• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permukiman, Sampah, dan Polusi Udara Kota Medan

BAB IV. PEMBAHASAN DAN APLIKASI GAGASAN

1.1. Permukiman, Sampah, dan Polusi Udara Kota Medan

Kota sebagai perwujudan spasial cenderung mengalami perubahan (fisik dan nonfisik) dari waktu ke waktu. Dua faktor yang utama yang sangat berperan dalam perubahan-perubahan tersebut yaitu faktor penduduk dan aspek kebijakan. Keberadaan infrastruktur perkotaan dan kawasan permukiman yang ada di wilayah kota terutama Medan semakin tahun

semakin padat sehingga ruang terbuka hijau sebagai pengabsorbsi polusi udara dan penyeimbang siklus hidrologis kota secara ekologis mengalami gangguan secara signifikan. Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia memiliki beberapa permasalahan yang hingga saat ini belum banyak menemui solusi atas penanganannya. Beberapa permasalahan yang mendera kota Medan sebagai kutub pertumbuhan regional I Sumatera adalah masalah permukiman, sampah, polusi, dan pemanfaatan barang bekas yang tidak termanajemen dengan baik sehingga membuat nuansa kota Medan masih terkesan padat, sumpek, kotor, tidak asri, dan tidak sehat. Keberadaan infrastruktur perkotaan di wilayah kota Medan dan kawasan permukiman yang ada di wilayah kota Medan semakin tahun semakin padat sehingga ruang terbuka hijau sebagai pengabsorbsi polusi udara dan penyeimbang siklus hidrologis kota Medan secara ekologis mengalami gangguan secara signifikan.

Gambar 9: Kondisi Permukiman Kota Medan yang Padat

Secara teoritis logis, semakin bertambah jumlah permukiman penduduk yang memakan lahan, maka secara otomatis akan membuat lahan untuk kepentingan ruang terbuka hijau akan menyusut. Beitu juga untuk

masalah kota Medan, penyusutan jumlah ruang terbuka hijau yang memerlukan lahan sebagai medianya terus terjadi akibat bertambahnya jumlah permukiman warga untuk keperluan pribadi maupun kepentingan dunia usaha. Secara ilmiah, bertambahnya pendudukakan membuat pertambahan jumlah pemukiman dan akan berbanding lurus dengan penyusutan lahan hijau. Berdasarkan data dari Dinas Pertamanan Kota Medan, luas ruang terbuka hijau di Kota Medan saat ini adalah 19,88 Km2 atau 7,5 % dari luas Kota Medan yaitu 265,10 Km2. Data tersebut menunjukkan ketidakseimbangan antara infrastruktur yang dibangun dengan pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi bangunan/peruntukan lain.

Meningkatnya kuantitas

penduduk kota Medan yang hingga sekarang mencapai 2,9 juta jiwa, maka makin tinggi pula pola konsumsi instan yang meningkatkan volume sampah perkotaan. Salah satunya sampah botol minuman kemasan, dan sampah lain bekas konsumsi langsung penduduk kota untuk kebutuhan sehari-hari. Akibatnya sampah barang-barang bekas kian meningkat jumlahnya. Jika hal ini terus dibiarkan, tidak hanya mengganggu keasrian wilayah kota,namun juga dampak menimbulkan efek samping yang buruk terhadap lingkungan seperti timbulnya penyakit yang mewabah karena lingkungan yang

dikotor sampah dan juga dapat memicu terjadinya banjir. Medan, disetiap sudut-sudut kotanya masih memiliki pemandangan yang masih kurang baik secara ekologis. Sampah-sampah berserak di tiap sudut kota, pembenahan yang masih minim ditambah lagi minimnya inovasi yang memanfaatkan sampah dan barang bekas sebagai wadah untuk menghijaukan halaman rumah dan menghijaukan wajah kota membuat kota Medan kian semrawut. Tingginya tingkat konsumsi penduduk akan menimbulkan efek samping atau residu konsumsi berupa barang-barang bekas, dan jika barang-baang ini dibuang pada tempat yang tak seharusnya, maka Medan akan menjadi kota yang sesak dengan sampah. Produksi rata-rata sampah perkotaan sekitar 0,5-0,8 kg/orang (Kambuaya, 2012)

Gambar 10: Sampah dan barang-barang bekas yang dapat dijumai dijalan-jalan kota Medan

Berbagai jenis sampah dan barang-barang bekas yang ada tersebut jika dibiarkan saja maka akan menjadi tumpukan sampah dan rongsokan yang akan menimbulkan dampak negatif berupa wabah penyakit, dan pemicu banjir jika sampah-samah tersebut dibuang pada tempat yang tidak semestinya. Padahal, tidak selamanya sampah dan barang-barang bekas

seperti botol bekas minuman, bekas barang rumah tangga, bekas ban mobil, dan barang-barang bekas yang lain menjadi masalah, akan tetapi jika ia dimanfaatkan dengan baik, maka barang-barang tersebut akan memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi. Medan, sebagai kota modern dan memiliki pola pendidikan yang baik tidak seharusnya membiarkan barang- barang tersebut menjadi rongsokan yang mengganggu kestabilan ekosistem dan merusak lingkungan. Tetapi, pada kenyataannya barang-barang tersebut masih belum termanfaatkan dengan baik secara massif.

Selain masalah ledakan penduduk yang menyuburkan sektor permukiman dan menyusutkan lahan hijau, masalah sampah karena pola konsumsi yang meningkat, Medan juga menghadapi persoalan yang tak kalah serius terkait dengan lingkungan, yakni masalah polusi/pencemaran udara. Sektor transportasi merupakan penyumbang utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Dalam tahun 1990, transportasi darat bertanggung jawab terhadap setengah dari total emisi partikulat (debu), dan untuk sebagian besar Timbal, CO, HC dan NOX di daerah perkotaan, dengan konsentrasi utama terdapat di daerah lalu lintas yang padat, dimana tingkat pencemaran udara sudah dan atau hampir melampaui Standard kualitas udara.

Gangguan kesehatan dapat diakibatkan oleh konsentrasi yang berlebihan dari pencemar-pencemar utama ini. Selanjutnya menambahkan bahwa,

sejalan dengan pertumbuhan pada sektor transportasi yang diproyeksikan sekitar 6 – 8 % per tahun, maka penggunaan bahan bakar di Indonesia diproyeksikan bertambah sebesar 2.1 kali konsumsi 1990 pada tahun 1998, sebesar 4.6 kali pada tahun 2008, dan 9 kali pada tahun 2018. Pada tahun 2020. Selain, itu Medan juga menjadi pusat kegiatan industri yang notabene menyumbang konsentrasi gas karbon di

atmosfer kota Medan. WHO

melaporkan hasil pengamatan untuk beberapa kota di dunia, dan salah satu kota metropolitan Indonesia yakni Medan terbilang memiliki prestasi yang buruk, berdasarkan Air Quality Index (AQI) Medan yang berada di angka 110 menempatkan Medan di peringkat 4 kota paling tercemar di dunia setelah Ludhiana (India), Lanzhou (China), dan Mecixali (Mexico) dan paling tercemar di Asia Tenggara. Hal ini adalah sebuah kondisi kemunduran kualitas lingkungan hidup yang harus ditanggungjawabi secara bersama oleh seluruh masyarakat kota Medan.

Gambar 11: Sektor Penyumbang Polusi Udara di Kota Medan

Sektor transportasi dan industri di kota Medan adalah dua dari sekian banyak penyumbang emisi gas karbon

di atas atmosfer kota Medan. Untuk mereduksi dampak buruk lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya ini, maka dibutuhkan banyak tanaman hijau untuk mengabsorbsi gas-gas polutan yang terkonsentrasi di udara kota Medan. Namun, dengan luas lahan yang kian menyempit, tidak ada jalan lain selain memasyarakatkan teknologi tepat guna dan aplikatif yang dapat mengurangi dampak buruk tersebut.

1.2. Vertikultur

Setiap kota harus memiliki 30 % Ruang Terbuka Hijau (menurut Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentangPenataan Ruang) Sehingga bagi kota yang belum memenuhi kriteria tersebut seyogianya melakukan penambahan ruang terbuka hijau, dengan mempertimbangkan pemilihan jenis-jenis tanaman yang mempunyai fungsi ganda, yaitu selain tanaman dapat memberikan O2, juga dapat

mereduksi CO. Namun, Dinas Pertamanan Kota Medan mengatakan jika luas ruang terbuka hijau di Kota Medan saat ini adalah 19,88 Km2 atau 7,5 % dari luas Kota Medan yaitu 265,10 Km2. Setidaknya dari jumlah yang ada tersebut Pemerintah Kota Medan mensinergikannya sebagai RTH dan DRA (Daerah resapan Air), lalu mensosialisasikan penggunaan teknologi vertikultur pada masyarakat Medan yang sudah terlanjur membangun rumah dengan dinding, pagar dan semen atau halaman yang di

cor agar memanfaatkan barang-barang sederhana untuk diubah menjadi media tanam tumbuhan berupa sayur atau bunga yang berfungsi sebagai pereduksi emisi dan memberi nilai kesehatan.

Vertikultur adalah teknik bertanam atau berkebun dengan menggunakan media tanam vertikal yang dilakukan di area halaman rumah. Beberapa media vertikultur yang sudah dikembangkan sejak tahun 2005 diantaranya adalah pipa paralon, vas, dan bambu. Lahan halaman yang sudah ada jika belum di semen atau dicor

dapat dijadikan sebagai wilayah resapan air yang mengurangi genangan air banjir. Sementara vertikultur dijadikan penambah tanaman dan menambah nuansa hijau serta keasrian lingkungan agar lebih banyak tanaman dan lebih membuat lingkungan memiliki nilai plus untuk mereduksi gas emisi dan memberi nilai kesehatan jika yang ditanam adalah tumbuhan konsumsi. Berikut adalah media vertikultur yang sudah ada sejak dekade yang dapat diterapkan di rumah dan di permukiman kota Medan untuk membuat Medan lebih “berhias”.

Pipa Paralon adalah media yang baik dalam pengembangan teknologi pertanian vertikultur, dan dapat dikembangkan di kawasan permukiman dan perkantoran di Medan meskipun membutuhkan sedikit biayadalam pengaplikasiannya, namun jasa lingkungan yang didapatkan sangat

signifikan dan bermanfaat. Bambu, menjadi media tanam untuk vertikultur selanjutnya. Bambu adalah media tanam yang sangat efesien, selain memiliki struktur yang mudah dibentuk dan adaptif juga ramah lingkungan. Namun, untuk kasus Medan,bambu Persiapan media Penancapan Media Hasil Tanam Sayuran

sepertinya sukar ditemukan atau ketersediaannya tidak terlalu banyak. 2. Analisis Matematik Manfaat

Vertikultur

Medan memiliki 647.327 unit rumah (Progja Kota Medan Bidang Fisik dan Tata Ruang Tahun 2011). Tiap 1 m2 bisa ditempati oleh 8 botol bekas minuman. Jika tiap rumah dipakai 5 m2, maka 5x8=40 botol.

Kalau di Medan ada 300.000 rumah yang menerapkan vertikultur dengan asumsi 5 m2/rumah, maka 40x300.000=12.000.000 botol. Sangat positif aplikatif. Jika satu botol ditanami bayam/kangkung atau sawi atau tumbuhan lain sebanyak 6 batang, tiap batang menghasilkan 6 lembar daun. Maka tiap botol menghasilkan 36 lembar daun. Jumlah 12.000.000 botol yang digunakan sebagai vertikultur, akan menghasilkan 36 x 12.000.000 = 432.000.000 lembar daun.

Hasil estimasi ilmiah

menunjukkan bahwa dalam sejam satu lembar daun memperoduksi oksigen sebanyak 5 ml/jam (Andrew Skipor, Ph.D, 2011). Berarti oksigen yang tiap

hari dihasilkan adalah

432.000.000x5ml = 2.160.000.000 ml/jam atau 51.840.000.000 ml/hari atau 51.840.000 Liter/Hari. Kebutuhan oksigen untuk satu orang bernapas adalah 53 liter per jam atau 1272 liter/hari. Maka, jika vertikultur 300.000 rumah diterapkan, maka akan menghasilkan oksigen 51.840.000 liter/hari yang artinya mampu memasok kebutuhan oksigen untuk

40.755 orang/hari (1,4% jumlah populasi kota Medan).

3. Aplikasi Gagasan Vertikultur