• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rieny Sulistijowati

B. Potret Ketenagakerjaan Masa Pandemi Covid-19

Pengangguran tenaga kerja menarik diperbincangkan khu-susnya di masa pandemi Covid-19. Betapa tidak, dampak secara massif kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menghantam perekonomian masyarakat dunia ter-masuk Indonesia. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus berlangsung, hal tersebut merupakan dampak kebijakan PSBB seperti social distancing dan pengurangan waktu operasional di dunia kerja yang bertujuan meminimalisir penyebaran Covid-19.

Persentase tingkat setengah pengangguran menurut tingkat pendidikan terjadi peningkatan tahun 2020 yaitu tidak pernah sekolah 8,50 %; sekolah dasar 9,96%; sekolah menengah 9,56% dan sekolah tinggi 7,21% jika dibanding-kan tahun 2019 di mana tidak pernah sekolah 5,74%;

sekolah dasar 6,97%; sekolah menengah 5,45% dan sekolah tinggi 3,56% (I. BPS, 2020c). Demikian juga tingkat pengang-guran terbuka menurut tingkat pendidikan di mana tahun 2019 memang terjadi penurunan dibandingkan tahun 2018 pada tingkat pendidikan dasar, sekolah menengah dan sekolah tinggi, namun peningkatan signifikan kembali ter-jadi tahun 2020 pada keempat tingkat pendidikan.

Tabel 1. Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: (I. BPS, 2020b)

Informasi lainnya khusus tahun 2020 pada bulan Februari dan Agustus terjadi peningkatan pengangguran terbuka pada semua jenjang pendidikan yang ditamatkan dibandingkan data tahun 2019 pada periode survei bulan yang sama. Persentase peningkatan pengangguran tertinggi pada tahun 2020 terjadi pada jenjang pendidikan SLTA Kejuruan/SMK 37,95% dan SLTA UMUM/SMU 34,31%.

Selanjutnya diikuti oleh SD 28,62%, SLTP 22,83%, tidak/

belum tamat SD 19,13%, Universitas 15,93% dan Akademi/

Diploma 12,34% (Gambar 1). Informasi tersebut meng-isyaratkan kepada kita untuk memikirkan alternatif

lapang-an pekerjalapang-an baru bagi penglapang-anggurlapang-an saat era new normal dan masa yang akan datang pasca pandemi Covid-19 yang belum dipastikan kapan berakhirnya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah seperti program vaksina-si. Sektor informal telah terbukti mampu membantu penye-rapan dari pengangguran sektor formal seperti terjadi di Kota Jakarta Utara selama periode pandemi, sektor for-mal kehilangan 453.295 pekerja tetapi hanya 259.597 pe-kerja mampu diserap oleh sektor informal (J. BPS, 2020).

Gambar 1. Analisis Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (orang)

(Sumber data: I. BPS, 2020a) diolah)

C. Peluang Pasar Produk Perikanan Halal Sejumlah sektor yang relatif tidak terganggu bahkan ber-potensi tetap meningkat dari berbagai sektor yang ter-dampak pandemi Covid-19 yaitu sektor makanan dan minuman termasuk produk kelautan dan perikanan. Hal ter-sebut terkait kebutuhan bahan pangan dan pola hidup sehat yang terus meningkat. Kondisi karantina wilayah di bebe-rapa negara dan masih berlakunya mekanisme PSBB di beberapa lokasi di Tanah Air, masyarakat masih

membu-tuhkan produk siap saji. Peluang tersebut sangat menggiur-kan bagi UMKM. Apalagi tingginya pangsa pasar metode pembelian e-commerce semakin meningkat dengan banyak-nya generasi milenial yang memanfaatkan berbagai aplikasi guna memenuhi kebutuhan makanan siap saji (Rahman, 2020). Di samping itu minat konsumsi ikan di tanah air terus menggembirakan. Sampai tahun 2019 Angka Konsumsi Ikan (AKI) yaitu 54, 50 Kg per Kapita meningkat dibandingkan tahun 2017 dan 2018 yakni 47,34 dan 50,69 Kg per Kapita (KKP, 2021b).

Industri perikanan merupakan salah satu dari lima penggerak ekonomi di Indonesia saat ini. Berdasarkan estimasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi ekonomi kelautan Indonesia diprediksi mencapai USD1.338 miliar per tahun. Produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia pada tahun 2019 sebesar 23,9 juta ton. Potensi itu perlu dikelola sistem distribusinya karena sentra produksi terbesar di wilayah timur, semen-tara konsumsi terbesar di wilayah barat Indonesia. Tan-tangan domestik distribusi produk kelautan dan perikanan yaitu biaya angkut dari kawasan timur ke kawasan barat Indonesia yang tinggi, kekurangtersediaan sarana penyim-panan pasca panen dan kapal angkut ikan, dan penurunan mutu produk perikanan pasca panen dan distribusi. Selain itu, masalah lain adalah disparitas sumber daya ikan akibat ketidaksesuaian antara sentra produksi ikan dan industri pengolahan/pemasaran. Sebanyak 81% produksi perikanan tangkap di luar Jawa, sedangkan hampir 50% produksi unit pengolahan ikan (UPI) di Jawa (Helmi, 2020). Industri per-ikanan cukup banyak jumlahnya hal tersebut terdiri dari Unit Pengolahan Ikan (UPI) Mikro-Kecil dan UPI Menengah Besar.

Tabel 2. Data Unit Pengolahan Ikan

Sumber: (KKP, 2021a)

Unit Pengolahan Ikan (UPI) skala mikro-kecil saja sampai tahun 2018 melebihi tujuh juta, tentunya mereka memproduksi beragam produk olahan yang harganya relatif terjangkau oleh masyarakat dengan proses produksi yang sederhana. Proses produksi tersebut harus terhindar dari praktek ketidakhalalan baik aspek bahan baku, bahan tambahan, peralatan, pengemasan dan distribusinya.

Dalam perkembangan perdagangan saat ini pember-lakuan UU No. 33 tahun 2014 tentang “Sistem Jaminan Halal”. Jaminan halal ini menjadi salah satu indikator keputusan konsumen untuk membeli dan mengonsumsi khususnya masyarakat muslim selain indikator jaminan lain yaitu aman, sehat dan utuh. Awalnya setifikasi halal ini bersifat sukarela namun saat ini meningkat menjadi suatu kewajiban.

Potensi Indonesia sebagai destinasi wisata ramah muslim terbaik dunia tidak bisa dibantah lagi seiring dengan ledakan pertumbuhan investasi ke sektor-sektor seperti makanan siap saji dan layanan pengiriman makanan untuk produk halal. Namun, potensi tersebut ternyata masih terkendala oleh masalah sertifikasi halal. Selama pandemi melanda dan memberikan dampak signifikan kepada

industri hotel, restoran, dan kafe. Sektor-sektor lain seperti makanan siap saji dan layanan pengiriman makanan untuk produk halal di Indonesia justru mengalami ledakan pertumbuhan. Ke depannya, tren prositif investasi untuk sektor-sektor produk-produk halal diperkirakan terus berlanjut, terutama dalam layanan pengiriman, makanan halal berbasis kesehatan, dan makanan halal siap saji mengingat penduduk Indonesia mayoritas muslim (Fauzan, 2020).

Berdasarkan laporan State of Global Islamic Economy Report 2020/2 (SGIE), Indonesia masuk ke dalam barisan 3 besar negara dengan nilai investasi tertinggi untuk produk-produk halal yang mencapai US$ 6,3 miliar pada tahun 2020 atau tumbuh 219 persen sejak tahun lalu. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mengklaim bahwa sertifikasi halal gratis untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) disambut positif. Berdasarkan data tercatat sebanyak 60% UMKM adalah makanan dan minum-an. Kementerian tersebut mengembangkan lebih jauh inisiatif untuk program jaminan produk halal. Selama 2015 sampai 2019 tercatat dalam memfasilitasi sertifikasi halal terhadap UMKM, hasil surveinya menggembirakan, dimana ketika mendapatkan sertifikasi halal, omsetnya naik rata-rata 8,53 % (Prakoso, 2020).