• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA

B. Pengaturan Pengawasan Dalam Beberapa Undang-Undang Pemerintah Daerah Daerah

2. Pengawasan Preventif dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah

Pola hubungan antara Pemerintahan Pusat-Daerah yang lebih menekankan pada Negara Kesatuan dapat dicermati dari ketentuan tentang pengawasan yang secara eksternal dimiliki oleh Pemerintahan Pusat. Dalam kaitan ini, dinyatakan bahwa segala putusan Dewan Pemerintahan Daerah Provinsi yang merupakan legitimasi otoritas kekuasaan di Provinsi tidak dapat dilaksanakan kecuali setelah memperoleh pengesahan dari Presiden selaku pemegang kekuasaan Pusat.

Mekanisme pengawasan sebagaimana dinyatakan diatas, merupakan bentuk komitmen birokratis pemerintahan di dalam Negara Kesatuan. Kontrol dari pemerintah tingkat atasnya secara berjenjang diterapkan dengan konsisten sebagai

55

bagian dari komitmen Negara Kesatuan yang telah ditetapkan sebagai bentuk negara. Hal demikian dapat dimaknai bahwa sebenarnya kedudukan Daerah adalah bawahan Pusat yang senantiasa dapat melakukan kontrol terhadap kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah sebagai manisfestasi dari kekuasaan yang dimilikinya.

Secara normatif, bentuk pengawasan sebagaimana dikontruksikan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 dikenal sebagai bentuk pengawasan preventif. Karakter dari bentuk pengawasan ini adalah:

1. Pemerintah Pusat merupakan organ yang mempunyai otoritas untuk melakukan kontrol atas produk hukum yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.

2. Ada penetapan batas waktu tertentu untuk menentukan sikap menolak atau melegitimasi produk hukum.

3. Ada mekanisme pengajuan keberatan atas utusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat berkenaan dengan produk hukum Pemerintah Daerah. 4. Ada tenggang waktu atas penolakan yang mengiringi mekanisme

keberatan dan sikap Pemerintah Pusat.

Dalam hal pengawasan secara internal (oleh Pemerintahan Daerah) sendiri,ketentuan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 menyatakan bahwa Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah berhak menahan dijalankannya putusan-putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah bila dipandang putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum .... dan seterusnya. Secara normatif pengawasan internal-sebagai bentuk pengawasan secara kelembagaan didalam intern Pmerintahan Daerah itu-dikenal sebagai pengawasan represif. Dengan demikian Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 mengenal dua bentuk pengawasan

dalam sistem pemerintahan di Daerah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Kedua pengawasan ini diatur secara konkret didalam Undang-Undang tersebut sebagaimana tercermin didalam pasal-pasalnya.56

Sebagaimana disampaikan bahwa bentuk pengawasan represif dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tekhnisnya adalah penangguhan atau pembatalan. Hal ini dinyatakan pada ketentuan 42 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa:57

1. Putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dapat ditunda atau dibatalkan, bagi propinsi oleh Presiden dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas.

2. Putusan penundaan atau pembatalan diberitahukan dalam waktu 15 hari sesudah putusan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau kepada Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan disertai dengan alasan-alasannya.

3. Lamanya tempo penundaan disebutkan dalam surat ketetapan dan tidak boleh lebih dari 6 bulan.

4. Apabila dalam waktu 6 bulan karena penundaan itu tidak ada putusan pembatalan maka putusan daerah itu dipandang berlaku.

Pemerintah Pusat dalam kedudukan ini adalah sebagai organ yang mempunyai kekuasaan yang direfleksikan pada kewenangan teknis yang diatur dalam Undang-Undang itu untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teknisnya adalah dalam bentuk pengawasan yang bersifat preventif (eksternal) dan pengawan yang bersifat represif (internal) tersebut. Secara praktis kendatipun Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 itu sudah dirumuskan dalam bentuk yang jauh

56

Suriansyah Murhani, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, (Palangkaraya: Agvenda, 2008), hal. 17

57

lebih rinci dan operasional namun tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Sebagaimana disampaikan penyebabnya adalah masih belum mapannya keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada waktu itu karena harus memusatkan potensinya untuk diplomasi mengukuhkan kemerdekaan yang diproklamasikan Tahun 1945, diplomasi itu baru berhasil secara sempurna dan memperoleh kedaulatan penuh pada tahun 1959 ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (R.I.S).

3. Pengawasan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 adalah tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dalam banyak hal Undang-Undang ini sebenarnya dasar-dasarnya banyak mengambil dari ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, namun yang nyata bahwa Undang-Undang ini lahir di dalam semangat Negara Kesatuan di bawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Secara konstitusional ada perbedaan mendasar antara UUD 1945 dengan UUDS 1950. Sama halnya dengan Undang-Undang sebelumnya, secara normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 juga mengatur pengawasan preventif dan pengawasan repsresif. Pengawasan preventif diatur dalam ketentuan pasal 62 dan pasal 63. Untuk pengawasan represif diatur dalam Pasal 64 sampai dengan pasal 72.58

Berdasarkan ketentuan di atas, produk hukum dan kebijakan tertulis dari Daerah tidak dapat diberlakukan sebelum memperoleh persetujuan instansi tingkat

58Ibid,

atasnya. Artinya bahwa di samping keputusan-keputusan daerah yang menurut Undang-Undang ini harus diawasi secara preventif (seperti pasal 12 ayat 3, pasal 21 ayat 2, pasal 22 ayat 2, pasal 39 ayat 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, dan sebagainya). Pemerintah Pusat melalui Undang-Undang atau produk hukum lainnya yang menjadi kewenangan Pusat dapat menunda berlakunya suatu produk hukum Daerah dengan alasan tertentu, khususnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu berarti bahwa produk hukum Daerah tidak dapat diberlakukan sebelum mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat.

Pada dimensi pengawasan represif dalam bentuk pembatalan dan penangguhan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 diatur dalam pasal 64 yang menyatakan bahwa Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau dibatalkan bagi Daerah Swatantra Tingkat ke I oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa lain yang ditujukan dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas.

Dari deskripsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 menunjukkan bahwa karakter yang dijadikan sebagai dasarnya adalah otonomi riil (reele houishoudings-begrip). Karakter otonomi riil ini mendasarkan diri pada kondisi yang secara obyektif-riil-nyata ada di Daerah yang memperoleh limpahan otonomi. Hal demikian membawa konsep konsekuensi adanya harmoni yang nyata

dan obyektif antara kewenangan yang dilimpahkan, potensi yang dimiliki dan kemampuan untuk melaksanakan.59

4. Pengawasan dalam Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Tentang