Pendahuluan
Pengobatan dengan cara pengeluaran darah (bloodletting) sangatlah tua usianya. Para arkeolog memperkirakan berkembang pada Jaman Batu, setelah baru-baru ini ditemukan alat terapi pada
masa itu (Glasscheib, 1964). Catatan mengenai veneseksi1
ditemukan dalam koleksi Hippocrates pada abad ke-5 SM. Teknik dan peralatan veneseksi dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Titik-titik pengeluaran darah Hans von Gersdorff (ahli bedah), Field book of wound medicine, 1517
Sumber : Wikipedia
Reproduksi alat veneseksi dan kauterisasi2
pada jaman Eropa abad pertengahan, penemuan arkeolog pada masyarakat biarawan di Saint Eutizio, Italia. Legenda: A. Besi Kauter, 35 cm; B.Pisau dan mangkuk,
28 cm; C. Sendok medis, 14 cm; D. Pisau dengan mata pisau tipis untuk mengeluarkan
anak panah, 20 cm.Sumber: Medieval Design.
1
Pengeluaran darah dengan cara penyayatan vena
2
Terapi pengeluaran darah (Bloodletting), 1860, salah satu dari hanya tiga foto yang ada mengenai
prosedur tersebut.
Sumber: Wikipedia
Veneseksi selama Perang Sipil
Sumber : Fullergeorgefeiis
Gambar 2.1 Teknik dan peralatan untuk pengeluaran darah
Dokter pada masa itu mengeluarkan darah untuk mengurangi
kelebihan humor3 dalam upaya menjaga kesehatan. Dalam
sistem Yunani, Hippocrates, Galen, Avicenna, Razzes, dll., para dokter terkenal di abad pertengahan, menganggap bahwa plethora (kelebihan) humor adalah tidak sehat (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Galen di antara Hippocrates dan Ibnu
Sina, para dokter terkenal di abad pertengahan
Sumber : Ambassadors
3
Cairan atau setengah cair dalam tubuh berupa darah (blood), dahak (phlegm), empedu kuning (yellow bile) dan empedu hitam (black bile)
Terapi lintah termasuk teknik pengeluaran darah yang ditulis pertama kali dalam bahasa Sansekerta kuno, India (Munshi, dkk, 2008). Dalam mitologi Hindu, Dhavantari, tabib yang menyebarkan rahasia pengobatan tradisional India pada dunia, digambarkan dengan salah satu tangan memegang nektar dan tangan lain memegang lintah. Penjelasan lebih luas terdapat dalam tulisan tabib Sushruta (100-600 SM). Pada masa itu, lintah membantu mengeluarkan kelebihan darah tanpa rasa sakit.
Sekitar 5000 tahun yang lalu, ahli pengobatan di Mesir percaya, membiarkan lintah menghisap darah pasien dapat menyembuhkan demam hingga perut kembung. Dokumentasi lain ditemukan di Mesir kuno, ketika dimulainya suatu peradaban. Gambar lintah terlukis di dinding makam Dinasti Faraoh (1567-1308 SM).
Terapi Lintah pada Masa Eropa Kuno
Terapi lintah pada masa Yunani kuno banyak dipengaruhi India, misalnya dalam puisi berjudul Alexipharmacia, gubahan Nicandros dari Colophon (200-130 SM). Dalam pengobatan tradisional Cina, Traditional Chinese Medicine (TCM), terapi ini juga dikenal walaupun dianggap kurang begitu penting.
Bangsa Roma juga mengenal terapi ini, bahkan memberi nama Hirudo, walaupun secara etimologis lintah berbeda dengan “Hirudo” dalam bahasa Latin. Nama Hirudo medicinalis diberikan oleh Linnaeus (Carl von Linné) pada tahun 1758, seorang ahli botani, dokter dan ahli hewan Swedia, peletak dasar sistematik dan terminologi biologi modern (Gambar 2.3).
Gambar 2.3.
Carl Linnaeus (1708-1778) “Bapak Taksonomi”, yang memberi nama
Hirudo medicinalis
Sumber : Wikipedia
Plinius menggunakan lintah untuk mengobati nyeri rematik, gout4
dan semua tipe demam. Plinius menyebutnya sanguisuga; sanguis berarti “darah”, sugo bermakna “saya hisap”.
Themisson dari Laodicea (123-43 SM), murid Aesculipius (Asciapiades) dari Siria, pada permulaan era Nasrani menganggap ruh setan adalah penyebab terjadinya penyakit dan pengeluaran darah dibutuhkan agar dapat pulih kembali (Major, 1954).
Secara ilmiah, penyebab penyakit ada dua, yaitu “konstriksi” (penyempitan) dan “dilasi” (pelebaran). Karena itu, indikasi utama adalah penyakit kepala kronis, demam secara umum, penyakit jiwa, epilepsi, gangguan telinga, penyakit hati, limpa, usus, nyeri
4
pinggul (ischialgia), radang sendi (arthritis) dan gout. Sedangkan indikasi tambahan adalah penyakit umum dengan gejala pengerasan, penebalan, pengkakuan, penegangan, pembengkakan, nyeri dan kram; semua itu dikenal dengan “status strictus”.
Para pendukung teori pneumatik5 menganggap terapi lintah
berguna untuk penyembuhan “putrefaksi”6 (pembusukan yang
disebabkan oleh bakteri atau jamur) dan “plethora” (kelebihan) darah. Keduanya bertujuan menggantikan “darah buruk” dengan “darah baik”. Walaupun ada perbedaan antara plethora dan putrefaksi, keduanya dapat diatasi melalui pengeluaran darah, dengan cara terapi lintah atau bekam.
Menurut konsep pathologi humoral, sistem organ tidak berisiko mengalami kerusakan selama cairan tubuh tetap bergerak dan dapat dikeluarkan secara alami. Namun, jika salah satu bagian tubuh terkena penyakit dan menjadi kronis, maka sebaiknya aliran humor diperbaiki. Dokter pada masa lampau menggunakan lintah untuk mengatasi demam dan peradangan lokal. Sedangkan di medan perang, dokter militer Roma menggunakannya untuk menangani luka perang.
Alexander de Tralles (525-605 M) menggunakan lintah untuk mengobati kehilangan pendengaran. Selama jaman kekuasaan Roma, Galen (129-189 M), dokter dari Marcus Aurelius, mengembangkan lebih jauh konsep pathologi humoral. Konsep ini dibangun berdasarkan teori Hippocrates (460-370 SM), mengenai hukum keseimbangan, dimana semua sistem tubuh adalah seimbang. Penyakit terjadi karena adanya ketidakseimbangan.
5
Berhubungan dengan penggunaan udara atau gas yang sejenis
6
Dekomposisi enzimatik, khususnya terhadap protein, dengan terbentuknya senyawa-senyawa yang berbau busuk, seperti hidrogen sulfida, amoniak, merkaptan
Galen berpikir pentingnya memelihara keseimbangan keempat humor, yaitu darah (blood), dahak (phlegm), empedu kuning (yellow bile) dan empedu hitam (black bile). Setiap humor berhubungan dengan karakteristik khusus kepribadian seseorang yaitu periang (sanguine), dingin (phlegmatic), pemarah (choleric) dan pemurung (melancholic). Galen mengklasifikasikan lintah sebagai bagian dari sistem elemen yaitu api, tanah, udara dan air yang harus selalu seimbang dengan penyaluran kelebihan zat dalam tubuh. Lintah digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit kulit dan jiwa di antaranya penyakit “melankolis” yang berkaitan dengan empedu hitam. Ilmu dokter Salernitan ini berangsur-angsur menyebar dari Italia ke seluruh Eropa.
Pada abad pertengahan, profesi ahli bedah dirangkap tukang cukur (barber surgeon) (Gambar 2.4.). Pada saat menerapi, mereka menyuruh pasien menggenggam sebatang tongkat kayu, agar vena di tangannya dapat terlihat. Beberapa mangkuk disediakan untuk menampung lintah dan darah, juga pembalut dari kain linen. Pembalut linen yang telah ternoda darah, membelit tongkat tukang cukur yang berkibar tertiup angin. Itu sejarahnya mengapa di luar beberapa salon saat ini terdapat tongkat berstrip merah putih. Dulu di atas tongkat ada sebuah mangkuk berisi lintah, yang sekarang berubah menjadi bola di atas tongkat (Gambar 2.4).
Ahli bedah merangkap tukang cukur, sedang membedah bisul atau mencukur rambut di leher pasien, ukiran karya Lucas van Leyden, 1524
Tongkat tukang cukur berstrip merah putih dengan bola di atasnya
Sumber : Wikipedia
Peralatan yang digunakan untuk a) pengeluaran dan pembuangan seluruh jaringan atau organ (ekstirpasi) b) pengeluaran darah c) khitan (sirkumsisi) Sumber: Bravo,
Julián. La međicina Espaṅola y la medicina indigena en Marruecos. Las
Kábilas de Quebdana y Ulad Setut. Orense, La Industrial. 1932 Gambar 2.4. Ahli bedah merangkap tukang cukur
Lintah untuk pengobatan disimpan dalam bejana khusus berisi air yang berlubang di atasnya. Awalnya bejana ini terbuat dari kaca, lalu dibuat juga dari keramik yang didesain sangat indah untuk dijadikan koleksi (Gambar 2.5). Pada saat menerima panggilan ke rumah pasien, dokter sering membawa bejana kecil yang terbuat dari gelas atau timah yang dapat berisi selusin lintah atau lebih.
Sumber : Louis E. Kelner, Dan Beckemeyer, Erdward Kwong
Gambar 2.5.Bejana lintah terbuat dari kaca atau keramik
Pada dasarnya terapi lintah lebih dapat diterima oleh pasien
dibandingkan metode/alat lain, misalnya fleam7 atau scarifier8,
karena gigitannya dianggap tidak menyakitkan (Gambar 2.6).
Pisau bedah terbuat dari besi (Fleam) jaman dahulu
Sumber : Wikipedia
Tiga jenis pisau bedah (Fleam) Sumber : Wikipedia Scarifier, sekitar 1840-1880, Sumbangan : Mrs. D. O.Bovenmyer. Gambar 2.6 Berbagai jenis pisau bedah untuk mengeluaran darah
7
Pisau yang dikokang dengan pegas seperti lancet (pisau bedah yang berujung kecil dan bermata dua).
8
Alat yang mempunyai satu atau lebih titik tajam untuk melakukan skarifikasi, yaitu membuat banyak goresan atau tusukan kecil dan dangkal pada kulit seperti ketika memasukkan vaksin cacar
Pada masa itu terapi lintah dilakukan untuk mengobati penyakit pada bagian tubuh yang tidak dapat dibekam, seperti tumor di kanal dubur (hemorrhoid), jatuh/tenggelamnya dubur (prolapses rectum) dan radang vagina (inflamed vulva). Untuk pengobatan pada organ berlubang, sebaiknya lintah diperhatikan agar tidak merayap ke dalam lubang, karena dapat berakibat fatal.
Terapi Lintah pada Abad Pertengahan dan Modern
Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang sangat terkenal pada tahun 978-1037 M, percaya lintah dapat mengeluarkan darah dari bagian tubuh yang lebih dalam dibandingkan dengan bekam basah (wet cupping). Dalam bukunya “The Canon of Medicine” (Alqanoon-fi-Tibb) (Gambar 2.7), Ibnu Sina menulis langkah-langkah bagaimana lintah dapat digunakan untuk pengobatan (Grunner, 1930).
Gambar 2.7. Kitab 'Canon of Medicine'
dari Ibnu Sina
Sumber : The Aga Khan Trust for Culture
Terapi lintah juga ditemukan dalam Kitabul Umda Fi Jarahat yang ditulis oleh Ibnu Maseehi (1233-1286 M). Kitab ini membahas karakteristik lintah yang dapat digunakan untuk pengobatan, yaitu lintah yang berwarna seperti dedak, merah agak kehitaman, seperti hati, kuning, atau bertubuh kurus mirip ekor tikus.
Pada akhir abad Galenisme, dokter menggunakan lintah terutama untuk mengurangi cairan merugikan langsung dari bagian tubuh yang terkena penyakit. Mereka percaya terapi ini akan menaikkan “pembakaran internal” cairan tubuh yang berasal dari penyakit secara alami. Selain itu, terapi lintah juga dijadikan sebagai pengganti penyayatan vena (veneseksi). Abraham Zacuto (1575-1642), pendukung utama Galen, mengembangkan kisaran indikasi dan dasar empiris selama beberapa tahun berikutnya.
Pada abad ke-17, konsep pathologi humoral Galen harus berkompetisi dengan munculnya pergerakan medis baru yang memiliki cara pengeluaran darah yang berbeda. Pendukung kimia kedokteran (iatrochemistry) cenderung menolak semua bentuk pengeluaran darah. Mereka percaya hal itu dapat memperpendek usia, dan menurut kitab suci, darah adalah tempat jiwa dan sumber
energi kehidupan. Mereka percaya penyakit disebabkan archeus9,
yang dipengaruhi ideo morbus, sehingga pengeluaran darah tidak akan menyembuhkan pikiran tak wajar, penyebab dari segala macam penyakit. Banyak ahli kimia kedokteran kemudian menerapkan teknik berbeda dengan pembatasan yang lebih lunak. Sementara itu, opini pendukung fisika kedokteran (iatrophysic) sangat berbeda. Mereka percaya terapi ini mutlak diperlukan.
Berdasarkan hukum mekanik, pengeluaran darah akan
mempengaruhi tekanan, daya tahan, dan kecepatan mengalir darah, yang menghasilkan pendistribusian kembali darah secara sementara dalam tubuh, yang akhirnya kembali mempengaruhi pembuluh darah, jantung dan komposisi darah.
9
Kombinasi teori mekanik kedokteran (iatromechanic) dan konsep pathologi humor dari Galen sangat menonjol pada abad ke-18. Berdasarkan paradigma ini, darah adalah campuran labil dari berbagai substansi yang berbeda dan cenderung membusuk, karena itu penting dijaga agar terus mengalir, sehingga terhindar dari terjadinya pengentalan (thickening).
Plethora, penyebab utama penyakit dihubungkan dengan ketidakseimbangan input makanan pada darah. Oleh karena itu, mereka percaya, keseimbangan membutuhkan puasa dan latihan fisik secara teliti dan intensif agar hasilnya memadai. Karena ini sulit dilakukan, mereka lalu mencari tiruan alami yang tidak menyebabkan berkurangnya energi (asthenia), komplikasi yang sering terjadi pada veneseksi dan bekam basah (wet cupping). Mereka juga menganggap veneseksi tidak efektif untuk individu periang (plethora) atau bertubuh gemuk, karena darah mereka terakumulasi pada pembuluh kapiler. Jika kelebihan darah ada pada pembuluh utama, seperti pada pasien pemarah, bekam saja tidak cukup dan terapi lintah lebih efektif. Keuntungan khusus dari terapi lintah adalah dapat digunakan pada bagian tubuh yang tidak mungkin untuk dibekam, seperti dahi, leher/kerongkongan, belakang telinga, pelipis dan anus. Terapi lintah dianggap sebagai pengobatan handal untuk pembengkakan, kram perut, nyeri umum, rematik, radang sendi, nyeri pinggul (ischialgia), radang buah pinggang (nephritis), asam urat dan varises (varicose vein). F. Hoffmann (1660-1742) pendukung mekanik kedokteran (iatromechanic), menggunakan lintah untuk mengobati penyakit akut dan pencegahan penyakit. Berdasarkan konsep plethora, dokter menyimpulkan terapi lintah efektif untuk penyakit kejiwaan, depresi, kejang, radang selaput dada, asma, dan kulit.
Terapi lintah menjadi populer pada abad ke-18-19 M, dan mencapai puncaknya tahun 1830 di Perancis ketika dipraktekkan oleh F.J.V.Broussais, dokter yang terkenal paling haus darah dalam sejarah, juga kepala Rumah Sakit Val de Grâce di Paris dan ahli bedah di Grande Armée Napoleon, (Castiglioni, 1948). Pelopor pengobatan psikologi ini percaya bahwa semua penyakit dapat ditelusuri menuju ke penyebab utamanya yaitu peradangan. Karena itu kelebihan akumulasi darah dan pengurangan rasa nyeri membutuhkan banyak terapi lintah dan rasa lapar.
François-Joseph-Victor Broussais (1772-1838)
Sumber : Whitaker, 2004
“Berikan 90 lintah lagi” Sebuah karikatur abad-ke 19 Sumber : Höllander, E. Die Karikatur
und Satire in der Medizin.2nd
ed.Stutgart:1921.
Sumber : Michalsen, 2007
Gambar 2.8 François-Joseph-Victor Broussais dan karikaturnya
Karena lintah mengeluarkan darah dari pembuluh kapiler tempat terjadinya peradangan, maka dianggap sebagai penyembuh
universal, khususnya untuk penyakit perut. Broussais
menggabungkan teori lama dengan konsep baru perangsangan (eksitasi) dan teori depresi dari Brown (1735-1788), yang percaya bahwa penyebab semua penyakit adalah kelebihan (sthenia) atau kekurangan (asthenia) stimulasi dan perangsangan. Pengeluaran
darah penting jika energi vital atau substansi darah berlebihan dan dapat diatasi dengan pengaturan makanan (diet).
Kelebihan darah akan menyebabkan demam, radang,
penyumbatan, kejang dan rasa nyeri, yang mengurangi stimulasi (asthenia) secara tidak langsung dan menghambat aliran darah pada penyakit ayan (apoplexy), asma dan kejiwaan. Sebenarnya setiap penyakit dapat dianggap indikasi, tergantung paradigma medis yang diterapkan.
Banyak sekali indikasi untuk terapi lintah, di antaranya radang pangkal tenggorokan akut (laringitis), radang ginjal (nephritis), nyeri ginjal (nephralgia), radang rahim (ovaritis) subakut, perdarahan hidung (epistaxis), pembengkakan testis, gangguan mata (opthalmia) dan akumulasi kelebihan darah di otak (Adams, 1988). Pada radang lambung akut (gastritis), direkomendasikan 20-40 lintah. Terapi lintah juga dapat diterapkan pada batang testis ketika terjadi radang testis (epididymitis), dan di pelipis saat terserang radang mata (ocular inflammation).
Dokter Perancis ini biasanya meresepkan lintah pada setiap pasien rawat inap. Akibatnya praktek menjadi berlebihan. Beberapa rekan seangkatan menyebutnya “vampirisme”. Lebih dari 100 lintah digunakan untuk satu sesi. Akibatnya, dalam setahun beberapa juta lintah digunakan di Perancis, Inggris dan Jerman.
Broussaisisme, sebutan terapi lintah pada saat itu, terilhami desain
“robes à la Broussais”. Lintah menjadi agen ekselen, bahkan
inspirasi mode. Gaun para wanita berasesoris bordiran lintah. Bahkan di sebuah perkumpulan wanita, lintah dijadikan dekorasi pakaian. Air liur lintah digunakan sebagai kosmetik untuk memperbaiki kulit wajah yang pucat.
Perancis segera kehabisan suplai lintah. Sejak habitat alaminya secara kontinu berkurang karena meningkatnya aktivitas pertanian dan industri, pemerintah terpaksa harus mengimpor lintah. Tahun 1828, lintah menjadi artikel terpenting dalam Materia Medica. Sekitar 100 juta lintah digunakan setiap tahunnya, hanya di Perancis. Akibatnya, harga lintah naik secara drastis. Banyak dokter lalu menggunakan ulang lintah dan berusaha mengembang-biakkannya di rumah sakit yang didanai oleh Pemerintah. Di medan perang, dokter militer merasa kuatir kekurangan lintah akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menangani luka.
Di Rusia, Mudrov dan Diadkovsky melaporkan phlebotomy (penyayatan vena) dengan lintah, ekselen dalam menangani peradangan otak, hati dan ginjal, rematik, tuberkolosis, epilepsi, penyakit histeris dan seksual. Kontraindikasi terapi tidak disebutkan, tampaknya usia dan status kesehatan pasien tidak dipedulikan.
Terapi lintah sangat populer, hingga spesies di Eropa terancam. Pasien diresepkan hingga 80 lintah per terapi. Rusia mengkonsumsi 30 juta lintah dalam setahun. Tahun 1833, dokter Perancis mengimpor hampir 42 juta lintah dan pemakaian setahun hampir mendekati 100 juta lintah. Permintaan yang semakin meningkat menjadikan harga naik. Pemerintah Perancis berinisiatif untuk memberikan tunjangan penghargaan pada perusahaan yang dapat meningkatkan produksi lintah, dengan pengembangan stok baru dari rawa, sungai dan kolam. Peternakan lintah menjadi cara populer untuk menghasilkan uang. Mereka akan berusaha pergi ke kolam untuk mengambil lintah, menjualnya, dan tidak mau beralih dari pekerjaan itu.
Awal abad ke-19, terapi lintah menonjol dalam dunia pengobatan. Antara tahun 1829-1836 M, sekitar 5-6 juta lintah digunakan setiap tahun. Karena permintaan sangat tinggi, dokter Inggris terpaksa mengimpor lintah tahun 1810. Ini mengakibatkan kendala finansial dalam pengembangan terapi. “Booming” terapi ini dimulai di Perancis, dan segera menyebar ke seluruh Eropa. Terapi ini menggantikan plebotomi (penyayatan vena) pada hampir semua indikasi. Seni terapi lintah segera menjadi profesi. Lintah berhubungan sangat erat dengan dokter dan dokter pada masa itu disebut “lintah medis”, karena menggunakan jutaan lintah untuk menerapi pasien. Kata “lintah” (leech) diturunkan dari “lӕce” yang dalam bahasa Anglo-Saxon berarti dokter. Istilah lintah medis digunakan untuk menggambarkan dokter dari Inggris.
Di Jerman, sekitar 30 juta lintah per tahun dikirim ke Amerika Serikat, dan pemerintah Jerman kuatir terhadap kemampuan negaranya dalam memenuhi kebutuhan domestik. Lintah Eropa (Hirudo medicinalis) lebih disukai dibandingkan dengan lintah Amerika (Macrobdella decora), karena lintah Amerika dianggap tidak menyayat secara dalam dan besar, sehingga hanya mengeluarkan sedikit darah (Gambar 2.9).
(a) (b)
Pola warna yang berbeda dari : Lintah Eropa :
(a) Hirudo medicinalis Linnaeus 1758.
(b) Hirudo verbana Carena 1820. Lintah Amerika :
(c) Macrobdella decora Lintah Asia
(d) Hirudo menillensis
Sumber : Canadian Museum Nature
(c) (d)
Amerika mengalami kesulitan mendapatkan lintah Eropa, sehingga tahun 1835 pemerintah menawarkan hadiah sebesar $500 bagi siapa saja yang dapat membiakkan lintah Eropa di Amerika Serikat. Tahun 1970, dalam edisi “Apotik Amerika”, terdapat artikel mengenai tata tertib pencegahan kotornya air tempat memelihara lintah (Adams, 1988).
Referensi terapi lintah dari Inggris pada abad pertengahan ditulis dalam bahasa Latin oleh Aldhelm dari Malmsburh (abad 7 atau 8). Von Resenstein (1776), dalam bukunya mengenai penyakit anak, menganjurkan terapi lintah untuk penyakit gigi, radang gigi, kejang, demam berdarah, radang selaput paru-paru dan mata.
Menurut Thomas, tahun 1822, perdarahan dapat terjadi karena dua hal, bekam dan terapi lintah. Menurutnya, terapi lintah dapat digunakan pada tempat yang lembut yaitu mata, gusi, buah dada, buah pelir (biji kemaluan), dimana terapi lain tidak dapat dilakukan.
Karena sulit menerjemahkan sejarah, penyebab, indikasi penyakit, dan mendefinisikan pathologi humoral dalam bahasa pengobatan
modern secara akurat, maka dilakukan metafor10 (menganalogikan
dengan hal lain yang sejenis) seperti pada konsep pengobatan Cina (TCM) dan India yang masih berlaku hingga saat ini.
10
Terapi Lintah pada Saat Ini
Pada akhir abad ke-19, popularitas lintah hilang. Berdasarkan catatan sebuah rumah sakit di Inggris, tahun 1832 digunakan hampir 100.000 lintah, namun lima puluh tahun kemudian jumlahnya menurun hingga kurang dari 2000 lintah. Efek terapisnya tidak sesuai lagi dengan konsep modern, karena metode eksperimen ditingkatkan dan metode empiris dibatasi secara ketat. Dengan berkembangnya ilmu psikologi modern, patologi dan mikrobiologi, lintah tidak diminati dokter dan pasien lagi. Selama periode ini hanya beberapa referensi ditemukan.
Sekitar tahun 1850, lintah di Eropa tengah dimusnahkan, sehingga harus diimpor dari Asia tengah yang harganya sangat mahal. Konsep “pathologi sel” dari Virchow (1821-1902) pada pertengahan 1850an meragukan konsep penyakit sebelumnya sebagai justifikasi pengeluaran darah. Ia menemukan bakteri adalah penyebab penyakit, sehingga masyarakat ketakutan terhadap bakteri (bacteriophobia). Terapi lintah menurun secara drastis, terutama di rumah sakit. Karena disinfeksi atau sterilisasi tidak mungkin dilakukan tanpa membunuh lintah, sejak pendidikan pengobatan diadakan di rumah sakit, terapi lintah jarang diperkenalkan pada dokter, sehingga dilupakan.
Tahun 1903/04, J.B. Haycraft (1857-1922) menemukan Hirudin, anti pengentalan darah dalam air liur lintah, yang diambil dari bahasa Latin Hirudo. Haycraft menyetujui observasi awal dari Profesor Diskonov di Rusia, yang dalam artikelnya berjudul “Changes of human blood in the leech” (perubahan darah manusia pada lintah) tahun 1809 membuktikan kurangnya pengentalan darah dan pemisahan (disolusi) sel darah merah dalam pembuluh usus lintah membuktikan adanya agen yang mencairkannya di
sana. Pada tahun 1955, Markwardt mengisolasi dan secara akurat mengkarakterisasi Hirudin dari kelenjar tenggorokan lintah dan tahun 1986 anti pengentalan darah ini pertama kali diproduksi secara rekayasa genetik.
Efek khusus terapi lintah dapat didefinisikan sebagai proses kimia yang sesuai dengan prinsip rasional dari ilmu dan pengobatan modern. Berita ini menyebar secara perlahan, pertama di antara komunitas peneliti. Ekspektasi utama peneliti adalah zat anti pembekuan ini mungkin akan menghasilkan keuntungan potensial dalam transfusi darah. Ekstraksi hirudin mungkin berguna dalam
mengatasi pembekuan darah (thrombosis11), penyumbatan arteri
(embolism12) dan kematian sel hidup karena gangguan pada
pembuluh darah (infarction).
Biaya komponen yang sangat tinggi menghalangi proses penyebaran ekstraksi hirudin. Hampir 25 tahun setelah penemuannya, baru tercatat penerapannya. Namun, meletusnya Perang Dunia I dan turunnya perdagangan lintah, memaksa terapi ini sekali lagi dilupakan.
11
Pembekuan darah yang bersifat stasioner di sepanjang dinding pembuluh darah
12
Penyumbatan arteri secara mendadak oleh bekuan darah atau benda asing yang terbawa oleh aliran darah ke tempat tersangkutnya
Terapi lintah akhir-akhir ini kembali digunakan dalam bedah rahang atas dan muka (maxilofascial) dan bedah mikro lainnya untuk membantu menyelamatkan vena dari penyumbatan, termasuk
pada transplantasi kulit secara bebas (free flap13) dan bertangkai
(pedicled flap14), amputasi jari tangan atau kaki, telinga dan ujung
hidung. Berdasarkan evaluasi terbukti jaringan kulit yang
mengalami penyumbatan vena (venous congestion)15 dapat segera
diperbaiki pada aplikasi awal dari terapi ini.
Terapi lintah kembali mengalami kebangkitan pada tahun 1920an, ketika B. Aschner (1883-1960), anggota kelompok dokter
naturopatik16 menjadi pendukung utamanya. Aschner menguraikan
teknik pengeluaran darah secara rinci dari sudut pandang baru berdasarkan konsep pathologi humoral. Daftar indikasi medis