• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.4 Penentuan Jangka Simpan Arsip

Penentuan jangka simpan arsip, merupakan bagian terpenting dalam penyusutan arsip, pada prinsipnya harus mempertimbangkan dua hal yaitu nilai guna arsip dan pertanggung jawaban hukum dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Penentuan nilai guna arsip merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kegiatan penyusutan arsip dan perlu dilaksanakan dalam tata kearsipan. Penentuan nilai guna merupakan kegiatan untuk memilah arsip-arsip ke dalam dua kategori : 1) arsip yang bernilaiguna permanen yang harus disimpan; 2) arsip yang bernilaiguna sementara yang dapat dimusnahkan dengan segera dikemudian hari.

Kegunaan arsip dapat berubah sesuai dengan kepentingan penggunaan dan fungsi penggunaannya. Perubahan ini mempengaruhi pada perubahan nilai arsip serta masa atau jangka waktu penyimpanannya. Penilaian arsip tidak dapat

dilakukan secara mekanis, melainkan diperlukan kemampuan penalaran dan keahlian untuk menyerap dan menangkap berbagai kegunaan arsip dan fungsi arsip dalam berbagai kegunaan arsip dan fungsi arsip dalam berbagai kepentingan penggunaannya baik diwaktu sekarang maupun dimasa datang (Pedoman Tata Kearsipan LIPI, 2002).

Dari aspek nilai guna, sesuai dengan Surat Edaran Kepala ANRI Nomor 02/SE/1983, dapat dibedakan antara nilai guna primer dan nilai guna sekunder.

Semua arsip yang bernilai guna sekunder tersebut dalam prinsipnya adalah arsip bernilai guna permanen, artinya harus dilestarikan keberadaannya. Untuk arsip bernilai guna permanen, dapat disimpan secara terus menerus di lembaga pencipta (creating agency) apabila sudah tidak diperlukan lagi wajib diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia sebagai arsip statis.

2.5 Dasar Hukum Penyusutan Arsip

Menurut Hadiwardoyo (2002, 4) bahwasanya setiap upaya penyusutan arsip harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Dari aspek hukum terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:

1. Ketentuan yang mengatur bidang kearsipan. Dalam hal ini dapat disebutkan antara lain: Undang-undang No. 7 tahun 1971, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan Pasal 47 Ayat 2 : Penyusutan arsip yang dilaksanakan oleh lembaga Negara, pemerintah daerah, perguruan tinggi negeri, serta BUMN atau BUMD dilaksanakan berdasarkan Jadwal Retensi Arsip dengan memperhatikan

kepentingan pencipta arsip serta kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Surat Edaran Kepala Arsip Nasional RI No. 01/SE/1981 dan No.

02/SE/1983. Meskipun demikian dokumen untuk pengertian arsip perusahaan, juga perlu diperhatikan Undang-undang No. 8 Tahun 1997.

2. Ketentuan yang mengatur bidang operasional instansi/perusahaan/lembaga pencipta arsip (creating agency) setiap naskah dinas sebagai unsur pokok arsip, pada prinsipnya adalah konfidensial. Artinya harus mengikuti ketentuan hukum yang mengatur keberadaan dan cara kerja instansi/perusahaan/lembaga pencipta arsipnya. Beberapa produk hukum tertentu yang menyangkut ketentuan bagaimana suatu naskah dinas itu harus dikelola untuk menjamin akuntabilitas kegiatannya.

3. Ketentuan hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan lain, namun mengingat cara instansi/perusahaan memperlakukan arsipnya. Dalam hal ini dapat disebutkan antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Hukum Pidana, Hukum Perdata, ISO 9000, dan kontrak-kontrak kerja yang menyangkut hal-hal khusus. Pengertian khusus dihubungkan dengan teknologi tinggi, operasi inteligen, dan lain-lain.

Penyusutan arsip harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Artinya penyusutan arsip bukanlah hanya sesuatu masalah yang mendesak, melainkan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dilaksanakan dengan tanggung jawab hukum yang jelas. Harus ada prosedur standar operasional dalam pelaksanaannya sehingga setiap ketentuan dapat diukur dan dituntut pertanggungjawabannya.

Manajemen arsip pada prinsipnya adalah manajemen naskah dinas dan bentuk konfidential. Artinya informasi didalamnya hanya boleh diketahui atau dilihat oleh orang yang memerlukan dan berhak. Karena itu harus ada ketentuan hukum yang mengatur keterbukaan informasi, sehingga keberadaan Jadwal Retensi Arsip, pada dasarnya hanya merupakan pedoman kerja bagi para petugas arsip/arsiparis yang secara fungsional menjadi bagian dari struktur organisasi pencipta arsipnya. Adanya Jadwal Retensi Arsip, maka petugas arsip/arsiparis di instansi yang bersangkutan dapat secara langsung melakukan penyusutan arsip secara sistematis berdasarkan pedoman yang sah. Dengan demikian peningkatan, kecepatan akumulasi arsip dapat diimbangi dengan kelancaran penyusutan, sehingga hanya arsip yang masih bernilai guna sajalah yang disimpan. Hal ini akan bermuara untuk penemuan arsip. Hal penting dari manajamen arsip yang baik adalah bahwa unit kearsipan menjadi bagian fungsional manajemen instansi dalam rangka meningkatkan efisiensi operasional.

Penyusutan arsip, dalam perspektif ilmu pengetahuan adalah fungsi pelestarian arsip yang bernilai guna sekunder bagi kehidupan kebangsaan. Dengan adanya pedoman penyusutan arsip sejak awal telah dapat dipantau dan dilakukan langkah penyelamatan bukti pertanggung jawaban nasional dan bukti prestasi intelektual berupa nilai budaya bangsa yang terekam dalam bentuk arsip. Bukti pertanggung jawaban dan prestasi budaya tersebut bukan saja bermanfaat bagi kepentingan penelitian sosial, budaya dan sejarah dalam rangka pembentukan kesadaran jati diri bangsa, melainkan yang terpenting justru memberikan dukungan data atau informasi dalam perumusan kebijaksanaan sosial.

2.6 Sistematika dan Proses Penetapan Jadwal Retensi Arsip

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1979, suatu JRA setidak-tidaknya harus berisi informasi tentang tiga hal, yaitu jenis arsip, jangka simpan dan keterangan. Berdasarkan ketentuan tersebut untuk penentuan model JRA terbuka luas, sesuai kebutuhan instansi asing-masing.

Artinya dapat dilakukan pembuatan lebih rinci, misalnya menyangkut jangka simpan aktif, inaktif dan lain-lain. Berdasarkan pengalaman teoritis dan praktek di lapangan, sebuah JRA sangat tepat bila disusun dalam format yang jelas, yaitu untuk menentukan jangka simpan arsip harus dilihat dari aspek fungsi dan untuk menentukan nasib akhir harus dilihat dari aspek substansi informasi. Jenis arsip merupakan susunan arsip dan sebuah seri kegiatan (Record Series), sementara jangka simpan dibedakan antara, arsip aktif dengan inaktif. Pada kolom ditempatkan disposisi mengenai nasib akhir bagi setiap seri arsip.

Menurut Diers (1992, 6) menyatakan kebijakan retensi biasanya berasal dari tiga sumber yaitu: a) undang-undang pemerintah dan arahan badan pengawas;

b) persyaratan hukum diamanatkan oleh penasihat perusahaan; dan c) operasi organisasi perlu. JRA pada prinsipnya adalah produk hukum untuk menjamin bahwa penyusutan arsip dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dengan demikian juga merupakan jaminan akuntabilitas kegiatan atau perusahaan dan sekaligus perlindungan hukum bagi setiap petugas arsip atau arsiparis yang melakukan penyusutan arsip di instansi atau perusahaanya masing-masing (Hadiwardoyo, 2002, 6).

Keberadaan JRA sesuai dengan Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1979, merupakan keharusan bagi setiap instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara. Kehadiran UU Nomor 8 Tahun 1997 tidak merubah esensi penyusutan arsip, dan bahkan menjadikan penyusutan sebagai komitmen nasional karena setiap perusahaan wajib menyerahkan arsip statis yang bernilai pertanggungjawaban nasional ke Badan Arsip. Dengan demikian, diperlukan kerjasama yang baik dengan Badan Arsip agar penyusutan arsip secara sistematis dilaksanakan dengan baik oleh setiap instansi atau perusahaan.

Oleh karena itu, JRA adalah sebuah produk hukum, sebuah keputusan pucuk pimpinan instansi (Menteri, Kepala LPND, Direksi Perusahaan), untuk menjamin bahwa penyusutan arsip di instansinya telah dilakukan sesuai dengan kebutuhan hukum yang berlaku. Dengan demikian juga merupakan jaminan akuntabilitas kegiatan instansi atau perusahaan dan sekaligus perlindungan hukum bagi petugas arsip atau arsiparis yang melakukan penyusutan arsip di masing-masing instansi atau perusahaan.

Sedangkan akhir dari JRA ada dua, yakni memusnahkan atau menyerahkan arsip statis ke Arsip Nasional Republik Indonesia. Berdasarkan pertimbangkan tersebut, maka diperlukan kesepakatan ANRI dengan perancang JRA, mengingat tiga hal : (ANRI, 1980)

1. Aspek Efisiensi : Dengan adanya JRA yang telah disetujui ANRI, berarti suatu instansi dapat melakukan penyusutan arsipnya sendiri sesuai ketentuan JRA.

2. Aspek Akuntabilitas : Dengan bekerjasama dengan ANRI memungkinkan setiap instansi melestarikan arsip statis yang dianggap mewakili akuntabilitas perannya secara nasional.

3. Aspek Budaya : Dengan adanya peran ANRI dalam perumusan JRA, berarti setiap instansi dapat menyelamatkan arsip bukti pertanggungjawaban nasional dan bukti keberadaan/sejarah instansinya secara otomatis sejak arsip masih aktif.

Secara hukum proses penentuan JRA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1979. Secara umum, dapat dikatakan sebagai berikut :

1. Pembuatan JRA adalah kewajiban dan hak sepenuhnya bagi pencipta arsip.

2. Perumusan rancangan JRA instansi disusun oleh suatu Tim yang dibentuk oleh pimpinan instansi atau perusahaan.

3. Arsip Nasional Republik Indonesia dapat ditempatkan sebagai konsultan atau narasumber perumusan JRA instansi atau perusahaan.

4. Rancangan JRA harus diajukan kepada Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk memperoleh persetujuan. Dalam hal mengenai arsip Keuangan perlu dipertimbangkan pendapatnya Ketua BPK, dan Ketua BKN untuk arsip kepegawaian, serta Menteri Dalam Negeri untuk Arsip Pemerintahan Daerah.

5. Pimpinan instansi atau Direksi Perusahaan menetapkan Keputusan berlakunya JRA dilingkungan instansinya setelah memperoleh persetujuan

kepala ANRI.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya, seperti wawancara, observasi, tes maupun dokumentasi (Arikunto, 2002, 136) sedangkan menurut Subagyo (2006, 2)

“metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan”.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ialah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bodgan dan Taylor yang disitir oleh Basrowi dan Suwandi, 2008, 21) sedangkan tujuan dari penelitian kualitatif menurut Sulistyo-Basuki (2010, 78) ialah bertujuan untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat yang beralamat di Jl. Pramuka V. No.2 Khatib Sulaiman Padang, Sumatera Barat. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus 2016.

3.3 Informan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengumpulan data adalah pemilihan informan. Dalam penelitian kualitatif

tidak digunakan istilah populasi. Teknik sampling yang digunakan oleh peneliti adalah purposive sample.

Purposive sample adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009, 85). Selanjutnya Arikunto (2010, 183) pemilihan sampel secara purposive pada penelitian ini akan berpedoman pada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut :

a. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.

b. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subjects).

c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan.

Seperti yang telah disebutkan bahwa pemilihan informan merupakan hal yang sangat utama sehingga harus dilakukan secara cermat, karena penelitian ini mengkaji tentang penerapan JRA di BPA Provinsi Sumatera Barat maka peneliti memutuskan informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang yang merupakan pengelola arsip di BPA Provinsi Sumatera Barat, yaitu 2 orang Bidang Sekretariat, dan 2 orang Bidang Pengelolaan Arsip In Aktif.

Keterangan dari informan mengenai penerapan Jadwal Retensi Arsip dalam proses penyusutan arsip di BPA Provinsi Sumatera Barat menjadi analisis dalam penilitian ini. Untuk memudahkan analisis data, informan tersebut diberi nomor kode informan mulai dari I1 hingga I4 :

Tabel 3.1 Keterangan Informan

Informan Kode Informan

Bidang Sekretariat I1, I2

Bidang Pengelolaan Arsip In Aktif I3, I4

3.4 Data dan Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Hasil penelitian didapatkan melalui dua sumber data, yaitu:

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan dan sebenarnya di lapangan.

Sumber data primer pada penelitian ini penulis peroleh dari informan di BPA Provinsi Sumatera Barat adalah pegawai yang bekerja pada Bidang Sekretariat, Bidang Pengelolaan Arsip In Aktif.

2. Data Sekunder adalah merupakan data tambahan atau data pelengkap yang sifatnya untuk melengkapai data yang sudah ada, seperti: buku-buku referensi tentang arsip, jurnal dan sebagainya. Data sekunder juga bersumber pada dokumen, dan studi literatur.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengupulan data dala peneliti ini melalui:

1) Wawancara

Wawancara adalah proses interaksi yang dilakukan antara dua orang atau lebih dimana kedua pihak yang terlibat (pewawancara atau interviewer dan terwawancara atau interviewee) memiliki hak yang sama dalam bertanya dan menjawab. Keduanya boleh saling memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara”. (Afrizal 2014, 27).

Maka untuk mengetahui data utama yaitu dengan mewawancarai informan agar memperoleh data yang akurat dan relevan. Cara yang dilakukan dalam teknik wawancara ini adalah wawancara terstuktur dengan mengajukan pertanyaan yang terstuktur kepada informan untuk mendapatkan data mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Pedoman wawancara harus dibuat agar peneliti tetap fokus dan tidak menyimpang dari masalah yang akan dipertanyakan dengan susunan teori yang terkait.

2) Observasi

Observasi merupakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian di BPA Provinsi Sumatera Barat yaitu tentang penerapan Jadwal Retensi Arsip dalam proses penyusutan arsip.

3) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data melalui berbagai literatur dan dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.6 Teknik Analisis Data

Data yang sudah diperoleh dari hasil wawancara berupa jawaban dari informan akan disortir terlebih dahulu dengan cara membandingkan jawaban dari informan satu dengan jawaban informan yang lainya untuk mempermudah dalam analisis data. Analisis data dalam penelitian kualitatif terdiri dari beberapa alur kegiatan antara lain adalah:

1) Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses memfokuskan dan mengabstraksikan data menjadi informasi yang bermakna. Menurut Bungin (2007, 70) “reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data secara kasar yang timbul dalam catatan-catatan tertulis dilapangan”.

Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti.

Peneliti menganalisis hasil wawancara yang telah diungkapkan oleh informan dengan berpedoman menggunakan beberapa sumber informasi seperti buku, jurnal dan sebagainya.

2) Penyajian Data

Untuk mempermudah pemahaman terhadap informasi yang besar jumlahnya, maka dalam penyajian data akan dilakukan penyederhanaan informasi dengan cara berbentuk teks naratif, tabel dan sebagainya.

3) Verifikasi Data

Tahapan selanjutnya adalah verifikasi dari kegiatan sebelumnya dan dilanjutkan ke penarikan kesimpulan. Pada tahap ini peneliti akan melakukan

proses menginterprestasi data-data yang telah dikumpulkan dengan metode wawancara serta observasi sambil melakukan pencocokan terhadap kesimpulan yang akan dibuat.

3.7 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data

Untuk menjaga keabsahan data dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode triangulasi, yaitu teknik yang dilakukan dengan meminta penjelasan lebih lanjut kepada informan. Adapun teknik triangulasi yang digunakan adalah:

1. Triangulasi Data

Menggunakan berbagai sumber data seperti hasil wawancara, hasil observasi dan dokumen pada Padan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat.

2. Triangulasi Teori

Penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut.

3. Triangulasi Metode

Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancara dilakukan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat adalah sebuah instansi Pembina Perpustakaan dan Kearsipan. Dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2008 pada 21 Juli 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat.

Peraturan Daerah tersebut keluar menindaklanjuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Keberadaan dari Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat tidak dapat dilepaskan dari Lembaga Perpustakaan dan Lembaga Kearsipan yang ada di Sumatera Barat. Sebelumnya, lembaga ini merupakan dua lembaga yang disatukan menjadi satu akibat dikeluarkannya Peraturan Daerah yang tersebut diatas yaitu Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007.

4.2 Gambaran Umum Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat (BPA) Provinsi Sumatera Barat dibentuk sesuai dengan Peraturan Derah Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2008 pada tanggal 21 Juli 2008 tentang

Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat, dimana sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dijelaskan bahwa BPA Provinsi Sumatera Barat merupakan unsur penunjang Pemerintah Daerah di bidang Perpustakaan dan Kearsipan, dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya berada dibawah dan tanggungjawab Gurbernur melalui Sekretaris Daerah.

BPA Provinsi Sumatera Barat dipimpin oleh seorang Kepala Badan dan Kantor Badan Kearsipan Derah Provinsi Sumatera Barat dipimpin oleh seorang Kepala Badan saat dikeluarkannya peraturan tersebut maka kedua lembaga tersebut digabung menjadi satu dengan nama lembaga Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat yang saat ini dikepalai oleh Bapak Drs. Alwis.

Saat ini BPA Provinsi Sumatera Barat untuk administrasi perkantoran dan kearsipan berada di Jl. Pramuka V. Nomor 2 Khatib Sulaiman Padang.

4.3 Sistem Kearsipan Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat

Kearsipan mempunyai peranan sebagai sumber informasi dan sebagai alat pengawasan yang sangat diperlukan dalam setiap organisasi dalam rangka kegiatan perencanaan, penganalisaan, pengembangan, perumusan kebijaksanaan, pengambilan keputusan, pembuatan laporan, pertanggungjawaban, penilaian dan pengendalian setepat-tepatnya. Setiap kegiatan tersebut, baik dalam organisasi pemerintahan maupun swasta selalu ada kaitannya dengan masalah arsip. Arsip mempunyai peranan penting dalam proses penyajian informasi bagi pimpinan

menyajikan informasi yang lengkap, cepat dan benar haruslah ada sistem dan prosedur kerja yang baik di bidang kearsipan.

Setiap organisasi, baik organisasi pemerintahan dan organisasi swasta harus menyelenggarakan sistem kearsipan yang baik, dengan demikian sistem kearsipan mempunyai sejumlah komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan, dapat dikatakan bahwa kearsipan merupakan suatu sistem informasi manajemen. Komponen sistem kearsipan meliputi pengolahan data dan fakta menjadi informasi manajemen, metoda dan evaluasi. Keseluruhan komponen itu saling berinteraksi dan berhubungan bersama-sama untuk mencapai tujuan.

Untuk mencapai tujuan tersebut setiap organisasi harus mampu menjalankan suatu sistem kearsipan yang baik. Sistem kearsipan terdiri dari 3 sistem, sesuai dengan teori menurut Guible yang disitir oleh Sukoco (2006, 96) mengatakan bahwa ada tiga sistem kearsipan yang dapat diaplikasikan oleh suatu organisasi yakni: a) sistem penyimpanan terpusat (sentralisasi); b) Sistem penyimpanan desentralisasi; dan c) sistem penyimpanan kombinasi sentralisasi dan desentralisasi dimana setiap sistem kearsipan tersebut memilik kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Sistem kearsipan di BPA Provinsi Sumatera Barat adalah menggunakan sistem sentralisasi yaitu penyelenggaraan atau penanganan arsip dilakukan dengan cara dipusatkan kesatu unit di Unit Pengolah Sekretariat Provinsi Sumatera Barat yang khusus menangani tentang arsip. Sistem ini disebut juga dengan sistem satu pintu atau one door / gate policy. Dengan sistem sentralisasi ini akan lebih mudah

dalam pengendalian dan penelusuran arsip, karena pencatatan penelusurannya, dan pengiriman arsip dilakukan secara terpusat.

Penerapan sistem kearsipan sentralisasi di Unit Pengolah Sekretariat BPA Provinsi Sumatera Barat, dalam bidang kebijakan yang mencakup kewenangan, mengenai :

a. Penerimaan surat masuk dan pengiriman surat keluar melalui satu unit kerja secara terpusat (sentral) di Unit Pengolah Sekretariat BPA Provinsi Sumatera Barat.

b. Klasifikasi dan tata cara penyimpanan arsip pemerintahan Provinsi Sumatera Barat.

c. Pemindahan arsip aktif menjadi arsip in aktif.

d. Penyusunan daftar Jadwal Retensi Arsip BPA Provinsi Sumatera Barat.

4.4 Organisasi dan Tugas Kearsipan Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat

Sesuai dengan kebutuhan organisasi penyelenggara kearsipan di lingkungan BPA Provinsi Sumatera Barat terdiri dari dua (2) Unit Kearsipan, masing-masing adalah :

1. Unit Kearsipan I

Unit Kearsipan I adalah Unit Kearsipan tingkat pusat yang berada di BPA Provinsi Sumatera Barat terdiri dari Bidang Pengelolaan Arsip In Aktif, Bidang Pengelolaan Arsip Statis dan Bidang Pemeliharaan dan Pelestarian Arsip yang merupakan Unit Kearsipan Pusat untuk seluruh Unit Kerja di lingkungan BPA Provinsi Sumatera Barat dan 48 SKPD. Adapun

tugas-a. Membina pengelolaan kearsipan di Unit Pengolah BPA Provinsi Sumatera Barat dan 48 SKPD.

b. Mengelola, menyimpan, dan memelihara arsip in aktif dan arsip statis di lingkungan BPA Provinsi Sumatera Barat dan 48 SKPD.

c. Pembuatan JRA untuk arsip in aktif dari 48 SKPD.

d. Melaksanakan pemusnahan arsip in aktif dari lingkungan BPA Provinsi Sumatera Barat dan arsip in aktif 48 SKPD yang sudah habis masa retensinya dengan mempedomani JRA.

e. Penyerahan arsip statis ke ANRI.

f. Melaksanakan pemeliharaan dan pelestarian arsip di lingkungan BPA Provinsi Sumatera Barat dan 48 SKPD.

Unit-Unit Pengolah yang dilayani oleh Unit Kearsipan I adalah :

a. Unit Pengolah Sekretariat BPA Provinsi Sumatera Barat dan 48 SKPD.

a. Unit Pengolah Sekretariat BPA Provinsi Sumatera Barat dan 48 SKPD.