• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Bertutur Basa-basi Kesantunan Positif

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 103-108)

Akses Media Sosial di Indonesia

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil/Temuan Penelitian

3) Strategi Bertutur Basa-basi Kesantunan Positif

(47) ―Semua calon penuh retorika. Tapi pilihlah yang beretorika tapi beriman kepada Allah dan Rasulullah.‖ (D24/30J/AP)

Strategi bertutur kesantunan positif terlihat pada komentar (42). Penutur menyampaikan komentarnya dengan santun dan mengajak masyarakat dengan cara yang santun pula bahwa

96

semua kandidat cagub dan cawagub memang penuh retorika. Hal itu dimaksudkan bahwa siapapun kandidatnya sama-sama berkampanye dengan melakukan komentar-komentar persuasif. Akan tetapi, di akhir komentarnya dia menyampaikan bahwa meskipun sama-sama menjual retorika, pilihlah yang muslim.

4) Strategi Bertutur Samar-samar

Strategi bertutur samar-samar dapat dicontohkan dari data (48), (49), (50), (51), dan (52).

(48) ―Kampanye sesuai jaman bos! Ini jaman udah jaman android.” (D3/5J/JL) (49) ―Satu lagi boneka tua dijual buat pencitraan.‖ (D20/28J/AS)

(50) ―Mantap. Selalu ada ide dan program orisinil. Beda dengan tetangga sebelah.” (D54/5A/DB)

(51) ―Sayang ya pak. Indonesia dipegang sama preman barbarisan. Sabar aja ya semua sampai 2019. Semoga preman2 itu mati kekenyangan korupsi.” (D65/17A/MN)

(52) “Sedih karena koruptor, kegilaan & kebodohan lebih berkuasa di negeri ini jadi bisa mengalahkan kebaikan & akal waras.‖ (D71/22A/HB)

Pada komentar (48), penutur menyindir kandidat paslon yang masih menggunakan stiker untuk berkampanye. Dalam komentarnya, penutur tidak langsung menyebutkan siapa yang ia tuju. Jadi, tujuan komentar tersebut bisa untuk ketiga paslon cagub dan cawagub. Kemudian, komentar (49) menggunakan kalimat boneka tua sebagai ungkapan strategi bertutur samar-samar. Lawan tutur tidak akan mengerti jika tidak dikaitkan dengan konteks komentar tersebut. Boneka tua sebetulnya merupakan ungkapan yang ditujukan kepada seseorang, namun diungkapan secara samar-samar tanpa menyebut langsung siapa yang dimaksud. Jadi, dari komentar tersebut dapat disimpulkan bahwa penutur menggunakan kata kiasan sebagai pengganti lawan tutur.

Sementara itu, komentar (50) di atas memanfaatkan strategi bertutur samar-samar dengan menggunakan kalimat beda dengan tetangga sebelah. Jika lawan tutur tidak mengerti konteks dari komentar tersebut, maka ia tidak akan mengetahui bahwa tetangga sebelah yang dimaksud adalah pihak Anies-Sandi karena ketika penutur mengungkapkan komentar tersebut, ia sedang mengomentari foto di akun facebook Ahok yang sedang meresmikan JCH. Terang saja sindiran tetangga sebelah ditujukan kepada Anies-Sandi walaupun tidak disebutkan karena kubu yang sedang berkompetensi hanya kubu Ahok-Djarot dan Anies-

97

Sandi. Selanjutnya, komentar (51) juga memanfaatkan strategi bertutur samar-samar ditunjukkan dengan kata preman yang tidak tau ditujukan kepada siapa. Namun, jika dikaitkan dengan konteks komentar tersebut, penutur menasihati seorang politikus agar sabar karena Indonesia masih dipegang oleh pejabat lainnya.

Terakhir, penjelasan contoh dari strategi bertutur samar-samar ditunjukkan oleh komentar (51) dari ungkapan kegilaan & kebodohan lebih berkuasa di negeri ini jadi bisa mengalahkan kebaikan & akal waras. Makna yang tersirat dari frasa tersebut adalah penutur mengeluhkan keadaan negara ini yang sangat memprihatinkan. Dalam komentarnya, penutur tidak menujukan komentarnya kepada lawan tuturnya. Hal ini menimbulkan berbagai persepsi, maka komentar ini merupakan strategi bertutur samar-samar.

d. Penggunaan Prinsip Kesantunan

Dari 89 komentar yang dikumpulkan, ternyata semua komentar tersebut melanggar prinsip kesantunan. Artinya, tak satupun komentar masyarakat yang mematuhi atau menerapkan prinsip kesantunan. Pelanggaran tersebut adalah: 44 komentar melanggar prinsip pujian, 17 komentar melanggar prinsip kesimpatian, 13 komentar melanggar prinsip kearifan, 11 komentar melanggar prinsip kesepakatan, 3 komentar melanggar prinsip kerendahan hati, dan 1 komentar melanggar prinsip kedermawanan.

Jika dikaitkan dengan skala kesantunan berbahasa, komentar mengenai wacana politik pilkada DKI Jakarta 2017 oleh masyarakat di media sosial dapat dikategorikan tidak santun karena tidak mematuhi prinsip kesantunan. Padahal, pada dasarnya mematuhi prinsip kesantunan merupakan dasar seseorang dapat bertutur santun.

Dari rincian tabel di atas, dengan pemilihan diksi yang kasar, jenis komentar yang rawan, serta strategi yang langsung, maka dengan sendirinya terjadi pelanggaran total terhadap prinsip kesantunan yang dikaidahkan dalam berkomunikasi, apalagi sifatnya di ranah public speaking. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekerasan verbal yang dilakukan oleh

98

komunitas pendukung paslon berwacana politik Pilkada pada media sosial di atas ―berpotensi tinggi mengancam‖ muka mitra tuturnya.

Pelanggaran Prinsip Kesantunan 1) Prinsip Pujian

Pelanggaran prinsip kesantunan prinsip pujian terlihat dalam komentar-komentar berikut ini.

(53) “Awas ntar ada sebelah ngintip nyontek acaranya wkwk haters2 koar2 lihat kejang2 karna jagoannya. Goblok penuh retorika mulut manis.(D56/5A/MAL)

(54) “Kaum-kaum munafik disini pada ngumpul. Silahkan kalian pilih si Ahok‖ (D67/19A/AN)

(55) ―Tua renta serasa apa gitu padahal semua orang tau kalau dia ini sinting, upnormal.” (D80/26A/DC)

(56) ―Kok tidak pakai kerudung? Sudah diusir FPI. Dasar kafir monyet nenek ini.‖ (D80/26A/BS)

(57) ―Ih serem dan garang banget mukanya. Liat mulut sm bibirnya keliatan tukang berantem. Dasar preman.(D82/26A/MS)

Komentar (53), (54), (55), (56), dan (57) merupakan komentar yang melanggar prinsip pujian, yaitu prinsip yang bermaksud untuk mengecam muka lawan tuturnya. Hal itu terlihat dari kata yang dicetak miring pada kalimat-kalimat di atas. Pada komentar (53), kalimat goblok penuh retorika mulut manis diungkapkan sebagai celaan terhadap pihak yang dimaksud. Hal ini berarti dalam komentarnya, penutur tidak mempertimbangkan perasaan lawan tutur yang akan tersakiti jika membaca komentarnya. Selanjutnya, pada komentar (54) terdapat pelanggaran prinsip pujian. Dari komentar di atas, terlihat bahwa penutur mengecam lawan tutur dengan menyebut kaum-kaum munafik. Makna dari komentar tersebut adalah penutur mencela pihak yang dimaksud dengan me prinsipalkan rasa tidak hormat. Kemudian, makna kalimat itu juga tidak menyenangkan bagi orang lain, termasuk pembaca.

Pada komentar (55), (56), dan (57), penutur secara terang-terangan mencela salah seorang aktivis dengan menggunakan kata-kata yang tidak enak dibaca. Hal itu terlihat dari penggunaan kata sinting dan upnormal serta frasa kafir monyet, garang banget mukanya, dan dasar preman. Yang bersangkutan dicela atas pemberitaan yang menyebutkan bahwa ia saling sindir dengan netizen namun membawa-bawa nama salah satu kandidat. Pelanggaran

99

prinsip pujian tersebut juga bermaksud untuk secara langsung mengecam muka pihak yang dimaksud.

2) Prinsip Kesimpatian

Pelanggaran prinsip kesantunan prinsip kesimpatian dapat dilihat dalam komentar berikut ini.

(58) “Orang pada sholat, pendukung ahok malah joget dangdutan. Dari situ dapat disimpulkan mana orang baik & buruk‖ (D4/5J/BI).

(59) ―Daripada yang menista, mulutnya mengotori & dikotori” (D5/5J/WT).

(60) 75% milih duitnya Ahok itu betul sekali. Kalau milih sifat dan wataknya nggak lah yau. Keringatnya aja bau bangkai babi, lho. Coba dekatin Ahok. Amis banget baunya. Mungkin dulunya Ahok banyak makan uang haram (D30/3F/AS).

(61) ―Jangan lihat siapa dari agama mana, tapi lihat dari sosok pemimpin yang sudah berpengalaman. Apalagi mantan menteri pendidikan yang dipecat Presiden. Bagaimana mau pimpin Jakarta? (D68/19A/JH).

Pada komentar (58), (59), dan (60), pelanggaran prinsip kesimpatian diungkapkan denga rasa antipasti kepada pihak yang dituju. Pada komentar (58), penutur menunjukkan rasa antipatinya terhadap pendukung salah satu kandidat yang diungkapkan dengan sindiran orang pada sholat, pendukung ahok malah joget dangdutan. Selain itu, penutur juga menambahkan komentarnya berupa pandangan atau kesimpulan mengenai sifat dari pendukungnya sehingga dapat disimpulkan bahwa penutur mengungkapkan rasa antipatinya dengan bernada sinis.

Selanjutnya, pada komentar (59), terlihat pembelaan untuk salah satu kandidat yang sedang dipojokkan dalam pemberitaan. Konteksnya adalah stiker kampanye paslon yang ditempel sembarangan. Namun, dalam kolom komentar, banyak yang pro terhadap kubu tersebut. Jadi dapat disimpulkan penutur mengungkapkan komentarnya sebagai pembelaan terhadap dua kandidat lain dan menunjukkan sikap antipatinya karena tyang bersangkuta dianggap lebih kotor karena telah menista agama.

Lalu, pada komentar (60) terlihat pemunculan fakta yang berlebihan sebagai bentuk antipati. Bahkan, penutur sama sekali tidak memberikan kebahagiaan kepada lawan tutur atau pihak yang dijatuhkan dalam komentarnya. Selain itu, penutur juga menyimpulkan bahwa kandidat tersbut telah memakan uang haram dari hasil korupsi. Penggunaan kata kasar

100

sebagai bentuk penolakan atau antipasti juga terlihat jelas pada komentar di atas. Terakhir, komentar (61) juga melanggar prinsip simpati, tersirat penolakan yang cukup keras terhadap salah satu paslon yang sebelumnya pernah menjabat sebagai menteri. Penutur juga memaparkan kekurangan dari kandidat itu, seperti pernah dipecat oleh presiden. Hal itu merupakan hasil pemikirannya sendiri untuk menjatuhkan pihak yang dimaksud. Jadi, dapat disimpulkan bahwa komentar tersebut akan menimbulkan rasa tidak senang pada lawan tutur karena tidak me prinsipalkan rasa antipasti terhadap lawan tutur.

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN TIM PASCASARJANA (Halaman 103-108)