• Tidak ada hasil yang ditemukan

HISTORIOGRAFIS M. Zaki Mahasin

C. Polarisasi Hulu-Hilir

Globalisasi ekonomi dapat dimaknai sebagai proses pengembangan suatu sistem tata kehidupan dunia yang melampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara. Sistem itu pada dasarnya berupa satu jaringan ekonomi yang utuh, yang terdiri dari berbagai macam struktur produksi, yang terintegrasi dari berbagai wilayah yang tidak sederajat tahap perkembangannya serta terbagi dalam berbagai wilayah politik dan kekuasaan yang berbeda-beda. Oleh karena tidak sederajat tahap perkem-bangannya itu lah, maka yang terbelakang atau yang lemah justru terbuka ruang dan berpotensi menjadi ajang eksploitasi oleh kekuatan ekonomi yang telah tumbuh dan berkembang (Gidden dan Turner 1987).

Terciptanya keterbelakangan dan ketergantungan ekonomi terkait dengan akses terhadap ‘surplus ekonomi’

dari sebuah proses beroperasinya sistem ekonomi kapitalis.

Dalam konteks ini para pengikut pemikiran Marx atau disebut Kaum Marxian meyakini, bahwa perkembangan sistem ekonomi kapitalis didasarkan kepada proses aku-mulasi surplus ekonomi yang terbagi secara tidak merata dan cenderung terakumulasi pada pihak pemilik kapital/

modal dan yang mampu memperoleh monopoli jaringan pemasaran, sedangkan pihak lain yang tidak bermodal dan tidak mampu memperoleh monopoli jaringan pemasaran cenderung mengalami proses keterbelakangan/marginali-sasi. Jaringan pasar ini, pada masa Orde Baru, dimonopoli oleh pihak kapitalis. Mekanisme pasar bebas pada masa Orde Baru ini semula ditujukan untuk menghasilkan peman-faatan sumberdaya yang optimal (Noer 1998). Selain itu dalam kapitalisme kontemporer terdapat kecenderungan beroperasinya kapitalisme yang monopolistik di mana jika konsisten sebagai sistem ekonomi kapitalis mestinya

mengembangkan arus kompetitif, tetapi prakteknya justru monopolistik. Terdapat kecenderungan korporasi ’perusa-haan raksasa’ menjadi mesin untuk memaksimalkan keun-tungan dengan mengorbankan pihak yang tidak bermodal.

Kondisi pada komoditas garam di Indonesia pada masa Pemerintahan Orde Baru juga menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Diawali dari keluarnya Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1967 tentang Penertiban Perusahaan Perusahaan Negara termasuk PN. Garam. Kebijakan ber-lanjut kepada dibukanya keran seluas-luasnya kepada masuknya modal asing melalui UU PMA 1968 dan ber-samaan dengan itu, juga dibuka keran seluas-luas kepada dunia swasta masuk pada komoditas garam. Upaya restrukturisasi ini diikuti dengan perbaikan manajemen pemasaran yang didasarkan pada kebijakan pemerintah yang tertuang Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1974.

Melalui beragam kebijakan tersebut, komoditas garam dilakukan pemisahan (polarisasi) sektor hulu dan hilir dengan memposisikan petambak garam dan PT Garam bergerak di hulu dan di hilir dikuasai oleh mayoritas pengusaha etnik Tionghoa. Meski pada tahun 1990 pernah diupayakan hilirisasi dengan membangun pabrik oleh pemerintah melalui PN Garam namun berikutnya pabrik pengolahan garam ini berhenti beroperasi. Fakta yang menarik justru industri pengolah garam dapat tumbuh dan berkembang sangat baik dan dalam dominasi etnik Tionghoa, karena dukungan regulasi kebijakan dari Peme-rintah Orde Baru.

Di tengah dominasi industri pengolah tersebut, petam-bak garam tersegmentasi kepada usaha hulu saja yaitu produksi garam bahan baku dan tidak memiliki akses tek-nologi, modal dan pasar. Dalam kondisi tersebut petambak

garam cenderung hanya menjadi buruh pekerja dengan kecenderungan pola hubungan produksi yang eksploitatif.

Eksploitasi ini adalah terjadinya praktik polarisasi kegiatan usaha garam menjadi hulu dan hilir. Petambak garam ada di posisi hulu sedangkan perusahaan industri pengolah yang mayoritas didominasi etnis Tionghoa ada di posisi hilir. Relasi bisnis hulu dan hilir yang seharusnya saling melengkapi yang terjadi justru sebaliknya. Perusa-haan industri pengolah garam yang bergerak di bidang pengolahan garam cenderung menekan harga garam hasil produksi petambak garam. Hal ini terutama setelah dite-tapkannya aturan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 77/SK/5/1995 yang mewajibkan garam yang dijual ke luar wilayah sentra garam harus melalui pencucian terlebih dahulu. Pada praktiknya, perusahaan pengolah garam tersebut baru mau mencuci garam petambak apabila mereka menjual garam tersebut kepada mereka (Kompas 2005).

Regulasi inilah yang berdampak pada tertekannya harga garam petambak. Petambak garam, dengan harga jual garam yang tidak memadai tetap saja berproduksi, meski hal ini tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Petambak garam, khususnya di pulau Madura menganggap produksi garam ini sudah menjadi budaya yang sudah melekat dalam kehidupan mereka. Mereka adalah pekerja keras dan memiliki perwatakan keras yang dipengaruhi oleh kondisi iklim yang cenderung kering. Ungkapan lokal orang Madura salah satunya adalah ngakan asella areh (makan diselang mata hari) sehari makan sehari tidak. Inilah kese-derhanaan orang Madura. Sifatnya yang keras, tidak mudah menyerah dan mendahulukan pekerjaan dari pada peng-hasilan merupakan karakter yang seolah tanpa perhitungan dan kepentingan (Wail 2019).

Selain itu, usaha garam ini juga menerapkan Sistem ekonomi ini dibentuk dalam konsep agraris-feodal yang dalam praktiknya menerapkan sistem patron-client (Leirissa 1999), yang mana petambak garam memiliki ikatan eko-nomi yang asimetris yang melekat secara budaya sehingga sulit untuk berubah. Hal ini yang menyebabkan petambak garam tetap saja berproduksi meski mereka tidak men-dapatkan penghasilan yang layak.

Budaya petambak garam bekerja di sektor hulu meru-pakan imbas warisan kolonial melalui tanam paksa yang mengharuskan pribumi untuk memproduksi dengan mena-nam tamena-naman tertentu. Hal ini juga berlaku pada produk garam. Warisan tanam paksa ini mencakup tiga hal, yaitu (1) pembentukan modal; (2) tenaga kerja murah; dan (3) ekonomi perdesaan (Niel 2003). Dampaknya sampai saat ini adalah tidak ada ruang usaha di hilir bagi petambak garam dan hanya diberi kesempatan untuk berproduksi saja tanpa diberi kesempatan untuk mengolah hingga garam siap konsumsi. Pengolahan garam dikelola oleh perusahaan Jawatan Regie Garam milik Pemerintah Kolonial Belanda yang didirikan tahun 1921.