• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Prinsip Kesantunan sebagai Wujud Pengungkapan

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 194-198)

Akses Media Sosial di Indonesia

Sarkasme 55 Ekspresif 77 Terus Terang

4) Penerapan Prinsip Kesantunan sebagai Wujud Pengungkapan

Pelanggaran yang dominan terhadap prinsip kesantunan dalam tuturan yang dilakukan oleh komunitas pendukung paslon mengenai wacana politik Pilkada DKI Jakarta seperti terlihat dalam tabel terdahulu mengindikasikan bahwa tuturan tersebut disampaikan secara ‗tidak santun; sehingga menimbulkan kerugian besar bagi pihak-pihak yang dituju, sebab mematuhi prinsip kesantunan merupakan modal dasar seseorang dapat bertutur santun. Hal ini sejalan dengan pendapat Leech (1986:170) yang menganggap bahwa kesantunan berbahasa adalah usaha untuk membuat adanya keyakinan dan pendapat yang tidak sopan menjadi sekecil mungkin dengan mematuhi prinsip kesantunan berbahasa.

Dihubungkan dengan kekerasan verbal, pelanggaran prinsip kesantunan dalam bertutur dapat memicu terjadinya konflik dan konfrontasi dalam pergaulan manusia. Pernyataan tersebut bertolak dari pernyataan (Lakoff dalam Syahrul, 2008:15) bahwa kesantunan adalah sistem yang memperkecil potensi konflik dan konfrontasi yang selalu terjadi dalam pergaulan manusia. Dengan demikian, tuturan yang melanggar prinsip kesantunan berbahasa termasuk ke dalam bentuk kekerasan verbal. Hal ini dikarenakan bahwa, kekerasan merupakan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan (Lardelleir dalam Haryatmoko, 2007:119), yang dapat terwujud salah satunya dalam bentuk verbal (Astuti, 2013:44).

Bertolak dari hasil analisis data terhadap empat unsur kesantunan yang ditetapkan sebagai objek kajian dalam penelitian ini, diklasifikasikan tiga pembahasan untuk mengetahui

187

tingkat kesantunan berbehasa dalam tuturan komunitas pendukung paslon tentang wacana politik Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai berikut.

b. Tingkat Kesantunan Komunitas Pendukung Paslon

Bertolak dari hasil analisis data terhadap empat unsur kesantunan yang ditetapkan sebagai objek kajian dalam penelitian ini, dapat direpresentasikan empat tingkatan kesantunan berbahasa para komunitas pendukung paslon tentang wacana politik Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai berikut ini.

Pertama, dominasi pendukung paslon memilih gaya retorik penyampaian dengan majas sarkasme (55 data), jenis tuturan ekspresif (77 data), strategi bertutur terus terang tanpa basa-basi (64 data), serta pelanggaran dominan terhadap prinsip kesantunan (99 data); maka 71 % tuturan berada pada ‗tindakan yang mengancam muka‘ (Face Threatening Acts) dengan tingkat ‗tinggi‘ karena parameter yang diajukan oleh Brown dan Levinson (1987:65- 67) tersebut berupa kritikan, merendahkan, mempermalukan, dakwaan, penghinaan, dll. Jika dirujuk pernyataan Leech (1986: 163-164) yang menghubungkan klasifikasi Searle mengenai tindak ilokusi, tuturan ekspresif sebenarnya secara instrisik cenderung ‖menyenangkan‖, kecuali ilokusi-ilokusi ekspresif mengecam, mengumpat, menghujat, menghina, dan mengkritik seperti yang ditemukan dalam penelitian ini yang cenderung berfungsi bertentangan (conflictive). Hal ini juga ditambah dengan ungkapan yang bersifat memecah belah, ras, agama, pelecehan, dan identifikasi yang keliru mengenai pasangan calon lainnya sebagai mitra tutur.. Demikian juga halnya dengan parameter ‗skala ketidaklangsungan‘ yang diajukan Blum-Kulka (1985:14) sudah membuktikan bahwa ‗Semakin langsung ungkapan disampaikan, maka semakin tidak santun ungkapan tersebut‘. Dengan demikian 71 % tuturan para pendukung paslon berada pada kategori ‗tidak santun‘. Klasifikasi ini ditandai dengan warna ‗merah‘ dalam tabel yang mengindikasikan bahwa tuturan yang digunakan ‗berbahaya‘.

Kedua, pilihan yang agak mendominasi adalah pada majas sinisme (30 data), jenis tuturan direktir dan komisif (17 data), dan strategi kesantunan negatif (17 data) dalam

188

tuturan komunitas pendukung paslon, maka 17 % dari tuturan berposisi pada keterancaman muka yang ‘cukup tinggi‘ karena parameter yang diajukan oleh Brwon dan Levinson (1987:65-67) berupa perintah, ancaman, peringatan, tantangan, kebencian, kemarahan, dll. sangat mengancam ‗muka negatif‘. Merujuk pernyataan Leech (1986: 163-164) yang dihubungkan dengan klasifikasi Searle mengenai tindak ilokusi, tuturan direktif dapat dimasukkan ke dalam kategori kompetitif, karena termasuk kategori ilokusi kesantunan negatif. Walaupun pada dasarnya strategi bertutur yang digunakan sudah berupaya untuk menjaga muka muka negatif, namun penggunaan ungkapan yang bernilai atau bernuansa sinis maka tuturan tersebut dapat digolongkan pada tingkat keterancaman muka yang ‗cukup tinggi‘. Dengan demikian, 17 % komentar para pendukung paslon berada pada klasifikasi ‗kurang santun‘. Klasifikasi ini ditandai dengan warna ‗kuning‘ dalam tabel yang mengindikasikan bahwa tuturan yang digunakan ‗cukup berbahaya‘.

Ketiga, pilihan yang kurang mendominasi pada majas ironi dan antifrasis (17 data), jenis asertif (8 data), dan strategi bertutur kesantunan positif (8 data) dan samar-samar (12 data), maka 12 % dari tuturan para komunitas paslon mengenai wacana politik Pilkada DKI Jakarta 2017 berada pada keterancaman muka yang ‗kurang tinggi‘. Sesuai dengan parameter Brown dan Levinson (1987:65-67) jika tuturan disampaikan dalam bentuk pernyataan, maka tuturan tersebut kurang berpotensi mengancam mitra tutur. Merujuk pernyataan Leech (1986: 163-164) yang dihubungkan dengan klasifikasi Searle mengenai tindak ilokusi, tuturan asertif cenderung netral yang tergantung pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Penggunaan majas ilokusi dan startegi bertutur samar-samar juga mengindikasikan bahwa tuturan tersebut kurang berpotensi mengancam muka mitra tutur. Hal ini sejalan dengan parameter Grice (dalam Pranowo, 2008:362) ―Pilihlah ungkapan yang tidak meremehkan status mitra tutur…‖ dan ‗skala ketidaklangsungan‘ Blum-Kulka (1985:14) bahwa ―semakin tidak langsung Anda menyampaikan tuturan, maka semakin santun ungkapan Anda‖. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 12 % dari tuturan para komunitas paslon mengenai wacana politik Pilkada DKI Jakarta 2017 berada pada tingkat ‗agak santun‘. Klasifikasi ini

189

ditandai dengan warna ‗hijau‘ dalam tabel, yang mengindikasikan bahwa tuturan yang digunakan ‗kurang berbahaya‘.

Klasifikasi keempat, ditandai dengan komentar para politikus yang mematuhi prinsip kesantunan sejumlah 3 data dari 102 total jumlah data. Artinya, hanya 2 % komentar dan pernyataan para politikus berada pada posisi ‗santun‘ karena tingkat keterancaman muka tidak ada (netral). Klasifikasi ini ditandai dengan warna ‗hitam‘ dalam tabel, mengindikasikan bahwa pernyataan yang digunakan ‗aman/netral‘.

Meskipun mewujudkan bertutur santun hanyalah menerapkan unsur-unsur kesantunan itu dalam bertutur, namun dalam kenyataannya secara umum para komunitas pendukung paslon tidak memilih cara yang standar tersebut, akan tetapi masing-masing pendukung memilih cara yang keras, agak brutal, dan meremehkan status mitra tutur, yang berpotensi tinggi mengancam muka positif dan negatif sehingga mengasilkan tuturan yang ‗tidak santun‘

Hasil penelitian ini, ternyata masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahyono (2005:54), yaitu ciri utama penyampaian informasi di media Pasca-Orde Baru ialah kelugasan yang diikuti dengan bahasa yang hiperbolis dan kasar, seperti kecaman, keluhan, kemarahan, ejekan, serta perendahan. Meskipun penelitian tersebut sudah lama dilakukan, namun faktanya masih terdapat pada wacana Pilkada DKI, baik dibeberapa media massa maupun di media sosial.

190

BAB VI

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 194-198)