• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2. Tinjauan Pustaka

Tenaga penolong persalinan adalah orang yang memberikan pertolongan persalinan selama persalinan berlangsung. Pada dasarnya ada dua jenis penolong persalinan, yaitu mereka yang mendapat pendidikan formal (tenaga medis), seperti bidan, dokter umum, dokter ahli, dan mereka yang tidak mendapat pendidikan formal melainkan mendapat keterampilan secara tradisional (tenaga non medis) seperti dukun beranak (Firani, Novi, 2009). Tenaga kesehatan yang sejak dahulu kala sampai sekarang memegang peranan penting dalam pelayanan persalinan adalah dukun bayi (dukun beranak, dukun bersalin). Dalam lingkungannya, dukun beranak/bayi merupakan tenaga terpercaya (Hemiati, 2007)

Dukun Beranak adalah anggota masyarakat, pada umumnya seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut secara turun-temurun, belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus ke arah peningkatan keterampilan tersebut serta melalui petugas kesehatan (Hemiati, 2007). Dukun Beranak/Bayi adalah orang yang dianggap terampil dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu, anak sesuai kebutuhan masyarakat (Depkes RI, 2005).

Dukun Beranak/Bayi terdiri dari: (a) Dukun terlatih adalah dukun yang telah medapatkan latihan oleh tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus. (b) Dukun

tidak terlatih adalah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus. Peranan dukun bayi sulit ditiadakan karena masih mendapat kepercayaan masyarakat dan tenaga terlatih yang masih belum mencukupi. Dukun Beranak masih dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memberikan pertolongan persalinan (Manuaba, 2001).

Batas kewenangan Dukun Beranak dalam melakukan pertolongan persalinan menurut Depkes RI (2005) adalah sebagai berikut:

(1) Mempersiapkan pertolongan persalinan meliputi mempersiapkan tempat, kebutuhan ibu dan kebutuhan bayi, mempersiapkan alat-alat persalinan sederhana secara bersih, mencuci tangan sebatas siku dengan sempurna (10 menit).

(2) Memimpin persalinan normal dengan teknik-teknik sederhana yang meliputi membimbing ibu mengejan, menahan perineum, merawat tali pusat, memeriksa kelengkapan plasenta.

(3) Dukun tidak melakukan tindakan yang dilarang seperti memijat perut serta mendorong rahim, menarik plasenta, memasukkan tangan ke dalam liang senggama.

(4) Melakukan perawatan pada bayi baru lahir yang meliputi perawatan mata, mulut dan hidung bayi baru lahir, perawatan tali pusat dan memandikan bayi.

Peran dukun beranak dalam pertolongan persalinan dalam Pedoman Kemitraan Bidan dengan Dukun adalah sebagai berikut:

(1) Mengantar calon ibu bersalin ke Bidan

(2) Mngingatkan keluarga menyiapkan alat transportasi untuk pergi ke bidan atau memanggil bidan

(3) Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman seperti air bersih, kain bersih

(4) Mendampingi ibu pada saat persalinan (5) Membantu Bidan pada saat proses persalinan

(6) Melakukan ritual keagamaan atau tradisional yang sehat yang sesuai tradisi setempat

(7) Membantu Bidan dalam perawatan bayi baru lahir

(8) Membantu ibu dalam inisiasi menyusui dini kurang dari satu jam (9) Memotivasi rujukan jika diperlukan, membantu bidan membersihkan ibu, tempat dan alat setelah persalinan.

Bidan adalah seorang yang telah menjalani program pendidikan bidan, yang diakui oleh Negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi terkait kebidanan serta memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk praktek bidan. Bidan dikenal sebagai profesional yang bertanggungjawab yang bekerja sebagai mitra perempuan dalam memberikan dukungan yang diperlukan asuhan dan saran selama kehamilan, periode persalinan, dan post partum, melakukan pertolongan persalinan dibawah tanggung jawab sendiri, serta memberikan perawatan pada bayi baru lahir (Soepardan, 2008).

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang telah cukup bulan (setelah 37 minggu) atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Elvistron, 2009). Menurut

Amalia (2012) berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas Molopatodu Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo menyatakan bahwa ada pengaruh jarak ketempat pelayanan kesehatan terhadap pemilihan penolong persalinan.

Keterjangkauan didasarkan atas persepsi jarak dan ada tidaknya kendaraan pribadi maupun umum untuk mencapai sarana kesehatan terdekat. Responden yang memilih pertolongan persalinan oleh dukun bayi umumnya merupakan masyarakat yang jarak rumahnya menuju tempat dukun bayi lebih dekat sedangkan responden yang memilih pertolongan persalinan oleh bidan membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mendapatkan pelayanan karena jaraknya yang lebih jauh. Ketersediaan dan kemudahan menjangkau tempat pelayanan, akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi merupakan salah satu pertimbangan keluarga dalam pengambilan keputusan mencari tempat pelayanan kesehatan.

Michael R. Dove3 dalam karyanya yang berjudul Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi.7 Dalam salah satu artikel yang ditulis Adrian S. Rienks dan Poerwanta Iskandar membahas perkembangan pusat-pusat kesehatan pada masa awal Orde Baru melalui beberapa kebijakan, diantaranya mendirikan Puskesmas, BKIA, dan program kader untuk meningkatkan kesehatan masyarakat desa. Penyebab sukarnya masyarakat menerima pembaharuan dalam bidang kesehatan itu karena kuatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pengobatan dan obat-obatan tradisional. Mereka lebih percaya penyakit disembuhkan dukun daripada petugas medis.

3 Michael R. Dove (ed.), Peranan Kebuadayaan Tradisional Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).

Di daerah pedesaan, menurut Warner (1997) pada awalnya tidak ada penyembuh bergelar dokter tapi hal ini bukan berarti tidak ada orang yang dapat memberikan nasihat atau bantuan jika terjadi kecelakaan ataupun penyakit4. Seperti halnya di pulau Jawa, sistem pengobatan tradisional menyeluruh berhubungan dengan kosmologi dasar penduduk yang memiliki kategori penyakit sendiri dan dilaksanakan oleh para penyembuh yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.

Dalam sistem pengobatan tradisional, sistem diagnosanya sama dengan ilmu medis modern yang disebarkan dalam latihan kader. Perbedaan mendasar dari pengobatan medis dan tradisional adalah medis dipandang sebagai kelompok ilmu yang baru dan aneh yang tidak dikenal masyarakat desa kecuali oleh kader dan kelompok lain dan golongan terdidik, sedangkan pengetahuan tradisional sudah dikenal baik oleh pasien maupun penyembuh (dukun).5

Penyembuh tradisional, demikian Adrian S. Rienks (1985) menyebut orang yang mengobati penyakit, terutama di pulau Jawa dikenal dengan nama tiyang sanged (dukun). Dukun, menurut Rienks adalah pemberi nasehat dan penyembuh yang dibayar, yang memiliki ukuran sedang, yang sekurang-kurangnya menguasai beberapa kemampuan, seperti pijet, petungan, jampi atau mantra. Rienks juga mengkategorikan dukun berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, diantaranya dukun perewangan (ahli angka-angka), dukun bayi,

4 Lebih lanjut baca David Warner, Where There is No Doctor: A Village Health Care Handbook.

(Palo Alto: The Hesperian Press, 1977).

5 Adrian S. Rienks dan Poerwanta Iskandar, (1985) ”Penyakit dan Pengobatan di Jawa Tengah:

Persepsi Desa Kontra Persepsi Pemerintah..., hlm. 53.

dukun sunat (dukun penganten), dukun kebatinan dan dukun kranjingan (bertindak mewakili roh baik dan jahat yang merasukinya).

Dukun bayi atau Dukun Beranak bisa didefenisikan sebagai orang yang dianggap terampil dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan anak sesuai kebutuhan masyarakat. Selain itu, dukun bayi juga bisa didefenisikan seorang anggota masyarakat, pada umumnya seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut dengan cara turun temurun, belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan serta melalui petugas kesehatan.

Kusnada Adimihardja (1994) mengartikan Dukun Beranak adalah anggota masyarakat, yang pada umumnya adalah seorang perempuan yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional.

Dukun beranak memperoleh keterampilan tersebut secara turun-temurun, belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan tersebut serta melalui petugas kesehatan.6

Pembinaan dukun menurut Kamanto Sunarto (2009) adalah suatu pelatihan yang diberikan kepada dukun bayi oleh tenaga kesehatan yang menitikberatkan pada peningkatan pengetahuan dukun yang bersangkutan, terutama dalam hal hygiene sanitasi, yaitu mengenai kebersihan alat-alat persalinan dan perawatan bayi baru lahir, serta pengetahuan tentang perawatan

6 Pedoman Supervisi Dukun Bayi. (Jakarta: Departemen Kesehatan, 1994), hlm. 2.

kehamilan, deteksi dini terhadap resiko tinggi pada ibu dan bayi, KB, gizi serta pencatatan kelahiran dan kematian.7

Pembinaan dukun merupakan salah satu upaya menjalin kemitraan antara tenaga kesehatan (bidan) dan dukun dengan tujuan menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Terkait dengan proses pembinaan, Kementerian Kesehatan mengklasifikasikan dukun bayi dalam dua kategori.8

1. Dukun bayi terlatih, adalah dukun bayi yang telah mendapatkan pelatihan oleh tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus.

2. Dukun bayi tidak terlatih, adalah dukun bayi yang belum pernah terlatih oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus.

Dalam mitra kerjasama antara Bidan di Desa dan dukun bayi adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) termasuk KB di desa tempat tugasnya9. Dalam menjalankan fungsinya sebagai bidan desa, diwajibkan tinggal di desa tempat tugasnya dan melakukan pelayanan secara aktif sehingga tidak selalu menetap atau menunggu di suatu tempat pelayanan namun juga melakukan kegiatan atau pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan kebutuhan. Fungsi BDD secara khusus berkaitan dengan fungsinya sebagai bidan, yaitu pelayanan terhadap ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu subur dan bayi. Agar fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik,

7 Kamanto Sunarto, Sosiologi Kesehatan. (Jakarta: Universitas Terbuka,2009), hlm. 3.

8 Lebih lanjut baca Pedoman Pelaksanaan Kemitraan Bidan dan Dukun. (Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2010).

9 Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Modul Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) untuk Bidan di Desa. (Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2011).

maka perlu didukung olehpengelolaan program KIA yang baik dan penggunaan peran serta masyarakat, khususnya dukun bayi.

Jarak dapat menjadi faktor yang mempengaruhi seorang perempuan dalam memilih penolong selama masa kehamilan, persalinan dan nifas.

Perempuan yang memilih dukun beralasan pertama karena dukun tinggal dekat dengan rumah mereka. Jadi walaupun di kampung yang sama ada bidan, mereka tetap memilih dukun sebagai penolong. Sebaliknya, perempuan yang memilih bidan juga beralasan karena mereka sudah familiar dengan bidan tersebut karena sejak hamil mereka sudah memeriksakan kehamilannya ke bidan (Juariah, 2009).

Dari hasil penelitian Rina Anggorodi (2009) Masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa bila persalinan ditolong oleh dukun bisa membayar berapa saja. Hal yang terpenting adalah bahwa dukun dilihat mempunyai jampe-jampe yang kuat sehingga ibu yang akan bersalin lebih tenang bila ditolong oleh dukun. Dari hasil penelitian Zalbawi (2006) dikatakan bahwa alasan ibu memilih dukun bayi dalam persalinan karena pelayanan yang diberikan lebih sesuai dengan sistem sosial budaya yang ada, mereka sudah dikenal lama karena berasal dari daerah sekitarnya dan pembayaran biaya persalinan dapat diberikan dalam bentuk barang (Zalbawi, 2006).