• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGERTIAN UMUM PPM

Dalam dokumen Administrasi-Pajak (Halaman 192-195)

PENGAWASAN PEMBAYARAN MASA

PENGERTIAN UMUM PPM

Self assessment sebagai suatu sistem perpajakan perlu adanya pengawasan dalam pelaksanaan dan sekaligus pembinaan, oleh karena itu admistrasi pengawasan pembayaran haruslah bertumpu kepada pelaksanaan pengawasan dari pembayaran atau penyetoran pajak dalam Masa Pajak dan sekaligus pelaporannya serta pembinaan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan tersebut. Pengertian pembinaan adalah dari mulai himbauan sampai dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak terhadap kewajiban perpajakan yang seharusnya dijalankan oleh Wajib Pajak, namun tidak atau kurang dijalankan dengan baik sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari uraian tersebut maka ruang lingkup dari tugas Pengawasan Pembayaran Masa meliputi tugas-tugas antara lain:

1. Pencatatan pembayaran atau penyetoran pajak Masa ke dalam Buku Tabelaris atau Kartu Pengawasan Pembayaran atas Bukti Pembayaran atau Bukti Laporan yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Dengan sendirinya pencatatan tersebut tidak perlu dilakukan apabila administrasi pengawasan pembayaran Masa sudah diselenggarakan secara komputerisasi, kecuali pedoman kerja menghendaki;

2. Mengarsipkan bukti pembayaran/penyetoran pembayaran Masa dan Laporan pembayaran/penyetoran Masa ke dalam Anak Berkas Tahun Berjalan;

3. Membuat Nota Perhitungan Surat Tagihan Pajak atas pelanggaran kewajiban pelaksanaan pembayaran/penyetoran pembayaran masa sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf a jo Pasal 14 ayat (3) KUP jo Pasal ayat 7 KUP;

4. Mencatat Nota Perhitungan Surat Tagihan Pajak yang telah dibuat ke dalam Buku Tabelaris atau Kartu Pengawasan Pembayaran;

5. Mengirimkan Nota Perhitungan Surat Tagihan Pajak ke unit kerja Ketetapan dan kearsipan, dan mencatat kembali dalam Buku Tabelaris atau Kartu Pengawasan Pembayaran apabila Nota Perhitungan Surat Tagihan Pajak tersebut telah diterbitkan keputusannya;

6. Mengarsipkan Keputusan Surat Tagihan Pajak dan tindasan lembar perhitungan Surat Tagihan Pajak ke dalam Anak Berkas Tahun Berjalan; 7. Secara periodik setiap akhir tahun (biasanya s.d. bulan April tahun

berikutnya) mengirimkan Anak Berkas Tahun Berjalan ke unit kerja Tata Usaha Perpajakan.

Ketentuan hukum yang mengatur Pengawasan Pembayaran Masa sendiri tidak diatur secara khusus dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, namun pengertian ini tersirat dalam pelaksanaan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2a) KUP, demikian pula dalam Pasal 10 ayat (1) KUP. Pada dasarnya pelaksanaan Pengawasan Pembayaran masa adalah meliputi pegawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan:

• Pemotongan Pajak atau Pemungutan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PPh yang pelaksanaannya ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah berikut pelaporannya;

• Pembayaran Masa PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 PPh dan pelaporannya;

• Penyetoran Pajak dari hasil pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 PPh serta pelaporannya;

• Penyetoran pajak dari hasil pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22 PPh serta pelaporannya; dan

• Penyetoran Pajak dari hasil pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 PPh;

• Penyetoran Pajak dari hasil pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 PPh dan pelaporannya.

Dari uraian tersebut mungkin ada beberapa terminologi yang membingungkan yaitu pertama adanya terminologi pemungutan pajak dan ada terminologi pemotongan pajak. Tentu timbul pertanyaan apa bedanya? Demikian pula adanya terminologi pemotongan pajak yang diatur dalam

ketentuan yang berbeda yaitu Pasal 21, 23 dan 26 PPh, inipun akan menimbulkan pertanyaan apa bedanya? Selain itu juga ada pemungutan pajak atau pemotongan pajak yang diatur dalam ketentuan pasal 4 ayat (2) PPh.

Pemungutan Pajak

adalah pengenaan pajak melalui pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga baik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun atas penunjukan yang diberikan oleh Menteri Keuangan atas kuasa pasal undang-undang. Dasar pemungutan pajak adalah nilai transaksi dikalikan tarif pemungutan yang biasanya adalah tarif tengah dikalikan fiksi laba usaha. Sebagai contoh dari ketentuan ini adalah Keputusan Menteri Keuangan RI 948 Tahun 1984 tentang pemungutan PPh Pasal 22 atas Impor yaitu 1,5 % yang diperoleh dari Tarif Pajak Tengah (25%) dikalikan Fiksi Laba yang pada waktu itu (6%) atau 1,5% (satu lima per sepuluh persen). Pemungutan PPh Impor Pasal 22 ini sebenarnya bertentangan dengan asas self assessment system itu sendiri, sebab datangnya penghasilan adalah dari transaksi penjualan bukan dari transaksi pembelian, mungkin ini hanya pas untuk impor secara indent dan dikenakan atas importirnya.

Pemotongan Pajak

adalah pengenaan pajak melalui pemotongan yang dilakukan oleh pihak ketiga baik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun atas penunjukan Menteri Keuangan atas kuasa undang-undang. Dasar pemotongan adalah penghasilan dikalikan tarif pajak, biasanya tarif tengah atau tarif umum Pasal 17 PPh;

Pemotongan PPh Pasal 21

adalah pemotongan pajak karena adanya hubungan kerja, yaitu antara pemberi kerja dengan karyawan, dan sebagai pemotong pajak adalah pemberi kerja. Perluasan pemotongan pajak semacam ini ke pemotong pajak selain yang timbul karena adanya hubungan kerja menimbulkan masalah yaitu ”mampukah Direktur Jenderal Pajak mengawasinya”?

Pemotongan PPh Pasal 23

adalah pemotongan pajak karena adanya hubungan pekerjaan, yaitu antara dua profesional yang sederajat dalam menjalankan transaksi usaha, dan sebagai pemotong adalah mereka yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Dalam kasus perluasan pemotongan semacam ini pertanyaan sebagaimana dikemukakan pada kasus pemotongan PPh Pasal 21 juga perlu pula dijawab.

Pemotongan PPh Pasal 26

adalah pemotongan atas penghasilan dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri dan sebagai pemotong disini adalah pemberi penghasilan. Dari pemotongan pajak semacam inilah dikenal terminologi ”Pajak Final” dalam era official assessement system, karena tidak mungkin Wajib Pajak Luar Negeri tersebut diminta untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan ke Indonesia dan tidak mungkin pula ditetapkan dan dilakukan tindakan penagihan pajak.

Pemotongan atau Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) PPh

adalah pemotongan atau pemungutan pajak-pajak tertentu yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah berdasarkan kewenangan yang diberikan Pasal 4 ayat (2) PPh, dan sebagai pemotong atau pemungut adalah pemberi penghasilan, pelaksana transaksi, atau pejabat yang ditunjuk dan semua pemotongan atau pemungutan disini dinyatakan sebagai Pajak Final. Sejarah dari timbulnya Pasal 4 ayat (2) PPh ini pada mulanya hanya atas penerimaan penghasilan berupa bunga deposito berjangka berdasarkan pertimbangan bahwa negara membutuhkan dana tabungan dari masyarakat untuk mendorong pembangunan nasional. Perkembangan selanjutnya dari ketentuan ini adalah bahwa Direktur Jenderal Pajak tidak dibenarkan mengusut asal-usul dari uang yang didepositokan. Perkembangan selanjutnya dari ketentuan ini sebenarnya tidak lebih dari bentuk seolah-olah negara melegalkan money laundry dan black money. Sedangkan fakta yang terjadi yaitu bahwa tujuan penghimpunan dana untuk pembangunan tidak terjadi atau paling tidak mencapai tujuan, yang terjadi adalah bentuk capital fligt.

Dalam dokumen Administrasi-Pajak (Halaman 192-195)