• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA

5. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah

Penpres No. 6 Tahun 1959 menggariskan kebijaksanaan politik yang ingin mengembalikan dan memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat. Kepala daerah diberi fungsi rangkap, yaitu sebagai alat dekonsentrasi dan desentralisasi, tetapi dalam prakteknya jauh lebih menonjol dekonsentrasinya. Penpres ini dimaksudkan sebagai perubahan atau penyempurnaan terhadap tata pemerintahan daerah yang berlaku sebelumnya, minimal mencakup dua hal. Pertama,

menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara aparatur dan fungsi otonomi dan pelaksana dan fungsi kepamong prajaan. Kedua, memperbesar pengendalian pusat terhadap daerah.

Di dalam Pasal 15 ditetapkan bahwa dalam rangka menjalankan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah selaku alat pusat diserahi kewenangan untuk menangguhkan/membatalkan keputusan DPRD yang bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya yang bertentangan

46

Syaukani, HR Afan Gaffar dan M. Ryas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan Kerjasama Dengan Pusat Pelajar, 2002), Hal. 124.

dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Kehadiran Penpres yang memberi kekuasaan besar kepada pemerintah pusat untuk mengatur pemerintah daerah, khususnya kedudukan kepada daerah, merupakan langkah mundur dalam sejarah pembuatan kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Alasannya, pertama, pemilihan kepala daerah yang dilakukan murni oleh DPRD dan direncanakan paling lambat empat tahun ke depan akan ditunaikan langsung oleh rakyat seperti ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, kini pupus sudah. Pemilihan langsung kepala daerah kepada DPRD selaku wakil rakyat diganti menjadi kepada pemerintah pusat. Malahan, kepala daerah sebagai wakil pusat dapat menangguhkan/membatalkan keputusan DPRD. Ketiga, sekaligus alat daerah memang berguna untuk menghapus dualisme pemerintahan di daerah, tetapi juga berpotensi membuat kepala daerah menjadi sewenang-wenang karena ia menjadi penguasa tunggal.

6. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Secara khusus Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 memuat bab khusus tentang pengawasan terhadap daerah, yakni Bab VII mencakup Pasal 78 sampai dengan Pasal 87. Menurut Pasal 78 suatu keputusan daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh pusat atau kepala daerah yang tingkatannya lebih tinggi. Penetapan keputusan yang harus menunggu pengesahan itu diatur dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Jangka waktu pengesahan

ditetapkan selama 3 (tiga) bulan (dan dapat diperpanjang 3 bulan lagi). Atinya dalam waktu 3 bulan, pusat atau instansi yang lebih tinggi tidak mengeluarkan keputusan pengesahan atau penolakan, maka keputusan daerah tersebut dapat diberlakukan. Jika pusat atau instansi yang lebih tinggi menolak untuk mengesahkan keputusan, daerah yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada instansi yang lebih atas dari instansi yang menolak (Pasal 79). Menurut Pasal 80, menteri dalam negeri atau kepala daerah yang setingkat lebih tinggi dapat menangguhkan atau membatalkan keputusan kepada daerah yang bertentangan yang tingkatannya lebih tinggi. Pembatalan ini berakibat pula pada batalnya semua akibat yang timbul dari keputusan yang dibatalkan (Pasal 82).

Tidak lama setelah Orde Baru lahir, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 dipandang sebagai sesuatu yang tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab itu pada tanggal 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/196647 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Jika dilihat dari penekanan pada otonomi yang seluas-luasnya, maka menurut MPRS pada waktu itu asas demokrasi sebagai bagian dari UUD 1945 dapat diwujudkan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah.

47

Pasal 1: Menugaskan kepada pemerintah bersama-sama DPR-GR untuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah sesuai dengan jiwa dan isi UUD 1945 tanpa mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat di bidang perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadap daerah-daerah. Pasal 2: Untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah, berikut semua aparatur dan keuangannya, kecuali hal-hal yang bersifat nasional. Pasal 3: Daerah diberi tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya untuk mengatur segala sesuatu di bidang kepegawaian dalam lingkungan pemerintah daerah.

7. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah di Daerah dan Proses Kelahirannya

Selama masa pemerintahan Orde Baru, hampir seluruh aspirasi dari daerah tidak mendapatkan saluran yang memadai di Pusat. Pembangunan di daerah lebih banyak ditentukan prakarsanya oleh Pusat, daerah “wajib” untuk melaksanakannya. Hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah selayaknya hubungan antara atasa dengan bawahan. Pemberdayaan Pusat terhadap Daerah hampir tidak nampak. 48

Dalam bidang politik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “dimandulkan” hak dan wewenangnya oleh undang-undang karena kewenangan yang diberikan kepadanya bersifat semu. DPRD tidak berwenang memilih kepala daerah tetapi hanya memilih bakal calon kepala daerah, yang berwenang memilih adalah Presiden, karena hal itu merupakan hak prerogatif presiden. Konsekuensinya, kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD tetapi kepada presiden, kepada DPRD hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban. Sehingga hampir tidak pernah terdengar adanya “ketegangan” yang berarti antara Kepada Daerah dengan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena DPRD tidak dapat menjatuhkan Kepala Daerah. 49

DPRD juga menjadi bagian dari pemerintahan daerah (eksekutif), dan bukan sebagai lembaga legislatif daerah. Akibatnya, DPRD hanya dijadikan justifikasi atas berbagai keinginan kepala daerah. Peraturan Daerah (Raperda) oleh DPRD, karena pada akhirnya pemerintah yang lebih tinggi akan mengesahkannya (Gubernur untuk

48

Ni’Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah,...Op. Cit, Hal. 68.

49

Perda Tingkat I; dan Menteri Dalam Negeri untuk Perda Tingkat II) yang dipahami sebagai pengawasan preventif. Pengawasan ini dipandang sebagai langkah intervensi pemerintah pusat terhadap aspirasi daerah, karena dari awal aspirasi itu bisa terpotong oleh kepentingan pusat yang mungkin tidak selaras dengan kepentingan daerah. 50

Mengiringi lahirnya reformasi politik di tahun 1998, MPR telah mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Kesatuan RI, yang mengisyaratkan secara tegas penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.