• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Wacana kritik sosial pada naskah Demonstran

1. Struktur Makro

Dalam struktur makro bagian atau elemen yang menjadi pusat pembahasan adalah unsur tematik. Temantik atau tema ini adalah sebuah gambaran umum terhadap suatu tulisan yang hendak disampaikan oleh

penulisnya dalam suatu teks, dapat juga dikatakan sebagai premis umum atau gagasan inti dan ringkasan utama sebuah teks. Dalam tulisan Alex Sobur yang mengutip Keraf, mengatakan bahwa tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui penulisannya.1

Tema dan topik dikatan demikian karena sifatnya menunjukan konsep dominan, sentral dan paling penting dari suatu teks. Dalam naskah Demonstran, penulis menemukan beberapa tema besar yang mengandung kritik sosial kepemimpinan, diantaranya adalah:

a. Kritik sosial kepemimpinan.

Asumsi ini dapat ditemukan pada adegan pertama pertunjukan. Di dalam naskah ketika Sabar, Alun dan Satpam berkumpul di kredo pasar, Sabar yang memulai percakapan dengan muatan dialognya menceritakan keluh kesah rakyat yang sangat mengidamkan sosok pemimpin yang mampu menaungi rakyat kecil dan mampu menerima dan mengakomodir aspirasi mereka. Seperti dalam kutipan dialognya :

“..Zaman ini Zaman panik. Orang orang jadi serakah dan gampang curiga.

Sebagian besar kita, kena penyakit jiwa dan janji-janji bohong simpang siur di langit. Isu lebih digemari disbanding pidato dan humor menemukan tuahnya disbanding penderitaan. Yang tidak pro langsung dianggap kontra. Usul dan pendapat sering dianggap kritikan. Tapi anehnya, si pengkritik sering tidak tahan kritikan.

Zaman ini Zaman bingung. Yang kecewa berkeliaran dimana-mana. Pegangan amat rapuh. Tuhan teralu jauh dan nabi-nabi palsu tersebut pengikut. Orang-orang kaya berkuasa dengan uangnya. Mereka sanggup membeli hati nurani para pejuang.

Ekonomi dan teknologi jadi tujuan utama. Pendidikan sangat mahal dan kesenian kadang ada tapi sia-sia, malah lebih dianggap hiburan.

Inilah kredo orang bingung di zaman panik. Dilantunkan ketika bumi gonjang ganjing dan sepertinya langit akan segera menimpa kepala. Inilah Kredo orang panik

di zaman bingung.” (babak 1)

1

Drs . Alex Sobur, M. Si, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 75.

Tema kepemimpinan yang terdapat pada dialog ini umumnya menjelaskan secara implisit bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang ideal, sesuai dengan syarat-sayarat yang perlu dimiliki oleh pemimpin. Bentuk sesungguhnya dalam proses kepemimpinan adalah mengarahkan atau menjadi role model. Persoalan utama dari pemikiran Sabar mengenai dialog yang disampaikannya adalah, mengapa begitu sulitnya untuk membedakan mana pemimpin yang baik dan benar-benar baik. Sabar men-Generalisir bahwa hampir semua pemimpin meng-obral tema kesederhanaan dan kerakyatan. Seperti yang sudah terjadi bahwa rakyat dijadikan sebagai agen suara ketika pemilu berlangsung menjadi lahan emas untuk digali simpati dan empatinya kemudian menjadi kambing hitam di setiap implikasi kegagalan dalam kepemimpinannya.

Seharusnya Pemimpin Negara dan pemerintah harus membentuk suatu sistem yang solid dalam proses memperoleh kepercayaan dan paradigma positif dari masyarakat yang dipimpin. Soliditas tidak ditentukan secara (kuantitatif) angka seberapa banyak anggota yang bergabung melainkan secara kualitas (kualitatif) pada masing-masing anggotanya. Ini bisa menajadi sebuah arti penting yang menjadikan pemimpin sebagai role model yang isnpiratif. Gagasan tersebut didasari dari pengamatan peneliti pada proses pemilu 2014 baik pada saat pemilihan Legislatif maupun pemilihan Presiden.

Dalam babak pertama ini Sabar sebagai lakon yang sentral semakin terlihat keresahaannya mengenai kritik sosisal, menjadikan tema krisis kepemimpinan pada babak ini semakin nampak, dengan didukung oleh stimulus yang diberikan oleh Alun dalam dialognya, yaitu:

“SABAR : Ini zaman serba tidak sabar. Zaman serba melompat. Inilah zaman putus asa. Zaman antara tidur dan banggun. Zaman serba menunduk karna terlalu sering melihat hp. Ini zaman cermin pecah.

ALUN : Dimuliakanlah namamu ya kemunafikan! (TERIAK) Pemimpi-i-i-nn!

SABAR : Jadi bersembunyi dimana kamu? Keadilan? ALUN : Kursi.

SABAR : Ketika mentalitas abdi Negara ditanyakan kembali dan korupsi merajalela, apa kamu peduli?

ALUN : Komisi.

SABAR : Ketika utang dibikin macet dan para penghutang Negara itu jadi isu nasional yang tidak menasional, apa komentar

kamu?”(Babak 1).

Ditengah situasi seperti sekarang ini, nampaknya ketegasan pemimpin dalam mengambil keputusan adalah problematika bangsa yang harus segera dituntaskan. Cukup bisa dipahami bahwa penggalan dialog diatas menggambarkan bahwa mentalitas abdi Negara (pemimpin) masih patut dipertanyakan. Memberikan keadilan hanya kepada golongan tertentu yang memiliki kekuasaan poliitik sedangkan hukum adalah milik orang-orang yang rela berbuat kriminal lantaran untuk bertahan hidup dari himpitan ekonomi. Dalam dialog tersebut seharusnya menjadi cermin bahwa masyarakat butuh sosok inspirasional leader.

Perlu dicatat bahwa kritik sosial kepemimpinan dalam tatanan sistem demokrasi belakangan ini memberikan sebuah jawaban bahwa seharusnya masyarakat dapat secara bebas mengkritisi proses perjalanannya baik dalam wujud demonstrasi, tulisan pada media cetak maupun online. Untuk memberikan alasan mengapa dan apa yang menjadi masalah. Pusat perhatian analisa temantik pada dialog ini adalah gaya kepemimpinan yang sudah menyimpang dari tatanan demokrasi. Salah

satunya yang berkaitan dengan dialog Sabar, minusnya nilai kepemimpinan pada pemerintahan saat ini yaitu menyangkut tidak meratanya persamaan hak dalam segala bidang, kemerdekaan yang tidak menyeluruh merupakan implikasi ke tidak tegasan sebuah Leader dalam menjalankan keputusan.

Dalam mengambil keputusan, pemimpin juga harus memperhitungkan seberapa sering dia harus berhubungan dengan rakyat, tidak selalu membedakan hubungan antara masayarakat politik dan masyarakat publik. Keterkaitan masyarakat publik dalam proses policy decide sangat berdampak pada prososes jalannya sistem pemerintahan yang demokratif.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaanya dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mencapai achievement yang memuaskan, dalam berbagai situasi para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau pemanfaatan kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi bawahan dan rakyat. Ada beberapa hal penting yang harus dimiliki oleh seorag pemimpin, yaitu integritas, responsibilitas, knowledge, komitmen, kepercayaan (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain melalu komunikasi (communication).

Sabar dan Alun pada babak pertama ini, dalam dialognya dapat dilihat bahwa mereka ibarat memposisikan diri sebagai cawan air yang telah penuh ter-isi oleh tetesan air hitam yang meluber. Tema pada babak ini tidak menjabarkan sebuah tunutan terhadap pemimpin, tetapi tentang

bagaimana seharusnya moral pemimpin yang mau memperjuangkan nilai dan kepentingan masyarakat luas. Bukan mengkebiri dan membatasi kebebasan berdemokrasi.

Hal lain yang juga dapat dilihat pada babak pertama ini adalah mengenai kecendurungan abused of power oleh pemimpin sebagai “Immamah dan Khalifah”. Pemimpin seharusnya dapat diartikan juga sebagai perisai bagi rakyat, yang akan melindungi rakyat dari berbagai ancaman. Dialog Sabar mengemukakan kontradiksi terhadap realitas yang sedang terjadi sekarang ini, yaitu:

“SABAR : Ketika buruh-buruh diperlakukan lebih buruk dari kuda, dan para TKW kita dilecehkan seksualnya, apa tindakan kamu? ALUN : Kita hilang..

SABAR : Ketika hakim-hakim malah adu tinju, artis-artis berebutan jadi politikus. Mengapa kamu tidak bertindak dan melulu hanya pidato, pidato dan pidato?

ALUN : (TERIAK) Pemimpi-i-i-nn!

SABAR : Ketika kebebasan dikebiri, demokrasi dikekang dan kreatifitas dibendung, ketika partai-partai enggan berbeda suara karena ada imbalanya dan wakil-wakil rakyat besar gajinya tapi gentar berfikir untuk rakyat, siapa masih sanggup membela rakyat?

ALUN : (MENJAJAKAN) Opini obral, seribu tiga!

SABAR : Ketika sebuah sistem digelar agar masa depan rakyat berubah menjadi robot yang dikekang dan patuh, masih beranikah kita punya nurani?”(Babak 1).

Dalam konteks kritik sosial kali ini dapat mengacu pada dialog Sabar yang pertama yaitu sebuah tema perjuangan kelas dimana ideologi kelas ditentukan oleh kedudukan dan kepentingan. Buruh, TKW dan pemilik modal sama-sama sedang memeperjuang kelas, bedanya hanya kepentingan dan wewenang kedua kelas ini sangat kontradiktif. Buruh dan

TKW adalah kelas yang hak nya dirampas oleh kelas pemilik modal atau alat produksi yang besar. Hal ini retan sekali terjadi belakangan ini karena sistem kepemimpinan yang mudah di-intervensi asing dengan mengatas namakan pembangunan.

Kemudian pada dialog Sabar berikutnya adalah mengenai mentalitas pemimpin dan para calon pemimpin. Peneliti disini tidaklah mencoba untuk membentangkan rincian dari pertikaian tersebut. Meskipun memang dapat dikatakan bahwa pertikaian yang ada pada dialog tersebut semata hanya soal politk seseorang untuk memperoleh kedudukan. Namun kritik yang ingin disampaikan adalah merujuk pada kecenderungan seorang pemimpin yang dalam menyelesaikan masalah selalu hanya mengedepankan dialog dan mufakat tanpa adanya tindakan tegas dan punishment untuk pelanggar.

Begitu juga pada dialog berikutnya yang disampaikan Sabar menyangkut kebebasan berdemokrasi. Kini tanpa disadari kita memang hidup di era semua individu menginginkan kebebasan. Menurut peneliti justru pengebirian kebebasan dan pembatasan demokrasi tidak hanya terjadi pada masa orde baru. Kini di era pasca reformasi justru makna tersebut menjadi anti klimaks.

Beberapa dampaknya yaitu, tensi per-politikan yang semakin memanas karna banyak menyalah artikan sebuah makna dari demokrasi, kebebasan berpendapat yang sudah tidak beretika dapat dilihat dari nafsu para pejabat yg ngotot ingin pendapatnya didengar saat sidang di gedung DPR, kemudian demonstrasi mahasiswa yang seharusnya menjadi sarana

penyampaian aspirasi justru malah menggangu stabilitas keamanan dan kenyamanan masyarakat dan yang terakhir adalah meningkatnya kerusuhan di masyarakat. Itu semua karena pemimpin dan para pemerintah masih belum mampu menjalankan undang-undang dengan sebagai mana mestinya.

Digambarkan pula pada dialog berikutnya keresahan dan gundah sang Sabar, bagaimana dia takut untuk menatap masa depan yang seolah-olah sudah tau nantinya akan berakhir seperti apa, seakan-akan semua sudah di-setting sedemikian rupa agar rakyat menjadi boneka mainan bagi para pemimpin. Karena pemimpin searusnya berada pada posisi yang menentukan perjalanan pengikutnya (rakyat). Apabila rakyat memiliki pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pembangkitan daya juang maka dapat dipastikan rakyat akan mencapai titik keberhasilan.

Dalam pandangan islam mengenai hal tersebut sangat sekali jelas digambarkan melalu firman Allah dalam Al-Quran ( Qs. 17 : 16):































“dan jika kami berkehendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”

Tentu jika melirik pada presepktif islami tentang sebuah kepemimpinan, ayat tersebut ada korelasinya dengan dialog sabar pada hampir keseluruhan babak pertama. Dari proses hingga implikasi tertera

pada ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam memilih peimpin diharapkan masyarakat mempunyai calon pilihan yang kredibel, mengenali pemimpinya dengan baik supaya tidak lagi memilih pemimpin seperti memilih kucing dalam karung. Barangkali salah satu caranya adalah sosialisai mengenai arah tujuan kepemimpinan yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Dengan lebih ringkas Sabar menjelaskan sebuah pergeseran drastis mengenai makna kepemimpinan, dapat dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai jurang pemisah masing-masing antara kemauan (ideologi) dan realitas kehidupan. Hal itu seharusnya menjadi tempat seorang pemimpin untuk memposisikan diri sebagai penyambung lidah akyat, penyambung harapan rakyat dan penyambung asa rakyat. Agar dapat meyakinkan bahwa harapan perubahan menuju arah kebaikan itu masih ada.

Kemudian dalam Al’Quran bagaimana kita seharunya memilih pemimpin dijelaskan melalui firman Allah pada Q. S Ibrahim (14:4) :









































“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”

Disini dapat peneliti kaitkan dengan pemimpinan yang mampu memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Lalu pada Q. S. At-Taubah (9:128):































“sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaumu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang bagi kaum mukmin.”

Dalam ayat tersebut, jika dikaitkan dengan dialog Sabar pada babak pertama adalah mengenai sikap pemimpin juga harusnya bisa mampu memahamu Bahasa penderitaan rakyatnya dan mengerti kesusahan mereka. Karena pertanggung jawaban atas pemilihan seorang mimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya berikut juga implikasinya.

Digambarkan pula bahwa pemimpin adalah bukan mengenai kedudukan dan soal posisi strategis untuk memegang kendali atas orang banyak. Pandangan tersebut yang mengakibatkan banyak orang justru mengejar menjadi pemimpin dengan menghalalkan segala cara, seperti pada proses pemilu presiden 2014 yang banyak ditemukan fakta kampanye hitam dan kampanye negatif. Parahnya isu yang diangkat banyak yang menyangkut soal SARA. Bisa dibayangkan mentalias pemimpin yang seperti itu nantinya akan berujung seperti apa.

Tentang dialog lain pada naskah ini yang menyangkut kritik sosial dan kepemimpinan ada pada babak ke 5 yaitu dialog yang terjadi di malam hari saat Jiran, Niken dan Wiluta bersama-sama datang ke rumah

Topan untuk mengajak kembali turun kejalan, Mereka bertiga adalah akktifis senior anak buah Topan. Pada bagian adegan ini Niken mengajukan pertanyaan kepada topan, yaitu:

“NIKEN :Alat musyawarah itu selalu satu arah. Dari penguasa. Dan mufakat adalah perintah. Rakyat tidak diberi hak untuk bermusyawarah, mereka hanya wajib menjalankan perintah. Siapa berani melawan arah penguasa dan perintah pejabat?

Rakyat?” (Babak 5).

Babak tersebut memaparkan sebuah kekecewaan Niken terhadap ceriminan gaya kepemimpinan yang tidak demokratif. Padahal, selama pemimpin masih dalam jaring-jaring demokrasi yang transparan dan kembali pada filosofi demokrasi “dari rakyat untuk rakyat” tatanan sosial akan menjalankan mekanismenya dengan baik. Bukan memberikan kebijakan-kebijakan yang justru membelenggu kebebasan rakyat. Jika terus demikian, tidak mengherankan jika kemudian proses demokrasi harus dibayar dengan banyak demonstrasi yang kadang cenderung berujung kerusuhan.

Pada dialog diatas, ter-gambarkan pula sebuah hegemoni penguasa (pemimpin) dalam menentukan sebuah kebijakan tanpa kompromi namun selalu sarat dengan birokrasi yang rumit, peneliti beranggapan bahwa birokrasi adalah bentuk keterasingan rakyat, karena birokrasi dijadikan sebuah perantara antara rakyat dengan kebutuhannya. Ketika rakyat sudah dipengaruhi oleh birokrasi maka rakyat sudah tidak saling menghargai melainkan saling memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.

Pada babak ke lima ini, Topan digambarkan adalah seseorang mantan aktifis yang sudah pensiun dari aktifitasnya sebagai seorang

demonstran dan kini menjadi seorang pedagang juga pengusaha yang sangat sukses, jadi ajakan ketiga mantan anak buahnya agar mau kembali kejalan menimpin mereka kembali dalam bentuk demonstrasi selalu ditolak dengan alasan-alasan yang cukup realistis untuk ukuran seorang pengusaha. Namun penolakan topan kepada Jiran, Niken dan Wiluta dianggapnya sebagai bentuk penghianatan.

Topan menganggap demonstrasi sudah bukan jamannya lagi untuk memberikan alasan kepada pemimpin supaya mau mendengarkan aspirasi mereka, meng-atas namakan “demonstrasi adalah perjuangan rakyat untuk mendapatkan kembali haknya” menurut Topan itu adalah slogan yang semu, tidak menemukan arah pasti, gagasan yang justru masih dapat diperdebatkan. Kemudian ketiga mantan anak buahnya tersebut menganggap jika Topan sebagai pemimpin sudah tidak lagi dapat memberikan arah karena telah terlalu lama asik bersama pengusaha menghitung laba.

Seperti yang dikutip dalam naskah demonstran, percakapan antara Topan dengan Jiran, Niken dan Wiluta pada babak ke-lima:

“TOPAN :Tidak bisa, maaf. Saya sudah tua. Saya tidak sanggup lagi jadi Robin Hood. Apa yang pernah saya lakukan, dulu, dan apa yang kalian lakukan sekarang ini, itu permainan anak muda. Saya? Lihat, perut sudah gendut, nafas ngos-ngosan, mata tidak awas lagi. Saya sudah sejarah. Kekuatan saya habis. NIKEN :Jadi, Abang tidak mau turun lagi kejalan memimpin kami? WILUTA :Apa abang kuatir, kedudukan dan kekayaan abang bisa

terganggu? Hidup abang sekarang memang sudah enak. Padahal ini semua hasil dari perjuangan abang, dulu, sebagai demonstran, masa lupa?

NIKEN :Lalu kemana lagi kami harus pergi? Kami tidak punya pemimpin, kami hanya punya semangat. Kami bergerak kurang teratur. Kami ingin diatur oleh tokoh yang mampu menghadapi apa saja. Tokoh yang selalu ada di barisan paling depan, tokoh yang dikenal sebagai Sang Topan. Abang. WILUTA :Semua bekas aktifis tidak mau memimpin kami.

NKEN :Mereka bilang, hanya buang-buang energi, sia-sia. Ini gerakan yang mereka anggap, sudah tidak ada gunanya. WILUTA :Hanya abang harapan kami.

TOPAN :Ya, maaf saja, kalian juga sudah terlalu tua. Tidak mungkin lagi. WILUTA :Maksudnya, kamu tidak bisa? Inilah saatnya, Abang.. TOPAN :Maaf…

NIKEN :Tidak sangka, sekarang abang sudah jadi penakut.

TOPAN :Saya berhak memilih untuk bilang tidak atau ya. Sekarang, saya atur jalan hidup saya sendiri. Saya sudah finish…

NIKEN :Egois. Hanya nasib sendiri, yang abang pertimbangkan. Abang tahu Negara makin berengsek. Tapi abang diam saja. Jujur juga, saya menyesal ketemu abang sekarang. Pandangan saya tentang abang hancur berantakan.

TOPAN :Apa boleh buat. Itu 20 tahun yang lalu… zaman berubah.

NIKEN : Minggu lalu abang bicara di koran, abang selalu siap jika terpaksa harus turun ke jalan lagi. Sekarang ini waktunya. TOPAN :Niken, pengusaha harus butuh publikasi. Masa kamu tidak

paham? Saya pengusaha. Itu bagian dari strategi. Tapi jika kenyataan yang harus dihadapi diduga akan sangat pahit, kita harus cepat-cepat menghindar. Ketika korupsi tidak bisa

dilawan lagi, kita….

NIKEN :Lari? Betul.

TOPAN :Realitas harus dihadapi dengan realistis. Pengusaha tak pernah bermimpi, dia menghitung untung rugi.

WILUTA :Demi keuntungan pribadi.

TOPAN :Demi usaha agar tetap bisa survive. Kepala harus tetap dingin. Zaman spontanitas otot dan emosi, sudah lewat. Sekarang zaman otak dan strategi. Pikiran. Akal. Hitungan langah adalah uang. Waktu, sangat berharga.

WILUTA :Ah, jadi kami sudah merampok waktu berharga abang. TOPAN :Wiluta, Niken, maaf, saya betul-betul tidak bisa ikut. Kondisi

JIRAN :Abang tidak perlu lagi turun lagi ke jalan, sebab kami tidak punya uang untuk membeli payung kalau abang kepanasan. Abang cukup mengatur strategi dan konsep pergerakan. Abang akan lebih banyak duduk di markas saja. Katakanlah, kalau gerakan demonstrasi itu bisa diibaratkan PT, maka abang adalah dirut nya. Kami semua, karyawan operasionalnya. Abang tidak perlu repot membersihkan got, cukup abang pertintahkan, kami yang akan bekerja. Sayangnya, bekerja di

PT Demonstrasi tidak ada gaji.” (babak 5).

Dari cuplikan dialog pada babak ke-lima di atas, dari jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh mantan anak buahnya, maka dapat peneliti katakana bahwa musuh besar dari idealisme adalah harta. Sejauh ini dalam dinamika demokrasi mungkin banyak pengusaha yang justru turut ikut andil dalam bursa pencalonan presiden (pemimpin). Namun, dibalik penyalonannya terdapat kecenderungan yang mengarah kepada kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat luas, konsistensinya dengan tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat masih dipertanyakan.

Sementara itu, demonstrasi yang dijalankan oleh ketiga mantan anak buahnya Jiran, Niken dan Wiluta bukan sebagai kekuatan pendobrak atas ke-laliman penguasa dan pemerintah. Sebab fungsinya hanyalah sebagai penguat tuntutan. Walaupun pada era reformasi, ini adalah cara jitu saat itu untuk meruntuhkan rezim akan tetapi kerusuhan bukan menjadi role model dalam merubah sistem dengan cara yang singkat atau revolusi, terlalu beresiko dan tidak ada jaminan untuk perubahan menuju arah yang lebih baik.

Kemudian masih di dalam rumah Topan, ketiga anak buahnya terus mendesak agar sang pemimpinnya mau kembali lagi ikut turun ke-jalan. Upaya yang dilakukan Jiran, Niken dan Wiluta saat itu berakhir sia-sia. Topan masih menganggap tujuan mereka kurang jelas dan ter-arah, sepertinya pengetahuan Topan sebagai seorang pemimpin kala itu dijadikan senjata untuk menolak ajakan dengan jawaban yg realistis. Lebih terkesan sebagai seorang pemimpin yang mencari dalih, alasan dan mengelak ketika diajak untuk berbuat sesuatu demi orang banyak (masyarakat).

Seperti dalam cuplikan dialog pada babak ke-lima yaitu percakapan antara Topan dan Jiran:

TOPAN :Siapa rakyat? Siapa mereka itu? Apa kalian benar-benar tahu apa yang mereka inginkan? Bilang sama saya! Siapa Rakyat? BILANG!

NIKEN :Rakyat adalah…

TOPAN :Ya siapa mereka? NIKEN :Rakyat adalah…

TOPAN :Kalian tidak tahu siapa rakyat. Bagaimana bisa berjuang kalau kalian tidak tahu untuk apa? Untuk siapa? Yang kalian rasa, belum tentu dirasakan oleh semua orang. Kalian rakyat, mereka yang digusur juga rakyat, orang miskin dan orang kaya itu – rakyat, saya rakyat, bahkan para pejabat juga rakyat. Tapi siapa rakyat sejati, itu yang harus kalian cari. Kalian terlalu