• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Bidang Pajak dan Retribusi Daerah Yang Bermasalah Daerah Yang Bermasalah

INVESTASI DI SUMATERA UTARA

B. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Bidang Pajak dan Retribusi Daerah Yang Bermasalah Daerah Yang Bermasalah

Peraturan Daerah tentang pajak dan retribusi akan menjadi dasar dari kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pemungutan pajak maupun retribusi yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, pemberlakuan pearturan daerah harus mendapat persetujuan dari DPRD dan ditanda tangani oleh Kepala Daerah serta diundangkan dalam lembaran daerah. Namun, pemerintah daerah wajib menyampaikan peraturan daerah kepada pemerintah

96

Hasil wawancara dengan Bapak Abdul Jalil SH, Msp, Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 8 Juli 2010.

pusat, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Dalam jangka waktu 15 (Lima Belas) hari setelah ditetapkan. Kewajiban tersebut berkaitan dengan kewenangan pusat untuk melakukan pengawasan yang harus ditetapkan dalam tempo satu bulan sejak diterimanya perda tersebut.97

Faktor pengawasan merupakan salah satu faktor esensial. Melalui pengawasan, maka dapat diketahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana dan sesuai dengan instruksi atau asas yang telah ditentukan, sehingga dapat diketahui kesulitan dan kelemahan dalam bekerja untuk kemudian diperbaiki, dengan pengawasan dapat dijamin segala sesuatunya berjalan sesuai dengan rencana dan dapat dilakukan perbaikan yang diperlukan apabila ada ketidakcocokan atau kesalahan.98

Terbitnya peraturan daerah baru yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Terbatasnya kemampuan pemerintah pusat menganalisis ribuan perda yang ada membuat banyak perda penghambat investasi daerah lolos dari pengawasan.

Pemerintah Daerah boleh memberlakukan perda tanpa perlu menunggu persetujuan pemerintah pusat. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dalam waktu 15 hari sejak perda ditetapkan, pemda sudah harus menyerahkan perda tersebut ke pemerintah pusat. Jika sesudah 30 hari perda tersebut dikirim tidak mendapat tanggapan dari pemerintah pusat, pemda dapat melaksanakan perda itu. Kondisi ini

97

Adrian Sutedi, Hukum Pajak Dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), Hal. 143.

98

berbeda dengan masa Orde Baru. Pengawasan terhadap perda dilakukan pemerintah pusat secara preventif, yaitu perda baru dapat diberlakukan setelah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Di sisi lain munculnya perda bermasalah juga disebabkan lemahnya pengawasan pemerintah pusat. Perda yang dikirimkan pemerintah daerah tidak seluruhnya dianalisis secara mendalam oleh pemerintah pusat. 99

Pelaksanaan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua Undang-Undang ini merupakan perwujudan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab keapda daerah yang secara proporsional diwujudkan dalam bentuk, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah, penyaluran, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan atas kerakyatan yang berkesinambungan dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan masyarakat.

99

Mangala Sihite, Upaya Preventif Dan Penanganan Perda Bermasalah, http://www.legalitas.org, diakses terakhir tanggal 20 Juni 2010.

Pemerintah daerah mungkin perlu lebih berhati-hati dalam menerbitkan peraturan daerah (perda). Dalam pernyataannya pada pembukaan Forum Investasi Regional Indonesia yang diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah pada tanggal 18 Desember 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintah pusat akan membatalkan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Sebagian kalangan menyambut antusias rencana pembatalan perda-perda bermasalah. Mereka menilai bahwa rencana itu, selain akan meningkatkan investasi dan pelayanan publik, juga akan memaksa elit daerah benar-benar memperhatikan dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam membuat perda. Namun, sebagian kalangan juga mengkhawatirkan bahwa rencana itu akan mengembalikan otoritas pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Terlepas dari polemik rencana pembatalan perda-perda bremasalah itu, ada baiknya memahami terlebih dahulu proses penyusunan perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 100

Mengenai materi muatan peraturan daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Pasal 138 ditentukan bahwa :

(1) Materi muatan Perda mengandung asas : a. Pengayoman ; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; 100

Gunanto E S, Perda Penghambat Investasi Akan Terus Dibabat, http://www.tempo.com, diakses terakhir tanggal 21 Juni 2010.

e. Kenusantaraan; f. Bhineka tunggal ika; g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Pada dasarnya, perda dibentuk dalam rangka penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat sebenarnya berhak untuk memberikan masukan dalam rangka penyiapan dan pembahasan perda, namun bagaimana mekanisme peran serta masyarakat itu tidak jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 Sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Apabila rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota telah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sebagai perda, maka perda itu disampaikan kepada pemerintah pusat setelah perda itu ditetapkan. Pemerintah pusat dapat membatalkan perda itu apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berdasarkan Pasal 37 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ditentukan bahwa :

“Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri”.

Keputusan pembatalan perda itu ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak perda itu diterima oleh pemerintah pusat. Apabila tidak ada Peraturan Presiden yang membatalkan perda itu dalam jangka waktu 60 hari itu, maka perda itu dinyatakan berlaku. Pemerintah Pusat melalui Mendagri akan membatalkan perda tersebut karena bertentangan dengan kepentingan umum dan Undang-Undang yang lebih tinggi. Kemudian 7 hari sejak keputusan pembatalan perda itu, kepala daerah yang bersangkutan harus memberhentikan pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah itu mengeluarkan perda yang mencabut perda dimaksud. Kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung apabila pemerintah daerah yang bersangkutan keberatan atas keputusan pembatalan itu. Apabila keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya oleh Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk mengevaluasi rancangan perda propinsi dan peraturan Gubernur yang mengatur tentang APBD, perubahan APBD dan penjabarannya, sebelum perda dan peraturan Gubernur itu ditetapkan. Apabila berdasarkan hasil evaluasi itu, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa rancangan perda dan peraturan Gubernur itu bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur dan DPRD harus menyempurnakan rancangan perda itu untuk dievaluasi kembali oleh Menteri Dalam Negeri. Apabila Gubernur dan DPRD tidak menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri tersebut dan tetap menetapkan rancangan perda dan peraturan

Gubernur itu, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkannya sekaligus menyatakan berlakunya APBD tahun sebelumnya apabila yang yang dibatalkan adalah perda tentang APBD.

Mendagri mengevaluasi rancangan perda Kabupaten/Kota tentang APBD diberikan kepada Gubernur yang membawahi wilayah Kabupaten/Kota itu, dengan proses yang sama seperti evaluasi rancangan perda propinsi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Hasil evaluasi atas rancangan perda Kabupaten/Kota itu akan disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri. Proses penetapan rancangan perda yang berkaitan dengan Pajak Daerah. Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah juga harus melalui proses evaluasi yang sama dengan proses penetapan rancangan perda tentang APBD. Namun, untuk rancangan perda yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan.

Kebijakan ekonomi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2007 Sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pada dasarnya merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan otonomi, maka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah akan berjalan secara lebih efektif dan efisien karena kedekatan antara lembaga pemerintahan (eksekutif daerah) dengan masyarakat (penduduk setempat), sehingga semua kegiatan pembangunan di daerah sudah didesain berdasarkan kebutuhan yang bersumber dari

aspirasi masyarakat setempat. Semua perencanaan tersebut didasarkan pada komunikasi interaktif antara pemerintah daerah dan masyarakatnya. Hal ini berkaitan dengan kewajiban pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, seperti antara lain, penyediaan sarana/prasarana maupun jasa pelayanan yang memungkinkan pembiayaannya dapat diperkirakan secara lebih akurat dan pada gilirannya dapat menentukan darimana memperoleh sumber dana guna membiayai kebutuhan tersebut. 101

Kebijakan desentralisasi fiskal sebagai tindak-lanjut dari kebijakan otonomi, memberikan kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari daerah sendiri disamping transfer dana pusat dalam membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan yang sudah menjadi kewenangan daerah. 102

Pengawasan Peraturan Daerah tentang pajak akan menjadi dasar berpijak dari kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pemungutan pajak maupun retribusi yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, pemberlakuan Peraturan Daerah harus mendapat persetujuan dari DPRD, ditandatangani oleh Kepala Daerah serta diundangkan dalam lembaran daerah. Namun demikian, pemerintah daerah berkewajiban menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, lima belas hari setelah ditetapkan, dimana kewajiban tersebut berkaitan dengan kewenangan pusat untuk melakukan pengawasan yang sudah harus ditetapkan

101

Indonesia dinilai masih sangat menarik untuk investasi, http://www.hukumonline.com, diakses terakhir tanggal 25 Juni 2010.

102

dalam tempo satu bulan sejak diterimanya Perda tersebut. Tindak lanjut atas pengawasan tersebut, adalah keputusan untuk membatalkan suatu Perda pajak atau retribusi, apabila berdasarkan hasil pengkajian dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 103

Setelah mengetahui proses penyusunan perda, bisa dilihat siapa saja sebenarnya pihak-pihak yang mungkin turut bertanggungjawab dalam pembuatan perda yang dianggap bermasalah itu. Masyarakat dapat dianggap turut bertanggungjawab apabila masyarakat tidak menggunakan haknya untuk memberikan masukan dalam hal mengingatkan Kepala Daerah dan DPRD agar perda yang disusun tidak bertentangan dengan kepentinganumum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, hal ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat masyarakat mungkin tidak paham bagaimana menggunakan haknya karena ketidakjelasan mekanisme peran serta masyarakat itu di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah dan peraturan pelaksanaannya. Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan juga bertanggungjawab apabila mereka memang memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, bisa juga Kepala Daerah dan DPRD itu tidak mengetahui atau mengetahui tapi tidak mengerti mengenai peraturan yang harus dirujuknya dalam menyusun perda. 104

Fokus perhatian berkenaan dengan pembiayaan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertumpu pada persoalan pendapatan daerah yang berasal dari

103

Ahmad Heryawan, Timbulkan Ekonomi Biaya Tinggi, http://www.ahmadheryawan.com, diakses terakhir tanggal 25 Juni 2010.

104

berbagai jenis sumber. Artinya pendapatan daerah merupakan cerminan dari kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 157 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan:

“Sumber pendapatan daerah terdiri atas:

a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1) hasil pajak daerah;

2) hasil retribusi daerah;

3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) lain-lain PAD yang sah;

b. dana perimbangan; dan

c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.”

Jika menelusuri ketentuan Pasal 157 tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa di antara sumber pendapatan daerah tersebut, hanya ”Pendapatan Asli Daerah” yang merupakan sumber pembiayaan sebagai indikasi atau ketegasan sumber pendapatan daerah yang otonom. Sebab sumber pendapatan daerah yang berupa dana perimbangan merupakan hasil penerimaan yang didasarkan persentase perimbangan tertentu yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Adapun lain-lain pendapatan daerah yang sah ditentukan oleh ukuran yuridis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Selanjutnya diantara komponen Pendapatan Asli Daerah, perlu dicermati komponen pajak daerah dan retribusi daerah aspek yuridis yang berimplikasi terhadap peranannya dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Kajian yuridis landasan pajak daerah dan retribusi daerah harus ditetapkan dalam sebuah undang-undang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 158

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 : ” Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah”.

Adapun undang-undang yang dimaksud Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 32/ 2004 adalah Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Dengan demikian pengaturan secara yuridis tersebut tidak luput untuk dibahas terhadap dinamika perubahan pengaturannya. Di samping landasan hukum berupa undang-undang, patut ditelusuri secara yuridis peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan PP No. 66 Tahun 2001. Pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut dilakukan melalui produk hukum berupa peraturan daerah.

Pengaturan tentang pajak daerah diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksananya dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap masing-masing jenis pajak.105 Untuk itu daerah diberikan kewenangan

105

Menurut Pasal 1 ayat 6 UU No. 28 Tahun 2009, pajak daerah adalah kontibusi wajib kepada Daerah yang erutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang-memungut 11 jenis pajak.106 Penetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pajak tersebut secara umum dapat dipungut hampir di semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan pungutan yang baik.

Jenis pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan. Adanya pembatasan jenis pajak propinsi tersebut terkait dengan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Propinsi dapat tidak memungut pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Besarnya tarif pajak propinsi berlaku definitif yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah.

Sebagaimana halnya pajak daerah, retribusi diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Pasal 1 ayat (64) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 :

Undang, denga tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

106

Yang merupakan pajak daerah menurut UU No.28 Tahun 2009 adalah; (1) Pajak Propinsi adalah; pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, Pajak rokok; (2) Pajak Kabupaten/Kota adalah; pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, Pajak air tanah, Pajak sarang burung walet, Pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka retribusi tidak lain merupakan pemasukan yang berasal dari usaha-usaha Pemerintah Daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan warga masyarakat baik individu maupun badan atau koorporasi dengan kewajiban memberikan pengganti berupa uang sebagai pemasukan kas daerah. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Retribusi dapat digolongkan atas tiga golongan, yaitu Retribusi Jasa Umum; Retribusi Jasa Usaha; dan Retribusi Perijinan Tertentu.107

a. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan tau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis Retribusi Jasa Umum antara lain; Retribusi Pelayanan Kesehatan; Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Penduduk dan Akte Catatan Sipil dan lain-lain.

b. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis retribusi jasa usaha antara lain;

Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; Retribusi Tempat Pelelangan dan lain-lain.

c. Retribusi Perijinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang

107

Soenobo Wirjosoegito, Proses Dan Perencanaan Peraturan Perundangan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004). Hal. 121-122.

dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam, sarana, prasarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perijinan Tertentu terdiri dari;

Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan; Retribusi Ijin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; Retribusi Ijin Gangguan; dan Retribusi Ijin Trayek. Pemerintah pusat juga tidak bisa lepas tangan karena mungkin saja Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan atau menteri yang membidangi urusan tata ruang kurang melaksanakan tugasnya dengan baik dalam mengevaluasi rancangan perda yang diajukan kepada mereka sehingga ketika perda itu ditetapkan ternyata pada pelaksanaannya dianggap perda bermasalah. Mungkin juga parameter yang digunakan pemerintah pusat dalam menilai suatu perda tidak sesuai dengan keadaan aktual dari daerah yang bersangkutan. Kurangnya sosialisasi yang intensif oleh pemerintah pusat kepada seluruh pemerintah daerah di Indonesia mengenai keberadaan peraturan perundang-undangan yang harus dirujuk mereka dalam menyusun perda juga dapat menjadi penyebab lahirnya perda bermasalah. Di samping itu, tidak memadainya dana perimbangan yang didapat dari pemerintah pusat untuk mengoptimalkan pembangunan di daerah dapat mendorong pemerintah daerah untuk mencari tambahan pendapatan dengan menerbitkan perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang beberapa diantaranya kemudian dianggap sebagai perda bermasalah. Dorongan itu dapat lebih kuat lagi apabila ternyata proses pencarian dana perimbangan dari kas umum Negara sulit dilakukan oleh Pemerintah daerah. Kesulitan ini bisa jadi karena pemerintah daerah tidak dapat memenuhi persyaratan untuk pencairan dana perimbangan itu, atau bisa juga karena birokrasi

yang menangani pencairan dana itu sengaja mempersulit prosesnya untuk “memaksa” pemerintah daerah memberikan “uang pelicin” agar proses pencairan dana itu dapat lebih mudah. 108

Pembuat Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dari Peraturan Daerah mungkin saja tidak melihat perkembangan situasi dan kondisi dalam otonomi daerah sekarang ini. Peraturan ditingkat pusat itu mungkin dibuat sebelum masalah otonomi daerah menjadi perhatian utama atau dibuat hanya untuk mempermudah implementasi investasi di daerah namun tidak memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang di masing-masing daerah, sehingga apabila peraturan itu tidak diikuti justru tidak dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan. 109

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli

108

Syukri, Perda Bermasalah, http://www..syukri.wordpress.com, diakses terakhir tanggal 27 Juni 2010.

109

Daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan kian banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan keapda daerah disertai pengalihan personel, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. 110

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong pemerintah daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta