• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Spesifikasi Produk yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan menghasilkan sproduk yang memiliki spesifikasi sebagai berikut.

1. Produk yang dihasilkan berupa game siap pakai.

2. Produk yang dihasilkan akan dikemas dalam bentuk CD.

3. Produk ini dapat digunakan pada perangkat komputer dan laptop dengan spesifikasi minimum sebagai berikut.

a. Sistem operasi minimal Windows XP Enterprise 64-bit b. RAM minimal 64 MB

c. CD-ROM 35X

d. Memiliki hard disk 500GB.

e. Processor Pentium III 500 MHz f. VGA card 16 MB

g. Memiliki DVD RW

h. Terinstal Flash Player dan GOM Player 4. Produk ini dilengkapi dengan buku petunjuk

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Teknologi dan Tahap Perkembangan Siswa

Di era modern ini, penggunaan teknologi sudah menjadi bagian dari gaya hidup khususnya dalam dunia akademik (pendidikan). Dunia pendidikan dituntut secara global untuk senantiasa menyesuaikan perkembangan teknologi dengan usaha dalam meningkatkan mutu pendidikan, terutama dalam proses pembelajaran. Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran dalam dunia pendidikan dari pertemuan tatap muka yang konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka. Pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes (fleksibel), terbuka dan dapat diakses oleh siapapun yang memerlukannya.

Pendidikan masa mendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan informasi yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kolaborasi (Budiman, 2017).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang disediakan dan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman seperti halnya gadget. Guru harus

mampu menggunakan teknologi seperti komputer, laptop, maupun smartphone yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan dalam membuat media pembelajaran. Guru harus dapat memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran supaya dapat meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan pembelajaran (Darimi, 2017).

Perkembangan teknologi telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan dalam hal proses pembelajaran. Teknologi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pendidikan.

Resnick (2002) menjelaskan bahwa ada tiga hal yang sangat penting dalam upaya memperbaharui pendidikan dengan menggunakan teknologi yaitu (1) bagaimana kita belajar (how people learn), (2) apa yang kita pelajari (what people learn), serta (3) kapan dan di mana kita belajar (when and where people learn). Ketiga pertanyaan tersebut merubah paradigma bahwa pembelajaran tidak hanya bergantung pada guru melainkan lebih berpusat kepada siswa (Sudibyo, 2011).

Penggunaan teknologi dengan menggunakan komputer dapat dimanfaatkan sebagai alat pendidikan dalam pembelajaran. Komputer telah dikembangkan dan dibuktikan manfaatnya untuk membantu guru dalam mengajar dan membantu siswa dalam belajar (Nasution, 1999).

Papert (1980) menjelaskan bahwa komputer membantu siswa untuk memotivasi dirinya sendiri agar tidak bosan dalam mengikuti proses pembelajaran. Komputer erat kaitannya dengan konsep keterampilan

hidup, bahwa setiap anak harus memiliki keterampilan nyata untuk bekal dalam kehidupannya (Nursamsu, 2017).

Komputer merupakan teknologi yang dapat menciptakan komunikasi antara pembelajar dan objek yang mendukung proses pembelajaran. Komputer digunakan sebagai alat bantu pendidikan (Papert, 1980). Komputer memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan anak, sehingga terjadi komunikasi antara anak dengan komputer.

Komputer juga merupakan alat bantu yang bisa mendorong anak untuk belajar abstrak melalui konsep pemrograman, sekaligus melakukan proses konkret, dengan melihat langsung hasil pemrograman di layar komputer. Papert juga menjelaskan bahwa teknologi yang dipakai akan mempengaruhi cara berpikir anak, sehingga teknologi harus dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung proses belajar anak.

Selain komputer yang dijadikan sebagai alat bantu pendidikan, Papert juga mengembangkan teori pendekatan berdasarkan konstruksionisme. Papert berpandangan bahwa pembelajaran secara konstruksionisme boleh terjadi dan menunjukkan hasil secara lebih baik jika sekiranya siswa membangun atau menghasilkan sebuah produk berdasarkan pengetahuan yang sedang mereka pelajari (Syukri, 2006).

Siswa mampu memahami dan menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Siswa juga dapat menemukan ide-ide baru dengan berbagai macam gagasan (Hamdani, 2011).

Pada dasarnya, teori pendekatan konstruksionisme milik Papert didasarkan pada teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Piaget. Piaget (dalam Agusrida, 2018) membagi tahap perkembangan kognitif anak menjadi 4 tahap sebagai berikut.

a. Tahap Sensorimotor

Tahap ini dimulai dari kelahiran sampai usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensoris (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan motorik fisik. Pada permulaan tahap ini, tingkah laku bayi lebih banyak bersifat refleks dan spontan. Pada akhir tahap ini, ketika anak berusia 2 tahun, ia telah memiliki pola-pola sensorimotor yang kompleks dan mulai beroperasi dengan simbol-simbol primitif.

b. Tahap Pra operasi

Tahap ini dimulai ketika anak berusia 2 tahun hingga 7 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Anak-anak menjadi lebih sosial dan menggunakan bahasa serta tanda untuk menggambarkan suatu konsep. Secara jelas penggunaan bahasa pada masa ini menggambarkan cara berpikir simbolik. Selain dicirikan dengan berpikir simbolik, tahap ini juga dicirikan dengan pemikiran intuitif. Pemikiran simbolis adalah pemikiran dengan menggunakan simbol atau tanda yang berkembang sewaktu anak

mulai suka menirukan sesuatu. Keaktifan anak menirukan orang tuanya akan memperlancar pemikiran simbolisnya. Kemampuan seorang anak menirukan berbagai hal yang dialami dalam hidupnya akan membantu pembentukan pengetahuan simbolisnya. Dengan adanya penggunaan simbol, anak dapat mengungkapkan sesuatu hal yang terjadi dan dapat membicarakan bermacam-macam benda dalam waktu bersamaan. Pemikiran intuitif adalah persepsi langsung akan dunia luar tetapi tanpa dinalar terlebih dahulu, sedangkan intuisi merupakan pemikiran imaginer atau secara langsung tanpa dipikir terlebih dahulu. Pemikiran intuitif memiliki kelemahan yaitu anak hanya dapat melihat satu arah saja, sehingga anak belum dapat melihat pluralitas suatu gagasan. Apabila beberapa gagasan digabungkan, pemikiran anak menjadi kacau.

Pada masa ini, anak belum mampu berpikir decentred dan tidak dapat melihat berbagai segi dalam satu kesatuan.

c. Tahap Operasional Konkret

Tahap ini dimulai dari umur 7 tahun hingga 11 tahun. Pada tahap ini, anak-anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret. Proses-proses penting selama tahapan operasional konkret dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Pengurutan, yaitu kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Sebagai contoh, ketika anak diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya mulai dari benda yang paling besar sampai benda yang paling kecil.

2) Klasifikasi, yaitu kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).

3) Decentering, yaitu proses di mana anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Misalnya, anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibandingkan dengan cangkir kecil yang tinggi.

4) Reversibility, yaitu proses di mana anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah dan dikembalikan ke bentuk awal. Contohnya, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.

5) Konservasi, yaitu proses di mana anak memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di dalam gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.

6) Penghilangan sifat egosentrisme, yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah).

d. Tahap Operasi Formal

Tahap ini dimulai dari umur 11 tahun sampai dewasa. Pada tahap ini, anak-anak sudah memiliki pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak serta logis. Mereka memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan pemikiran dan logika. Ada pembebasan pemikiran dari pengalaman langung menuju pemikiran yang berdasarkan proposisi dan hipotesis.

Asimilasi dan akomodasi terus berperan dalam membentuk skema yang lebih menyeluruh pada pemikiran formal. Pada pemikiran formal, unsur pokok pemikiran adalah pemikiran deduktif, induktif, dan abstraktif. Pemikiran deduktif mengambil kesimpulan dari pengalaman yang umum ke yang khusus. Pemikiran induktif

mengambil kesimpulan umum dari pengalaman-pengalaman yang khusus dan pemikiran abstraktif tidak langsung dari objek. Pada tahap perkembangan ini, anak sudah dapat memahami konsep proposisi dengan baik, menggunakan kombinasi dalam pemikirannya, dapat menggabungkan dua referensi pemikiran, dan sudah mengerti peluang dengan unsur yang menyertainya serta penyusunan kembali (Ichsan, 2007).

Teori Piaget menunjukkan bahwa perkembangan anak usia sekolah dasar (7-11 tahun) berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis yang menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran yang dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret. Anak dapat mengembangkan pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, yang harus ditekankan adalah pemikiran peserta didik bukan pemikiran pendidik. Pendidik sebaiknya memahami cara berpikir peserta didik, pengalaman peserta didik, dan bagaimana peserta didik mendekati suatu persoalan (Ichsan, 2007; Sulistyowati, 2014).

Piaget (dalam Prensky, 2001) menjelaskan bahwa siswa sekolah dasar yang berusia 6 sampai 12 tahun berada pada tahap operasional konkret. Sekarang ini, anak-anak dalam usia tersebut disebut sebagai generasi Alpha. Generasi Alpha lahir dan tumbuh dengan teknologi yang

berada di lingkungannya. Generasi Alpha adalah anak-anak dari generasi mileneal yang akan menjadi generasi yang paling banyak di antara yang pernah ada (Adam, 2017). Anak-anak generasi Alpha setiap harinya dikelilingi oleh komputer, internet, handphone dan smartphone. Anak-anak juga sudah sangat fasih dalam menggunakan sebuah smartphone.

Anak tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui letak/posisi permainan pada smartphone dan bagaimana cara memainkannya.

Halim (2017) menjelaskan beberapa ciri generasi Alpha sebagai berikut.

1) Berpendidikan tinggi

2) Hidup dibantu oleh gadget-gadget berteknologi tinggi

3) Tidak mempunyai skill atau kemahiran yang banyak dan tidak berminat untuk menambah kemahiran

4) Obsesi terhadap benda/alat/produk baru dan apabila sudah bosan akan membuangnya dan digantikan dengan yang lebih baru

5) Diramalkan kebanyakan dari mereka adalah obesitas atau mengalami berat badan yang berlebihan akibat kurang pergerakan karena hidup di dalam dunia teknologi yang semuanya berada di hujung jari tanpa perlu keluar dari rumah

Abdullah (2012) menjelaskan beberapa ciri generasi Alpha. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut.

1) Mewarisi kemewahan material dari generasi X dan Y 2) Berpendidikan tinggi

3) Hidup dibantu oleh gadget berteknologi tinggi

4) Tidak memiliki skill atau kemahiran yang banyak dan tidak berminat untuk menambah kemahiran dari yang disediakan

5) Obsesi dengan benda/alat/produk baru dan apabila sudah bosan akan membuangnya serta digantikan dengan yang lebih baru

6) Kebanyakan anak mengalami berat badan yang berlebih akibat kurang gerak karena hidup di dalam dunia teknologi yang semuanya tidak perlu keluar dari rumah

7) Kurangnya sosialisasi

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa generasi Alpha adalah generasi yang akrab dengan teknologi. Anak generasi Alpha tumbuh dan berkembang dengan teknologi di sekitar mereka. Generasi Alpha memiliki ciri-ciri yaitu hidup dibantu dengan gadget, berpendidikan tinggi dan kurangnya minat untuk menambah kemahiran.

Anak generasi Alpha sudah sangat terbiasa dengan teknologi informasi. Guru harus memiliki kemampuan dasar tentang teknologi informasi dan sikap tegas terhadap penggunaan teknologi yang digunakan oleh siswa. Guru dapat menggunakan teknologi berupa game/

permainan yang dapat mendukung proses belajar mengajar. Prensky

lebih menitikberatkan pada penggunaan game/permainan sebagai alat belajar sehingga siswa dapat belajar konsep, logika, dan semua kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan cara yang menyenangkan (Prensky, 2001).

2. Penggunaan Game dalam Pembelajaran

Guru sebagai pendidik sebaiknya dapat memanfaatkan media pembelajaran yang berbasis teknologi seperti game. Game merupakan permainan komputer yang dibuat dengan teknik dan metode animasi (Nilwan, 1995). Neumann (1953) menjelaskan bahwa game merupakan permainan yang terdiri atas sekumpulan peraturan yang membangun situasi bersaing dengan memilih strategi yang dibangun untuk memaksimalkan kemampuan sendiri atau meminimalkan kemenangan lawan. Edward (2009) mengemukakan bahwa game merupakan sebuah tools/alat yang efektif untuk mengajar karena mengandung prinsip-prinsip pembelajaran dan teknik instruksional yang efektif digunakan dalam penguatan pada level-level yang sulit.

Terdapat berbagai jenis game, seperti game tradisional, game android, game komputer, dan sebagainya. Game komputer dapat digunakan sebagai sarana belajar sambil bermain dan bersenang-senang (Prensky, 2012). Game komputer dapat digunakan sebagai media pembelajaran untuk generasi Alpha yang setiap harinya berhadapan dengan teknologi. Game komputer dapat membantu siswa mengasah

kecerdasan otak dan keterampilan otak dalam mengatasi konflik/permasalahan yang terjadi di kehidupan sehari-hari (Prabowo, 2016).

Game digital yang digunakan dalam pembelajaran biasanya disebut digital game-based learning. Digital game-based learning (DGBL) adalah aplikasi perangkat lunak yang digunakan untuk mendukung pembelajaran dengan memanfaatkan game (Brom, Sisler, Slavik, 2009). DGBL mencoba untuk menggunakan pembelajaran dan potensi motivasi yang ada pada video game untuk mengajari pengetahuan umum yang dibutuhkan oleh peserta didik. Digital game-based learning dirancang untuk memperkuat materi pelajaran dengan menggunakan permainan dan kemampuan pemain untuk menerapkannya ke dunia nyata (Schneider, 2013).

DGBL tidak hanya berisi teori tentang game yang bermacam-macam, tetapi juga bagaimana kita dapat menemukan sesuatu dalam pembelajaran dan latihan. DGBL mampu membuat proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan mengasyikkan. Prensky (2001) menjelaskan bahwa digital game-based learning dapat memainkan peran penting dalam materi pembelajaran yang membosankan akan tetapi wajib untuk dipelajari. Seperti halnya pelajaran sejarah ataupun hukum akan lebih menyenangkan apabila dilakukan dengan media pembelajaran berupa permainan (Prabowo, 2016)

Tujuan dari DGBL adalah (1) membantu anak mengembangkan dirinya sehingga anak dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan temannya, (2) membantu anak menciptakan hal baru atau memberi inovasi pada suatu permainan, (3) meningkatkan cara berpikir pada anak, (4) meningkatkan perasaan anak sehingga timbul rasa percaya diri , (5) merangsang imajinasi pada anak, melatih kemampuan bahasa pada anak, dan (6) membentuk moralitas anak yang dapat mengembangkan rasa sosial anak (Dikiria, 2011).

Selain tujuan, Pamungkas (2018) menjelaskan bahwa game-based learning memiliki beberapa karakteristik yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Ada tantangan dan penyesuaian

Terdapat tantangan yang semakin kompleks, peserta didik dapat menyesuaikan tingkat kesulitan di dalam game.

b. Menarik dan mengasyikkan

Game mampu membuat peserta didik senang dalam sebuah aktifitas yang mereka pahami tujuannya serta berkaitan dengan pencapaian kompetensi mereka.

c. Tidak menggurui dan berdasar pada pengalaman

Peserta didik tidak harus dilatih terlebih dahulu untuk memainkan game, melainkan peserta didik langsung mencoba bermain. Mereka mungkin akan mendapatkan kekalahan atau kemenangan sehingga dapat lalu mengulang dan memperbarui strategi dalam bermain.

d. Interaktif

Peserta didik berinteraksi dengan cara menanggung akibat dari tindakan yang mereka lakukan dan dengan melihat pengaruhnya terhadap game yang dimainkannya.

e. Umpan balik

Peserta didik dapat menarik kesimpulan pada saat memainkan sebuah game.

f. Sosial dan kerja sama

Game dapat meningkatkan dialog serta pertukaran pendapat dan pengetahuan peserta didik.

g. Keahlian

Peserta didik yang sudah mahir dalam memainkan game dapat membantu peserta didik lainnya menjelaskan tentang game dan bagaimana cara memainkannya.

h. Perenungan

Peserta didik harus diberikan kesempatan untuk mengevaluasi kinerja mereka dan apa yang mereka pelajari dari memainkan sebuah game.

Ismail (2006) menjelaskan fungsi game-based learning adalah (1) memberikan ilmu pengetahuan kepada anak melalui proses pembelajaran bermain sambil belajar, (2) merangsang pengembangan daya pikir, daya cipta, dan bahasa agar dapat menumbuhkan sikap, mental dan akhlak yang baik, (3) menciptakan lingkungan bermain yang

menarik, memberikan rasa aman dan menyenangkan, dan (4) meningkatkan kualitas pembelajaran anak.

DGBL dapat membuat siswa menjadi lebih kreatif. Hogle (dalam Liu & Chen, 2011) menjelaskan bahwa game-based learning memberikan beberapa kelebihan yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Merangsang ketertarikan

Unsur permainan seperti rasa ingin tahu, harapan, kontrol, interaktivitas, dan fantasi (plot cerita) yang akan meningkatkan minat belajar serta motivasi peserta didik. Peserta didik termotivasi untuk mencoba beberapa cara yang berbeda dalam melewati tantangan yang ada dalam game.

b. Peningkatan daya ingat

Permainan simulasi memberikan daya ingat yang lebih baik dibandingkan dengan permainan dengan cara tradisional.

c. Latihan dan umpan balik

Banyak game edukasi yang memungkinkan pengguna untuk memainkan game secara berulang serta memperoleh umpan balik secara langsung yang bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi pembelajaran oleh peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran.

d. Meningkatkan keterampilan

Desain game dapat menyatukan isi bahan pembelajaran dan mendorong peserta didik untuk mencari solusi dalam permainan.

Peserta didik akan mampu mengintegrasikan proses belajar mereka sendiri dan mendapatkan solusi pada saat bermain. Materi pembelajaran akan sering dikeluarkan pada saat game berlangsung sehingga terekam dalam pikiran peserta didik.

Gamification atau gamifikasi adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan elemen-elemen di dalam game atau video game dengan tujuan memotivasi siswa dalam proses pembelajaran dan memaksimalkan perasaan senang dan ketertarikan terhadap pembelajaran tersebut Pelling (dalam Jusuf, 2016). Gamifikasi merupakan konsep yang menggunakan mekanika berbasis permainan, estetika, dan permainan berpikir untuk mengikat orang-orang, tindakan memotivasi, mempromosikan pembelajaran serta menyelesaikan masalah. Gamifikasi memberikan motivasi tambahan untuk menjamin peserta didik mengikuti kegiatan pembelajaran secara lengkap (Jusuf, 2016).

Gamifikasi bekerja dengan membuat teknologi yang lebih menarik Takashi (dalam Jusuf, 2016). Stuart (dalam Jusuf, 2016) menjelaskan bahwa gamifikasi mendorong pengguna untuk terlibat dalam perilaku yang diinginkan. Gamifikasi juga dapat menunjukkan jalan untuk penguasaan dan otonomi, membantu untuk memecahkan masalah dan tidak menjadi gangguan dan mengambil keputusan dari kecenderungan psikologis manusia untuk terlibat dalam game Radoff (dalam Jusuf,

2016). Gamifikasi membentuk cara berpikir untuk memecahkan masalah dengan menggunakan games (Zicherman, 2011).

Tabel 2.1 Perbandingan Game vs Game Based Learning vs Gamification (Lahri, 2015)

Game Game-based learning Gamification Permainan hanya

untuk bersenang-senang dan mungkin tidak memiliki aturan dan tujuan yang

Isi biasanya berubah sesuai dengan cerita dan adegan dalam

Game dalam penelitian ini termasuk dalam game-based learning karena memiliki karakteristik game-based learning yang dijelaskan sebagai berikut.

a. Ada tantangan dan penyesuaian

Game dalam penelitian ini memiliki tantangan berupa soal-soal KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) dua bilangan. Game ini dapat membantu peserta didik dalam memahami materi KPK.

b. Tidak menggurui dan berdasarkan pengalaman

Peserta didik tidak harus dilatih terlebih dahulu untuk memainkan game. Peserta didik dapat langsung mencoba bermain sehingga mereka mendapatkan kemenangan atau kekalahan dari game supaya dapat mengulang/memperbaharui strategi dalam bermain.

c. Interaktif

Peserta didik berinteraksi dengan menanggung akibat dari tindakan yang dilakukan dengan melihat pengaruhnya terhadap game yang dimainkan.

d. Perenungan

Peserta didik dapat menarik kesimpulan dan mengevaluasi apa yang didapatkan dari memainkan game tersebut.

3. Scratch

Scratch merupakan sebuah pemrograman visual yang memungkinkan penggunanya untuk belajar pemrograman komputer pada saat mengerjakan proyek secara pribadi seperti cerita animasi dan permainan. Scratch diciptakan oleh Lifelong Kindergarten Group di MIT Media Laboratory yang bekerja sama dengan Yasmin Kafai’s Grup

di UCLA. Scratch dibangun di atas ide Logo dengan mengganti kode pengetikan dengan drag and drop yang terinspirasi oleh LogoBlocks dan EToys (Kadir, 2011;Resnick, 2009 ; Wulan, 2017).

Scratch dapat digunakan oleh semua umur, mulai dari anak usia 8-16 tahun yang termasuk murid/pelajar di sekolah maupun guru dan orang tua. Scratch mempermudah setiap orang dari beragam latar belakang untuk membantu mereka mengembangkan keterampilan belajar kreatif dalam membuat animasi, permainan (games), cerita interaktif dan simulasinya sendiri. Pengguna Scratch dapat membuat program (project) dengan menyusun blok-blok perintah (blocks) secara visual sehingga memudahkan semua orang untuk dapat fokus dengan logika dan alur pemrograman tanpa mendapatkan kesalahan (error) (Iskandar & Raditya, 2017; Kadir, 2011; Resnick, 2009; Wulan, 2017).

Gambar 2.1 Antarmuka Scratch

Manus (2013) menjelaskan bahwa Scratch memiliki beberapa fitur penting yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Stage (Panggung) : tempat di mana pembuat atau pengguna Scratch melihat animasi

dan gamenya beraksi

b. Sprite List (Daftar Sprite) : fitur yang ada di dalam Scratch

yang dapat digunakan untuk

memilih berbagai macam

karakter

c. Block Pallete (Palet Blok) : fitur yang ada di dalam Scratch yang berguna untuk memberi perintah atau instruksi untuk menjalankan sprite

d. Script Area (Area skrip) : tempat membuat program di

Scratch

e. Backpack : fitur yang ada di dalam Scratch yang dapat menyalin skrip atau sprite.

Scratch dapat disebut sebagai program visual karena Scratch digunakan untuk membuat suatu program dengan cara menyusun blok-blok perintah yang tersusun dari beberapa warna. Block yang ada di dalam Scratch disebut block warna. Blok warna memudahkan pengguna

dalam menggunakan Scratch. Blok warna dapat meminimalisir terjadinya kesalahan dalam penulisan kode pemrograman karena bentuknya hanya dapat digunakan dengan pasangan yang tepat. Hal itu menjadi bantuan bagi pengantar pemrograman dan menyelamatkan banyak pelajar yang frustasi ketika mereka lupa menuliskan titik, koma,

dalam menggunakan Scratch. Blok warna dapat meminimalisir terjadinya kesalahan dalam penulisan kode pemrograman karena bentuknya hanya dapat digunakan dengan pasangan yang tepat. Hal itu menjadi bantuan bagi pengantar pemrograman dan menyelamatkan banyak pelajar yang frustasi ketika mereka lupa menuliskan titik, koma,