BAB 1
P
P
P
E
E
E
N
N
N
D
D
D
A
A
A
H
H
H
U
U
U
L
L
L
U
U
U
A
A
A
N
N
N
Bab Pendahuluan ini menguraikan latar belakang, tujuan dan sasaran studi, lingkup materi, dan keluaran, serta kerangka pemikiran dan pendekatan studi pekerjaan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat.
1.1 Latar Belakang
RIPPDA Provinsi Jawa Barat ‐yang disusun tahun 2005, dan telah didasari oleh Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006, adalah rencana yang memuat kebijakan
pengembangan kepariwisataan Jawa Barat dari aspek perwilayahan pariwisata, aspek
pengembangan produk wisata, pengembangan pasar dan pemasaran, pengembangan sumber daya manusia (SDM) kepariwisataan, dan pengembangan kelembagaan pariwisata. Dokumen ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat, serta “stakeholders” lainnya, yang mengakomodasikan isu‐isu strategis dan
perkembangan terbaru secara terintegrasi dan sinergis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
RIPPDA Jawa Barat fokus pada pengembangan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat dengan menetapkan tema pengembangan produk wisata yang unik dan memunculkan kekhasan Jawa Barat. Pengembangan 9 (sembilan) KWU diharapkan dapat mengarahkan kepariwisataan Jawa Barat menjadi lebih fokus, namun tetap memberikan fleksibilitas/kelenturan untuk berkembangnya potensi‐potensi lain sehingga tetap mewadahi kekayaan alam dan sosial budaya Jawa Barat, saling melengkapi dan meningkatkan daya tarik wisata Jawa Barat secara keseluruhan. Strategi pengembangan dan indikasi kegiatan dijabarkan pada setiap KWU untuk mendukung terwujudnya KWU yang berdaya saing tinggi. Dalam pelaksanaan implementasi RIPPDA Jawa Barat, perlu ditunjang dengan rencana tindak yang lebih rinci untuk setiap KWU Provinsi.
Action Plan dalam laporan ini fokus pada Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan, yang merupakan salah satu kawasan unggulan yang memunculkan budaya Sunda Priangan yang mendukung pengembangan jati diri dan masyarakat Jawa Barat. Lokasinya yang strategis, antara KWU Pendidikan dan Perkotaan Bandung dengan jalur selatan menuju Jawa Tengah dan Pangandaran, memposisikan KWU ini secara strategis dalam lingkup Jawa Barat maupun nasional.
Action plan merupakan rencana detil program dan kegiatan yang bersifat aplikatif dan
taktis, sebagai bagian dari kerangka kebijakan dan strategi pengembangan pariwisata.
Sebagai penjabaran RIPPDA, maka action plan mengacu pada kebijakan dan strategi yang telah dirumuskan dalam RIPPDA Provinsi Jawa Barat. Penyusunan action plan diarahkan
kepada penyusunan kajian yang dapat menjadi pedoman pengembangan pariwisata yang
implementatif dan terintegrasi antarwilayah serta antarsektor di Provinsi Jawa Barat.
Namun di sisi lain, action plan yang dihasilkan harus terintegrasi dengan rencana pengembangan wilayah keseluruhan dan sejalan dengan rencana pengembangan kepariwisataan wilayah masing‐masing. Action plan perlu diselaraskan dengan RIPPDA dan RTRW kabupaten/kota terkait, maupun rencana pengembangan lainnya di wilayah tersebut. Lebih lanjut, sebagai suatu rencana tindak, program yang dirumuskan harus terfokus, terukur, menjawab kebutuhan, dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di wilayah, dalam jangka pendek, melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara optimal. Rencana yang disusun didasarkan pada tingkat kepentingan dan kemampuan sumber daya, dan mengadaptasikan berbagai kemungkinan perubahan yang terjadi dalam 5 tahun kedepan.
Pemahaman dan pertimbangan‐pertimbangan tersebut perlu dicermati dalam penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat. Tema pengembangan yang telah ditentukan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan perlu lebih dimunculkan dan diperkuat untuk mendukung pengembangan kawasan, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai motor penggerak kepariwisataan di Jawa Barat, sekaligus menumbuhkembangkan potensi kawasan‐kawasan wisata lainnya.
Untuk lebih jelasnya, latar belakang penyusunan studi dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut.
Gambar 1.1
Pemahaman terhadap Latar Belakang Penyusunan Studi
9 KWU Provinsi Jawa Barat
RIPPDA Provinsi Jawa Barat 2005 Kebijakan pengembangan kepariwisataan Jawa Barat: - aspek perwilayahan, pengembangan produk, pasar dan
pemasaran, SDM dan kelembagaan.
Kawasan Wisata Unggulan (KWU): Memunculkan produk wisata yang unik dan khas Jawa Barat, saling melengkapi dan meningkatkan daya tarik
wisata secara keseluruhan
ACTION PLAN
Pedoman pengembangan yang lebih implementatif dan terintegrasi antarwilayah dan antarsektor. Fokus pada peningkatan peran serta masyarakat melalui
penerapan Community Based Tourism Development. Untuk memperkuat tema produk wisata unggulan di
masing-masing Kawasan
Kawasan Wisata KRIA dan BUDAYA PRIANGAN
(2007) Kawasan Ekowisata
PALABUHAN RATU (2007) Kawasan Wisata Industri &
Bisnis Bekasi-Karawang
Kawasan Wisata Agro Purwakarta Subang
Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon
(2006)
Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak
Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan Kawasan Wisata Perkotaan dan
Pendidikan Bandung (2006)
Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran
Prinsip konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, ekonomi,
wisata.
Community Based Tourism Development, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal RIPPDA/RTRW/Renstra, dll yang
terkait
RIPPDA/RTRW/Renstra, dll yang terkait Potensi, permasalahan, isu
strategis: Produk unggulan Potensi pasar, SDM, kelembagaan
Potensi, permasalahan, isu strategis: Produk unggulan Potensi pasar, SDM, kelembagaan
1.2 Dasar Hukum
Dalam pekerjaan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat ini, terdapat landasan hukum yang perlu dicermati, yaitu sebagai berikut:
1. Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990, Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427).
2. Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya.
3. Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Tahun 1992, Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470)
4. Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 1992, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699). 5. Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421).
6. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4434)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan
8. Intruksi Presiden RI Nomor 16 Tahun 2005, tentang Kebijakan Pembangunan
9. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.64/HK.201/MKP/04, e
10. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.06/UM.001/MKP/06,
12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2002, tentang Perubahan atas
13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003, tentang Pemeliharaan
14. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2000, tentang Pemeliharaan
15. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2003, tentang Pengelolaan
16. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2004, tentang Rencana Strategis
17. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 52 Tahun 2001, tentang Tugas, Pokok, Fungsi
18. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 64 Tahun 2003, tentang Tupoksi UPTD (Balai)
19. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006, tentang Rencana Induk
20. Keputusan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Nomor K‐707 Binprog/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Rencana Strategis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Lembaran Negara Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638)
Kebudayaan dan Pariwisata.
tentang Pedoman Peng mbangan Pariwisata Daerah.
tentang Penetapan Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2005‐2009.
11. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2000, tentang Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000. Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah. Kesenian. Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai‐nilai Tradisional dan Museum. Provinsi Jawa Barat Tahun 2003‐2008. dan Rincian Tugas Unit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. di Lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Jawa Barat.
556/SK.1351/2006‐Binprog tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Nomor 556/S
21. upaten Garut Tahun 2001 – 2010. . aan Kabupaten Garut. Tarik Wisata Situ Gede. malaya. erindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Banjar. 33. sur Organisasi Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Banjar.
Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 23 Tahun 2001 Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kab
22. Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Retribusi Pelayanan Izin Usaha Kepariwisataan.
23. Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Retribusi Pelayanan Tempat dan Sarana Rekreasi
24. Keputusan Bupati Garut Nomor 319 Tahun 2004 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Pariwisata dan Kebuday
25. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD 2006 – 2010).
26. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Ibukota Kabupaten Tasikmalaya.
27. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
28. Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Retribusi Tarif Masuk dan Pemanfaatan Obyek dan Daya
29. Keputusan Walikota Tasikmalaya Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Unit Dinas Perindustrian dn Perdagangan Kota Tasik
30. Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Rencana Stratejik Pemerintah Kota Banjar Tahun 2004 – 2009.
31. Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Ijin Usaha Kepariwisataan Dalam Kota Banjar.
32. Peraturan Walikota Banjar Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata kerja Unsur Organisasi Dinas P
Peraturan Walikota Banjar Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Un
34. Keputusan Walikota Banjar Nomor 230/Kpts.90‐Huk/V/2004 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Unsur Organisasi Badan Perencanaan Daerah Kota Banjar. 35. Peraturan Walikota Banjar Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Unsur
Organisasi Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjar.
1.3 Tujuan dan Sasaran
sebagai pedoman yang mengarahkan perkembangan kepariwisataan Jawa Barat khususnya di KWU Kria dan Budaya Priangan, dengan
tema , di atas, maka sasaran yang perlu dicapai adalah sebagai berikut: sebagai tema produk wisata yang diunggulkan di KWU Kria dan Budaya Priangan. ‐ sektor lain yang mendukung tema produk wisata unggulan. sata unggulan kawasan. ‐ tian terhadap pelestarian lingkungan di daya tarik wisata unggulan KWU Kria dan Budaya Priangan dan sekitarnya.
.4 Lingkup
pada pekerjaan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Tahun 2007 ini adalah Kawasan Wisata Kria dan Budaya
s a
Action Plan ini bertujuan
memperkuat utama masing‐masing kawasan secara terintegrasi antarwilayah dan
antarsektor, yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan . Untuk mencapai tujuan pekerjaan seperti yang tercantum
‐ Menguatnya tema kawasan
Berkembangnya sektor‐
‐ Meningkatnya keterlibatan masyarakat setempat dalam pengembangan produk wi
Meningkatnya perha
1
1.4.1 Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah
Priangan, yang merupakan alah s tu kawasan unggulan Provinsi Jawa Barat (lihat gambar 1.2 di halaman berikut).
Gamb 1.2
Lingkup Wilayah Studi dalam onstelasi Provinsi Jawa Barat
.4.2 Lingkup Materi
p materi Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat meliputi: angan kepariwisataan maupun pengembangan wilayah yang terkait. wisatawan potensial, khususnya di wilayah perencanaan. ar K
1
Secara garis besar, lingku
1. Rencana pengemb
2. Pengembangan wisata kria dan budaya, serta wisata gunung api. 3. Karakteristik Kawasan Wisata Unggulan (KWU) dan pasar
1.5 Keluaran
yang terkait dengan substansi pekerjaan meliputi:
Budaya Priangan, mencakup visi, misi, tujuan, dan sasaran pengembangan kawasan, serta kebijakan dan
2. g merupakan penjabaran strategi,
yang memuat tujuan dan sasaran program, jangka waktu pelaksanaan, pengalokasian
Ske tudi dapat dilihat dalam Gambar 1.3 berikut.
Skema Keluaran Studi
Adapun keluaran
1. Arahan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Wisata Kria dan
strategi pengembangan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, dengan dimensi waktu jangka menengah (15 tahun).
Rumusan program pengembangan / kegiatan yan
sumber daya, termasuk instansi pelaksana, dan institusi terkait, dalam dimensi waktu 5 (lima) tahun. ma keluaran s Gambar 1.3
.6 Kerangka Pemikiran dan Pendekatan Studi
yang berisi program‐program (termasuk indikasi kegiatan/proyek) dengan sasaran jangka pendek. Action Plan mencakup
kus, terukur, menjawab kebutuhan, dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kedua
1
Action Plan merupakan suatu rencana yang strategik
apa, dimana, kapan, siapa, dan bagaimana mengembangkan pariwisata, dan menjadi
kerangka kerja bagi seluruh stakeholder kepariwisataan yang terkait. Sebagai suatu rencana tindak, program yang dirumuskan harus terfo wilayah studi, dalam jangka pendek, melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara optimal. Program disusun berdasarkan pada tingkat kepentingan dan kemampuan sumber daya, dan mengadaptasikan berbagai kemungkinan perubahan yang terjadi dalam 5 (lima) tahun kedepan.
Untuk itu perlu dikaji dengan lebih rinci dan mendalam mengenai:
- Kebijakan dan rencana yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan di wilayah
up aspek perwilayahan, produk wisata, pasar dan pemasaran, serta SDM dan kelembagaan pariwisata, dengan penekanan pada tema pengembangan kawasan wisata. -
Provinsi Jawa Barat. Kaj
den iwisataan di kedua wilayah studi. Hasil kajian tersebut selanjutnya akan menjadi bahan dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan Kawasan
studi) bersama seluruh stakeholders kepariwisataan yang terkait.
- JUDUL program/kegiatan, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dari program tersebut,
- penentuan SUMBER DAYA yang diperlukan untuk melaksanakan program, dan
T
atu program.
pad studi.
- Potensi dan permasalahan pengembangan kepariwisataan di wilayah studi, yang
mencak
Isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan di wilayah studi dan keterkaitannya
dengan perkembangan sektor‐sektor lain di wilayah, maupun dengan KWU lainnya di
ian tersebut akan didasarkan pada data hasil survei primer dan sekunder, serta diskusi gan stakeholders kepar
Wisata Kria dan Budaya Priangan, dari aspek perwilayahan, pengembangan produk, pasar
dan pemasaran, SDM, dan kelembagaan, baik spasial maupun non spasial.
Selanjutnya kebijakan dan strategi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rumusan
program‐program melalui diskusi terfokus (pelaksanaan FGD di wilayah
Adapun rumusan program kegiatan yang dihasilkan meliputi : serta indikator keberhasilan program. - penentuan BATAS WAKTU pelaksanaan program pengorganisasiannya. - penugasan ANGGUNG JAWAB pelaksanaan program; siapa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan su Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran studi ini, dapat dilihat pada gambar 1.4 a halaman berikut.
Gambar 1.4
Kerangka Pemikiran Studi
RIPPDA Provinsi Jawa Barat
Kebijakan dan strategi pengembangan Indikasi program pengembangan 9 Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi
ACTION PLAN
RINCIAN PROGRAM/KEGIATAN: Judul, tujuan, sasaran Penanggung jawab, kerangka waktu,
pengorganisasian sumber daya KEBIJAKAN dan STRATEGI
Pengembangan KWU Potensi, permasalahan, dan isu-isu strategis pengembangan kepariwisataan Kebijakan dan rencana terkait
Isu-isu strategis pengembangan kepariwisataan regional/
nasional Kawasan Wisata
Kria dan Budaya Priangan
Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu
Kawasan Wisata Kria dan Budaya
Priangan Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu Kepariwisataan regional, nasional Perkembangan sektor lain
KWU Lainnya
KWU Lainnya
Penyusunan action plan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan perencanaan
participatory planning (pendekatan perencanaan partisipatif), dengan melibatkan berbagai
pihak yang berkepentingan dalam pembangunan kepariwisataan di wilayah studi. Pihak‐ pihak yang terlibat, dengan kata lain berpartisipasi, selanjutnya melakukan kerjasama dalam mencapai suatu tujuan yang melibatkan kepentingan‐kepentingan masing‐masing pihak. Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan di Kota Tasikmalaya, selaku pusat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dihadiri oleh stakeholders kepariwisataan di wilayah studi. FGD menghasilkan rumusan potensi, permasalahan, serta isu‐isu strategis yang dihadapi dalam pengembangan wisata kria dan budaya, yang menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan arahan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan ini.
1.7 Sistematika Pelaporan
Laporan Akhir Studi Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat ini terdiri dari:
Bab 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, tujuan dan sasaran studi, lingkup wilayah dan materi, keluaran pekerjaan, kerangka pemikiran dan pendekatan studi, serta sistematika laporan.
Bab 2 KAJIAN KEBIJAKAN DAN PUSTAKA TERKAIT
Bab ini menguraikan kajian tentang RIPPDA Provinsi Jawa Barat serta konsep pengembangan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi, dan penjelasan mengenai rencana tindak dan tahapan penyusunannya. Pada bagian akhir bab akan ditinjau pula bahasan dan pengertian mengenai wisata kria dan budaya, serta wisata gunung api.
Bab 3 POTENSI DAN PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN
KEPARIWISATAAN DI KWU KRIA DAN BUDAYA PRIANGAN
Bab ini menguraikan potensi, permasalahan, maupun isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan yang dihadapi kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dengan fokus pada pengembangan tema produk wisata utama di kawasan tersebut. Pada bagian akhir bab ini akan disampaikan positioning kawasan dalam konteks KWU Provinsi Jawa Barat.
Bab 4 ARAHAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KAWASAN
Bab ini akan menjelaskan visi, misi, tujuan, dan sasaran pengembangan masing‐masing kawasan, serta kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan yang terkait dengan pengembangan tema produk unggulan di kawasan.
Bab 5 PROGRAM PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN
Bab ini menguraikan rangkaian program pengembangan kepariwisataan di kawasan studi untuk aspek pengembangan produk, pengembangan pasar dan pemasaran, pengembangan SDM, pengembangan kelembagaan, serta pengembangan investasi. Program akan dirinci mencakup tujuan dan sasaran program, pentahapan dan pengalokasian sumber daya, serta instansi penanggung jawab tiap program.
BAB 2
K
K
K
A
A
A
J
J
J
I
I
I
A
A
A
N
N
N
K
K
K
E
E
E
B
B
B
I
I
I
J
J
J
A
A
A
K
K
K
A
A
A
N
N
N
D
D
D
A
A
A
N
N
N
P
P
P
U
U
U
S
S
S
T
T
T
A
A
A
K
K
K
A
A
A
T
T
T
E
E
E
R
R
R
K
K
K
A
A
A
I
I
I
T
T
T
Pada bab ini akan ditinjau kembali RIPPDA Provinsi Jawa Barat dan penetapan KWU Provinsi untuk mendudukkan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dalam konteks KWU Provinsi Jawa Barat. Selain itu juga akan diuraikan pemahaman tentang rencana tindak pariwisata, serta pengertian‐pengertian mengenai wisata kria dan budaya, maupun wisata gunung api.
2.1
RIPPDA Provinsi Jawa Barat dan Kawasan Wisata Unggulan
2.1.1 RIPPDA Provinsi Jawa Barat
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Jawa Barat merupakan pedoman utama bagi pemangku kepentingan pariwisata Jawa Barat, termasuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. RIPPDA ini mengakomodasi isu‐isu strategis dan perkembangan terbaru secara terintegrasi dan sinerjis yang dimaksudkan untuk mengarahkan perkembangan kepariwisataan Jawa Barat mencapai kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
RIPPDA Provinsi Jawa Barat memfokuskan pada perencanaan satu atau beberapa daerah tujuan wisata yang memang menjadi, atau akan menjadi, unggulan provinsi. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi diharapkan akan berdampak ganda terhadap pengembangan kawasan‐kawasan wisata maupun sektor‐sektor lain di Jawa Barat.
Sebagai pedoman utama, RIPPDA Provinsi Jawa Barat berisikan (1) konsep pengembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat yang dilandasi pendekatan perencanaan dan isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan Jawa Barat, (2) identifikasi Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat dan kawasan wisata unggulan kabupaten/kota, serta (3) arahan kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat dan tahapan indikasi kegiatan pengembangan kepariwisataan di setiap kawasan wisata unggulan provinsi.
Konsep pengembangan pariwisata Provinsi Jawa Barat menjadi kerangka dalam menyusun visi, misi, tujuan, dan sasaran pengembangan, serta arahan dan strategi pengembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat, baik secara umum maupun khusus di kawasan wisata unggulan provinsi. Konsep pengembangan kepariwisataan Jawa Barat yang dirumuskan dalam RIPPDA terkait dengan potensi dan permasalahan
pengembangan kepariwisataan Jawa Barat, serta isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan yang dihadapi Jawa Barat.
2.1.2 Visi dan Misi Pengembangan Pariwisata Jawa Barat
Visi pengembangan pariwisata Jawa Barat adalah “Terwujudnya pariwisata Jawa Barat yang mengangkat harkat dan martabat, serta meningkatkan kesejahteraan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat dalam lingkungan yang berkelanjutan”. Adapun misi pengembangannya meliputi: 1. Menyebarluaskan implementasi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan melalui konservasi, preservasi, dan rehabilitasi sumber daya alam dan budaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup Jawa Barat.2. Meningkatkan daya saing pariwisata Jawa Barat di tingkat nasional dan internasional melalui pengelolaan daya tarik wisata dan pelayanan wisata, serta pemasaran pariwisata yang tepat sasaran oleh sumber daya manusia Jawa Barat yang berkualitas tinggi.
3. Mengurangi ketimpangan pembangunan melalui penyebaran kegiatan pariwisata yang mencakup daerah‐daerah yang belum maju di Jawa Barat.
4. Mengembangkan kelembagaan kepariwisataan yang berazaskan kerja sama yang saling menguntungkan antara sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.
5. Meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat luas dan masyarakat lokal dalam pengembangan dan kegiatan pariwisata untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
2.1.3 Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi
Dalam RIPPDA ini, definisi kawasan wisata mengacu pada konsep yang diajukan Gunn (1996), yaitu kawasan yang secara teknis digunakan untuk kegiatan pariwisata yang
ramah lingkungan dengan batasan‐batasan sebagai berikut:
1.
Kawasan wisata adalah area unggulan untuk pengembangan pariwisata provinsi atau daerah (kabupaten/kota).2.
Kawasan wisata akan atau sudah berfungsi sebagai identitas daerah, misalnya kawasan bersejarah, pusat perbelanjaan, gunung, pantai, dan sebagainya.3.
Kawasan wisata dapat tumpang tindih (overlap) dengan kawasan lain, baik kawasan budidaya (misalnya kawasan pertanian, perdagangan) maupun kawasan lindung.4.
Memiliki keragaman daya tarik wisata, baik yang belum maupun yang sudah5.
Memiliki batas kawasan secara imaginer, dengan unsur pengikat yang dapat berupa fisik (misalnya jalan), dan atau non fisik seperti pengaruh budaya atau tema produk/kegiatan wisata.Kawasan Wisata Unggulan (KWU) provinsi merupakan kawasan wisata yang diunggulkan di tingkat provinsi yang berperan dalam menjawab isu‐isu pokok pembangunan kepariwisataan provinsi. KWU berperan strategis karena keunikan lokasi maupun tingginya intensitas kunjungan wisatawan. KWU Provinsi dapat terdiri dari beberapa daya tarik wisata dalam daerah administratif yang berbeda (lintaskabupaten/kota), yang memiliki keunggulan produk wisata yang dapat bersaing di tingkat regional, nasional (dan bahkan internasional), dengan target segmen pasar wisatawan nasional/internasional. Pemerintah provinsi menjadi pemain utama dalam hal pembinaan dan pengembangan KWU serta ikut bertanggung jawab dalam merencanakan dan mendukung pengembangannya.
KWU provinsi dapat memiliki cakupan wilayah yang berbeda luasannya dengan batas ʹimajinerʹ kabupaten/kota yang berada dalam cakupannya. Dengan demikian, suatu KWU memiliki faktor pengikat kawasan yang dapat bersifat fisik (geomorfologis), seperti jalur jalan dan jalur pantai, maupun nonfisik yang bersifat pengaruh suatu budaya.
Selain itu, setiap KWU memiliki sumber daya wisata utama/kegiatan yang telah berkembang atau sumber daya wisata lain maupun kegiatan wisata lain yang diusulkan untuk dikembangkan, serta potensi pasar wisatawan eksisting dan yang akan menjadi sasaran pasar, baik dilihat dari daerah asal wisatawan, maupun karakteristik wisatawannya. Sumber daya wisata utama suatu KWU nantinya menjadi tema produk wisata utama yang akan diunggulkan dari KWU tersebut, dan akan terkait dengan segmen pasar wisatawan yang menjadi sasaran.
2.1.4 Keterkaitan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dengan KWU
Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan hasil diskusi terfokus (FGD) yang mempertimbangkan aksesibilitas jalur jalan utama dan daya tarik wisata unggulan yang membentuk tema produk kawasan, maka RIPPDA Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 9 (sembilan) kawasan sebagai berikut : 1. Kawasan Wisata Industri dan Bisnis Bekasi‐Karawang 2. Kawasan Wisata Agro Purwakarta Subang 3. Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon 4. Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak 5. Kawasan Wisata Perkotaan dan Pendidikan Bandung 6. Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan 7. Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu
8. Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan
9. Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1 Pembagian KWU Jawa Barat di halaman berikut ini. Gambar 2.1 Pembagian Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Jawa Barat Sumber: RIPPDA Provinsi Jawa Barat Tahun 2005
Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan memiliki produk unggulan yang menjadi tema utama adalah barang‐barang kria serta potensi budaya; dengan tema pendukung adalah wisata gunung api dan fenomenanya. Kawasan ini merupakan kawasan yang paling kental nuansa budaya Priangannya. Diharapkan wisatawan yang datang ke KWU ini dapat mengenali kebudayaan Sunda Priangan, maupun keterkaitannya dengan kondisi pegunungan api yang menjadi setting wilayah.
Budaya Sunda Priangan hidup dan berkembang di tanah Pasundan atau Tatar Sunda yang dibatasi oleh Sungai Cilosari dan Citanduy (Harjoso, 1993). Dalam kehidupannya, digunakan Bahasa Sunda (Basa Sunda) untuk pergaulan sehari‐hari. Basa Sunda yang dikenal halus (lemes) dan murni (pituin) adalah bahasa yang digunakan masyarakat daerah Priangan, diantaranya Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, dan Cianjur (Ekadjati, 1995).
Kata sunda sendiri berasal dari bahasa sansekerta suddha yang dipakai sebagai nama sebuah gunung tertinggi yang berada di wilayah itu, yaitu Gunung Sunda (ketinggian 1.850 meter). Gunung ini terlihat dari jauh berwarna putih bercahaya – makna kata suddha dalam bahasa sansekerta‐ karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Selanjutnya, nama gunung itu dipakai untuk menamai wilayah di sekitarnya1.
Menurut data sejarah, istilah Sunda yang menunjukkan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala aktivitas manusia di dalamnya baru dikenal pada abad ke‐9 Masehi. Istilah tersebut terdapat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor. Sebelum masuknya pengaruh Hindu‐Budha, di Tatar Sunda telah hidup kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang mendiami wilayah ini, sebagaimana tampak dari peninggalan benda‐benda budayanya. Sayangnya, pada masa tersebut peninggalan berupa tulisan hampir tidak ada sama sekali. Maka oleh para ahli sejarah, masa sejarah Tatar Sunda diperkirakan baru muncul sekitar 1600 tahun (dari abad ke‐5 hingga awal abad‐21).
Kebudayaan Sunda setelah masuknya pengaruh kebudayaan Hindu‐Budha terbentuk dan berkembang pada masa Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Sunda. Masa ini berlangsung pada abad ke‐5 hingga ke‐16 Masehi. Selanjutnya terbentuklah masa Kerajaan Sunda Islami yang berkembang pada masa Kerajaan Cirebon dan Kasultanan Banten. Masa ini berlangsung dari abad ke‐16 hingga awal abad ke‐21. Pada perkembangan selanjutnya setelah abad ke‐16, kebudayaan Sunda juga dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan budaya barat, akibat adanya kolonialisasi oleh Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Perkembangan sejarah Tatar Sunda membuat sebagian wilayahnya kini sudah tidak lagi memiliki budaya khas Sunda, karena sudah berakulturasi dengan budaya‐budaya lain, khususnya wilayah yang berada di pesisir. Budaya Sunda Priangan yang masih asli umumnya berada di wilayah pegunungan yang berada di bagian tengah wilayah Jawa Barat.
Sejarah panjang di kawasan Tatar Sunda membuat wilayah tersebut banyak memiliki peninggalan sejarah maupun budaya, salah satunya berupa situs arkeologis, beberapa perkampungan adat Sunda yang masih memegang teguh tradisinya, serta seni dan kria yang dihasilkan masyarakatnya. Potensi yang khususnya berada di wilayah KWU Kria dan Budaya Priangan ini kemudian berkembang menjadi daya tarik wisata. Salah satu contohnya adalah adanya desa wisata, yang memiliki artian suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku2. Di desa
wisata ini, wisatawan yang datang dapat hidup dan mengalami aktivitas sebagaimana layaknya penghuni desa/kampung tersebut. Pengalaman berada dalam kehidupan Sunda Priangan memiliki nilai tersendiri jika dibandingkan dengan wisata lain yang ditawarkan oleh KWU lainnya di Jawa Barat.
Wilayah Priangan juga ditandai dengan pertanian perdesaan sebagai unit sosial yang utama. Di beberapa tempat di wilayah ini masih dilakukan pertanian yang bersifat tradisional. Dua macam penggarapan tanah pertanian yaitu pertanian di sawah dan di
1 Ekadjati, Edi S. “Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah” Jilid 1. Pustaka Jaya. Bandung 2005. 2 Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi
ladang, memiliki peranan penting bagi masyarakat Sunda. Para petani dan masyarakat memiliki hubungan batin yang erat dengan lingkungan (patempatan), antara lain dengan tanah, air, dan sawah/ladang garapannya (Priyani, 2000).
Keterkaitan masyarakat Sunda dengan lingkungan alam‐budaya (cultural landscape) ditunjukkan pula melalui kerajinan lokal yang kini berkembang ke arah industri kria. Kria dapat didefinisikan sebagai ”seni dari rakyat untuk rakyat, berupa karya yang anonim, dikerjakan melalui tangan, tidak mahal, berakar dari benda yang digunakan secara massal dan fungsional dalam kehidupan sehari‐hari, dan merupakan representasi wilayah tempat benda tersebut diproduksi” (ICCROM, 2002)
Dalam studi ini, kria tidak hanya dipahami sebagai ’barang’ atau ’benda’ hasil budidaya manusia, tetapi juga sebagai proses pembelajaran, proses ekonomi, dan proses kreatif. Wisata kria atau craft tourism, memiliki dua peran yang saling berkaitan. Di satu sisi, wisata kria adalah salah satu strategi pemasaran dan promosi wilayah, dalam hal ini Kawasan Wisata Unggulan Priangan, dan di sisi lain, berperan dalam upaya pelestarian/konservasi craftsmanship keunikan lokal, menghadapi tantangan era industrialisasi dan globalisasi.
Jika dilihat lokasinya dalam Provinsi Jawa Barat, Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan ini berada diantara KWU Pendidikan dan Perkotaan Bandung, KWU Rekreasi Pantai Pangandaran, dan KWU Budaya Pesisir Cirebon. KWU Pendidikan dan Perkotaan Bandung merupakan KWU yang banyak dikunjungi wisatawan, khususnya wisnus Jakarta, sehingga merupakan sumber pasar wisatawan yang sangat potensial bagi KWU Priangan.
Selain itu, KWU Priangan juga dilalui oleh wisatawan yang akan menuju ke KWU Pangandaran, atau bahkan melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah/Yogyakarta. Lokasi ini strategis sebagai tempat persinggahan wisatawan. Kondisi yang telah terjadi, Kampung Naga merupakan salah satu objek wisata yang disinggahi oleh banyak wisatawan yang melakukan land‐tour ke Pangandaran atau Yogyakarta. Peluang ini tentunya perlu dimanfaatkan oleh KW Kria dan Budaya Priangan dengan sebaik‐baiknya melalui pengemasan objek wisata yang menjadi unggulannya.
2.2
Rencana Tindak Pariwisata
Karakteristik pariwisata Provinsi Jawa Barat yang memiliki ciri‐ciri yang berupa perpaduan antara destinasi pariwisata di kabupaten dan kota didalamnya, menyebabkan kompleksitas pengelolaan yang amat tinggi. Oleh karena itu dalam melakukan perencanaannya harus secara cermat mengetahui tentang kondisi lingkungan strategis kepariwisataan secara efektif dan efisien dan juga berorientasi kepada permintaan pasar. Hal ini bertujuan agar kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dimengerti, disepakati, ditindaklanjuti dan dirasakan manfaatnya oleh pelaku pariwisata di tingkat kabupaten/ kota yang menjadi sasaran pembangunan yang dilakukan.
Rencana tindak (action plan) merupakan suatu dokumen perencanaan yang menjadi rujukan operasional bagi pelaku atau pengelola berkaitan dengan jenis kegiatan, lokasi,
biaya, instansi pelaksana dan waktu pelaksanaan. Rencana tindak membagi strategi‐ strategi ke dalam bagian‐bagian yang dapat memudahkan koordinasi dalam implementasi rencana strategis menuju sasaran dan tujuan. Rencana tindak ini berkaitan dengan spesifikasi tugas‐tugas yang mencakup penugasan orang/instansi, alokasi sumber daya manusia, alokasi sumber daya material dan finansial, dan jadwal untuk penyelesaian tugas tersebut.
Untuk lebih mengoperasionalkan kebijakan maupun strategi, program‐program strategis yang harus dilaksanakan sehingga diperlukan suatu rencana tindak di tingkat pelaksana di lapangan (sektoral maupun regional). Tanpa rencana tindak ini, implementasi perencanaan pengelolaan belum terjabarkan secara eksplisit karena program yang diuraikan dari setiap isu hanya melahirkan strategi‐strategi. Rencana tindak memuat kegiatan‐kegiatan untuk mewujudkan pencapaian setiap sasaran sehingga rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan.
Rencana tindak pariwisata mencakup siapa, apa, dimana, kapan, dan bagaimana membuat kegiatan pariwisata dapat berjalan. Kondisi tentu harus dapat dilihat dari berbagai sudut pandang pelaku kepentingan, tidak saja pemerintah daerah setempat, namun juga pelaku industri pariwisata, organisasi/ lembaga swadaya masyarakat, maupun stakeholder lainnya. Analisis mengenai sumber daya pariwisata dan berbagai kepentingan yang ada sangat mendukung pengembangan dan pemasaran bagi wilayah yang akan dikembangkan. Tujuan akhir dari rencana tindak selain untuk mengembangkan sektor pariwisata di suatu wilayah, juga untuk meningkatkan kontribusi sektor pariwisata khususnya bagi perekonomian lokal, sehingga pada akhirnya dapat memiliki nilai kompetitif terhadap wilayah lainnya.
Rencana tindak pengembangan pariwisata berupa rencana detil program dan kegiatan yang bersifat aplikatif dan taktis sebagai bagian atau sub sistem dari kerangka kebijakan makro dan strategi rencana pengembangan pariwisata. Strategi taktis yang dirumuskan dalam rencana tindak ini merupakan suatu rencana implementasi yang bersifat fokus, terukur, menjawab kebutuhan, dan dapat memecahkan persoalan pembangunan kepariwisataan yang terjadi, khususnya dalam jangka pendek dan menengah. Lebih lanjut, rencana yang disusun haruslah juga dapat mengendalikan proses berjalan dan pengendalian sumber daya pariwisata secara proporsional. Penjabaran strategi menjadi rencana tindak terhadap pengembangan kawasan pariwisata unggulan secara fungsional, terpadu antarwilayah, dan saling menguntungkan. Rencana tindak pengembangan pariwisata ini diharapkan akan mampu mendorong terwujudnya kedekatan visi dan persepsi, menumbuhkembangkan prilaku koordinasi, kerjasama, dan self correction dari para pelaku terkait.
2.2.1 Komponen‐komponen Rencana Tindak Pariwisata
Pengembangan rencana tindak pariwisata mencakup 5 (lima) komponen, yaitu:
1. Atraksi Wisata
Berupa daya tarik wisata, baik alam maupun buatan yang berada di dalam suatu wilayah dan memiliki daya tarik yang dapat mendatangkan wisatawan, misalnya pantai, danau, pegunungan, situs budaya, taman, industri, pameran, dan lain sebagainya.
2. Promosi
Merupakan sarana pemasaran, berupa periklanan, pameran pariwisata, artikel di media cetak, brosur, peta, video atau film, pemandu wisata elektronik, serta poster dan pusat informasi wisatawan.
3. Infrastruktur
Berupa sarana dan prasarana dasar yang menunjang kegiatan pariwisata, misalnya jalan, bandara, jaringan komunikasi, terminal, lokasi parkir, tempat pembuangan sampah, pelayanan listrik dan air bersih, rambu‐rambu lalu lintas, serta lapangan atau area terbuka milik masyarakat yang dapat digunakan sebagai lokasi kegiatan pariwisata.
4. Pelayanan
Berupa fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan selama melakukan perjalanan wisata, mencakup diantaranya, akomodasi, camping ground, restoran dan rumah makan, pertokoan, serta toko cenderamata.
5. Hospitality
Keramahtamahan merupakan kunci penting yang dapat menggabungkan keempat komponen di atas menjadi satu kesatuan kepariwisataan yang utuh. Hal ini juga menjadi faktor penting yang dapat membuat wisatawan menjadi nyaman dalam berwisata dan bukan tidak mungkin akan kembali datang, serta secara tidak langsung turut mempromosikan suatu wilayah kepada kerabatnya.
Untuk dapat menghasilkan rencana tindak pengembangan pariwisata yang bersifat terintegrasi, maka proses perencanaan yang bersifat koordinatif, komunikatif, dan sinergis amat penting dilakukan oleh setiap pihak yang terlibat sesuai dengan kapasitas, fungsi, tugas dan tanggung jawab masing‐masing. Oleh karena itu, untuk dapat merumuskan rencana tindak pengembangan pariwisata yang terpadu (integrated) maka dalam proses perencanaannya harus melibatkan berbagai pihak terkait (stakeholder). Dengan kata lain diperlukan koordinasi yang baik antar stakeholder kepariwisataan maupun dengan pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengembangan kepariwisataan di kawasan tersebut.
2.2.2 Tahapan Penyusunan Rencana Tindak Pariwisata
Secara garis besar penyusunan rencana tindak (action plan) pariwisata terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
Kesepakatan dan penentuan organisasi pelaksana pekerjaan, serta pembentukan steering committee yang terdiri dari stakeholder atau pihak‐pihak yang memiliki kepentingan, baik pemerintah, swasta/ industri pariwisata, organisasi pariwisata dan praktisi maupun masyarakat di kawasan studi. Steering committee akan memberikan masukan maupun saran terhadap analisis dan langkah‐langkah yang terkait dengan rencana tindak.
Mengidentifikasi pasar wisatawan yang ada sekarang, untuk mendapatkan informasi yang relevan mengenai kondisi pemasaran di wilayah studi. Informasi ini nantinya akan digunakan sebagai data utama dalam penyusunan rencana tindak. Beberapa hal yang perlu dicermati dalam mengidentifikasi pasar wisatawan eksisting, antara lain: - Alasan kedatangan wisatawan, apakah untuk bisnis, pleasure, pelayanan lokal,
mengunjungi kerabat atau teman, atau hanya sekedar melewati kawasan studi. - Pelayanan yang biasanya diminati atau dicari oleh wisatawan yang datang.
- Waktu kunjungan wisatawan; peak season dalam satu tahun, di bulan‐bulan apa saja.
- Moda transportasi yang biasa digunakan baik ke dan dari kawasan studi maupun di dalam kawasan studi itu sendiri.
- Lama tinggal wisatawan.
- Biaya yang mereka keluarkan selama berwisata/ berkunjung ke kawasan studi. - Sosio‐demografis wisatawan; umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kelas
pendapatan, serta daerah asal wisatawan.
- Kecenderungan baru wisatawan yang dapat merubah gaya berwisata (jika ada). Pengembangan profil pasar pariwisata, untuk mengetahui lebih detail mengenai
profil wisatawan yang datang ke kawasan studi, khususnya dari kegiatan‐kegiatan yang dilakukan di kawasan studi. Misalnya untuk jenis wisatawan bisnis, mereka berkunjung untuk urusan pekerjaan, rapat atau temu bisnis; namun disamping itu mereka juga berwisata ke pantai atau berbelanja cenderamata. Dengan mengetahui profil wisatawan dengan lebih detail, maka akan lebih mudah dalam menentukan pasar dan promosi yang tepat serta efektif di kawasan studi.
Menyusun daftar aset pariwisata yang ada di kawasan studi. Aset pariwisata sendiri dapat dikategorikan ke dalam: (1) Atraksi/Daya Tarik Wisata; (2) Promosi; (3) Infrastruktur; (4) Hospitality; dan (5) Pelayanan. Daftar aset ini penting untuk
mengetahui potensi kepariwisataan yang telah ada ataupun yang dapat dikembangkan di kawasan studi.
Mengenali kepentingan pariwisata, khususnya aspek negatif atau dianggap kurang yang terkait di kawasan studi, mencakup:
- Aset negatif
- Kekurangan yang ada
- Ide/rencana/proposal yang belum dikembangkan
Dari ketiga aspek tersebut dapat dijabarkan kembali aspek mana yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kegiatan pariwisata di kawasan studi. Penentuan ini dapat dilakukan dengan diskusi khususnya bersama masyarakat sekitar kawasan yang lebih memahami wilayah studi. Bukan tidak mungkin aspek yang awalnya dinilai negatif atau mengalami kekurangan dapat menjadi aspek unggulan bagi pariwisata di wilayah tersebut.
Menentukan pasar wisatawan yang potensial, setelah sebelumnya mengidentifikasi dan menganalisis mengenai profil wisatawan yang datang ke kawasan studi. Penentuan pasar potensial menjadi salah satu dasar penentuan dalam fokus pengembangan pariwisata di kawasan studi.
Penentuan tujuan dan sasaran pariwisata yang sinergis dengan kebijakan pariwisata di wilayah yang lebih luas (kabupaten atau provinsi) maupun kebijakan/ nilai lokal kemasyarakatan di kawasan studi. Sebaiknya tujuan dan sasaran dibuat sesederhana mungkin agar realistis dan lebih mudah diukur. Sebaiknya tujuan dan sasaran juga dibuat berdasarkan anggaran biaya yang direncanakan serta target waktu pencapaian yang jelas.
Pengembangan langkah atau tahapan program dan kegiatan yang sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Tahapan ini harus dibuat lebih spesifik, sedetail mungkin, dan harus realistis agar lebih mudah dipahami maupun diimplementasilkan.
Mengadakan focus group discussion (FGD), lokakarya atau diskusi dengan melibatkan stakeholder, khususnya masyarakat dan pelaku pariwisata di kawasan studi guna mendapatkan umpan balik terhadap rencana yang telah disusun. Hasil diskusi dan masukan yang diperoleh dari stakeholder nantinya akan digunakan untuk menyempurnakan rencana tindak yang telah disusun.
Penyempurnaan rencana tindak (action plan) setelah mengevaluasi rencana berdasarkan masukan dari FGD/diskusi dengan stakeholder.
Setelah Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan menghasilkan dokumen rencana tindak, beberapa langkah lagi yang perlu dilakukan, yaitu:
Implementasi dari rencana tindak yang telah disepakati bersama oleh seluruh stakeholder. Pada implementasi ini juga ditentukan badan pengelola atau pelaksana rencana tindak sesuai dengan kesepakatan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Pendapat dari pihak yang berpengalaman di luar stakeholder terhadap implementasi
dari rencana tindak yang telah dilakukan. Pihak luar ini dapat berupa (1) konsultan, (2) publikasi di media, (3) organisasi swasta terkait pariwisata. Masukan, kritik dan saran dari pihak luar ini sebetulnya dapat bermanfaat bagi umpan balik implementasi dari rencana tindak, karena secara tidak langsung pihak‐pihak ini telah mengevaluasi rencana tindak yang sedang dilakukan.
Monitoring atau evaluasi dari hasil rencana tindak yang telah dilakukan. Tahapan ini sebaiknya dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat di dalam penyusunan rencana tindak, agar hasilnya lebih objektif. Beberapa garis besar evaluasi, antara lain (1) rencana atau langkah yang telah dilakukan, (2) hasil yang signifikan dari rencana tindak yang telah dilaksanakan, (3) perubahan dari tujuan maupun sasaran yang telah ditentukan di awal penyusunan rencana tindak, (4) usulan revisi rencana tindak (jika diperlukan), (5) komentar personal dengan se‐obyektif mungkin, sesuai dengan kondisi yang ada. Berikut adalah diagram tahapan penyusunan Rencana Tindak.
Gambar 2.2 Tahapan Penyusunan Rencana Tindak (Action Plan) Dokumen Rencana Tindak Penyusunan Action Plan Pembentukan Organisasi Pelaksana &
Steering Committe
Identifikasi dan analisis profil Pasar
Wisatawan Identifikasi Aset Pariwisata Kawasan Studi Pasar Wisatawan Potensial Penentuan Tujuan & Sasaran
Pariwisata Penyusunan/ Pengembangan Tahapan Program Focus Group Discussion (FGD) Potensi Kepariwisataan Wilayah Studi Review Kebijakan & Peraturan Terkait Rencana Strategis
Dengan selesainya tahapan dari rencana tindak bukan berarti pekerjaan di kawasan studi sudah selesai, yang terpenting dalam penyusunan rencana tindak ini adalah bagaimana seluruh stakeholder terkait dapat bekerjasama dengan efektif dalam mempertahankan kondisi setelah rencana dijalankan. Jika tidak, sangat dimungkinkan kondisi di kawasan tersebut akan jauh lebih buruk dari sebelum penyusunan rencana tindak.
2.3
Wisata Kria dan Budaya Priangan
Pariwisata memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan budaya dan kebudayaan suatu daerah. Sesuai dengan sifatnya yang mobile dengan perjalanan menapaki ruang dan
waktu, kegiatan wisata dapat mengakibatkan terjadinya persentuhan antara wisatawan dengan aspek‐aspek budaya dari daerah yang dikunjunginya.
Budaya atau kebudayaan sendiri dapat dipahami sebagai hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda‐benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup, melakukan komunikasi dan upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan. Kebudayaan memiliki wujud yang konkrit/tangible (peralatan, arsitektur, pakaian, makanan, hasil teknologi, kegiatan ritual, upacara keagamaan, seni pertunjukan, kerajinan, dan lainnya), dan abstrak/ intangible (sistem keyakinan, pengetahuan, nilai dan norma). Dapat dikatakan bahwa pariwisata budaya merupakan jenis pariwisata yang berdasarkan pada mosaik tempat, tradisi, kesenian, upacara‐upacara, dan pengalaman yang memotret suatu bangsa/suku bangsa dengan masyarakatnya, yang merefleksikan keanekaragaman dan identitas suatu masyarakat atau bangsa.
Budaya, kria, dan pariwisata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Kerajinan lokal sebagai hasil kria merupakan salah satu elemen penting dari budaya, dimana wisatawan pergi untuk melihat dan menyelami budaya, tradisi dan cara hidup yang asing dari apa yang biasa dirasakannya. Produk kria membentuk elemen penting yang menjadi motor penjualan sehingga memberikan tambahan nilai ekonomi dalam skala lokal. Kepariwisataan juga mendukung keberadaan kria dengan mempertahankan keberlanjutan produksi kria dan memperkuat budaya lokal. Contoh produk kria misalnya kerajinan yang terbuat dari kayu, batu, kertas, tekstil dan lainnya.
Jalinan yang erat antara budaya, kria, dan pariwisata ini telah diakui sebagai sumber peningkatan ekonomi dan sumber lapangan kerja. Budaya mempunyai peran penting dalam membuat produk wisata menjadi lebih kompetitif dimana aspek‐aspek tangible dan intangible‐nya dapat membuat suatu produk wisata mempunyai keunikan dan diferensiasi tersendiri. Budaya juga menyediakan elemen ‘hidup’ dari suatu produk sehingga menghasilkan pengalaman tersendiri yang kian diminati oleh wisatawan. Hal ini didukung oleh kecenderungan masa kini yang mengalami pergeseran dari wisatawan massal ke wisatawan individual dimana motivasi wisatawan lebih didasari oleh keinginan unuk mengunjungi dan melihat kebudayaan serta kerajinan lokal. Pada akhirnya hal ini akan meningkatkan kualitas kehidupan sosial masyarakat karena meningkatkan rasa bangga terhadap kebudayaan masyarakat lokal.
Mengembangkan budaya, kria, dan pariwisata ke dalam suatu kesatuan produk dan pengalaman wisata tidaklah mudah. Hal ini didasari oleh keterbatasan akses wisatawan dalam menikmati dan meresapi kebudayaan lokal yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan waktu yang mereka miliki. Diperlukan semacam ‘jembatan budaya’ yang berfungsi dalam mendistribusikan pergerakan dan pertukaran simbol‐simbol budaya, antara kebudayaan lokal dan kebudayaan wisatawan.
KARAKTERISTIK KRIA DAN ASPEK‐ASPEK TERKAIT
Kria, umumnya dikenal sebagai kerajinan tangan, memiliki beragam definisi sebagai berikut:
- Kria dapat didefinisikan sebagai proses pembuatan, yang objeknya dihasilkan dengan tangan, dengan menggunakan alat‐alat tertentu dan memerlukan keahlian tertentu (Pye, 1968, the Nature and Art of Workmanship dalam ICCROM, 2001). - Karakter kria dapat dikenali melalui tipe produk kerajinan tertentu, yang
umumnya merupakan objek‐objek penting dan fungsional.
- Kria tidak dapat dipisahkan dari media, sehingga karakternya selalu dikaitkan dengan bahan dan teknologi pembuatan/manufaktur.
Dalam konteks produk kria Jepang, atau yang lebih dikenal sebagai “mingei”, kria diartikan sebagai seni yang berbasis komunitas, dari rakyat dan untuk rakyat dengan karakteristik berikut ini (ICCROM, 2001): - umumnya dikerjakan oleh pengrajin yang anonim, - merupakan pekerjaan tangan, - diproduksi dengan jumlah besar, - relatif tidak mahal, - digunakan secara massal, - fungsional, untuk kehidupan sehari‐hari, - representasi daerah, tempat kria tersebut diproduksi.
Merujuk pada definisi‐definisi tersebut, kria bukan hanya berupa kerajinan tangan maupun proses pembuatannya tetapi lebih dari itu, kria berakar pada latar belakang suatu komunitas, misalnya struktur masyarakat, nilai‐nilai sosial budaya, dan sejarah. Lebih lanjut, kria dapat dirinci sebagai suatu proses (keahlian dan pengetahuan, proses pembelajaran, proses ekonomi, dan proses kreatif), memiliki dimensi yang signifikan (dimensi sosial, religius, dan budaya) serta memiliki keterkaitan dengan ruang dan lingkungan secara dinamis, seperti dijelaskan pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Karakteristik Kria: Proses, Dimensi, dan Konteks
a. Kria sebagai Keahlian dan Pengetahuan
Kria membutuhkan kemampuan tingkat tinggi dalam mengkoordinasikan gerakan tangan (karena sebagian besar pembuatannya dilakukan secara manual), yang terkait dengan pengendalian motorik seseorang. Seorang pengrajin umumnya memiliki intelejensi kinetik tinggi yang dimanifestasikan dalam keahlian (skill) mengolah kria. Kria juga merupakan suatu pengetahuan (tacit knowledge) yang tidak saja bersifat personal, tetapi juga yang diturunkan atau diwarisi melalui institusi dan komunitas. Karakter ini menunjukkan kompleksitas kria, terkait pada lingkungan yang lebih luas, yaitu komunitas. Melestarikan dan mengembangkan kria, dalam kasus Kria Budaya Priangan di KWU ini, tidak dapat didekati secara personal atau perorangan saja, tetapi lebih condong pada komunitas pengrajin dalam suatu institusi lokal.
b. Kria sebagai Proses Pembelajaran
Menguasai proses pembuatan kria membutuhkan waktu yang panjang, mungkin bertahun‐tahun. Keahlian umumnya diwarisi secara tradisional dan pembelajarannya dimulai sejak masa kanak‐kanak atau remaja. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai pembuatan kria lebih bermakna pada keberlangsungan suatu tradisi, yang kemudian dapat mendorong kreativitas individu.
Menarik untuk dicermati, pembelajaran ‘keahlian kria’ disampaikan dengan ‘melakukan’ atau mendemonstrasikan suatu proses, bukan dengan penjelasan verbal atau kata‐kata. Pewarisan keahlian kria terkait dengan hubungan dekat secara personal, misalnya dari orang tua ke anak, atau dari seseorang yang sudah ahli kepada seseorang yang belum ahli.
Aspek lain dari proses pembelajaran, di beberapa tempat, pembuatan kria terkait dengan jender. Pada kasus tertentu, ibu‐ibu yang memproduksi kria untuk konsumsi rumah tangga, melakukan pembuatan kria secara informal di rumah mereka. Proses pembuatan tersebut diamati dan kemudian diikuti atau diimitasi oleh anggota keluarga (perempuan) lainnya. Kasus lain, proses pembelajaran kria juga dapat dilakukan secara formal, di luar rumah, misalnya bapak‐bapak yang memproduksi kria sebagai benda komersial.
c. Kria sebagai Proses Ekonomi
Kria yang dapat memberikan manfaat ekonomi secara signifikan sangat bervariasi, tergantung pada budaya dan tipe kria yang dihasilkan. Walau demikian, menurut Persatuan Bangsa Bangsa, lebih dari 90% perempuan di negara berkembang menggantungkan hidupnya pada kegiatan [profesi] kerajinan sepanjang tahun (www.craftscenter.org). Di tahun 1980an, negara‐negara Dunia Ketiga mengekspor kria ke pusat‐pusat industri dengan nilai lebih dari 1 milyar USD (ICCROM, 2001). Terkait dengan proses ekonomi, kegiatan kria di beberapa tempat, khususnya komunitas perdesaan, dilakukan secara musiman sebagai bagian dari ritual budaya. Objek yang dihasilkan seringkali dikonsumsi secara perorangan, keluarga atau dalam lingkup komunitas dan etnik tertentu. Bahan diperoleh dengan membeli atau membuat sendiri. Dalam kasus lainnya, pembuatan kria adalah kegiatan atau profesi purnawaktu (full‐time) dengan tujuan komersial. Benda yang dihasilkan dapat berkontribusi untuk kebutuhan komunitas lokal atau diperjualbelikan di area yang lebih luas.
Kria sebagai proses ekonomi di KWU ini dijelaskan melalui salah satu jenis kerajinan khas Kota Tasik yaitu bordir.
Rohayati Bordir merupakan perusahaan keluarga di Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya. Produk kria bordir yang yang dihasilkan antara lain berupa taplak meja, bantal kursi, tas, mukena, dan sajadah. Produk ini dipasarkan di wilayah Jawa Barat dan wilayah lain di Indonesia, serta telah diekspor ke Malaysia dan Singapura (Hasil wawancara, 2007). d. Kria sebagai Proses Kreatif Kria adalah kegiatan kreasi, membuat sesuatu, suatu aspek yang berkontribusi pada signifikansi religius dalam beragam budaya. Produk kria merupakan tangible heritage, yang terkait dengan nilai intangible. Konsep kreativitas seringkali diasosiasikan dengan orisinalitas dan kontribusi individu yang beragam bergantung pada tempat dan waktu. Kria sebagai proses kreatif menghadapi dua hal yang dianggap bertentantangan, yaitu orisinalitas individu yang dimulai dari pembuatan konsep, desain, dan pelaksanaan serta karya kria yang anonim dan dikerjakan secara berkelompok.
e. Dimensi Sosial Kria
Pembuatan kria dapat memiliki peran signifikan secara sosial. Bila kegiatan tersebut bersifat musiman, seluruh komunitas [desa] umumnya terlibat. Mereka bekerja sama
dengan pembagian tugas menurut umur, jender, dan keahlian. Etnik, klan, atau keluarga tertentu, dapat diasosiasikan dengan keahlian kria yang spesifik. Meski keahlian ini diturunkan dari generasi ke generasi, namun perubahan dapat terjadi seiring dengan kemampuan pekerja/pengrajin dan perubahan cara pikir. Di lingkungan perkotaan, organisasi atau ‘gilda’ umumnya bekerja secara berkelompok untuk menjamin standar produk, mengendalikan proses dan melindungi hak‐hak pengrajin.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasik sejak tahun 1990an memberikan bantuan dana Jaringan Pengaman Sosial untuk mengembangkan mutu kualitas produk kerajinan Kota Tasik, khususnya bagi kelompok pengrajin yang tergabung dalam ”Rumah Tasik” (Hasil wawancara, 2007).
f. Dimensi Religius Kria
Pembuatan kria, dari sisi pembuat maupun masyarakat luas, dapat berdimensi religius. Sebagai kegiatan kreasi atau menghasilkan sesuatu, kria dapat dipersepsikan sebagai pekerjaan sakral. Membuat pedang (keris, kujang, dsb.) bagi komunitas tertentu adalah kegiatan suci. Kesakralan umumnya ditunjukkan melalui ritual pensucian alat‐alat dan aktor pembuat kria. Pekerjaan atau kegiatan ini umumnya terintegrasi dengan tugas sosial/religius yang mengikutsertakan seluruh komunitas dalam upacara atau ritual keagamaan.
g. Dimensi Budaya Kria
Merujuk pada penjelasan‐penjelasan sebelumnya, kria memiliki peran penting dalam membentuk identitas dan budaya beragam kelompok, baik secara etnik/suku, nasional, dan regional (antar negara). Dimensi budaya dalam pembuatan kria antara lain:
- Kria terkait dengan cara manusia hidup, yang berasosiasi pada produk yang dibutuhkan dengan bahan yang tersedia. Misalnya, komunitas pegunungan, petani, dan nelayan memiliki kria yang secara spesifik berbeda.
- Produk kria umumnya sangat spesifik, bersifat lokal, terkait dengan tempat diproduksi. Sebagian hal ini mungkin terjadi karena ketersediaan bahan dan kebutuhan khusus, tetapi juga karena produk tersebut ditujukan untuk mengekspresikan identitas tertentu. Hal ini umumnya ditunjukkan melalui produk fashion, seperti ragam hias bordir Tasikmalaya.
Kawalu dikenal sebagai daerah pengrajin bordir yang memiliki corak ragam hias khas Tasikmalaya. Penelitian yang dilakukan oleh Hendar Suhendar, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB menjelaskan bahwa kehidupan budaya agraris berpengaruh pada ide dasar rancangan ragam hias bordir Kawalu. Hal ini, secara langsung ditunjukkan melalui corak tumbuhan daun pecah beling, kembang wera, bunga melati, kembang cengkih, bunga mawar, bunga matahari, daun vanili, kupu‐kupu, dan keong (Kajian Estetik Ragam Hias Bordir Kawalu Tasikmalaya Jawa Barat Tahun 1990‐2005, Thesis Magister FSRD ITB, 2006).