dan ragu-ragu menurut suatu budaya, tetapi dianggap sopan dan anggun oleh budaya lain.
Gagasan genre memang telah mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Freedman dan Medway (Lewin dkk, 2001) mengemukakan definisi tradisional genre berfokus pada keteraturan tekstual. Dalam studi sastra tradisional genre didefinisikan oleh konvensi bentuk. Namun, baru-baru ini, dalam studi komposisi dan studi retorika saat ini, konsepsi genre telah berkembang ‘untuk dapat menghubungkan pengakuan keteraturan dalam jenis wacana dengan pemahaman sosial dan budaya yang lebih luas tentang bahasa yang digunakan.
Pendekatan ini merupakan pendekatan pembelajaran yang membantu siswa lebih kompeten berbahasa, mampu berkomunikasi melalui penguasaan keterampilan berbahasa di antaranya dengan kegiatan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam menerapkan pendekatan ini, ada empat siklus yang dapat digunakan yaitu membangun konteks, menelaah model atau dekonstruksi model, latihan terbimbing dan unjuk kerja mandiri (Roses dan Martin via Kemendikbud, 2017). Berikut uraian kegiatan tersebut.
1. Membangun Konteks (Building Knowledge of Field). Tahap ini merupakan langkah-langkah awal yang dilakukan guru bersama peserta didik untuk mengarahkan pemikiran ke dalam pokok persoalan yang dibahas pada setiap pelajaran. Peserta didik dipajankan kepada pembahasan atau kegiatan yang membantu peserta didik memaknai konteks situasional dan kultural genre yang sedang dipelajari. Contoh teks dapat berupa teks autentik, teks
modifikasi, teks adaptasi, teks buatan guru sendiri, atau teks yang diberikan oleh para ahli pendekatan genre-based yang relevan.
2. Menelaah Model/Dekonstruksi teks (Modelling of Text). Tahap ini berisi tentang pembahasan teks yang diberikan sebagai model pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada semua aspek kebahasaan yang membentuk teks itu secara keseluruhan. Dalam tahap ini menarik perhatian peserta didik diarahkan untuk mengidentifikasi tujuan dan struktur generik (skematik) dan fitur bahasa teks.
3. Latihan Terbimbing (Joint construction of the text). Pada tahapan ini, siswa berlatih menggunakan semua hal yang telah dipahaminya pada tahap sebelumnya. Siswa melewati tahap brainstorming, drafting, revising, editing, proofreading, dan publishing
4. Unjuk Kerja Mandiri (Independent construction of text). Pada tahapan ini, siswa diberi kesempatan untuk menulis secara mandiri, dengan bimbingan guru yang minimal, hanya kalau diperlukan. Setelah menulis teks secara mandiri, siswa juga dapat melakukan refleksi terkait apa yang telah ditulis atau yang dilakukan, atau apa yang telah dipelajari selama pembelajaran, dan saat membandingkan teks yang mereka tulis dengan teks yang ditulis oleh temannya. Siswa juga dapat menceritakan kembali apa yang telah ditulisnya di depan kelas.