Teori dan Konsep
Dalam bagian berikut dibahas mengenai beberapa teori dan konsep yang terkait dengan kajian.
2.1. Tinjauan tentang Persepsi a. Pengertian
Ada beberapa macam pendapat ahli yang berhasil dikumpulkan mengenai konsep persepsi, yaitu sebagai berikut :
Menurut Hammer dan Organ (1978) dalam Indrawijaya (1990), bahwa persepsi adalah suatu proses dengan mana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkunganya. Bagaimana segala sesuatu tersebut mempengaruhi pula perilaku yang akan dipilihnya.
Thoha (1996) mengatakan, bahwa persepsi merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memberi informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman.
Pendapat lain mengatakan, bahwa persepsi adalah menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, mengecap dan mencium dunia di sekitar kita (Morgan, King dan Robinson dalam Adi, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, persepsi terbentuk atas dasar informasi atau data yang diperoleh dari lingkungan, kemudian diserap oleh panca indera manusia serta pengolahan sebagian dari pengolahan ingatan yaitu berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dan terjadilah proses psikologis sehingga manusia yang bersangkutan menyadari apa yang dilihat, didengar, diterima dan sebagainya, maka individu tersebut mengalami persepsi, yang diwujudkan dalam perilaku terhadap suatu obyek.
Melengkapi pengertian di atas, Rahmat (1996) mengemukakan pengertian persepsi yaitu pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi
ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektuasi, motivasi dan memori.
Selanjutnya, masih menurut Rahmat, persepsi ditentukan oleh faktor personal dan situasional. Krech dan Crutchfield (1977) menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. Dengan demikian, ada beberapa aspek yang turut menentukan terjadinya persepsi, yaitu : aspek perhatian, aspek motivasi, aspek pengetahuan, aspek personal dan aspek situasi.
Merujuk pada Kartono (1984), bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana individu mengenal, membandingkan, menggolongkan dan menginterpretasikan terhadap rangsangan yang datang.
Dari beberapa pengertian persepsi di atas, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa persepsi individu atau seseorang dapat terjadi apabila ada : a. obyek yaitu adanya stimuli atau peristiwa yang diamati atau yang dialami. b. Situasi atau lingkungan yang mendukung
c. Personal (pengamat atau yang diamati)
b. Faktor-faktor yang mempengaruh Persepsi
Persepsi banyak dipengaruh oleh beberapa faktor, Rahmat (1989) mengemukakan, secara garis besar ada tiga hal yang mempengaruhi persepsi, yaitu : faktor perhatian, faktor fungsional dan faktor struktural. Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Faktor Perhatian
Andersen dalam Rahmat (1989) memberikan definisi perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian itu sendiri dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor Eksternal yang mempengaruhi perhatian adalah :
a. Gerakan. Manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang bergerak. b. Intensitas stimuli. Dimana manusia akan memperhatikan stimuli yang lebih
8
c. Kebaruan (Novelty). Hal-hal yang baru, yang luar biasa, dan yang berbeda akan menarik perhatian.
d. Perulangan. Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian.
Faktor Internal yang mempengaruhi perhatian adalah :
a. Faktor biologis, yaitu suatu kecenderungan seseorang menaruh perhatian pada hal-hal tertentu sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam dirinya. b. Faktor Sosiopsikologis, yaitu kemampuan seseorang menaruh perhatian
pada berbagai stimuli secara serentak. Makin besar keragaman stimuli yang mendapat perhatian, makin berkurang ketajaman persepsi seseorang pada stimuli tertentu.
c. Faktor Sosiogenis adalah sikap, kebiasaan dan kemauan seseorang dapat mempengaruhi apa yang diperhatikan.
2) Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Jadi yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang memberikan respon pada stimuli itu.
3) Faktor Struktural yang mempengaruhi persepsi
Faktor-faktor struktural semata-mata berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler, merumuskan prinsiup-prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori ini, bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Dalam hal ini untuk memahami seseorang, kita harus melihat dalam konteksnya, dalam lingkungannya dan dalam masalah yang dihadapinya.
Senada dengan hal di atas, Thoha (1996), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut :
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi
2) Faktor Famili
Banyak sikap dan persepsi-persepsi seseorang diturunkan oleh orang tuanya karena famili sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi seseorang.
3) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruh sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.
Menurut Wirawan (1983), terdapat beberapa aspek dalam persepsi yang dapat dijadikan alasan bahwa suatu persepsi itu ada. Adapun aspek-aspek tersebut adalah :
1) Aspek pengetahuan
Yaitu bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang mempunyai kesadaran. Hal itu dapat terlihat dari kemampuannya untuk melakukan suatu proses berfikir, berkehendak dan merasa sehingga dengan kemampuannya tersebut manusia memperoleh banyak pengetahuan.
2) Aspek Pemahaman
Yaitu berkaitan dengan obyek tingkah laku atau respon yang dimiliki, mewakili suatu pengertian terhadap pesan dalam komunikasi, oleh karena itu pengertian tentang pemahaman merupakan proses menerima suatu obyek kedalam pemikiran seseorang dan memberikan tanggapan terhadap suatu obyek dalam bentuk tingkah laku.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa persepsi sangat bersifat pribadi. Persepsi seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor personal. Oleh karenanya, seseorang sering kali melihat segala sesuatu atau suatu kejadian dengan cara yang berbeda walaupun dalam obyek yang sama, tergantung pada personalnya dan lingkungan dimana orang tersebut berada
Jika dikaitkan dengan judul kajian, maka secara umum kajian akan mengkaji
10
Responsibility yang dilakukan oleh PT. Aqua Golden Mississipi di Desa Babakan Pari Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi.
2.2. Tinjauan tentang Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan muncul karena kritik terhadap pembangunan yang lebih
menekankan pada ekonomi dengan menggunakan pendekatan trickle down effect,
definisi yang lebih luas diungkapkan oleh Pranarka dan Prijono (1996) bahwa pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain.
Pemberdayaan diadopsi dari istilah empowerment, yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai ’pemberkuasaan’ dalam arti pemberian atau peningkatan ’kekuasaan’ atau power, yang merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat. Menurut Pranarka (dalam Pranarka dan Prijono, 1996) proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu : (1) kecenderungan primer yaitu pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. (2) kecenderungan sekunder yaitu pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.
Lebih lanjut Stewart (1998) dalam Rudito (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan menuntut perluasan peran, wewenang dan kekuasaan dan bertambahnya keluwesan tentang bagaimana (dan oleh siapa) peran-peran tersebut dilakukan. Pemberdayaan merupakan suatu proses dan mempunyai tujuan, sebagaimana dinyatakan Solomon (1976) dalam Purnama (2006) bahwa pemberdayaan mengandung dua unsur ”proses” dan unsur ”hasil atau tujuan akhir yang hendak dicapai”. Sebagai proses, maka pemberdayaan digunakan untuk memperoleh keberdayaan atau kemampuan mengembangkan keberdayaan, serta memperoleh dan menggunakan keberdayaan tersebut. Sedangkan pemberdayaan dipandang sebagai suatu hasil atau tujuan akhir yaitu sebagai keberdayaan. Lebih lanjut, Torre (1985) dalam Purnama (2006) menyimpulkan dalam sintesisnya bahwa pemberdayaan dapat
didefinisikan sebagai suatu proses dimana orang menjadi kuat atau mampu untuk berpartisipasi, memiliki kemampuan untuk mengontrol dan mempengaruhi peristiwa serta institusi-institusi yang berkaitan dengan kehidupannya. Pemberdayaan memiliki konsekuensi untuk memdidik orang untuk memperoleh ketrampilan, pengetahuan, serta tenaga yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya.
Menurut Ife (1995), ’empowerment aims to increase the power of
disadvantaged’, dalam tulisan yang sama Ife menjelaskan pemberdayaan pada aspek tujuan, bahwa pemberdayaan manusia dilakukan dengan meningkatkan sumber-sumber daya, kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi masa depan dan berpartisipasi dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat.
Pendapat lain mengatakan, bahwa pemberdayaan adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan yakni yang bersifat ”people-centered, participatory,
empowering, and sustainable. (Chambers, 1995 dalam Rudito, 2003)
Di dalam literatur pembangunan, konsep pemberdayaan bahkan memiliki perspektif yang lebih luas. Pearse dan Stiefel yang dikutip oleh Prijono (1996) mengatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif. Sedangkan pendapat Borrini dan Shanty yang masih dikutip oleh Prijono (1996) mendefinisikan dalam pespektif lingkungan, bahwa pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alami dan pengelolaan secara berkelanjutan.
Menurut Kartasasmita (1996) bahwa memberdayakan adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Karakteristik pemberdayaan masyarakat merupakan suatu gerakan yang diarahkan kepada dua komponen yaitu penggerak dan masyarakat yang digerakkan secara simultan. Perpaduan kedua komponen tersebut akan menghasilkan kemampuan, kemandirian, kinerja dan karya sehingga berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan kelembagaan.
Berdasarkan uraian-uraian mengenai pemberdayaan di atas, nampak bahwa pemberdayaan berorientasi kepada pembangunan masyarakat yang diharapkan
12
masyarakat dapat menjadi mandiri, memiliki kemampuan, memiliki akses terhadap sumberdaya yang berkelanjutan dan aktif berpartisipasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih berkualitas sehingga dari keadaan tidak berdaya atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya, yang dilaksanakan melalui suatu proses terencana dengan cara memberikan atau berbagi kekuasaan atau kekuatan dari mereka yang memiliki
kekuatan penuh (powerfull) yaitu pemerintah dan perusahaan kepada mereka yang
memiliki kekuatan lemah (powerless) yaitu masyarakat. Dimana pembangunan
masyarakat tersebut bercirikan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk
masyarakat, artinya tidak bersifat top down tetapi berpusat pada masyarakat (people
centered development), dalam rangka mewujudkan keberfungsian sosial.
Dalam pencapaian tujuan dari pemberdayaan, penerapan strategi pemberdayaan memerlukan komitmen untuk memelihara dan memperbaiki efektivitas pelayanan dan bisa mengeliminasi penilaian negatif dan diskriminatif bagi kelompok minoritas. Sebagaimana Ife (1995) juga menyatakan bahwa pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dari keadaan yang merugikan.
2.3. Urgensi Pemberdayaan dalam Masyarakat
Masyarakat yang ideal adalah jika masing-masing anggotanya dapat menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan posisi masing-masing yang disandangnya, namun pada tataran faktual, karena kemajuan dan ekspansi ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat pada saat ini, umat manusia mengalami keterasingan dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka tercabut dari nilai-nilai agama dan budayanya sebagai anggota masyarakat. Oleh karenanya dalam kondisi seperti itu masyarakat membutuhkan bantuan, keterlibatan dan kepedulian dari pihak lain untuk mengatasi permasalahannya, sesuai dengan jenis permasalahan yang mereka rasakan sehingga diharapkan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Jika fungsi setiap anggota masyarakat dapat dijalankan dengan baik maka keberfungsiaan sosial akan tercapai.
PBB (1987) mengungkapkan beberapa permasalahan masyarakat di negara berkembang adalah : kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan dan nutrisi, perumahan dan sanitasi yang tidak layak, anak-anak yang tidak diinginkan dan tidak terdidik, serta masalah sosial psikhologis yang menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan dalam suatu masyarakat.
Selama ini sudah banyak intervensi kegiatan atau program-program pemberdayaan yang telah dilaksanakan tetapi belum efektif dan belum menampakkan hasil yang optimal. Menurut Sulistiati (2006), beberapa analisis perkiraan kelemahan program pemberdayaan yang selama ini dijalankan yaitu :
1) Perencanaan program kurang didasarkan pada analisis kebutuhan (need analisys). Ini menjadi faktor penting, sebab pihak perencana program seringkali membuat
perencanaan dari atas (top down planning) dibanding perencanaan dari bawah
(bottom up planning).
2) Program lebih banyak memberikan bantuan material dibanding aspek
pemberdayaan (empowering).
3) Kurang ada koordinasi dan komunikasi lintas unit yang sama-sama fokus pada sasaran (coodination).
4) Kurang menyadari hakekat masyarakat sebagai sistem yang terkait erat dengan lingkungannya, sehingga setiap perencanaan program sebaiknya juga memperhatikan penguatan sub-sistem yang lainnya sebagai lingkungan seperti lapangan pekerjaan, pendidikan, perumahan dan kesehatan
5) Kurang diperhatikan aspek kesinambungan (sustainability)
6) Kurang dikembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait
(networking).
Tanggung jawab terhadap pembangunan sosial bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga tugas semua komponen yang terkait di dalamnya, antara lain masyarakat,
Dunia Usaha (Perusahaan) dan stakeholders lainnya.
Perusahaan merupakan salah
satu komponen yang ada di lingkungan masyarakat, yang dapat diandalkan sebagai mitra kerja pemerintah dalam membangun masyarakat atau mengembangkan masyarakat, tugas tersebut sebagai instrument strategis dalam menciptakan suatu masyarakat yang sejahtera, kokoh, kuat dan dapat diandalkan dalam segala aspek kehidupan.
Perusahaan sebagai Dunia Usaha, dapat mewujudkan keterlibatannya dalam pembangunan masyarakat melalui program-program yang dikemasnya sebagai
Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha/perusahaan (Corporate Social Responcibility).
Salah satu dimensi dari Corporate Social Responcibility (CSR) ini adalah Community
14
Untuk itu dunia usaha atau perusahaan yang memiliki posisi strategis dalam pendanaan sangatlah diharapkan peran dan kepeduliannya terhadap masyarakat disekitar perusahaan berada. Hal tersebut sebagai bentuk Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha/Perusahaan yang sekarang ini sedang digalakkan oleh pemerintah yang
dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui program-program
yang ada dalam CSR inilah diharapkan program pemberdayaan masyarakat di Desa
Babakan Pari Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi dapat dilaksanakan oleh PT. Aqua Golden Mississpi.
2.4. Tinjauan tentang Masyarakat
Pengertian masyarakat sering dihubungkan dengan kelompok orang yang hidup bersama di suatu tempat dan mempunyai nilai dan norma. Menurut Suparlan (1990), masyarakat adalah kumpulan dari sejumlah orang dalam suatu tempat tertentu yang menunjukkan adanya kepemilikan norma-norma hidup bersama walaupun didalamnya terdapat berbagai lapisan atau lingkungan sosial.
Pengertian lain disampaikan oleh Sadily (1993), masyarakat adalah segolongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertahan secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.
Merujuk pendapat Iver dan Page yang dikutip Soekanto (1990), menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. Dari kedua pengertian di atas, masyarakat merupakan sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu, dengan aturan yang berlaku di tempat tersebut berupa norma dan nilai atau dengan kata lain mempunyai adat istiadat sebagai hasil dari interaksi yang mereka lakukan sejak lama.
Menurut Linton yang dikutip Soekanto (1990), masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Sumarjan yang dikutip Soekanto (1990) menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.
Walaupun definisi-definisi tersebut di atas berlainan, akan tetapi pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu pengertian masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut
a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara teoritis angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama.
b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda mati seperti meja, kursi dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya, maka akan muncul manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti. Juga mempunyai keinginan untuk menyampaikan kesan atau perasaan-perasaan, sebagai akibat hidup bersama itu, tumbuhlah sistem komunikasi dan timbulah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.
c. Mereka sadar bahwa mereka adalah merupakan satu kesatuan.
d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.
Menurut Koentjaraningrat (1990) masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Definisi tersebut sejalan dengan yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin yang dikutip Koentjaraningrat (1990) yang merumuskan bahwa masyarakat atau society
adalah ”... The largest groupings in which common customs, traditions, attitudes, and
feelings of unity are operative. Dari definisi tersebut, masyarakat merupakan kesatuan manusia yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : interaksi antar warganya, adat istiadat, norma-norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warganya.
2.5. Tinjauan tentang Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate Social Reponsibility (CSR) yang dimaknai sebagai Tangung Jawab Sosial Perusahaan/Dunia Usaha adalah sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab dunia usaha terhadap masyarakat. Merujuk kepada Schermerhorn (1993) dalam Suharto (2007), mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai suatu
16
kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal. Secara konseptual, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah sebuah pendekatan, dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip sukarela dan kemitraan.
Konsep Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TSP) seringkali diidentikan dengan
Pengembangan Masyarakat (Community Development), yang akhir-akhir ini banyak
diterapkan oleh perusahaan dengan istilah Comdev. Sesungguhnya Community
Development (Comdev) merupakan salah satu dimensi dari Tanggung jawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Resposibility/CSR), karena CSR ini terdiri atas tujuh
dimensi yaitu : Pengembangan Masyarakat (Community Development), Keberagaman
(Diversity), Lingkungan (Environment), Hubungan Internasional (International Relationship), Marketplace Practices, Fiscal Responsibility, dan Tanggung jawab (Accountability).
Menurut Suharto (2007), Kalau ditelaah secara seksama, tujuan utama dari
Pengembangan masyarakat (Community Development) adalah bukan sekedar
membantu atau memberi sesuatu kepada masyarakat, melainkan berusaha agar masyarakat memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong dirinya
sendiri. Dengan kata lain, semangat utama Comdev adalah pemberdayaan
masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan Comdev biasanya diarahkan pada proses
pemberkuasaan, peningkatan kekuasaan, atau penguatan kemampuan para penerima pelayanan.
Pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan, yang biasa
dikemas dalam program Corporate Social Responsibility, Menurut Budimanta (2003)
dalam Rudito (2003) bertujuan untuk :
1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik disekitar wilayah perusahaan
2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat
3. Membantu pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah.
Pada dasarnya, sejalan dengan semangat Otonomi Daerah, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan upaya strategis untuk mendukung pelaksanaan pembangunan sosial, dimana permasalahannya semakin beragam dan kompleks sehingga diperlukan dukungan dari Dunia Usaha/Perusahaan. Hal tersebut harus disadari, bahwa tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha itu sendiri. Persolannya adalah bagaimana kepedulian dan tindakan dunia usaha untuk ikut berperan dalam pembangunan sosial.
Tujuan dari pembangunan sosial menurut pandangan ESCAP dalam Adi (2001)
pada dasarnya adalah ”development of the well being of the people” (untuk membangun
atau mengembangkan taraf hidup manusia). Berdasarkan tujuan tersebut, maka ESCAP melihat bahwa penekanan dari pembangunan sosial pada dasarnya ada pada
pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered
development), yaitu upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, dengan memfokuskan
pada pemberdayaan dan pembangunan itu sendiri.
Sehubungan dengan adanya pandangan betapa pentingnya kepedulian dan keterlibatan dunia usaha/perusahaan dalam pembangunan sosial, maka tanggung jawab sosial dunia usaha adalah merupakan etika bisnis yang menjadi panduan perilaku atau tindakan dunia usaha/perusahaan untuk menjalankan usaha bisnisnya itu sendiri dengan tetap memperhatikan norma, budaya masyarakat, dan budaya perusahaan yang berpihak pada lingkungan sekitarnya.
Tanggung jawab dunia usaha/perusahaan (CSR) dilaksanakan dalam suatu
tindakan-tindakan tertentu atau cara-cara tertentu dalam melayani kepentingan-kepentingan, baik internal perusahaan maupun eksternal perusahaan. Tindakan atau cara-cara tersebut biasanya direncanakan dan dilaksanakan dalam bentuk suatu program.
Menurut Johanes (2004) Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsbility (CSR) lahir dengan latar belakang beberapa hal, seperti :
1) Adanya kesenjangan antara dunia usaha dengan lingkungan sosial, sehingga
memicu disharmonisasi yang dapat menimbulkan inattentive (kurang diperhatikan),