WISATA ZIARAH
C. Usaha Perjalanan Wisata
5. Kota Banjar
3.6 Positioning Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
3.6 Positioning Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
Positioning mempunyai peran penting dalam meningkatkan daya tarik suatu kawasan pariwisata yang dimunculkan lewat points of differentiation yang membedakannya dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dalam positioning ini akan dibahas potensi dan permasalahan kawasan serta isu‐isu strategis dalam Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan.
3.6.1 Potensi dan Permasalahan Kawasan
Potensi dan permasalahan yang terdapat di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan ini melihat berbagai aspek yang mempengaruhi keunggulan dan kelemahan kawasan terhadap kondisi kepariwisataan dalam skala regional (Jawa Barat) dan nasional (Indonesia). Kawasan Wisata Kria dan Budaya dalam RIPPDA Provinsi Jawa Barat Dalam RIPPDA Provinsi Jabar tahun 2007‐2013, Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan yang telah ditetapkan sebagai kawasan wisata unggulan yang mengedepankan sumber daya alam dan budaya tradisional Priangan dengan sub tema wisata gunung api. Dibanding KWU lain, kawasan yang mencakup Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar ini merupakan kawasan wisata yang paling mewakili unsur tradisional Jawa Barat, di mana wisatawan yang berkunjung ke Jawa Barat akan mendapatkan gambaran tentang budaya masyarakat Sunda, khususnya yang menetap di dataran tinggi. Produk wisata ini dikembangkan untuk menciptakan keragaman daya tarik wisata Jawa Barat sehingga berdaya saing dan memperkuat daya tarik provinsi, khususnya dalam tingkat nasional.Potensi wisata di kawasan Priangan ini didukung oleh kondisi infrastruktur yang cukup baik, karena dilalui jalan utama lintas tengah provinsi yang melintang dari barat ke timur. Potensi pasar wisatawan di kawasan ini pada umumnya adalah wisatawan nusantara lokal dan regional, serta wisatawan minat khusus. Untuk memperluas pasar, diperlukan keberadaan pusat‐pusat interpretasi dan informasi serta sarana prasarana penunjang pariwisata.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan wisata di kawasan ini adalah aspek pemasaran, sumber daya manusia, dan kelembagaan, dimana kekurangsiapan dalam menangkap pasar potensial dan keterbatasan pemasaran, terbatasnya jumlah SDM yang berkualitas, serta masih belum jelasnya tugas dan wewenang berbagai instansi terkait dalam kepariwisataan.
Pemanfaatan Ruang bagi Pariwisata dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat 2010
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat sebagai petunjuk operasional yang dapat memberikan kejelasan dalam pelaksanaan teknis, kelembagaan serta mekanisme dan prosedur pelaksanaan pemanfaatan ruang turut memberikan arahan dalam
pengembangan kepariwisataan. Program‐program yang diarahkan bagi aspek pariwisata termasuk ke dalam program struktur kota yang dijabarkan melalui program pengembangan kawasan andalan.
Program pengembangan pariwisata dirinci melalui kegiatan: 1) penataan kawasan wisata, 2) promosi pariwisata dan pengembangan tempat wisata, 3) pengembangan produk agroindustri, serta 4) pengembangan agro estate.
Program‐program lain yang dapat mendukung pengembangan kepariwisataan khususnya di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan adalah sebagai berikut:
• Program pengembangan sistem kota‐kota, diantaranya pengembangan PKW (pusat kegiatan wilayah) Tasikmalaya dengan kegiatan sebagai berikut: - peningkatan terminal tipe C menjadi tipe B di Kota Tasikmalaya. - pembangunan sarana sentra industri kecil di Rajapolah, Tasikmalaya; - peningkatan kapasitas pelayanan air bersih di kawasan perkotaan. - peningkatan pasar induk regional di Tasikmalaya. - peningkatan pelabuhan udara sekunder di Cibeureum, Tasikmalaya. • Program pengembangan infrastruktur wilayah, diantaranya dengan:
- peningkatan ruas jalan kolektor primer yang berfungsi sebagai penghubung antara PKW dan PKL, yaitu ruas jalan Nagrek ‐ Garut ‐ Pameungpeuk, Tasikmalaya – Cipatujah.
- pembangunan terminal tipe B di setiap PKW, dalam hal ini Kota Tasikmalaya
- Program pengembangan jaringan energi listrik dan telekomunikasi, diantaranya dengan pembangunan instalasi baru, yaitu Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Tasikmalaya ‐ Depok, dan Interbus Transformer (IBT) Jatibarang (Kabupaten Garut). Kontribusi Pariwisata dalam Perekonomian Regional Pariwisata merupakan salah satu sektor yang paling diandalkan dalam perekonomian Jawa Barat. Berikut ini adalah tabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sub usaha lapangan terkait pariwisata pada tahun 2004‐2005.
Tabel 3.58 Produk Domestik Regional Bruto Sublapangan Usaha Terkait Pariwisata di Jawa Barat Tahun 2004‐2005 Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2004 Tahun 2005 Sub Lapangan Usaha Rupiah (milyar rp) Rupiah (milyar rp) Hotel 1.168,87 1.633,10 Restoran 8.878,96 9.816,66 Jasa hiburan dan rekreasi 200,45 221,01 Jumlah 10.248,28 11.670,77 PDRB dengan Migas 305.305,61 387.353,14 Persentase % 3.36% 3.01% Sumber: Jawa Barat dalam Angka, 2006 Tabel 3.54 sebelumnya memperlihatkan bahwa walaupun terdapat peningkatan pemasukan pada sublapangan usaha terkait pariwisata yang disumbangkan oleh hotel, restoran, serta jasa hiburan dan rekreasi, akan tetapi kontribusinya terhadap PDRB Jawa Barat menurun yaitu dari 3,36% menjadi 3,10%. Hal ini patut menjadi masukan dalam pengembangan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan sehingga pariwisata dapat dijadikan alat untuk meningkatkan perekonomian daerah sekaligus mensejahterakan masyarakatnya.
3.6.2 Isu‐Isu Strategis Pengembangan Wisata Kria dan Budaya
Beberapa isu strategis yang dapat diangkat dalam pengembangan wisata kria dan budaya adalah sebagai berikut:
1. Penciptaan suasana kria dan budaya Priangan di seluruh kawasan yang dapat
dirasakan oleh pengunjung maupun masyarakat yang bermukim di kawasan ini. Isu ini berkaitan dengan identitas, citra atau image kawasan yang hendak diangkat dalam pengembangan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan. Kurang optimalnya penciptaan suasana kria dan budaya Priangan yang terbentuk dari fisik (berupa dimensi ruang kota), aktivitas (mencakup pergerakan dan pola perilaku masyarakat), maupun arti (persepsi, arti, asosiasi) dapat membentuk heterogenisasi persepsi yang dapat membingungkan wisatawan. Mereka merupakan pihak yang tidak mempunyai akses dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuan mengenai identitas suatu kawasan.
2. Diversifikasi kria berbahan baku lokal, berkualitas internasional, yang perlu terus
dilakukan dengan menggali potensi yang dimiliki, dan tetap mengacu pada standar internasional.
Keragaman produk kria dan budaya sangat diperlukan dalam meningkatkan daya saing perekonomian daerah. Permintaan pasar yang semakin berkembang dan variatif memungkinkan terjadinya peluang dalam menangkap pangsa pasar melalui
penciptaan dan kreasi produk. Penciptaan produk ini harus dibarengi dengan pemakaian bahan baku lokal, yang memanfaatkan seluruh material dari wilayah sendiri. Hal ini dapat meminimasi leakage atau kebocoran nilai ekonomi dalam perekonomian daerah. Terakhir produk kria harus dibarengi dengan kualitas yang mengacu pada standar internasional, sehingga mempunyai daya saing tinggi dan kompetitif dalam percaturan pasar internasional.
3. Pelestarian budaya dan produk kria Priangan, agar tetap eksis dan terjaga
keasliannya, dan tidak mudah ditiru oleh pihak lain, dan diakui sebagai kria daerah lain.
Isu pelestarian budaya dan produk kria berhubungan dengan nilai‐nilai otentik yang memperlihatkan identitas/jati diri suatu masyarakat. Hal ini membutuhkan perkuatan nilai‐nilai budaya yang khas yang memperlihatkan lokal genius (genius loci) suatu kawasan agar tetap berkelanjutan.
4. Komitmen pengambil kebijakan, yang seringkali tidak jelas, dan berubah‐ubah.
Isu ini merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan arah pengembangan kepariwisataan daerah. Suatu komitmen diperoleh melalui kesepakatan dan arahan yang spesifik, jelas, terukur, realistis, serta mempunyai batasan waktu tertentu (time‐ bound), sehingga dapat menghasilkan suatu sistem yang berbasis kuat. Pada akhirnya pergantian dalam jabatan struktural para pengambil kebijakan tidak akan berpengaruh terhadap penerapan berbagai kebijakan, dalam hal ini yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata.
5. Pembagian peran antardaerah, maupun koordinasi antarpublik‐privat yang perlu
diperjelas dan ditingkatkan.
Isu ini membahas pentingnya koordinasi dan kerjasama antar stakeholders kepariwisataan yang ditunjukkan melalui pembagian tugas dan fungsi berbagai instansi maupun pihak terkait lainnya sehingga dapat meminimasi ketumpangtindihan kebijakan pengelolaan pariwisata daerah.
6. Pemberdayaan masyarakat lokal, yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Isu ini berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata yang dapat menghasilkan pemerataan pendapatan ekonomi, dimana kegiatan pariwisata didukung, dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat.
7. Mitigasi bencana yang perlu diperhatikan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya
Priangan.
Berkaitan dengan kondisi fisik wilayah yang rentan terhadap bencana geologi (seperti letusan gunung berapi, gempa, longsor), maka isu mitigasi bencana harus mendapatkan perhatian khusus sebagai upaya bagi keselamatan para wisatawan dan penduduk setempat. Di dalamnya mencakup pemantauan dan penyelidikan gunung api dalam rangka peringatan dini, inventarisasi dan pemetaan, serta sosialisasi/penyuluhan dalam upaya penyebarluasan informasi bencana geologi.
Isu‐isu strategis tersebut di atas akan menjadi pertimbangan dalam penyusunan arahan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan.
BAB 4
A
AARRRAAAHHHAAANNN PPPEEENNNGGGEEEMMMBBBAAANNNGGGAAANNN
P
PPAAARRRIIIWWWIIISSSAAATTTAAA KKKAAAWWWAAASSSAAANNN
Bab berikut akan menguraikan konsep dan arahan pengembangan kawasan yang mencakup rumusan visi, misi, tujuan dan sasaran pengembangan, yang menjadi salah satu dasar dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan.