• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengungkapaan Kekerasan Verbal oleh Komunitas Pendukung Pasangan Calon (Paslon) dalam Debat Pilkada DKI Jakarta

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 140-146)

Akses Media Sosial di Indonesia

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil/Temuan Penelitian

3. Pengungkapaan Kekerasan Verbal oleh Komunitas Pendukung Pasangan Calon (Paslon) dalam Debat Pilkada DKI Jakarta

Data penelitian ini adalah tuturan yang mengandung kekerasan verbal dalam wacana politik pilkada DKI Jakarta 2017 oleh komunitas pendukung paslon. Data diambil dalam jangka waktu Desember 2016-Mei 2017, dari akun-akun instagram komunitas pendukung

133

paslon yang ada di media sosial. Akun-akun tersebut adalah ‖potretpolitik, politikcrazy.id, gembonk.politik, politikkampus_, trolali.id, warkop.id, dan ‖dpp_fpi‖. Pada wacana politik pilkada DKI Jakarta tahun 2017, ditemukan sebanyak 102 tuturan oleh komunitas pendukung paslon yang mengandung kekerasan verbal. Berikut adalah rincian temuan penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah dicantumkan pada bab satu.

Tabel

Pengungkapan Kekerasan Verbal dalam Unsur Kesantunan

dalam Wacana Politik Pilkada DKI Jakarta oleh Komunitas Pendukung Paslon Ungkapan Diksi/Majas Jml Jenis Tuturan Jml Strategi Bertutur Jml Prinsip Kesantunan Melang -gar Mema- tuhi

Sarkasme 55 Ekspresif 77 Terus Terang 64 Kearifan - 10

Sinisme 30 Direktif 14 Ksntn Negatif 17 Kedermawanan 1 17

Ironi 16 Asertif 8 Ksntn Positif 9 Pujian 1 22

Anti Frasis 1 Komisif 3 Samar-samar 12 Krendhan Hati - 7

Satire Kesepakatan 1 26

Jumlah 102 Jumlah 102 Jumlah 102 Kesimpatian 17 Total (102) 3 99

Dari rincian tabel di atas, dengan pemilihan diksi yang kasar, jenis tuturan yang rawan, serta strategi yang langsung, maka dengan sendirinya terjadi pelanggaran total terhadap prinsip kesantunan yang dikaidahkan dalam berkomunikasi, apalagi diungkapkan di media sosial yang sifatnya sudah berada pada ranah publik speaking. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekerasan verbal yang dilakukan oleh komunitas pendukung paslon berwacana politik Pilkada pada media sosial di atas ‖berpotensi tinggi mengancam‖ muka mitra tuturnya.

a. Penggunaan Majas atau Gaya Bahasa Pengungkap Kekerasan Verbal oleh Para Pendukung Paslon

Dari 102 data yang didapatkan, ditemukan empat jenis gaya bahasa sindiran yang digunakan para pendukung paslon yang mengandung kekerasan verbal, yaitu jenis majas sarkasme (55 tuturan), sinisme (30 tuturan), ironi (16 tuturan), dan antifrasis (1 tuturan).

Dari rincian tersebut terlihat bahwa, penggunaan gaya bahasa didominasi atau berpusat pada majas sarkasme dan sinisme. Artinya, wacana politik Pilkada DKI Jakarta 2017 dikomentari oleh komunitas pendukung paslon secara kasar, pedas, terbuka, dan masif

134

sehingga langsung menohok orang atau pihak yang dituju. Jika dikaitkan dengan teori skala kesantunan berbahasa, tuturan mengenai wacana politik pilkada DKI Jakarta 2017 oleh komunitas pendukung paslon dapat dikategorikan tidak santun. Tuturan yang disampaikan dengan majas sarkasme sudah pasti bersifat langsung dan kasar. Hal ini diperkuat dengan rumusan skala kesantunan oleh Bulm-Kulka (Amir, dkk., 2006:14) ‖Semakin langsung Anda menyampaiakan tuturan, maka semakin tidak santun ungkapan Anda; namun semakin tidak langsung Anda menyampaikan tuturan, maka semakin santun ungkapan Anda‖.

Dengan demikian, tuturan yang tidak santun serta menggunakan gaya bahasa sindiran yang kasar, pedas, dan terbuka, serta berpotensi tinggi mengancam muka dan melukai hati lawan tutur adalah termasuk ke dalam bentuk kekerasan verbal. Menurut Astuti (2013:45), kekerasan verbal adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata --baik yang diucapkan atau pun yang ditulis-- berupa memaki, menyindir, sumpah-serapah, mengancam, serta mengeluarkan kata-kata kasar. Astuti (2007:14) juga menekankan bahwa apapun definisi kekerasan, baik berdimensi pastisipatif (melibatkan relasi pelaku atau korban), maupun berdimensi tunggal (tidak melibatkan relasi pelaku dan korban), kekerasan berdampak melukai fisik maupun batiniah mitra tuturnya.

1) Majas Sarkasme

Penggunaan gaya bahasa sarkasme dalam wacana politik pilkada DKI Jakarta 2017 oleh komunitas pendukung paslon ditemukan dalam tuturan berikut.

(2) Paslon 3 ibarat pengepul rongsokan. Ada koruptor, ormas radikal, kaum sumbu pendek, bahkan mantan bos prostitusi kalijodoh. (GP2:18/04/17)

(3) SELAMAT BUAT KAUM KELEDAI YANG MEMILIH GUBERNUR SEAGAMA (PK4:27/04/17)

(4) ―Pilihlah Anies dijamin masuk surga‖ Bener2 Ajaran Islam Pekok Bin Bahlul (PK12:3/04/17)

(5) NANTANG NANTANG SOK JAGO.. PENDUKUNG AHOK KEOK BABAK BELUR BERKELAHI 1 LAWAN 1... NANGIS NANGIS MINTA BANTUAN POLISI DAN FITNAH DIKEROYOK... TERNYATA SEGITU AJA KUALITAS PENDUKUNG SI PENISTA AGAMA... BACOT DOANG GEDE (DF9: 7/01/17)

(6) Semua berawal dari si dungu ini. Terpilih menjadi Gubernur DKI. Jabatan itu diwariskan kepada seorang Cina bermulut Jamban.Tentu saja si mulut jamban jadi tahu semua tentang kelicikan si dungu ini. Si dungu ketakutan. Jadilah si mulut jamban penguasa

135

pemegang ‖kartu as‖ bagi si dungu. Maka mau tak mau, Si dungu harus terus melindungi si mulut jamban. TAMAT (WI27: 06/04/17)

Gaya bahasa sarkasme pada tuturan (1) diungkapkan dengan penggunaan diksi yang bernilai negatif serta kasar seperti, pengepul rongsokan, koruptor, ormas radikal, kaum sumbu pendek, bahkan mantan bos prostitusi kalijodoh. Penutur dalam hal ini tuturan (1) bermaksud untuk memberitahukan atau menyatakan bahwa salah satu paslon memiliki pendukung atau tim sukses yang tidak baik, tidak bermoral, dan tidak dapat dipercaya. Bahkan dalam penyampaiannya, akun komunitas pendukung paslon yakni @gembonk.politik tidak hanya berupa kata-kata tetapi mencantumkan secara jelas siapa tokoh yang dimaksud serta memampangkan foto.

Pada tuturan (2), gaya bahasa sarkasme ditunjukkan dengan penggunaan diksi kaum keledai. Kata ―keledai‖ memiliki konotasi negatif yang dianggap sebagai makhluk yang bodoh, lamban, serta diperlakukan seperti budak. Pentur bertujuan untuk menyatakan ketidaksenangan atau tidak menerima atas kemenangan salah satu paslon dalam pilkada DKI Jakarta 2017 sehingga secara gamblang menyatakan bahwa orang-orang yang memilih paslon tersebut merupakan kaum bodoh yang memilih gubernur dikarenakan status agama yang sama.

Gaya bahasa sarkasme pada tuturan (3) diungkapkan dengan penggunaan diksi ajaran Islam, pekok, bahlul. Hampir sama dengan ―keledai‖, kata ―pekok‖ dan ―bahlul‖ sama-sama berkonotasi negatif yaitu memiliki arti yang dapat disepadankan dengan kata ―bodoh‖. Dalam hal ini, pentur bermaksud menanggapi pernyataan ‖Pilihlah Anies dijamin masuk surga‖ yang juga dicantumkan di dalam tuturan. Akun komunitas @politikkampus_ menyatakan bahwa hal tersebut merupakan suatu ajaran yang salah, bahkan secara frontal dan langsung mencantumkan suatu agama.

Pada tuturan (4), gaya bahasa sarkasme ditunjukkan dengan penggunaan diksi keok, babak belur, fitnah, penista agama, bacot doang gede. Tuturan (4) merupakan tanggapan mengenai suatu peristiwa perkelahian antar pendukung paslon. Dalam hal ini, tuturan (4)

136

bermaksud untuk menyindir dan mencela sikap dari salah satu pendukung paslon yang dianggap sebagai pengecut, karena menantang berkelahi duluan dan menyebar fitnah kalau dirinya dikeroyok. Bahkan, dalam tuturan secara frontal menyebutkan salah satu paslon dengan istilah atau sebutan si penista agama.

Penggunaan gaya bahasa sarkasme pada tuturan (5) ditunjukkan dengan penggunaan diksi yang terdapat dalam tuturan, yakni si dungu, seorang Cina bermulut jamban, kelicikan si dungu. Dalam hal ini, penutur bermaksud menyindir salah satu paslon yang di dalam tuturan disebut si dungu yang dianggap melindungi gubernur saat itu yang di dalam tuturan disebut si mulut jamban. Kata ‖dungu‖ dan ‖jamban‖ merupakan kata-kata yang bernilai negatif, apalagi ‖jamban‖ yang berarti suatu najis atau kotoran. Selain itu, di dalam tuturan juga mencantumkan kata seorang Cina yang secara frontal menyinggung suatu etnis.

Keraf (2006:143) menjelaskan bahwa sarkasme adalah gaya bahasa yang selalu menyakiti hati dan kurang enak didengar karena mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Artinya, sarkasme adalah gaya bahasa sindiran secara langsung yang bersifat kasar sehingga sangat berpotensi menyinggung atau menyakiti hati seseorang. Dengan demikian, tuturan (1), (2), (3), (4), dan (5) tersebut menggukanan gaya bahasa sarkasme karena sama sekali tidak mengandung basa-basi, bahkan menggunakan diksi yang bernilai negatif. Artinya, tuturan disampaikan secara langsung kepada objek yang dituju dengan menggunakan kata-kata yang kasar sehingga dapat menyakiti hati pihak-pihak tertentu. 2) Majas Sinisme

Penggunaan gaya bahasa sinisme dalam wacana politik pilkada DKI Jakarta 2017 oleh komunitas pendukung paslon ditemukan dalam tuturan berikut.

(7) Muslim yang pilih ahok bukan tak percaya Almaidah 51, tapi karena tidak percaya Anies (GP3:18/04/17)

(8) Hasil jual agama dapet DKI 1. Di Jakarta apapun bisa dijual (PK1:7/05/17)

(9) AHY bilang jangan salah pilih Gubernur nyeselnya 5tahun. Gue mau kasih tau gue udah ketipu sama bapaknya selama 10 tahun (PP15:13/02/17)

(10) Pekerjaan yang paling sulit adalah menasehati saudara muslim yang: 1. Jatuh cinta, 2. Mendukung Ahok (TL4:14/02/17)

(11) Ketika kalian menangis junjungan kalian di penjara, Kami juga menangis ketika Kitab Suci kami dihina. (WI7:12/05/17)

137

Gaya bahasa sinisme pada tuturan (6) ditunjukkan dengan penggunaan kata-kata tidak pecaya Anies. Dalam hal ini, tuturan (6) bermaksud untuk menyatakan bahwa orang-orang muslim yang memilih Ahok bukan karena tidak mempercayai Almaidah ayat 51, melainkan karena tidak mempercayai Anies. Tuturan ini memang tidak menyampaikan maksud tuturan dengan kata-kata yang kasar, namun berisi tentang kesangsian terhadap Anies yang dianggap tidak dapat dipercaya sehingga terkesan sinis.

Gaya bahasa sinisme pada tuturan (7) ditunjukkan dengan penggunaan kata-kata hasil jual ayat, di Jakarta apapun bisa dijual. Dalam hal ini, tuturan (7) terkandung maksud bahwa paslon-3 bisa memenangkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan cara memanfaatkan surah Almaidah ayat 51. Tuturan ini memang tidak disampaikan dengan kata- kata yang kasar, namun berisi kesangsian serta cemoohan mengenai kemenangan paslon-3 dalam pilkada DKI Jakarta 2017 yang dianggap telah memanfaatkan surat Almaidah ayat 51.

Demikian juga halnya dengan tuturan (8), gaya bahasa sinisme disampaikan dengan penggunaan kata-kata gue udah ketipu sama bapaknya selama 10 tahun. Tuturan (8) berisi tanggapan sinis si penutur terhadap pernyataan Agus yang mengatakan ‖jangan sampai salah memilih gubernur karena nanti akan menyesal selama limat tahun‖. Dalam hal ini, si penutur menanggapi pernyataan tersebut dengan menyindir balik dan menyatakan bahwa dia sudah tertipu selama sepuluh tahun masa jabatan ayahnya ketika menjabat sebagai presiden. Artinya, si penutur juga menyerang balik dengan mengungkapkan hal yang disesalkannya selama sepuluh tahun. Tuturan ini memang tidak menyampaikan maksud tuturan dengan kata-kata yang kasar, namun berisi tentang cemoohan serta kesangsian terhadap kinerja ayah penutur.

Selanjutnya pada tuturan (9), gaya bahasa sinisme disampaikan dengan penggunaan kata-kata pekerjaan yang paling sulti, muslim yang mendukung Ahok. Penutur menyampaikan bahwa menasehati muslim yang mendukung Ahok adalah pekerjaan yang paling sulit. Si penutur mencemooh muslim yang mendukung Ahok seperti orang yang jatuh cinta, karena sama-sama dianggap buta dan tidak bisa untuk dinasehati. Selain itu kesangsian

138

atau kesinisan dalam tuturan ini tergambar dari pernyataan ‖pekerjaan paling sulit‖ yang mengisyaratkan begitu keras kepalanya muslim yang mendukung Ahok sehingga untuk menasehati mereka merupakan suatu hal mustahil atau pekerjaan yang sangat sulit.

Penggunaan gaya bahasa sinisme pada tuturan (10) ditunjukkan melalui pernyataan pendukung Ahok menangis, Ahok dipenjara, dan kitab suci kami dihina. Dalam hal ini, penutur menyindir pendukung Ahok yang menangis ketika Ahok yang sangat dijunjung oleh mereka divonis bersalah dan mendapatkan hukuman satu tahun kurungan penjara. Kesan sinis dalam tuturan (10) ini terlihat ketika si penutur membandingkan antara peristiwa Ahok dipenjara dengan penghinaan terghadap kitab suci. Artinya, penutur dalam tuturannya secara tersirat menekankan bahwa kitab suci jauh lebih penting dari pada Ahok, dan penghinaan terhadap kitab suci tentu lebih menyakitkan bagi kebanyakan umat muslim dibandingkan ketika seseorang divonis hukuman kurungan penjara.

Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tuturan (6), (7), (8), (9), dan (10) di atas menggukanan gaya bahasa sinisme karena walaupun si penutur tidak menyampaikan maksud tuturan dengan kata-kata yang kasar, namun tuturan-tuturan tersebut beberisi tentang kesangsian serta cemoohan mengenai sesuatu dan terkesan sinis. Hal tersebut didukung oleh Keraf (2006:143) bahwa suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keihklasan atau ketulusan hati yang bertujuan untuk menekankan, mencemooh, atau mengancam maksud/gagasan sehingga terkesan sinis.

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 140-146)