• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORITIS

A. Konsep Civil Society

1. Pengertian Ulama

Makna ulama pada dasarnya merujuk pada surah Al- Fatir ayat 28 yang berbunyi:

ىَش ْخَي اَمَّوِإ ٌروُفَغ ٌزيِزَع َ َّاللَّ َّنِإ ُءاَمَلُعْلا ِهِداَبِع ْهِم َ َّاللَّ

Artinya: “sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun.” Dalam tafsir As-Sa‟adi mengenai surah al-Fatir ayat 28 menjelaskan bahwa dalil tersebut membicarakan tentang keutamaan ilmu, yang mana ilmu akan menuntun seseorang untuk takut kepada Allah dan orang yang demikian adalah orang yang mendapatkan kemuliaan serta keridhoan-Nya.10

Dengan demikian jika merujuk pada ayat tersebut, yang bisa di sebut sebagai ulama adalah orang yang berilmu. Sebagaimana penjelasan Hasan al-Basri yang di maksud dengan ilmu di sini bukan hanya ilmu agama, karena hakikat dari ilmu itu sendiri adalah yang mendatangkan al-khassyah (rasa takut kepada Allah). Al-khassyah merupakan ciri ideal dari seorang ulama, untuk menjadi ulama yang ideal berdasarkan ayat di atas tidaklah mudah.11

Menjadi seorang al-khassyah yang di dasari oleh ilmu pengetahuan tentang keagungan dzat Allah dan kesempurnaannya melalui tafakkur al-ayat al-kauniyah (dengan menghayati segala sesuatu yang terjadi di alam semesta),

10 Ade Wahidin. “Konsep Ulama Menurut Al-Qur’an (Studi Analitis atas Surah Al-Fatir ayat 28). Jurnal Al Tadabbur Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Vol. 6, No.2 (2016). Hal. 47

11 Ade Wahidin. “Konsep Ulama Menurut Al-Qur’an (Studi Analitis atas Surah Al-Fatir ayat 28). Jurnal Al Tadabbur Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Vol. 6, No.2 (2016). Hal. 48

32

tadabbur al-ayat qauliyah (menghayati ayat-ayat al-Qur‟an terutama tentang azab), muraqabatullah (menghadirkan pengawasan Allah) dan mentauhidkan Allah.12

Jika merujuk pada pengertian ulama di atas, maka dapat di katakan bahwa telah terjadi pergeseran makna di tengah masyarakat yang hanya mengacu kepada ahli agama, dengan merujuk pada kata „alim yang secara harfiah diartikan sebagai orang yang berilmu dan berpengetahuan. Kata „alim adalah orang yang memiliki „ilm kecakapan dalam pengetahuan dan literatur.

Kata tersebut memiliki kata plural dalam Bahasa arab klasik yakni „ulum yang merujuk pada berbagai pengetahuan.

Jika melihat pengertian dan makna„ulum, maka tidak semua orang memiliki „ulum, hanya orang-orang tertentu yang memilikinya dan merekalah yang di sebut sebagai seorang ulama yang memahami agama („ulum ad-diniyah),13. Dari sini muncullah istilah ulama yang diperuntukan bagi orang-orang yang hanya memahami dan mengerti ilmu agama.

Berdasarkan penjelasan di atas kata ulama telah mengalami pergeseran makna. Setelah ditelusuri lebih jauh mengenai makna ulama, pergeseran tersebut terjadi ketika Belanda datang ke Indonesia dan memiliki niat untuk menyingkirkan ulama (orang yang berilmu) pada saat itu untuk

12 Ade Wahidin. Konsep Ulama Menurut Al-Qur’an (Studi Analitis atas Surah Al-Fatir ayat 28). Hal. 52-53

13 Nursukma Suri. Ulama dan Institusi Pendidikan Islam (Knowladge and Power).

(Skripsi S1 Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, 2004). Hal. 2

33

menduduki jabatan politik dan hanya bisa berkecipung dalam ranah sosial keagamaan. 14

Adanya kebijakan tersebut membuat para ulama enggan memasukan anaknya ke sekolah Belanda, mereka lebih suka mengirim para anaknya ke dayah (lembaga agama Islam). Dari sini timbul perspektif dalam masyarakat mengenai ulama, yang mana masyarakat pada saat itu mengartikan ulama sebagai orang yang pernah belajar ilmu agama, memiliki pengetahuan agama secara mendalam dan menggunakan ilmunya untuk memimpin, mengajar dan beribadat.15

Pengertian ulama di atas pada akhirnya dibedakan menjadi dua yakni ulama kitab dan ulama intelektual. Ulama kitab adalah ulama yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam saja, sedangkan ulama intelektual adalah ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama secara mendalam juga memiliki ilmu pengetahuan umum. Pemahaman ulama intelektual ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang ditempuhnya, melalui perguruan tinggi umum agama terutama setelah adanya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau dayah-dayah modern yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum. 16

Berdasarkan penjelasan di atas, ciri-ciri ulama mengalami perkembangan, bukan hanya ciri khas yang melekat pada ulama tradisional atau pedesaan, melainkan juga ciri-ciri baru berdasarkan dinamika yang terjadi di dalam masyarakat. Adapun ciri-ciri tersebut yakni:

14 Yumna. “Ulama sebagai Warasathal Anbiya (Pergeseran Nilai Ulama di Mata Masyarakat Aceh”. Jurnal Syifa al-Qulub. Vol, 3. No. 1 (Juli, 2018). Hal. 18

15 Yumna. “Ulama sebagai Warasathal Anbiya (Pergeseran Nilai Ulama di Mata Masyarakat Aceh”. Hal. 19

16 Ibid. Hal. 19

34

a) Biasanya tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia. Hadirnya lembaga keulamaan telah ada dalam sejarah Islam yang mana hal tersebut merupakan hasil dari sebuah proses yang terjadi didalam masyarakat.

Panggilan seorang ulama dilontarkan untuk mereka yang ahli dalam hadist, fiqih dan lain sebagainya yang bukan hanya memahami dari segi hukumnya tapi juga dalam praktiknya terutama bagi mereka yang telah mengembangkan ilmunya melalui penelitian yang pernah dilakukan.17 b) Dalam pembuatan fatwa, biasanya berdasarkan keputusan para ulama c) Memiliki pengetahuan yang luas

d) Sumber fatwanya berdasarkan kitab-kitab kuning dan fatwa yang akan dikeluarkan sebelumnya merupakan hasil penyelidikan.

e) Dapat terlibat dalam politik.18

Panggilan seorang ulama pada diri seseorang bukanlah melalui suatu proses pengangkatan jabatan yang dilakukan oleh sebuah institusi, akan tetapi berdasarkan sebuah proses cukup panjang yang mana masyarakat ini melihat bahwa ulama memiliki pemahaman mendalam tentang agama, memiliki sifat-sifat yang baik seperti ketaqwaan dan keimanannya pada Allah disertai kualitas yang baik dan lain sebagainya yang dapat dilihat dari kesehariannya dalam masyarakat.19

17 M. Dawam Rahardjo. Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendekiawan Muslim. Hal, 195

18 Yumna. “Ulama sebagai Waratsatul Anbiya (Pergeseran Nilai Ulama di Mata Masyarakat Aceh). Jurnal Syifa Al-qulub. Vol. 3, No. 1 (Juli, 2018). Hal, 27

19 M. Dawam Rahardjo. Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendekiawan Muslim. (Bandung: Mizan, 1993). Hal, 196

35

Terlepas dari adanya perkembangan pengertian ulama, adanya sosok ulama ini telah di kenal sejak lama terutama dalam sejarah Islam. Sosok ulama juga dikenal sebagai pewaris para nabi (waratsatul al-anbiya) sehingga seringkali ia sangat dihormati masyarakat, karena kharisma dan status sosial yang dimilikinya.20

Di Indonesia penyebutan ulama di setiap daerah memiliki panggilan yang berbeda seperti di daerah Sunda, sosok ulama dipanggil dengan sebutan Ajengan, di Jawa panggilannya Kyai, panggilan Syeikh untuk daerah Sumatera Utara dan lain sebagainya.21

Di daerah Banten sendiri, hadirnya ulama sebagai sosok elite lokal di Banten dapat dilihat dari segi sejarahnya, ketika Banten dikuasai oleh kesultanan Banten. Kekuasaan yang dimiliki kesultanan semakin memperkuat posisi ulama ketika tugasnya bukan hanya memberikan pemahaman mengenai agama kepada masyarakat, akan tetapi ia juga tampil sebagai elite kerajaan.22

Sosok ulama menjadi elite bukan hanya pada ranah agama serta kerajaan, akan tetapi juga sampai ke tingkat desa. Keterlibatan ulama dalam politik semakin terlihat pada tahun 1950‟an, ketika sistem kerajaan telah runtuh dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang baru. Ulama kembali

20 Yumna. “Ulama sebagai Waratsatul Anbiya (Pergeseran Nilai Ulama di Mata Masyarakat Aceh). Hal, 19

21 Imam Hanafi dan Sofiandi. “Desekularisasi Ulama: Makna Ulama Menurut Nurcholish Madjid”. Hal, 186

22 Karomani. „‟Ulama, Jawara dan Umaro: Studi tentang Elite Lokal di Banten”. Jurnal Sosiohumaniora. Vol. 11, No, 2 (Juli, 2009), hal. 171

36

menjalin keharmonisan dan ikut serta dalam pembuatan kebijakan karena sikapnya yang selalu menjadi pedoman bagi masyarakat untuk diikuti.23 2. Peran Ulama dalam Politik

Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam dan hadirnya ulama menjadi sosok yang sangat penting, bukan hanya dalam hal keagamaan untuk meminta petuahnya akan tetapi juga dalam hal politik. Ulama dianggap memiliki daya tarik tersendiri dalam masyarakat sehingga sering kali ia di calonkan untuk menjadi pemimpin negara.

Basis pendukung yang ulama miliki tersebar cukup luas baik di pesantren-pesantren, sekolah dan lain sebagainya. Hal inilah yang pada akhirnya memikat para politisi untuk menggandeng ulama dalam dunia perpolitikan24. Menjelang pemilihan ulama atau kiai memiliki beberapa peran ketika mereka ikut terlibat dalam proses perpolitikan, yakni diantaranya:

a) Melakukan sosialisasi untuk memperkenalkan calon yang ia dukung baik itu melalui pendidikan politik yang ia berikan dengan memperkenalkan semua calon yang akan maju di sela-sela pembahasan ceramahnya yang diakhiri dengan ajakan untuk memilih pasangan tertentu, lalu ketika melakukan doa bersama dalam setiap kesempatan (seperti acara pengajian) dan melakukan koordinasi dengan ormas Islam serta partai politik tertentu.

23Bachtiar Efendy. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 3

24 Akbar Faqih Maula Nahdli. Keterlibatan Ulama Dalam Politik: Studi Terhadap Peran Ulama dalam Kemenangan Idris- Pradi Pada Pemilukada Kota Depok Tahun 2015. Hal. 42

37

b) Menjadi tim sukses salah satu calon untuk mengajak masyarakat agar ikut serta mendukung calon.25

c) Membuat fatwa yang mana dalam fatwa tersebut para ulama mengajak masyarakat untuk memilih pemimpin yang berasal dari kalangan santri hal itu dikarenakan ia memiliki pemahaman agama yang bagus sehingga akan melahirkan pemimpin yang amanah.26

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sosok ulama bukan hanya mengurus masalah agama, melainkan juga dalam bidang sosial bahkan politik. Menjelang pemilihan umum ulama seringkali menjadi icon untuk dapat mempengaruhi suara masyarakat yang mana posisi dan peran tersebut semakin penting dan strategis. Hal itu di dasarkan pada kondisi sosiologis dan tingkat religius masyarakatnya yakni sebagai berikut:

a) Sosok ulama dikenal sebagai suri tauladan dan panutan bagi umat Islam karena pemahamannya mengenai agama maupun hal lainnya tidak diragukan lagi, tak terkecuali dalam hal politik. Ilmu yang dimiliki oleh ulama itulah yang menjadi kekuatannya untuk mendekatkan diri sekaligus menjalankan perintah agama kepada masyarakat.

b) Sosok ulama ketika melakukan dakwah ke majelis-majelis ta‟lim biasanya memiliki jama‟ah dan pengikut yang pasti di mana pun ia

25 Maria Ulfa. Peran Kiai dalam Kehidupan Politik Penelitian di Desa Sumur Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal. (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial: Uviversitas Semarang, 2009).

Hal 59-61

26 Bahaudin Amrullah. Peran Kiai dalam Politik (Studi atas Pemenangan Calon Legislatif oleh KH. Arsyad Bushoiri dalam Perspektif Hukum Islam). (Skripsi SI Fakultas Ilmu Syariah dan Ilmu Hukum: IAIN Tulungagung, 2015). Hal 72

38

berada. Pada umumnya para pengikut tersebut tidak selalu mengiyakan karena ulama, melainkan karena ilmu yang dimiliki serta dedikasi yang ulama berikan kepada masyarakat.

c) Dedikasi dan pelayanan yang diberikan ulama kepada masyarakat dilakukan karena Allah semata yang mana ia melakukan semua itu dengan ikhlas dan bertujuan untuk melayani masyarakat karena memang sudah tugasnya sebagai waratsatul anbiya untuk membimbing umat dalam berbagai hal.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep ulama dan peran ulama dalam politik untuk melihat bagaimana peran ulama yang tergabung dalam struktural MUI di Kresek pada saat pilpres 2019. Hadirnya Ma‟ruf Amin sebagai ulama dan sosok yang sangat dihormati di Kresek, apakah mampu menarik simpati masyarakat Kresek untuk memilihnya.

Dengan menggunakan konsep ini, peneliti juga ingin mengetahui apakah para ulama MUI di Kresek ikut terlibat dalam politik hanya sekedar menuntun jama‟ahnya untuk memilih pilihan politik yang benar atau ikut terlibat menjadi timses salah satu calon dan melakukan sosialisasi politik ke majelis-majelis taklim, pesantren dan lain sebagainya.