• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN INDUSTRI TAMBANG BATUBARA INDONESIA

Dalam dokumen PT UBS Securities Indonesia (Halaman 183-191)

PERATURAN PERTAMBANGAN

Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, sebagaimana telah diubah, serta undang-undang pertambangan umum yang diberlakukan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, seluruh sumber daya mineral dianggap sebagai aset nasional dan, dengan demikian, dikuasai oleh negara bagi kepentingan bangsa dan kemakmuran rakyat. Peraturan-peraturan pertambangan pasca-kemerdekaan diberlakukan pertama kali pada tahun 1960 melalui Undang No. 37/Prp/1960 tentang pertambangan umum dan Undang-Undang No. 44/Prp/1960 yang mengatur soal pertambangan minyak dan gas. Undang-Undang-undang ini membatalkan undang-undang pertambangan yang berasal dari Belanda yang diberlakukan sebelumnya dan menciptakan kerangka hukum untuk kegiatan pertambangan yang konsisten dengan semangat UUD 1945.

Pada tahun 1967, tahun yang sama dimana Undang-Undang No. 1 tahun 1967, sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 11 tahun 1970 (“Undang-Undang Penanaman Modal Asing”), diperkenalkan pertama kali, Undang-Undang Pertambangan mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (“Undang-Undang Pertambangan 11”) diberlakukan untuk menggantikan Undang-Undang No. 37/Prp/ 1960. Sejak saat itu, kegiatan pertambangan umum di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Pertambangan dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1969 mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Pertambangan, yang diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2001 (“Peraturan Pemerintah 75”) dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1453.K/29/MEM/2000 tertanggal 3 November 2000 mengenai Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum (“Keputusan 1453”) dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1614 tahun 2004 mengenai Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman Modal Asing (“Keputusan 1614”).

Undang-Undang Pertambangan 11 menetapkan bahwa wewenang atas dan kendali serta pengaturan sumber daya mineral yang strategis dan penting, termasuk batubara, di Indonesia diberikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (“Menteri”), sementara wewenang atas dan kendali serta pengaturan atas sumber daya mineral yang tidak strategis dan tidak penting diberikan kepada pemerintah daerah dimana sumber daya mineral berada. Undang-Undang Pertambangan 11 juga menetapkan bahwa kegiatan pertambangan umum, termasuk namun tidak terbatas pada, survei umum atas, eksplorasi, dan eksploitasi, sumber daya mineral dapat dilakukan oleh lembaga Pemerintah, badan usaha milik negara dan badan hukum Indonesia melalui Kuasa Pertambangan. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut berkenaan dengan isi, wewenang, batas dan aspek tertentu lainnya dari kuasa pertambangan akan diatur oleh peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pertambangan 11.

Berdasarkan Undang-Undang Pertambangan 11, Pemerintah adalah pemegang kuasa pertambangan atas seluruh sumber daya alam di wilayah pertambangan Indonesia dan berwenang mengoperasikan kegiatan pertambangan. Sebagai bagian dari wewenang ini, Pemerintah dapat menunjuk kontraktor dan mengadakan perjanjian dengan kontraktor tersebut untuk mengoperasikan kegiatan pertambangan. Syarat-syarat dan ketentuan perjanjian tersebut diatur dalam peraturan terpisah. Lihat “— Perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan batubara dan kuasa pertambangan”. Pemerintah juga dapat memberikan kuasa pertambangan untuk menambang sumber daya mineral atau batubara tertentu di daerah tertentu.

PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA DAN KUASA

PERTAMBANGAN

Pada tahun 1967, sewaktu Undang-Undang Pertambangan 11 diberlakukan, Menteri mendapat wewenang untuk menunjuk kontraktor melalui kontrak karya untuk menjalankan kegiatan pertambangan yang belum atau tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan. Kontrak karya tersebut mengatur seluruh kegiatan pertambangan mineral. Kontrak karya juga berlaku bagi perusahaan penanaman modal asing yang bermaksud terlibat dalam kegiatan pertambangan di Indonesia.

Pada tahun 1981, Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1981 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Tambang Batubara Antara Perusahaan Negara Tambang Batubara dan Kontraktor Swasta (“Keputusan 49”) diberlakukan. Istilah yang digunakan dalam Keputusan 49 adalah “perjanjian kerjasama”. Perjanjian kerjasama adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara Perusahaan Negara Tambang Batubara, selaku pemegang kuasa pertambangan, dan perusahaan swasta, selaku kontraktor, untuk mengoperasikan tambang batubara untuk jangka waktu 30 tahun.

“Perjanjian kerjasama” juga dikenal sebagai Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Batubara (Coal Contract of Work). Kegiatan pertambangan juga dilaksanakan berdasarkan kuasa pertambangan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pertambangan. Perbedaan utama antara kuasa pertambangan dan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara adalah bahwa perjanjian kerjasama pengusahaan batubara terbuka bagi penanaman modal asing sedangkan kuasa pertambangan tidak. Selain itu, berdasarkan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara, Pemerintah memperoleh 13,5% dari seluruh batubara yang diproduksi di dalam daerah konsesi yang menjadi subyek “perjanjian kerjasama pengusahaan batubara”, sementara berdasarkan peraturan kuasa pertambangan, pemegang kuasa pertambangan diwajibkan membayar kontribusi tetap tahunan (iuran tetap) untuk tiap hektar daerah konsesinya (dead rent). Berdasarkan Keputusan Menteri Energi No. 1166.K/844/M.PE/1992, yang diubah oleh Keputusan No. 104.K/844/ M.PE/1994 mengenai Penetapan Tarif luran Eksplorasi Atau luran Eksploitasi Untuk Usaha Pertambangan Umum, para pemegang kuasa pertambangan diwajibkan membayar Biaya Eksploitasi mulai dari US$0.15 per ton sampai US$0.60 per ton tergantung kualitas batubara, tingkat produksi dan sumber batubara. Dead Rent juga harus dibayar sesuai dengan perijinan pertambangan batubara dan nilainya tergantung dari generasi pada saat perijinan pertambangan batubara diberikan.

Terdapat tiga generasi yang berbeda dari perjanjian kerjasama pengusahaan batubara yang ada, dimana semuanya memiliki perbedaan dalam hal syarat-syarat dan ketentuan yang melekat pada konsesi pertambangan. Penggunaan istilah perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi I merujuk pada perjanjian kerjasama pengusahaan batubara yang dibuat setelah diberlakukannya Keputusan 49 dan sebelum Keputusan 49 dibatalkan. Perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi I antara lain mengakui bahwa (i) kontraktor harus menyerahkan 13,5% bagian dari batubaranya kepada Perusahaan Negara Tambang Batubara dalam bentuk penyerahan fisik batubara, (ii) Kontraktor harus membayar, antara lain, pajak perusahaan dan Iuran Pembangunan Daerah, (iii) barang modal dan bahan yang diimpor tetap milik Perusahaan Negara Tambang Batubara dan empat tahun setelah tahap produksi dimulai, kontraktor penanaman modal asing diharuskan menawarkan kepemilikannya kepada Pemerintah dan/atau warganegara Indonesia agar pada tahun produksi ke sepuluh, sekurang-kurangnya 51,0% dari modal saham kontraktor tersebut dapat dimiliki oleh Pemerintah dan/atau warganegara Indonesia.

Pada tahun 1984, nama dan status “Perusahaan Negara Tambang Batubara” diubah menjadi “Perusahaan Umum (PERUM) Tambang Batubara”. Perusahaan Umum (PERUM) Tambang Batubara selanjutnya dibubarkan pada tahun 1990 dan seluruh hak dan kewajibannya terkait dengan perjanjian kerjasama dialihkan kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Tambang Batubara Bukit Asam (“PTBA”).

Pada tahun 1993, Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 1993 mengenai Ketentuan Pokok Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara Antara Perusahaan Perseroan (Persero) PT Tambang Batubara Bukit Asam dan Perusahaan Kontraktor (“Keputusan 21”) diberlakukan. Istilah yang digunakan dalam Keputusan 21 adalah “perjanjian kerjasama operasi pertambangan batubara”. Perjanjian kerjasama pengusahaan batubara yang diadakan setelah pemberlakuan Keputusan 21 disebut sebagai perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi II. Perbedaan antara perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi I dan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi II adalah bahwa perjanjian

167

kerjasama pengusahaan batubara Generasi II memungkinkan 13,5% bagian batubara Pemerintah dibayar dalam bentuk royalti dan bukan melalui penyerahan fisik batubara sebagaimana disyaratkan berdasarkan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi I. Perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi II juga meniadakan beberapa pajak dan pungutan wajib dari Pemerintah sesuai peraturan yang berlaku pada saat itu dan dengan ketentuan bahwa seluruh peralatan yang dibeli oleh pemegang perjanjian kerjasama pengusahaan batubara tetap menjadi milik pemegang perjanjian kerjasama pengusahaan batubara. Selain itu, berdasarkan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi II, kontraktor penanaman modal asing diharuskan menawarkan kepemilikannya kepada Pemerintah, badan hukum Indonesia dan/atau warganegara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing.

Keputusan 21 selanjutnya dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden No. 75 tahun 1996 mengenai Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (“Keputusan 75”). Keputusan 75 menyebutkan bahwa “perjanjian karya operasi pertambangan batubara”, yang dikenal sebagai “perjanjian kerjasama batubara”, merupakan perjanjian antara Pemerintah dan kontraktor swasta untuk melaksanakan kegiatan pertambangan batubara. Berdasarkan Keputusan 75, seluruh hak dan kewajiban PTBA terkait dengan perjanjian kerjasama pada operasi pertambangan batubara dialihkan kepada Menteri Energi. Perjanjian kerjasama pengusahaan batubara yang diadakan setelah diberlakukannya Keputusan 75 disebut sebagai perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi III. Perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi III memungkinkan bagian batubara sebesar 13,5% milik Pemerintah dibayar dalam bentuk tunai berdasarkan harga dari pembayaran batubara sewaktu Free on Board atau harga di tempat penjualan. Perjanjian kerjasama pengusahaan batubara Generasi III mengharuskan kontraktor membayar pajak kepada Pemerintah berdasarkan peraturan yang berlaku pada saat perjanjian kerjasama pengusahaan batubara ditandatangani. Kontraktor tidak diharuskan membayar beberapa pungutan (termasuk bea masuk, pungutan impor dan bea balik nama). Selain itu, kontraktor penanaman modal asing diharuskan menjual sebagian dari sahamnya kepada warganegara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku.

Peraturan pelaksanaan Keputusan 75 adalah Keputusan Menteri Energi No. 680.K/29/M.PE/1997 yang diubah berdasarkan Keputusan Menteri Energi No. 0057K/40/MEN/2004. Peraturan pelaksanaan ini menetapkan bahwa semua hal dalam hubungannya dengan operasi pertambangan batubara berdasarkan Keputusan 49 dan Keputusan 21 yang sebelumnya berada di bawah wewenang PTBA dialihkan kepada Menteri Energi dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.

Keputusan 75 mengatur perjanjian kerjasama pengusahaan batubara. Beberapa komponen material dari Keputusan 75 adalah sebagai berikut:

• kontraktor menanggung semua resiko dan biaya yang terkait dengan kegiatan pertambangan batubara yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara;

• kontraktor diwajibkan menyerahkan 13,5% dari hasil produksi batubara kepada Pemerintah dalam bentuk tunai berdasarkan harga FOB atau harga di tempat penjualan;

• kontraktor diwajibkan membayar biaya tetap tahunan (dead rent) kepada Pemerintah berdasarkan wilayah konsesi batubara sesuai dengan peraturan yang berlaku;

• barang modal dan bahan yang diimpor untuk operasi kegiatan pertambangan dibebaskan antara lain dari bea masuk dan pungutan impor;

• kontraktor diwajibkan memprioritaskan penggunaan produk dan jasa Indonesia serta tenaga kerja Indonesia berkenaan dengan kebijakan Pemerintah terkait dengan pembangunan wilayah tertentu dan pelestarian lingkungan;

• kontraktor harus membayar pajak kepada Pemerintah sesuai dengan rezim pajak yang berlaku pada saat kontrak;

• kontraktor harus mengajukan dan mendapatkan persetujuan dari pemerintah setiap tahunnya untuk barang modal yang diperlukan dan bahan yang harus diimpor.

Pada tahun 2004, Keputusan 1614 diberlakukan, yang menetapkan perbedaan antara kontrak karya dan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara. Berdasarkan Keputusan 1614:

• kontrak karya adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara Pemerintah dengan perseroan terbatas yang didirikan dalam kerangka penanaman modal asing untuk melaksanakan kegiatan pertambangan, tidak termasuk minyak, gas, geotermal, radioaktif dan batubara; dan

• Perjanjian kerjasama pengusahaan batubara atau PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara Pemerintah dengan perseroan terbatas yang didirikan dalam kerangka penanaman modal asing untuk melaksanakan kegiatan pertambangan batubara.

Namun, Keputusan 1614 tidak akan berpengaruh pada PKP2B yang ada yang dimiliki oleh masing-masing dari Indominco, Trubaindo, Jorong dan Bharinto karena dalam Keputusan 1614 terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa seluruh PKP2B yang ada yang telah ditandatangani oleh Pemerintah sebelum dikeluarkannya Keputusan 1614 tetap berada di bawah wewenang Menteri Energi dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu, Kitadin sedang melaksanakan jasa pertambangan umum di wilayah konsesi Indominco. Berdasarkan Keputusan Menteri Energi No. 423/Kpts/M/Pertamb/1972 yang diubah oleh Keputusan Menteri Energi No. 536.K/201/M.PE/1995 mengenai Perusahaan Jasa Pertambangan di Luar Minyak dan Gas Bumi, ijin dari Menteri Energi harus didapatkan bagi perusahaan yang menyediakan jasa tertentu yang mendukung kegiatan pertambangan bukan minyak atau gas. Kitadin telah menerima Surat Keputusan Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Geotermal No. 632.K/45.07/DTL/2006 tertanggal 13 Desember 2006 yang memberikan kepada Kitadin ijin usaha untuk melaksanakan jasa di bidang mineral, batubara dan geotermal. Masa berlaku ijin tersebut adalah untuk jangka waktu tiga tahun.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Departemen Energi telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pertambangan untuk mengatur pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Rancangan Undang-Undang Pertambangan telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas pada tahun 2005. Rancangan Undang-Undang Pertambangan berupaya mengalokasikan tanggung jawab atas pengaturan industri pertambangan mineral dan batubara di antara Pemerintah dan instansi pemerintah daerah yang terdiri dari gubernur, bupati dan walikota.

Rancangan Undang-Undang Pertambangan, apabila diterapkan dalam bentuk yang diusulkan, akan mengubah prinsip berdasarkan mana hak untuk menambang mineral dan batubara dapat dilaksanakan, dari sistem saat ini menuju pada sistem pemberian ijin. Operasi pertambangan di masa mendatang akan dilaksanakan dalam bentuk (i) “Penugasan Usaha Pertambangan”, (ii) “Ijin Usaha Pertambangan”, atau (iii) Ijin Pertambangan Rakyat. Perbedaan utama di antara (i), (ii) dan (iii) adalah sebagai berikut:

• Penugasan Usaha Pertambangan hanya dapat dikeluarkan (1) oleh Menteri Energi kepada instansi Pemerintah dimana bahan radioaktif terlibat dan/atau (2) oleh Menteri Energi, gubernur, bupati/ walikota, kepada instansi Pemerintah untuk menambang mineral logam dan bukan logam, mineral batuan dan batubara;

• Ijin Usaha Pertambangan hanya dapat dikeluarkan oleh Menteri Energi atau instansi pemerintah daerah gubernur, bupati atau walikota untuk menambang mineral logam dan batubara dan mineral bukan logam dan batuan dan dapat dikeluarkan dan diserahkan kepada badan-badan usaha (yang dimiliki oleh negara dan perusahaan milik pemerintah daerah, perseroan terbatas Indonesia dan koperasi) dan individu; dan

• Ijin Pertambangan Rakyat hanya dapat dikeluarkan oleh bupati kepada individu setempat di dalam Daerah Pertambangan Rakyat.

169

Usulan Rancangan Undang-Undang Pertambangan tidak akan berpengaruh pada kuasa pertambangan, kontrak karya, PKP2B atau ijin pertambangan daerah (Surat Izin Pertambangan Daerah atau SIPD) yang sudah ada sampai berakhir jangka waktunya. Perseroan tidak dapat memastikan kepada pembeli bahwa Rancangan Undang-Undang Pertambangan akan dilaksanakan dalam bentuknya yang sekarang atau disahkan menjadi undang-undang dalam jangka waktu tertentu, jika demikian, atau bahwa tidak akan ada perubahan atau amandemen signifikan atas Rancangan Undang-Undang Pertambangan sebelum atau setelah pemberlakuannya. Terdapat juga kemungkinan dimana Mahkamah Konstitusi akan mempertanyakan substansi Rancangan Undang-Undang Pertambangan, bila diberlakukan menjadi undang-undang, sehingga menyatakan undang-undang baru tersebut (atau prosedur tertentu yang termuat di dalamnya) tidak konstitusional.

UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

Indonesia terbagi menjadi sejumlah propinsi, yang selanjutnya terbagi lagi menjadi kabupaten dan kotamadya. Kabupaten dan kotamadya di dalam suatu propinsi adalah berdiri sendiri dalam sebagian besar kegiatan mereka dan, dengan demikian, tidak tunduk pada pemerintah propinsi.

Pada tahun 1999, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (“Undang-Undang 22”), yang mengalihkan dan melimpahkan kekuasaan tertentu yang sebelumnya dilaksanakan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah. Pada tanggal 15 Oktober 2004, Pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, yang diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 dan kemudian ditegaskan kembali sebagai undang-undang berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 2005 (“Undang-Undang 32”) yang menggantikan Undang-Undang 22 dan, sebagaimana halnya dengan Undang-Undang 22, secara substansial mengubah kerangka hukum dan peraturan industri pertambangan di Indonesia. Undang-Undang 32 mewajibkan pemerintah daerah menjaga hubungan yang wajar dan selaras dengan Pemerintah dan pemerintah daerah lainnya sewaktu melaksanakan urusan pemerintah mereka, termasuk dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lainnya. Urusan pemerintah yang terpengaruh termasuk seperti (i) wewenang dan tanggung jawab untuk, dan pemanfaatan, pemeliharaan dan pengendalian dampak atas pengolahan dan pelestarian alam dan sumber daya lainnya, (ii) bagi hasil dari pemanfaatan sumber daya alam dan sumber lainnya serta (iii) penyelarasan lingkungan, rencana tata ruang dan rehabilitasi lahan. Peraturan pelaksanaan untuk Undang-Undang 32 harus dikeluarkan dan disahkan pada tanggal 15 Oktober 2006.

PERATURAN KEHUTANAN

Undang-Undang No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan, yang diubah berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 2004, yang mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2004 (“Undang-Undang Kehutanan 19”) menetapkan bahwa operasi pertambangan open-pit tidak dapat dilakukan di dalam hutan lindung. Selain dari larangan umum ini, sejumlah ijin dan kontrak untuk pertambangan open-pit di daerah hutan yang sudah ada sebelum pemberlakuan Undang-Undang Kehutanan 19 tetap berlaku sampai berakhir jangka waktunya. Daerah yang signifikan di Indonesia telah digolongkan sebagai hutan lindung. Blok Timur wilayah konsesi Indominco terletak di hutan lindung dan Indominco perlu mendapatkan ijin “pinjam-pakai” (lihat di bawah) agar dapat melaksanakan operasi pertambangan di daerah ini.

Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan 19, penggunaan daerah hutan untuk tujuan pertambangan harus dilaksanakan berdasarkan ijin “pinjam-pakai” yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan.

Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2006 yang diubah berdasarkan Keputusan Departemen Kehutanan No. 64/Menhut-II/2006, ijin “pinjam-pakai” hanya berlaku untuk jangka waktu lima tahun. Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan 19, apabila ijin “pinjam-pakai” secara signifikan merusak operasi pertambangan, maka Menteri Kehutanan akan menilai nilai strategis dari operasi pertambangan yang bersangkutan dan menilai kembali lingkup ijin “pinjam-pakai” setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 146/KPTS-II/99 tertanggal 22 Maret 1999 mengenai Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan, perusahaan pertambangan dan energi yang kegiatan pertambangannya dilaksanakan di daerah hutan yang telah mendapat ijin dari Menteri Kehutanan harus mulai melaksanakan reklamasi terhadap daerah pertambangannya dengan biayanya sendiri dalam jangka waktu maksimum enam bulan setelah kegiatan pertambangan selesai. Kegiatan reklamasi dan rehabilitasi ini harus dimuat dalam rencana reklamasi yang akan dievaluasi dan dimintakan pertujuan dari Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Unit Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah atau Dinas Kehutanan Daerah Tingkat II. Laporan mengenai kemajuan kegiatan reklamasi dan rehabilitas harus diserahkan oleh Perseroan kepada instansi Pemerintah tersebut setiap kuartalnya.

PERATURAN LINGKUNGAN

Perlindungan lingkungan di Indonesia diatur oleh berbagai undang-undang, peraturan dan keputusan, termasuk Undang-Undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup (“Undang-Undang Lingkungan 23”), Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau “AMDAL”, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2006 mengenai Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (“Peraturan 11”), Keputusan Menteri Energi No. 1453K/29/MEM/2000 tertanggal 3 November 2000 mengenai Panduan Teknis berkenaan dengan Kewajiban Organisasi atau Pemerintah di Bidang Pertambangan Umum (“Keputusan 1453”) dan Keputusan Menteri Energi No. 1457 K/28/MEM/2000 tertanggal 3 November 2000 mengenai Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan Di Bidang Pertambangan Dan Energi (“Keputusan 1457”).

Peraturan 11 dan Keputusan 1457 menetapkan antara lain bahwa perusahaan pertambangan yang operasinya memberi dampak lingkungan atau sosial harus mendapatkan dan mempertahankan dokumen AMDAL, yang terdiri dari Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan atau Ka ANDAL, Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan atau RKL dan Rencana Pemantauan Lingkungan atau RPL. Bilamana dokumen AMDAL tidak diperlukan, maka berdasarkan Keputusan 1457, perusahaan pertambangan harus membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.

Berdasarkan Undang-Undang Lingkungan 23, langkah dan sanksi perbaikan dan pencegahan (seperti kewajiban untuk merehabilitasi daerah tailing, dikenakannya hukuman dan denda pidana yang cukup berat serta dibatalkannya persetujuan) juga dapat dikenakan untuk memperbaiki atau mencegah terjadinya polusi yang disebabkan oleh kegiatan operasional. Sanksi mulai dari hukuman penjara tiga sampai limabelas tahun yang berlaku untuk manajemen perusahaan yang bersangkutan dan/atau denda mulai dari Rp. 100 juta sampai Rp. 750 juta. Denda dalam bentuk uang dapat dikenakan sebagai ganti pelaksanaan kewajiban untuk merehabilitasi daerah yang rusak. Undang-Undang Lingkungan 23 juga mensyaratkan perijinan untuk seluruh pembuangan limbah. Pembuangan limbah hanya dapat dilakukan di lokasi tertentu yang telah ditentukan oleh Menteri Lingkungan Hidup.

Pembuangan air limbah selanjutnya diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 mengenai Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air (“Peraturan Pemerintah 82”). Peraturan Pemerintah 82 mengharuskan para pihak yang bertanggung jawab, termasuk perusahaan pertambangan, untuk menyampaikan laporan mengenai pembuangan air limbah mereka yang merinci dipatuhinya peraturan yang bersangkutan oleh mereka. Laporan ini harus diserahkan kepada bupati atau walikota yang bersangkutan, dimana salinannya diserahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup setiap kuartalnya.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 tahun 2003 mengenai Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batubara (“Keputusan 113”) lebih lanjut mengatur pengolahan air limbah oleh perusahaan pertambangan. Keputusan 113 mewajibkan perusahaan pertambangan (i) memroses air limbah mereka yang berasal dari kegiatan pertambangan dan kegiatan pemrosesan/ pencucian sesuai dengan standar kualitas yang diwajibkan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan 113; (ii) mengelola air yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan melalui kolam sedimentasi; dan (iii) memeriksa lokasi untuk kepatuhan terhadap air limbah yang berasal dari kegiatan pertambangan dimana air limbah dari kolam sedimentasi dan/atau fasilitas pengolah air limbah dibuang ke air permukaan.

171

Berdasarkan Keputusan 113, perusahaan pertambangan harus (i) mematuhi persyaratan yang ditetapkan dalam ijin mereka masing-masing mengenai pembuangan air limbah; dan (ii) menyerahkan analisis air limbah dan daily flow rate kepada bupati atau walikota, dimana salinannya diserahkan kepada gubernur dan Menteri Lingkungan Hidup setiap kuartalnya.

Perusahaan pertambangan juga harus mematuhi peraturan lain, termasuk Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 yang diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 mengenai Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun serta Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 mengenai Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, terkait dengan pengelolaan bahan dan limbah tertentu.

Dalam dokumen PT UBS Securities Indonesia (Halaman 183-191)