• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2. Ajaran Sosial Gereja

2.2.1. Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja

mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian dunia. Selain itu Ajaran Sosial Gereja juga bertujuan agar umat beriman bertindak, bergerak, bekerja bersama-sama dalam cara-cara yang efektif dan efisien untuk membangun tata kehidupan yang lebih baik. Cara efektif diwujudkan dalam berbagai macam bentuk kerja sama pemberdayaan dan pengentasan sesama dari segala bentuk keterpurukan (Riyanto, 2015:3).

Pola prinsip Ajaran Sosial Gereja yaitu to see, judge, and act. Hal ini termuat dalam Ensiklik Mater et Magistra dari Yohanes XXIII (Riyanto, 2015: 12). To see maksudnya adalah menyimak, mendengarkan, dan mempelajari segala persoalan yang ada dalam realitas sosial. To judge yaitu gereja memberikan refleksi teologis, penilaian, analisis, kritik, pembahasan atas realitas yang sedang terjadi. To act berarti gereja mengajak umat Allah yang memliki kehendak baik untuk bertindak konkret untuk mewartakan keadilan, perdamaian, tatanan sosial yang benar, dan melawan segala bentuk ketidakadilan.

2.2.1. Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja

“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”[LG 1]. Kutipan dari Konsili Vatikan II, Dokumen Gaudium et Spes memberikan gambaran apa yang mendasari munculnya Ajaran Sosial Gereja (ASG) (Komisi Kateketik KAS, 2012). Hal-hal yang mendasari ASG membuat Gereja Katolik ingin terlibat dan menunjukkan sikap-sikap responsif dan keberpihakan terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi. Masalah-masalah tersebut meliputi

24 pembelaan martabat manusia, pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan, dan mengusahakan tercapainya keadilan dan perdamaian. Seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya mengenai macam-macam Ajaran Sosial Gereja dengan catatan perjalanan waktunya, tanggapan Gereja Katolik mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi di berbagai penjuru dunia merupakan bentuk kepedulian gereja dan keinginannya untuk terlibat dan ambil bagian dalam mengusahakan keadilan dan perdamaian. Dari macam-macam Ajaran Sosial Gereja dapat ditemukan prinsip-prinsip yang terkait dengan realitas masyarakat yaitu, relasi-relasi yang berhubungan dengan politik, ekonomi, dan hukum dan relasi-relasi di antara berbagai komunitas dan kelompok dengan relasi perorangan atau antar bangsa.

Ajaran sosial Gereja memiliki prinsip-prinsip yang mendasari seluruh gagasan dan pemikiran Gereja tentang ajaran sosial. Di dalam Compendium of the Social Doctrine of the Church atau Kompendium Ajaran Sosial Gereja prinsip-prinsip tersebut bukan hanya dipaparkan sebagai sesuatu yang permanen dan universal melainkan menjadi parameter acuan atau tolak ukur untuk menafsirkan dan mengevaluasi fenomena sosial atau permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi dan sekaigus menjadi landasan untuk mengambil sikap (Compendium art. 161).

Prinsip-prinsip ajaran sosial Gereja dikemas dalam nilai-nilai universal, nilai-nilai kemanusiaan (Stabile, 2006:7). Nilai-nilai universal tersebut memungkinkan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai macam budaya, agama, dan kepercayaan dapat menerima serta memahami Ajaran Sosial Gereja. Hal ini

25 menunjukkan bahwa Gereja tidak hanya berbicara kepada umat Katolik saja, tetapi ada dialog dan keterbukaan yang bersifat inklusif untuk bisa menyapa masyarakat atau bangsa yang memiliki komitmen sama dan kehendak baik dalam memperjuangkan kesejahteraan umum yang berasal dari agama dan kepercayaan lain. Gereja juga mengajak mereka bersama-sama mencari jawaban dan solusi atas berbagai macam persoalan tentang hidup manusiawi. Ajaran Sosial Gereja saat ini memang dipelajari oleh banyak orang, baik para pemerhati sosial, aktivis, dan pejuang-pejuang keadilan sosial, yang bukan hanya umat Katolik. Melalui bahasa universal atau bahasa kemanusiaan yang digunakan di dalam Ajaran Sosial Gereja, banyak orang menemukan dasar bagi pembangunan martabat manusia dan keadilan sosial.

Pontificial Council for justice and Peace (2004) dalam Compendium of the Social Doctrine of the Church menyebut empat prinsip fundamental, yaitu hormat akan martabat pribadi manusia, kesejahteraan umum (common good atau bonum commune), subsidiaritas, dan solidaritas (Compendium art. 160). Dalam banyak tulisan dan studi mengenai doktrin sosial Katolik, keempat prinsip tersebut masih dijabarkan lagi dalam beberapa prinsip lain yang lebih detil. Dalam penelitian ini, selain disajikan keempat prinsip tersebut, ditambahkan prinsip lain yang selama ini masih menjadi persoalan bagi beberapa kalangan dalam gereja sendiri yaitu, the option for the poor atau keberpihakan pada mereka yang kalah atau lemah (Komisi Kateketik KAS, 2012).

26 1. Prinsip Penghormatan Martabat dan Hidup Manusia

Prinsip pertama dan yang paling penting di dalam Ajaran Sosial Gereja adalah prinsip penghargaan atau penghormatan pada martabat manusia. Setiap orang adalah pribadi yang berharga, karena ia diciptakan sesuai citra Allah. Oleh karena itu manusia memiliki kebebasan dan martabat yang tidak dapat diambil oleh siapapun. Manusia memiliki hak-hak asasi yaitu, hak-hak secara alami dipunyai, dan tak bisa diubah. Pemahaman ini menolak semua bentuk pemikiran ataupun tata politik yang menyempitkan manusia sebagai alat ekonomi semata, yakni sebagai pekerja ataupun sebagai konsumen belaka seperti yang telah dicantumkan dalam Ensiklik Pacem in Terris dan Laborem Excercens (Komisi Kateketik KAS, 2012: 8). Manusia mempunyai hak untuk hidup. Hidup dalam artian tidak hanya sekedar bernafas tetapi juga berkaitan dengan eksistensi dan keberadaan manusia yang memiliki hak untuk hidup layak.

2. Prinsip Kesejahteraan Umum

Prinsip kedua adalah upaya untuk menciptakan kebaikan bersama atau kesejahteraan umum. Setiap orang adalah bagian dari masyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Setiap orang memiliki kewajiban untuk membantu mewujudkan kesejahteraan bersama di masyarakat, dan juga memiliki hak untuk hidup sejahtera sebagai manusia yang bermartabat. Prinsip ini berlaku pada semua level masyarakat baik lokal, nasional, maupun internasional. Tugas pemerintah berserta dengan birokrasinya adalah untuk menciptakan kebaikan bersama, dan menjamin, bahwa tidak ada seorang pun yang ditinggalkan

27 dalam proses tersebut. Prinsip ini sangat ditekankan dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Komisi Kateketik KAS, 2012: 8).

Prinsip ini juga menegaskan bahwa setiap individu bertanggungjawab atas individu-individu yang lain. Tanggung jawab tersebut mewajibkan setiap individu untuk bekerja sama membangun kondisi-kondisi sosial yang agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dan potensi mereka. Kesejahteraan umum merupakan kondisi yang dibutuhkan oleh semua manusia, tanpa terkecuali, maka diperlukan adanya usaha agar semua orang dapat merasakan keuntungan yang bisa diambil (Cloutier, 2009: 103). Setiap orang perlu menyesuaikan kepentingan masing-masing dengan kebutuhan pihak lain. Prinsip kesejahteraan umum ini menunjukkan bahwa banyak hal yang sebenarnya merupakan hak pribadi manusia, namun harus diupayakan dan diperjuangkan bersama (Massaro, 2000: 121).

3. Prinsip Solidaritas

Prinsip ketiga adalah Solidaritas. Sebagai bagian dari masyarakat manusia, kita semua memiliki kewajiban yang sama untuk mengembangkan kehidupan bersama lintas komunitas, lintas agama, dan lintas peradaban.Solidaritas adalah ikatan yang menyatukan kita sebagai manusia. Ini semua lahir dari kesadaran mendasar, bahwa kita, dan komunitas kita, tidak dapat hidup sendiri, melainkan selalu dalam hubungan dengan komunitas-komunitas lain, baik itu komunitas agama, etnis, maupun ras lain. Prinsip solidaritas juga termuat di dalam tiga ensiklik yaitu, Populurum Progressio; Sollicitudo Rei Socialis; dan Centesimus Annus (Komisi Kateketik KAS, 2012: 9).

28 Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Solicitudo Rei Socialis menyebut solidaritas sebagai keutamaan hakiki bagi kehidupan sosial. Paus menjelaskan bahwa solidaritas bukan perasaan belas kasihan atau kesedihan terhadap kemalangan orang lain melainkan solidaritas adalah ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk meng-komitment-kan diri pada kesejahteraan umum, yaitu pada kebaikan semua orang dan setiap individu (Soetoprawiro, 2003). Dengan demikian solidaritas adalah sebuah komitmen, sebuah tekad yang tetap dan terus-menerus untuk mengusahakan kebaikan bagi setiap orang.

4. Prinsip Subsidaritas

Prinsip keempat adalah subsidaritas. Artinya setiap kebijakan dan peraturan yang berlaku di masyarakat, baik itu lokal, nasional, maupun internasional, haruslah sejalan dengan prinsip kebaikan bersama. Pemerintah dan rakyat, terutama pada level komunitas terkecil, haruslah memiliki hubungan yang berkualitas dengan mengutamakan prinsip solidaritas dan upaya untuk menciptakan kebaikan bersama. Tujuan dari prinsip ini adalah agar tanggung jawab masing-masing pribadi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dihormati, khususnya oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atas mereka. Penjelasan mengenai prinsip subsidiaritas paling lengkap dan gamblang terdapat dalam ensiklik Quadragaseimo Anno (Komisi Kateketik KAS, 2012: 9).

Prinsip subsidiaritas secara praktis adalah mengenai pengaturan bagaimana warga masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pelaksanaan prinsip ini memungkinkan partisipasi yang lebih besar dari kalangan bawah dalam menentukan kehidupan sendiri dan dalam kehidupan bersama. Orang-orang atau

29 kelompok-kelompok yang secara langsung terkena akibat dari suatu keputusan atau kebijakan seharusnya memiliki peran kunci dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, mereka perlu diajak berdialog supaya dapat saling mengetahui secara persis apa yang sedang terjadi, apa keuntungan dan kerugiannya, akibat apa yang akan mereka alami, dan bagaimana pendapat mereka tentang kebijakan atau keputusan tersebut. Masyarakat kalangan bawah harus dihormati untuk berpendapat dan suara mereka juga perlu dihargai dalam usaha untuk menentukan nasib mereka sendiri, sehingga sebuah keputusan tidak hanya diambil oleh para pemimpin tetapi juga melibatkan partisipasi masyarakat. Subsidiaritas berkaitan erat dengan cara berbagai lapisan dan tingkatan dalam masyarakat saling berhubungan, berkomunikasi, dan membantu dalam mengupayakan hasil terbaik bagi semua orang dan pihak ( Massaro, 2000: 128).

5. Prinsip Keberpihakan pada Mereka yang Kalah dan Lemah

Prinsip kelima adalah keberpihakan pada mereka yang “kalah” dan “lemah” atau dalam bahasa Inggris diartikan sebagai the option for the poor and vulnerable. Mereka yang kalah dan lemah dalam kelompok minoritas tertindas dan orang-orang miskin secara ekonomi, moral, maupun spiritual. Iman dan ajaran agama berubah menjadi gerakan hati yang menunjukan kepedulian maupun tindakan nyata untuk menolong mereka-mereka yang kalah dan lemah seperti yang tercantum dalam Quadragesimo Anno dan Sollicitudo Rei Socialis.

Para uskup Amerika Serikat, dalam sebuah surat pastoral berjudul Economic Justice for All (EJA), mengatakan bahwa tujuan utama komitmen keberpihakan kepada orang miskin ini adalah supaya mereka dapat

30 berpartisipasi aktif dalam hidup bermasyarakat. Mereka diberdayakan untuk mampu berbagi dalam dan menyumbang bagi kesejahteraan umum. Karena itu, prinsip the option for the poor and vulnerable tersebut menyatakan bahwa ketidakberdayaan kaum miskin melukai keseluruhan komunitas. Tingkat penderitaan mereka adalah ukuran sejauh mana kita telah menjadi sebuah komunitas sejati. Luka-luka itu hanya akan disembuhkan oleh solidaritas yang lebih besar dengan kaum miskin dan di antara kaum miskin sendiri (Curran, 2007).

Selanjutnya, prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja tersebut dalam penelitian ini akan dipakai untuk pemeringkatan sejauh mana prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja sudah diterapkan dalam kerangka Social Responsibility Management di Paroki Maria Assumpta Pakem. Untuk menerapkan kelima prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja tersebut adalah menerapkannya dalam tindakan nyata. Seperti yang telah disampaikan oleh Paus Yohanes XXIII, ada langkah-langkah praktis untuk memahami prinsip-prinsip tersebut. Langkah pertama adalah perlu adanya pemahaman secara mendalam mengenai situasi yang ada maupun aktual terjadi di masyarakat. Wawasan mengenai teori-teori sosial diperlukan untuk menambah pemahaman dan perkembangan terbaru mengenai ilmu pengetahuan modern. Langkah yang kedua adalah menganalisis dan mengevaluasi situasi atau kondisi masyarakat dalam kerangaka kelima prinsip-prinsip tersebut. Dari analisis dan evaluasi tersebut kemudian ada penilaian yang diikuti dengan rancangan-rancangan kegiatan untuk kemudian diimplementasikan dalam tindakan nyata. Mengimplemnetasikan suatu tindakan-tindakan nyata merupakan langkah ketiga.

31 Langkah tersebut tidak hanya berhenti dengan melakukan rancangan-rancangan kegiatan tetapi diikuti dengan evaluasi serta refleksi tindakan tersebut dengan menggunakan parameter prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja (Komisi Kateketik KAS, 2012:9-10).

Berkaitan dengan penelitian ini, langkah-langkah praktis yang diberikan oleh Paus Yohanes XXIII menjadi salah satu pedoman peneliti untuk melihat, menilai, dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh Tim PSE Paroki Maria Assumpta Pakem. Kemudian bentuk pengimplementasian kegiatan-kegiatan tersebut, serta dampak yang dihasilkan. Langkah-langkah tersebut sangat berkaitan dengan Program-Program Pemanfaatan Dana APP di Paroki Maria Assumpta Pakem yang bersifat pemberdayaan. Dengan demikian peneliti dapat mengevaluasi apakah keseluruhan proses kegiatan yang dijalankan sudah menggunakan langkah-langkah praktis tersebut atau belum.