• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA

3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah

Untuk menjamin agar kewenangan yang diberikan kepada daerah-daerah tidak disalahgunakan, pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap daerah. Bagi propinsi pengawasan dilakukan oleh presiden, sedang bagi tingkat-tingkat daerah lainnya oleh daerah setingkat di atasnya, yaitu propinsi mengawasi kabupaten/kota besar dalam lingkungan wilayahnya, sebaliknya kabupaten/kota besar mengawasi desa/kota kecil yang berada di bawahnya. Bentuknya dapat berupa pengawasan preventif yaitu sebelum putusan dikeluarkan oleh DPRD atau DPD, kepala daerah selaku wakil pemerintahan berhak menahan putusan tersebut bila putusan-putusan tersebut dinilainya bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disamping itu, bisa pula dilakukan pengawasan represif, yaitu putusan-putusan yang telah dikeluarkan DPRD atau DPD jika dinilai oleh presiden bagi propinsi dan oleh DPD setingkat lebih atas bagi lain-lain daerah bertegangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat ditunda atau dibatalkan. 39

Meskipun semula dimaksudkan untuk mengatasi berbagai dualisme dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, setelah berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, sifat dualisme dalam pemerintahan di daerah masih ada. Ada dua hal lain yang dicatat oleh Bagir Manan yang mengantarkan kepada kesimpulan bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,

39

Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), Hal. 58.

yaitu, pengisian sistem rumah tangga daerah (asas otonomi) dan keuangan daerah. Karena dua faktor tersebut, maka kecenderungan desentralistik yang dikehendaki oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Bahkan sebaliknya, daerah menjadi tergantung pada pusat sehingga terjadi kecenderungan sentralistik.

Sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu:

Pemerintah Daerah terdiri dari 2 (dua) macam yaitu:

a. Pemerintahan Daerah yang bersandar pada hak otonomi, dan b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada hak medebewind

Tentang perbedaan hak otonomi dan hak medebewind adalah sebagai berikut: Pada pembentukan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah in maka pemerintah pusat ditentukan kewajiban pekerjaan mana-mana saja yang dapat diserahkan kepada daerah. Penyerahan ini ada dua macam yaitu:

a.Penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajiban (pekerjaan yang diserahkan itu), diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonomi), dan

b.Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan prinsip-prinsipnya ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri (hak medebewind).

Hak medebewind ini jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atas saja, sekali-kali tidak. Oleh karena pemerintah daerah berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapatnya sendiri. Jadi masih mempunyai hak otonom sekalipun hanya mengenai cara menjalankan, ini benar artinya bagi tiap-tiap daerah.40

40

Kajian lain terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 menyimpulkan, bahwa konstruksi desentralisasi politik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini dikatakan “overdosis” alias kebablasan atau terlalu maju, tidak sesuai dengna realitas pertumbuhan pemerintahan kita, ini disebabkan oleh pemikiran liberal yang merasuki perancang undang-undang waktu itu demi menampakkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis sebagai dukungan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pokok-pokok utama dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 adalah untuk menghapuskan perbedaan antara cara pemerintahan di pulau Jawa-Madura dengan daerah di luar Jawa-Madura. Peraturan ini menuju persamaan cara dalam pemerintahan daerah bagi seluruh Indonesia dan membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin. Termasuk untuk penghapusan dualisme dalam pemerintahan daerah, dan pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya pada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar permusyawaratan.41

4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Di daerah sendiri, keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 baru terasa seelah pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) diselenggarakan. Di beberapa daerah di Jawa, Sumatera Selatan, dan Kalimantan. DPRD hasil pemilu segera memilih kepala daerah dan membentuk

41

Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tetapi dalam menjalankan kekuasaannya DPD beserta kepala daerahnya sering jatuh bangun, persis seperti model kabinaet di Pusat, gara-gara dilancarkannya mosi tidak percaya oleh DPRD. Kemelut bertambah pelik, karena di daerah selepas diberlakukannya Undang-Undang ini, terdapat dua nahkoda atau dua pimpinan pemerintahan. Urusan desentralisasi dan medebewind dipimpin oleh DPD/kepala daerah, sedangkan urusan dekonsentrasi/pemerintahan umum ditangani oleh pejabat pamong praja. Dampaknya adalah, efisiensi, efektivitas dan koordinasi tidak berjalan.42

Sebagai Undang-Undang yang berinduk pada UUD Sementara 1950 Pasal 131, maka Undng-Undang No. 1 Tahun 1957 menganut asas yang ditetapkan UUD induknya yakni “otonomi yang seluas-luasnya” yang diwujudkan dalam asas otonomi yang nyata. Ini merupakan implikasi dari asas yang terlampau demokratis sehingga menjadi ultra democratis, yang mengandung bahaya membawa perpecahan-perpecahan dalam golongan-golongan masyarakat dan memperlemah hubungan hirarki antara pusat dan daerah. 43

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ini menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-luasnya, dalam pelaksanaannya apabila dibutuhkan setiap saat urusan pangkal yang menjadi urusan rumah tangga daerah itu dapat ditambah dan dikurangi, sesuai kebutuhan yang didasarkan pada faktor-faktor riil.

42

Soetandyo Wignyosubroto, Pasang Surut Otonomi Daerah,...Op. Cit, Hal. 84-85.

43

Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah (Bandung: Alumni, 1978), Hal. 93-94.

Adapun yang dimaksud dengan sistem otonomi riil menurut Jimmi Mohammad Ibrahim adalah wewenang daerah otonom ini dibatasi secara positif yaitu disebutkan secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya.44

Menurut analisis Moh. Mahfud MD, ada dua alasan yang sangat rasional mengapa Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 harus segera diganti menyusul perpindahan kekuasaan dari partai di parlemen ke tangan Soekarno, yaitu tuntutan konstitusi dan realitas politik. Pertama, dalam logika Soekarno Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tidak sesuai dengan UUD 1945 karena bersendikan demokrasi liberal yang mengandung instabilitas. Karenanya harus diganti dengan Undang-Undang yang bersendikan demokrasi kekeluargaan (gotong royong). UUD 1945 melalui Pasal 18 memberikan garis-garis besar atau prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kedua, dilihat dari sudut politik, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ternyata menyebabkan munculnya fenomena disintegrasi atau penyempalan daerah-daerah terhadap pusat yang mengancam prinsip negara kesatuan. Jadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang merupakan produk sistem politik yang sangat liberal-demokratis telah membawa efek desintegrasi sehingga sebuah kekuatan politik yang otoriter di bawah demokrasi terpimpin segera mencabut dan menggantinya.45

Ketika Presiden Soekarno mempraktekkan Demokrasi Terpimpin, masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mewujudkan apa yang menjadi aspirasi mereka. Demokrasi Terpimpin sebenarnya merupakan nama lain dari otoritarianisme. Dalam

44

Jimmi Mohammad Ibrahim, Prospek Otonomi Daerah Dalam Rangka Memberi Peranan Yang Lebih Besar Kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. (Semarang: Dahara Prize, 1991), Hal. 54.

45

kaitannya dengan mekanisme hubungan kekuasaan antara Pusat dengan Daerah, pemerintah pada waktu itu menguburkan ide otonomi daerah yang luas, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 diganti dengan hanya sebuah “Penetapan Presiden”, yaitu Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959”.46 Penetapan Presiden merupakan suatu produk hukum baru yang disetarakan dengan Undang-Undang.