• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Jenis Tindak Tutur sebagai Bentuk Pengungkapan

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 180-184)

Akses Media Sosial di Indonesia

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil/Temuan Penelitian

2) Penggunaan Jenis Tindak Tutur sebagai Bentuk Pengungkapan

Jenis tindak tutur yang banyak digunakan oleh masyakarat dalam wacana politik Pilkada DKI 2017 adalah ekspresif. Artinya, dalam wacana politik masyarakat banyak menyampaikan atau mengekspresikan pendapatnya dengan berbagai cara seperti mengkritik, mengeluh, bahkan ada yang mencela secara langsung dengan bahasa yang sangat tidak menyenangkan. Hal itu bertujuan untuk saling menjatuhkan muka lawan tutur baik muka

173

positif maupun muka negatif. Brown dan Levinson (1987:62) menyatakan bahwa tindakan- tindakan yang mengancam muka negatif adalah ungkapan mengenai kebencian, kemarahan, perintah, peringatan, ancaman, dan lain sebagainya. Sedangkan tindakan-tindakan yang mengancam muka postif adalah ungkapan kritik, tindakan merendahkan atau yang mempermalukan, keluhan, dan kemarahan, dakwaan, penghinaan, dan lain sebagainya.

Selain jenis tindak tutur ekspresif, asertif merupakan jenis tindak tutur kedua yang terbanyak digunakan oleh masyakarat untuk menyindir. Pernyataan-pernyataan yang belum berdasarkan fakta banyak digunakan untuk mengancam keterjatuhan muka lawan tutur.

Tuturan yang dapat mempermalukan lawan tutur atau sangat berpotensi mengancam katerjatuhan muka postif ataupun muka negatif serta menggunakan tindak tutur dalam bentuk ungkapan negatif seperti menyindir, menghujat, mengecam, mengeluh, mencemooh, dan mengkritik, bahkan menyampaikan sesuatu yang dilencengkan dari fakta hingga termasuk dalam bentuk fitna adalah termasuk ke dalam bentuk tuturan yang mengandung kekerasan verbal. Kekerasan verbal meliputi, ancaman, pengucilan, penghinaan, pemberian kritik pedas, mengolok-olok, menghilangkan peluang, menyindir, menjadi jahat, menutupi informasi dan mencampuri kepentingan pribadi (Hidayati, 2016: 133).

3) Penggunaan Strategi Bertutur sebagai Cara Pengungkapan

Strategi bertutur yang digunakan didominasi atau berpusat pada strategi bertutur terus terang tanpa basa-basi. Artinya, tuturan masyarakat dalam wacana politik pilkada DKI Jakarta 2017 di media sosial sangat berpotensi mengancam muka lawan tutur karena diungkapkan atau diekspresikan dengan bebas tanpa memikirkan perasaan orang yang akan tersinggung. Strategi bertutur terus terang tanpa basa-basi dipilih jika penutur memiliki keinginan untuk melakukan tindakan mengancam muka tanpa mempertimbangkan muka petutur (Brown dan Levinson, 1987). Bulm-Kulka (Amir, dkk., 2006:14) menjelaskan ‖Semakin langsung Anda menyampaiakan tuturan, maka semakin tidak santun ungkapan Anda; namun semakin tidak langsung Anda menyampaikan tuturan, maka semakin santun ungkapan Anda‖.

174

Tuturan dengan menggunakan strategi bertutur terus terang tanpa basa-basi juga termasuk ke dalam kekerasan verbal. Karena tuturan yang disampaikan dengan bebas tanpa memikirkan perasaan orang yang akan tersinggung dapat diindikasikan sebagai bentuk paksaan. Lardellier (dalam Astuti, 2013:44) menyatakan, kekerasan bisa didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan.

4) Penggunaan Prinsip Kesantunan sebagai Wujud Pengungkapan

Berdasarkan temuan penelitian, terdapat pelanggaran total terhadap prinsip kesantunan dalam komentar masyarakat di media sosial. Jika dikaitkan dengan teori skala kesantunan berbahasa, tuturan mengenai wacana politik pilkada DKI Jakarta 2017 oleh masyarakat di media sosial dapat dikategorikan tidak santun karena semua komentar masyarakat yaitu 89 melanggar prinsip kesantunan, yaitu pujian 44 data, kesimpatian 17 data, kearifan 13 data, kesepakatan 11 data, kerendahan hati 3 data, dan kedermawanan 1 data. Padahal, mematuhi prinsip kesantunan merupakan dasar seseorang dapat dikatakan bertutur santun.

Tuturan yanng melanggar prinsip kesantunan juga dapat digolongkan ke dalam bentuk kekerasan verbal karena tuturan tersebut dapat menimbulkan konflik dan tidak menyenangkan bagi lawan tuturnya. Lardellier (dalam Astuti, 2013: 44) menyatakan, kekerasan bisa didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan.

b. Tingkat Kesantunan Berbahasa Masyarakat

Bertolak dari pembahasan hasil analisis data terhadap empat unsur kesantunan yang ditetapkan sebagai objek kajian dalam penelitian ini, berikut ini diklasifikasikan tiga tingkat kesantunan berbahasa dalam komentar masyarakat terhadap berita politik Pilkada DKI Jakarta 2017 di media sosial.

175

Pertama, dominasi masyarakat memilih gaya retorik dengan majas sarkasme (42 data), jenis tuturan ekspresif (47 data), strategi bertutur terus terang tanpa basa-basi (64 data), serta pelanggaran total terhadap prinsip kesantunan (89 data); maka 61 % tuturan berada pada ‗tindakan yang mengancam muka‘ (Face Threatening Acts) dengan tingkat ‗tinggi‘ karena parameter yang diajukan oleh Brown dan Levinson (1987:65-67) tersebut berupa kritikan, merendahkan, mempermalukan, dakwaan, penghinaan, dll. Hal ini ditambah dengan ungkapan yang bersifat memecah belah, ras, agama, pelecehan, dan identifikasi yang keliru mengenai pasangan calon lainnya sebagai mitra lawan tutur sudah terbukti sangat mengancam ‗muka negatif‘. Demikian juga halnya dengan parameter ‗skala ketidaklangsungan‘ yang diajukan Blum-Kulka (1985:14) sudah membuktikan bahwa ‗Semakin langsung ungkapan disampaikan, maka semakin tidak santun ungkapan tersebut‘. Dengan demikian, 61% komentar masyarakat tentang berita Pilkada DKI berada pada tingkat ―tidak santun‖. Klasifikasi ini ditandai dengan warna ‗merah‘ dalam tabel yang mengindikasikan bahwa tuturan yang digunakan ‗berbahaya‘.

Kedua, pilihan yang agak mendominasi pada jenis tuturan direktif (22 data), majas sinisme (31 data), dan strategi kesantunan negatif (11 data) dalam cuitan para pendukung paslon, maka 22 % dari tuturan berposisi pada keterancaman muka yang ‗cukup tinggi‘ karena parameter yang diajukan oleh Brwon dan Levinson (1987:65-67) berupa perintah, ancaman, peringatan, tantangan, kebencian, kemarahan, dll. terbukti sangat mengancam ‗muka negatif‘ sehingga kesantunan berada pada klasifikasi ‗kurang santun‘. Klasifikasi ini ditandai dengan warna ‗kuning‘ dalam tabel 2 yang mengindikasikan bahwa tuturan yang digunakan ‗hati-hati‘ atau dalam arti peringatan.

Ketiga, pilihan yang kurang mendominasi pada jenis asertif (17 data) dan deklarasi (2 data), majas ironi, anti frasis, dan satire (16 data), dan strategi kesantunan positif dan samar- samar (14 data), maka 17 % dari tuturan para komunitas paslon berada pada keterancaman muka yang ‗kurang tinggi‘. Sesuai dengan parameter Brown dan Levinson (1987:65-67) jika

176

tuturan disampaikan dalam bentuk perintah, peringatan, tantangan, himbauan, maka tuturan tersebut kurang berpotensi mengancam ‗muka‗ mitra tutur karena disampaikan dengan kesantunan positif. Hal ini sejalan dengan parameter Grice (Pranowo, 2008:362) ―pilihlah ungkapan yang tidak meremehkan status mitra tutur…‖ dan ‗skala ketidaklangsungan‘ Blum- Kulka (1985:14) bahwa ―semakin tidak langsung Anda menyampaikan tuturan, maka semakin santun ungkapan Anda‖. Dengan demikian, 17 % komentar masyarakat berada pada klasifikasi ‗agak santun‘. Klasifikasi ini ditandai dengan warna ‗hijau‘ dalam tabel 2, mengindikasikan bahwa tuturan yang digunakan ‗ kurang berbahaya‘.

Namun, dalam kenyataannya secara umum masyarakat tidak memilih cara yang standar tetapi dalam mengomentari berita politik pilkada DKI Jakarta masyarakat lebih memilih cara yang keras, agak brutal, dan meremehkan status mitra tutur, yang berpotensi tinggi mengancam muka positif dan negatif sehingga mengasilkan tuturan yang ‗tidak santun‘.

Hasil penelitian ini, ternyata masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahyono (2005:54), yaitu ciri utama penyampaian informasi di media Pasca-Orde Baru ialah kelugasan yang diikuti dengan bahasa yang hiperbolis dan kasar, seperti kecaman, keluhan, kemarahan, ejekan, serta perendahan. Meskipun penelitian tersebut sudah lama dilakukan, namun faktanya masih terdapat pada wacana Pilkada DKI, baik dibeberapa media massa maupun di media sosial.

3. Representasi Tingkat Kesantunan Para Pasangan Calon (Paslon) dalam Debat

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 180-184)