• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK USAHA

Dalam dokumen Melangkah Lebih Cepat Menangkan Persaingan (Halaman 170-173)

Banyak pihak memperkirakan bahwa pemulihan perekonomian global diperkirakan lebih cepat di tahun 2017 daripada pemulihan ekonomi di tahun 2016. Untuk dua tahun mendatang, perekonomian dunia diperkirakan akan relatif lebih baik, Bank Dunia telah memproyeksikan bahwa ekonomi dunia akan tumbuh 2,8% pada 2017 dan 3,0% pada 2018. Hal tersebut didasarkan pada fakta adanya upaya-upaya beberapa negara dalam pemulihan perekonomian mereka masing-masing.

Harga komoditas global diproyeksikan akan membaik secara perlahan walaupun akan berada pada level rendah, terutama untuk komoditas non- energi. Prospek komoditas energi saat ini dan ke depan diperkirakan akan tetap mengalami kondisi

oversupply produksi di tengah terjadinya pelemahan permintaan dunia akibat dari pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah.

Otoritas moneter masing-masing negara di dunia, saat ini, berusaha untuk mengembalikan produktifitas ekonomi negara-negara tersebut melalui berbagai instrumen. Dengan adanya kecenderungan untuk

inward looking maka kebijakan moneternya pun sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing- masing negara tersebut (less divergent monetary policy). Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mempunyai kecenderungan untuk menaikkan suku bunga acuan apabila memungkinkan. The Fed cenderung menaikkan suku bunga acuannya secara gradual, searah dengan indikator-indikator pemulihan perekonomiannya. Di pihak lain, Bank Sentral negara-negara Asia dan Eropa cenderung menerapkan kebijakan suku bunga rendah atau bahkan negatif, untuk mendorong konsumsi dalam negeri/kawasannya.

Perekonomian Amerika Serikat diperkirakan tetap berada pada momentum pemulihan. Tingkat

pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tahun depan diperkirakan akan berada pada level ideal yaitu berada di kisaran 2,2-2,5%. Bank Dunia memprediksi ekonomi Amerika Serikat akan tumbuh 2,2% pada 2017 dan 2,1% pada 2018, lebih tinggi dibandingkan

proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diperkirakan berada pada level 1,9%. Dengan makin membaiknya perekonomian dalam negeri Amerika Serikat, laju inflasi diperkirakan akan meningkat mendekati target yang dikehendaki The Fed yaitu di sekitar 2%. Dengan demikian, suku bunga acuan The Fed (Fed Fund Rate/FFR) juga diproyeksi akan mengalami kenaikan secara gradual paling cepat mulai akhir tahun ini hingga tahun 2017 mendatang. Indikator lain yang berupa tingkat pengangguran, saat ini, berada pada kisaran 5% dan diperkirakan akan menurun pada tahun depan. Peristiwa politik berupa hasil Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada awal November 2016 berpotensi meningkatkan ketidakpastian pada perekonomian global. Pasar memperkirakan bahwa kebijakan pemerintah baru bersifat proteksionis namun kebijakan proteksionis tersebut belum dapat diperkirakan detailnya sehingga berpotensi meningkatkan volatilitas pasar keuangan global, yang berdampak terutama pada negara- negara emerging market.

Pemulihan ekonomi kawasan Eropa masih diliputi ketidakpastian. Peristiwa politik berupa Brexit akan berdampak pada perekonomian negara-negara di kawasan tersebut baik dari aspek perdagangan, transaksi keuangan, maupun dari aspek investasi. Untuk membantu pemulihan ekonomi kawasan Eropa tersebut, Bank Sentral Eropa (ECB) kemungkinan akan memperpanjang kembali periode quantitative easing (QE) sebesar 80 miliar Euro per bulan yang seharusnya berakhir pada Maret 2017. Kepastian terhadap perpanjangan QE tersebut diperkirakan akan di ambil oleh ECB pada bulan Desember 2016. Dengan berbagai upaya dari ECB tersebut, pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa diperkirakan masih akan stagnan pada level masing-masing 1,6% dan 1,5% untuk tahun 2017 dan 2018. Oleh karena itu, reformasi struktural dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa sekaligus sebagai upaya mencapai target inflasi 2% yang per September 2014 berada di lebel 0,4%. Untuk mendorong tingkat inflasi zona Euro, ECB diperkirakan masih akan mempertahankan kebijakan suku bunga acuan yang rendah yakni nol persen sehingga suku bunga simpanan berada pada level -0,4%.

Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi dunia. Cina diperkirakan masih terus melanjutkan tren perlambatan ekonominya. Untuk tahun 2016, perekonomian Cina diperkirakan akan tumbuh sekitar 6,7%, lebih rendah daripada periode sebelumnya sebesar 6,9%. Untuk tahun 2017 dan 2018, ekonomi Cina diprediksi akan tumbuh pada level yang relatif moderat yakni pada level 6,5-7,0%. Angka perkiraan yang moderat ini masih menggambarkan adanya pelemahan pada ekspor dan investasi. Upaya untuk mengatasi perlambatan tersebut, pemerintah Cina akan melakukan kebijakan pelonggaran yang lebih fokus pada langkah-langkah fiskal pada tahun 2016.

Selain itu, faktor-faktor internal (domestik) yang mempengaruhi perubahan proyeksi makroekonomi 2017 - 2019 antara lain :

1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan akan sedikit lebih baik dibandingkan tahun 2015 yang mengalami moderasi

pertumbuhan. Pada tahun 2015 lalu, pertumbuhan ekonomi tercatat hanya 4,79%, sedangkan untuk tahun ini diperkirakan ekonomi dapat tumbuh sekitar 4,9-5,3%. Peningkatan konsumsi rumah tangga walaupun masih terbatas serta belanja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, serta adanya program tax amnesty diperkirakan mampu mendorong perekonomian relatif lebih baik pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang.

2. Daya serap anggaran belanja pemerintah yang sudah membaik, namun masih terbatas. Kementerian Keuangan optimis penyerapan anggaran hingga akhir tahun 2016 dapat mencapai 97,1%. Hal ini dikarenakan banyak kementerian/ lembaga yang cukup cepat melakukan penyerapan anggaran pada awal tahun karena perencanaan yang makin baik. Selain itu, juga karena Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar dilakukan percepatan terutama untuk berbagai belanja yang menyangkut infrastruktur.

3. Dari sisi likuiditas valas diperkirakan akan makin ketat, sehingga supply valas di dalam negeri berkurang. Hal tersebut terkait dengan rencana kenaikan Fed Fund Rate secara gradual paling cepat pada akhir tahun ini. Oleh karena itu, potensi capital flight valas masih tetap akan ada. 4. Permintaan kredit akan meningkat menyusul

adanya penurunan suku bunga kredit perbankan, terutama kredit segmen kecil dan kredit usaha rakyat (KUR) hingga level singledigit. Kebijakan ini ditempuh untuk mengatasi perlambatan pertumbuhan kredit, dimana pada 2015 kredit hanya mencatat pertumbuhan 10,4% saja, dibandingkan 11,6% pada 2014 dan 21,6% pada 2013.

5. Adanya kebijakan pelonggaran aturan Loan To Value (LTV) untuk sektor properti dan rencana pelonggaran LTV untuk sektor otomotif. Bank Indonesia pada tahun ini kembali melonggarkan aturan LTV untuk sektor properti seperti tercantum dalam PBI Nomor 18/16/PBI/2016 tanggal 26 Agustus 2016. Berdasarkan aturan baru tersebut, LTV KPR pertama menjadi 85%, sehingga uang muka yang harus dibayar nasabah menjadi 15%

dari total harga rumah, turun dibandingkan aturan sebelumnya yang sebesar 20%. Relaksasi aturan yang menyasar sektor properti ini akan memiliki efek pengganda manfaat ekonomi (multiplier effect) yang besar terhadap sektor lain seperti sektor konstruksi, industri, dan juga jasa keuangan termasuk asuransi. Selain itu, beberapa waktu lalu juga OJK berencana melonggarkan aturan uang muka Kredit Kepemilikan Kendaraan Bermotor (KKB) hingga 0%. Pelonggaran-pelonggaran ini dilakukan untuk mendorong penyaluran kredit yang saat ini mencatat pertumbuhan single digit. Dengan adanya pelonggaran ini, diharapkan mampu mendorong pertumbuhan sektor properti dan penjualan otomotif.

6. Lahirnya paket-paket kebijakan pelonggaran ekonomi yang diharapkan dapat memperkuat fundamental ekonomi Indonesia. Dengan adanya berbagai insentif, pelonggaran dan kemudahan yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat menstimulasi kegiatan perekonomian sektor riil. Namun demikian, implementasi dan dampak positif dari paket kebijakan tersebut masih perlu dibuktikan dan dirasakan dalam jangka menengah.

Dengan mempertimbangkan berbagai perkembangan terkini dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial di dalam negeri dan luar negeri atau perekonomian global yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka dipandang perlu untuk dilakukan penyesuaian penetapan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017- 2019 yaitu sebagai berikut:

Asumsi Makro dan Mikro Tahun 2017 – 2019

No, Asumsi 2017 Tahun Proyeksi 2018 2019

Asumsi Makro

1 Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,1 - 5,3 5,2-5,5 5,3-5,8

2 Inflasi (%) 4,0 – 4,5 3,5-4,5 4,0-5,0

3 Nilai Tukar Rupiah/Dollar Amerika Serikat

(Rp,) 13.000 – 13.500 12.500-13.00 13.000-13.500

4 Bi 7 days Repo Rate 4,0 – 4,5 4,0-4,5 4,25-4,75

Asumsi Mikro

1 Pertumbuhan Pinjaman (%) 13,0-15,0 15,0-17,0 15,0-17,0

Dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dunia dan domestik, perkembangan teknologi di bidang jasa keuangan, kebijakan dari otoritas (moneter, perbankan, dan fiskal), dan rencana perbaikan proses bisnis internal maka rencana BNI untuk melanjutkan pertumbuhan bisnis melebihi industri di tahun 2017 adalah sangat tepat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dan mewujudkan visi BNI untuk menjadi Lembaga Keuangan yang unggul dalam Layanan dan Kinerja,

maka arah kebijakan BNI untuk periode 2017-2019 adalah fokus menjadi lembaga Keuangan dengan Kinerja Unggul dengan pertumbuhan agresif yang didukung dengan tingkat layanan yang semakin baik, serta optimalisasi outlet. Indikator dari kebijakan tersebut adalah ukuran aset, tingkat pengembalian investasi, produktivitas pegawai, sinergi antar unit dan perusahaan anak, dan layanan yang unggul serta nilai perusahaan bagi investor.

Arah Kebijakan BNI Tahun 2017 dan 2019

Ukuran

Lembaga Keuangan dengan Kinerja Unggul Target

2017 2018 2019

Market Capitalization Top 3 Top 3 Top 3

Total Asset Top 3 Top 3 Top 3

ROA Top 3 Top 2 Top 2

ROE Top 3 Top 2 Top 2

CSI Independent Surveyor Top 1 Top 1 Top 1

EPE Top 3 Top 2 Top 2

Dalam dokumen Melangkah Lebih Cepat Menangkan Persaingan (Halaman 170-173)