• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL KELURAHAN KARAS

2.3. Sarana dan Prasarana

2.3.3. Sarana Ekonomi

Sarana dan prasarana ekonomi di Kelurahan Karas sangat terbatas, untuk tidak mengatakan tidak ada. Tidak terdapat pasar tempat masyarakat berbelanja berbagai barang keperluan sehari-hari. Sarana perekonomian yang ada untuk melayani kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang tersebut adalah kios kelontong yang kebanyakan berskala kecil. Kios-kios tersebut dimiliki oleh beberapa

10 Penyakit tampak dimaksudkan untuk gejala-gejala penyakit yang dapat diobati secara medis, bukan penyakit yang disebabkan oleh tindakan-tindakan magis.

penduduk dan sebagian di antaranya juga menjual makanan. Selain kios-kios yang bersifat permanen juga terdapat pedagang keliling yang menjual bahan makanan mentah seperti sayuran, tempe dan tahu. Pedagang-pedagang keliling membeli barang dagangannya di Tanjung Pinang dan setelah sampai di Karas mereka menggunakan gerobak atau sepeda motor untuk menjualnya ke rumah-rumah penduduk.

Menurut seorang narasumber yang diwawancarai dalam penelitian ini, masyarakat telah mengusulkan untuk berdirinya pasar di Kelurahan Karas. Proposal untuk itu sudah diajukan kepada Pemerintah Kota Batam dan sudah ditanggapi dengan rencana untuk membuat pasar tradisional. Namun sesungguhnya, kegiatan pasar dapat saja dilakukan tanpa adanya pasar yang dibangun secara khusus. Narasumber yang sama mengatakan bahwa masyarakat Kelurahan Karas sebenarnya kurang berminat untuk berjualan, sebagaimana dikemukakannya berikut ini,

… padahal kalau memang kemauan kuat seperti saudara-saudara kita orang Jawa ya, orang Batak, Padang, itu mereka pakai meja kayak gini jadi, di jalan itu bisa jual, tapi itu tadi, mungkin semangat untuk berjualan berdagang itu masih minim, …

Tempat pelelangan ikan (TPI) yang sangat diperlukan oleh nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka tidak terdapat di Kelurahan Karas. Untuk memasarkan hasil tangkapan mereka, nelayan menjualnya kepada penampung/pedagang pengumpul yang tinggal di Kelurahan Karas. Selain kepada pedagang tersebut, sebagian nelayan lainnya juga menjual hasil tangkapan kepada tauke/pedagang ikan di Tanjung Pinang. Harga jual komoditas hasil tangkapan nelayan ditentukan oleh penampung/pedagang. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi nelayan karena mereka tidak dapat memilih harga penjualan yang lebih tinggi.

Sarana ekonomi yang terdapat di Kelurahan Karas berupa tiga unit koperasi, yang semuanya bergerak di bidang bantuan modal usaha bagi petani dan nelayan. Modal untuk kegiatan koperasi tersebut

berasal dari pemerintah, melalui sektor koperasi dan UKM (Usaha Kecil Mandiri) yang pemanfaatannya menggunakan prinsip dana bergulir. Namun, kegiatan koperasi-koperasi tersebut tidak dapat berlanjut karena sebagian dana yang dipinjamkan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya tidak dikembalikan kepada koperasi. Sebagai contoh, Koperasi Taman Laut memperoleh dana dari Dinas Koperasi dan UKM sebanyak dua kali dengan jumlah masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,-. Dana yang turun pertama kali dapat dikelola dan dipinjamkan secara bergulir kepada anggota koperasi, akan tetapi dana tahap kedua tidak dikembalikan oleh anggota yang meminjamnya. Akibatnya, anggota lain yang belum memperoleh pinjaman dana tidak dapat memanfaatkan dana tersebut. Keadaan yang sama juga terjadi pada Koperasi Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), yang mendapat tiga kali bantuan dana, masing-masing berjumlah Rp. 3.000.000,-, Rp. 5.000.000,-, dan Rp. 15.000.000,-. Semua dana tersebut tidak dikembalikan, sehingga pembagiannya kepada anggota koperasi seperti uang hibah (wawancara dengan narasumber, seorang pegawai pemerintah di Kelurahan Karas). Kondisi ini terjadi karena tidak ada sanksi yang tegas kepada mereka yang tidak mengembalikan dana yang dipinjam kepada koperasi.

Tauke/pedagang penampung merupakan sarana ekonomi yang memberikan sumbangan berarti terhadap perekonomian penduduk Kelurahan Karas, khususnya yang bekerja sebagai nelayan. Mereka merupakan salah satu mata rantai pemasaran hasil produksi nelayan di tingkat kelurahan karena tidak adanya tempat pelelangan ikan. Masing-masing tauke biasanya mempunyai sekitar 15-20 orang anak buah, yaitu nelayan yang secara tetap menjual hasil melaut kepada tauke.

Secara keseluruhan terdapat sebelas orang penampung di kelurahan ini, semuanya merupakan warga pribumi dan beberapa di antaranya adalah pendatang beretnis Jawa. Dari semua pedagang pengumpul tersebut, hanya lima orang yang aktif menjalankan usahanya (wawancara dengan narasumber, pegawai di Kelurahan Karas). Kelimanya mempunyai “pelabuhan pendaratan” kapal (masyarakat

setempat menyebutnya ‘pelantar’) sendiri dan mereka membawa hasil tangkapan yang dibeli dari nelayan setiap dua hari sekali ke Tanjung Pinang untuk dijual kepada pedagang (besar) di sana. Sementara itu, enam penampung yang lain tidak memiliki ‘pelantar’ dan juga tidak melakukan usahanya secara rutin.

Sebagaimana halnya pedagang pengumpul di berbagai daerah nelayan lainnya, tauke/pedagang pengumpul di Kelurahan Karas ini juga memberikan piutang kepada anak buah mereka, baik untuk modal melaut maupun untuk kebutuhan rumah tangga. Namun, dibandingkan dengan tauke/pedagang pengumpul di daerah di sekitarnya, misalnya Kelurahan Pulau Abang yang juga terletak di Kecamatan Galang, jumlah pinjaman yang diberikan jauh lebih sedikit. Jika tauke/pengumpul di Kelurahan Pulau Abang mampu memberikan pinjaman berupa perahu beserta mesinnya (Romdiati dan Noveria, 2007), tauke di Kelurahan Karas paling banyak hanya meminjamkan uang sekitar Rp. 1.000.000,- kepada anak buahnya (wawancara dengan narasumber yang bekerja sebagai nelayan). Sarana ekonomi lainnya yang terdapat di Kelurahan Karas adalah usaha bank keliling yang dilakukan oleh tiga sampai empat orang beretnis Batak yang berasal dari Tanjung Pinang. “Lembaga” ini menjalankan usaha melalui pemberian kredit kepada masyarakat dengan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang dikenakan sebesar 20 persen dari pinjaman pokok dengan waktu peminjaman selama empat puluh hari. Kondisi ini sangat memberatkan masyarakat, sehingga ada upaya dari pihak pemerintah kelurahan untuk menghentikan praktik bank keliling tersebut. Namun, usaha yang dilakukan tidak sepenuhnya berhasil karena kenyataannya masih ada masyarakat yang meminjam uang dari bank keliling.