• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOKOH KITA

Dalam dokumen Majalah PA Edisi 10 2016 (Halaman 59-64)

lama di dunia kampus, terutama untuk civitas fakultas syariah dan hukum. Salah satunya karena buku

masterpiece karangan Mukti yang

berjudul Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama adalah bacaan wajib bagi mahasiswa.

Mukti Arto lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah pada Oktober . Ayahnya seorang petani biasa dan ibunya pedagang di pasar. )a lahir dari keluarga besar. Saudaranya berjumlah orang. )a sebenarnya anak kedua, tetapi karena kakak dan beberapa adiknya meninggal waktu kecil, Mukti Arto menjadi anak tertua dari saudaranya yang hidup.

Pendidikan dasar ia selesaikan di SD Muhammadiyah di Sukoharjo tahun . Rumah paman saya dijadikan sekolah SD itu. Letaknya persis di depan rumah saya. Jadi begitu keluar rumah, langsung masuk kelas, kata sosok yang dilantik menjadi hakim agung Kamar Agama pada Agustus itu.

Lulus SD, atas anjuran kakeknya, Mukti melanjutkan ke Mu allimin sambil nyantri di Pondok Pesantren

K.(. Syamsuddin, Duri Sawo, Ponorogo. Sekolah Mu allimin itu harusnya diselesaikan selama tahun, namun karena kecerdasannya

yang menonjol, Mukti berhasil menyelesaikan dalam waktu tahun. Waktu kelas satu, hanya empat bulan, terus naik ke kelas dua. Kelas dua hanya delapan bulan, terus naik ke kelas tiga, tuturnya.

Mulai kelas atau setara kelas Aliyah, Mukti sudah disuruh mengajar Diniyah, Madrasah/SD. Selain itu, ia juga membina pengajian di beberapa masjid di lingkungan pesantren dari bakda magrib sampa isya. Sejak usia belia, Mukti memang sudah terbiasa berbicara di depan publik.

Lulus pesantren tahun , Mukti mendaftar ke )A)N Sunan Ampel Surabaya. Tapi setelah dinyatakan diterima, ayahnya menyusul ke Surabaya. Orang tuanya memintanya untuk kuliah di )A)N Jogja saja. Alasannya, selain lebih dekat dari Solo, biayanya juga lebih ringan. Mukti pun manut perintah ayahnya. Kuliah di )A)N Jogja pun ia jalani sampai menjadi sarjana penuh pada .

Dulu, sistem kuliah S tidak seperti sekarang. Masih ada sarjana muda dengan gelar B.A. dan doktoral dengan titel Doktorandus Drs . Sarjana muda normal diselesaikan tahun. Doktoral ditempuh tahun. )tu hanya kuliah saja, tidak ada

ujian. Selesai kuliah menunggu ujian. Sedangkan jadwal ujiannya tidak pasti, tergantung dosennya. Ada istilah kalau sudah doktoral itu jadi M.A., Mahasiswa Abadi, hehe... kata Mukti.

Mengetahui ketidakpastian jadwal ujian doktoral, Mukti ingin melakukan perombakan. )a pun minta izin pihak kampus untuk meminta soal ujian ke dosen-dosen. Mukti pun pernah nekad menghadap Prof. Sunaryo yang pernah jadi Menteri Dalam Negeri. Kebetulan Prof. Sunaryo waktu itu Rektor )A)N Jogja. Setelah mengutarakan maksudnya untuk meminta soal ujian, ia malah dimarahi rektor. Ujian kan hak saya, bukan hak kamu! kata Prof. Sunaryo waktu itu.

Entah karena ulah Mukti atau bukan, yang jelas, setelah era Mukti Arto, baru ada sistem penjadwalan ujian di )A)N Jogja. Di )A)N Jogja, Mukti Arto satu angkatan dengan Dr. (. Zainuddin Fajari, S.(., M.(., Ketua PTA Bandung dan Dr. (. Djayusman MS, S.(., M.(., M.Pd., Ketua PTA Jambi.

Gelar Sarjana (ukum Mukti Arto diperolehnya dari UNDAR)S Semarang pada . Lima tahun kemudian ia menyelesaikan Magister (ukum di U)) Yogyakarta pada . Gelar Doktor )lmu (ukum juga ia peroleh dari U)) tahun .

Organisasi, Dakwah dan Diplomasi

Waktu masih di Solo, Mukti aktif di organisasi Pelajar )slam )ndonesia P)) . Tapi ketika pesantren, kebetulan tempat pesantrennya itu NU. Kalau bukan NU tidak boleh pesanten di sana. Karena saya tidak punya aliran atau ideologi apa-apa, ya saya iktui saja. Apalagi waktu di SD itu meskipun SD Muhammadiyah, tapi amaliah ibadahnya cara NU. Ada qunut, ada usholli. Dulu memang seperti itu, tutur suami (j. Endang Maryani itu.

TOKOH KITA

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 10 | Des 2016

Waktu masih jadi panitera di Sukoharjo, Mukti aktif di KNP) dan pernah menjadi staff Sekretaris KORPR) Kabupaten. Sekretaris KORPR) dijabat Sekda Kabupaten. )tulah kenapa Mukti akrab dengan kalangan pejabat Pemda kala itu.

Di samping itu, Mukti juga aktif berdakwah mengisi pengajain di banyak tempat. )tu dilakoninya sejak ia masih panitera pengadilan.

Waktu masih berstatus panitera, ada peristiwa yang masih ia kenang sampai sekarang. Saat itu, ada orang pegawai di kantornya yang sudah tahun tidak naik pangkat. Tergugah dengan keadaan itu, Mukti kemudian pelajari kendalanya. )a konsultasi dengan berbagai pihak terkait. Selanjutnya ia urus sendiri kenaikan pangkat pegawainya itu ke Jakarta. (asilnya menggembirakan, koleganya itu semua naik pangkat. Usia saya waktu itu masih di bawah tahun, sejarah buat saya, kenangnya dengan mata berbinar.

Mukti Arto juga cukup piawai berdiplomasi dan melakukan lobi. Selain kisah pembangunan gedung PA Sukoharjo, ada cerita lain ketika ia bertugas di PA Bantul. Masalah pengadaan tanah untuk kantor PTA Yogyakarta. Alokasi tanah sudah disepakati Direktur Ditbinbapera

Depag, Pak Zainal Abidin Abu Bakar. (anya saja lokasi tanah itu tidak disetujui pihak Pemda Bantul.

Berbekal mandat dari Ketua PTA, Mukti menghadap Bupati Bantul. Ternyata ketidaksetujuan Bupati karena lokasi rencana pembangunan itu bukan diperuntukan bagi perkantoran, tapi untuk pabrik dan gudang-gudang. Setelah melalui komunikasi intensif, Bupati menyarankan untuk membangun kantor PTA di Dongkelan. Bahkan tanahnya disediakan oleh Bupati. Tidak hanya itu, orang nomor satu di Bantul itu juga mengganti uang panjar yang sudah diberikan untuk tanah terdahulu yang tidak disetujui itu. Akhirnya dibangunlah gedung PTA di daerah Dongkelan.

Awal mula menulis

Mukti Arto sudah menghasilkan karya tidak kurang dari buku sejak . Buku terakhirnya terbit tahun . Saat ini bukunya yang teranyar sedang dalam proses penerbitan. )a mengaku menulis buku karena termotivasi oleh S.F. Marbun.

Sejak Mukti sudah aktif mengajar di sejumlah kampus. Ketika sedang mengajar di kampus itu, Mukti membaca buku (ukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara karangan S.F. Marbun, S.(. Usai membaca buku itu, Mukti tertegun. S.F. Marbun saja yang hanya dosen dan bukan hakim atau panitera di PTUN bisa menulis buku (ukum Acara PTUN, saya yang dosen dan hakim harusnya juga bisa buat buku, begitu batinnya. Kalau saya yang dosen dan hakim tidak bisa menulis buku hukum acara, ya kebangetan, ujarnya memotivasi diri.

Saya harus menulis! kata Mukti. Kemudian ia kumpulkan diktat yang pernah dibuatnya beberapa tahun lalu di Solo. )a susun ulang. )a

kumpulkan lagi referensi. Ketika itu UU No. / belum lahir. Waktu itu mencari literatur untuk hukum acara PA belum ada. Yang pernah ada baru buku yang ditulis Pak Roihan A. Rasyid. Buku Pak Roihan itu ditulis sebelum UUPA lahir, ujarnya lagi.

Akhirnya jadilah buku Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama yang diterbitkan Pustaka Pelajar Yogyakarta. Buku ini yang kemudian menjadi titik awal yang memicu lahirnya belasan buku lainnya dari tangan piawai Mukti Arto.

Jangan tinggalkan Komputer, jawab Mukti ketika ditanya kiat- kiatnya dalam menulis buku. Menurutnya, begitu ada ide masuk, langsung tuangkan ke computer atau gajet lainnya. Catat dengan baik semua ide yang ada. Tidak apa- apa walaupun alur pikirnya belum nyambung. Nanti bisa diedit, katanya.

Semangat pembaruan

Buku itu ada beberapa macam menurut Mukti. Ada yang sifatnya reproduksi hasil ambil dari berbagai sumber dan kemudian dirangkum. Tapi data dan analisanya tidak ada yang baru. saya selalu berusaha menyajikan hal baru dalam buku- buku saya, tuturnya.

Semangat pembaruan juga selalu ia praktekan dalam mengadili sengketa para pencari keadilan. Mukti memberi contoh apa yang ia lakukan pada tahun atau ketika Undang-Undang tentang Peradilan Agama belum ada.

Ketika itu ada gugatan cerai dari seorang isteri dengan alasan penganiayaan. Suami berusaha menghindar dari PA dengan cara pindah agama menjadi penganut (indu. Bahkan ada surat keterangan mengenai pindah agama itu dari Parishada (indu Dharma. Suami kemudian mengajukan eksepsi

bahwa PA tidak berwenang mengadili perkara cerai gugat tersebut karena ia bukan Muslim lagi.

Mukti waktu itu menjadi hakim anggota. Yang menjadi ketua majelis Ketua PA. mereka berbeda pendapat dan berdebat. Menurut ketua majelis, PA tidak berwenang berdasarkan staatsblad yang ada. Mukti bersikukuh PA berwenang. Alasannya, staatsblad itu bertentangan dengan undang- undang dan harus dikesampingkan. Mukti berprinsip, jika suami isteri menikah secara )slam, maka mereka seluruhnya tunduk pada hukum )slam.

Akhirnya ketua majelis mengalah. Kalau begitu Pak Mukti saja ketua majelisnya, katanya seperti dituturkan Mukti. Menjadi ketua majelis, Mukti kemudian menolak eksepsi tergugat. Gugatan penggugat dikabulkan. Tergugat marah-marah sambil menyodorkan sebuah buku. Mukti bergeming. Prinsipnya dipegang teguh.

Tidak terima dengan putusan itu, Tergugat banding dan kasasi. Yang terjadi adalah putusan Mukti

dikuatkan dari tingkat banding sampai kasasi. Jadi, kita harus berani melakukan penemuan hukum karena hukum itu statis sedangkan kebutuhan itu dinamis. )tu sudah saya mulai sejak an, ujar Mukti mantap.

Masih terjadi pada kurun an, Mukti memberikan contoh lain. Kali ini tentang pengangkatan anak. Menurutnya, ia yang pertama memutus perkara pengangkatan anak yang pertama kali di pengadilan agama di )ndonesia. Gara-gara itu, ia sempat dimarahi dan diperiksa hakim tinggi. Tapi Mukti merasa dirinya berjuang untuk menegakan kebenaran dan keadilan.

Sampai akhirnya Mukti pun dipanggil Ketua PTA. Mohon maaf Pak, saya dipanggil untuk menerima instruksi atau diskusi? Jika instruksi, saya akan diam, dengarkan dan akan saya laksanakan. Silahkan Bapak berikan instruksi. Tapi jika untuk diskusi, izinkan saya berpendapat, kata Mukti di kantor PTA.

Kita diskusi saja dik, kata Ketua PTA. Setelah berdiskusi, Ketua PTA

menerima argumentasi Mukti Arto. Tapi undang-undangnya belum ada, dik, kata Ketua PTA lagi.

Kalau menunggu undang-undang, lama Pak. Putusan hakim itu lebih dari undang-undang. Jadi hakim lah sebenarnya pembentuk undang- undang untuk kasus per kasus, jawab Mukti.

Mukti berani melakukan pembaruan hukum dengan dasar untuk melindungi masyarakat. Khairunnas anfa uhum linnaas adalah mottonya sejak dulu. )a ingin memberikan manfaat untuk siapa pun dan jangan sampai merugikan orang lain. Karena menurutnya, jika merugikan orang lain, sebenarnya yang rugi adalah diri sendiri.

Penemuan hukum oleh hakim menurut kakek dua cucu ini adalah semata-mata demi mewujudkan keadilan. Jika ada teks hukum yang dirasa tidak adil, harus dikesampingkan.

Indikasi putusan yang adil

(akim seharusnya fokus pada keadilan dan kebenaran. Mukti

TOKOH KITA

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 10 | Des 2016

Dr., Drs. H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum

TTL : Sukoharjo, 11 Oktober 1951

Alamat : Apartemen Rumah Jabatan Anggota Lembaga Tinggi Negara, Kemayoran Jakarta Pusat

Isteri : Hj. Endang Maryani

Anak : 1. Adjie, 2. Wiwin, 3. Fatma, 4. Faqih Cucu : Rasya dan Sherin

Pendidikan:

1964 : Madrasah Muhammadiyah Sukoharjo. 1969 : Kulliatul Muallimin di Pondok Pesantren

Duri Sawo, Ponorogo.

1975 : Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1994 : Fakultas Hukum, UNDARIS Semarang. 1999 : Magister Hukum, UII Yogyakarta. 2011 : Doktor Ilmu Hukum, UII Yogyakarta.

Pekerjaan:

1976-1981 : Panitera PA Sukoharjo. 1981-1986 : Hakim PA Klaten 1987-1992 : Wakil Ketua PA Sukoharjo 1987-1989 : Ymt. Ketua PA Sukoharjo 1992-1999 : Ketua PA Bantul 1999-2004 : Ketua PA Sleman

2004-2006 : Hakim Tinggi PTA Yogyakarta 2006-2011 : Hakim Tinggi PTA Jakarta 2012-2014 : Wakil Ketua PTA Ambon 2014-2015 : Wakil Ketua PTA Jambi 18 Mei 2015 : Ketua PTA Bengkulu

5 Agustus 2015-sekarang: Hakim Agung MA RI

Pengalaman Mengajar:

Selain menjadi nara sumber pada kegiatan diklat teknis di Pusdiklat Mahkamah Agung dan Pusdiklat Teknis Kementerian Agama serta nara sumber pada bimbingan teknis Ditjen Badilag MA RI, Mukti Arto juga tercatat menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi:

1979-1982 : Dosen di UII Cabang Surakarta 1982-1988 : Dosen di UNIS Surakarta 1989-1994 : Dosen di IIM Surakarta 1986-1992 : Dosen di UNISRI Surakarta 1988-1993 : Dekan Fak. Syariah IIM Surakarta 1993-2006 : Dosen di IAIN Yogyakarta

2002-2006 : Dosen di UMY Yogyakarta 2002-2011 : Dosen di UII Yogyakarta

2014-2015 : Dosen Pascasarjana IAIN STS Jambi 2016 : Dosen Pascasarjana IAIN Bengkulu

Publikasi (Buku):

1. Hukum Acara Peradilan Agama tahun 1981. 2. Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama

tahun 1996.

3. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung (Redefi nisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Masa Depan) tahun 2000.

4. Mencari Keadilan (Kritik dan Solusi atas Praktik Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan) tahun 2003.

5. Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam tahun 2008.

6. Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia tahun 2012.

7. Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim tahun 2015.

8. Pedoman Pelaksanaan Tugas Hakim Tinggi Peradilan Agama (Trilogi Tugas Pokok Dan Fungsi Hakim Tinggi) tahun 2015.

9. Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, dalam proses penebitan.

berpendapat ada lima hal yang mengindikasikan adilnya putusan hakim. Pertama, amar putusan

hakim yang adil adalah jika pihak yang berhak itu mendapatkan haknya.

Kedua, putusan yang adalah adalah

manakala pihak yang berkewajiban memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.

Ketiga, terdapat keseimbangan

antara hak dan kewajiban atau antara kontribusi dan distribusi. Keempat,

tidak ada pihak yang menang secara tidak halal. )ni yang jarang sekali dikemukakan orang, ungkap Mukti. Sedangkan yang kelima adalah

terwujudnya perlindungan hukum dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara tersebut.

Fungsi pengadilan itu layaknya

seperti rumah sakit. Orang yang masuk rumah itu tidak ada yang sehat. Sama halnya dengan orang yang masuk berperkara ke pengadilan, semuanya pasti berpenyakit. Nah, tugas kita bagaimana menyembukan penyakit itu. Kalau semuanya tertib, tidak perlu lagi ada pengadilan. Jangan karena alasan para pihak melanggar undang-undang, kemudian tidak kita layani, tandas Mukti.

Saya berharap kepada hakim- hakim, terutama yang muda-muda, agar menjadi hakim yang mujtahid. Jangan jumud. Berijtihadlah demi keadilan. Jadilah mujtahid dan mujaddid. (akim harus punya jiwa mujaddid, istilah sekarangnya progresif, pungkas Mukti.

(Achmad Cholil | Photo: Iwan Kartiwan)

Apabila ditelusuri, sejak awal masa sahabat Nabi, telah banyak ijtihad dan inovasi dalam upaya menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum waris ini. Praktek dan upaya ijtihad dalam hukum waris sebenarnya terus berlanjut, terlebih lagi pada masa kontemporer ketika struktur masyarakat dan keluarga mengalami perubahan yang sangat dinamis. (azairin w. , seorang pemikir hukum waris dari )ndonesia, misalnya, menggagas konsep waris bilateral dan adanya ahli waris pengganti mawali.

Bahkan Munawir Sjadzali w. mengemukakan gagasan yang berbeda dengan bunyi teks Al-Qur`an. )a menyatakan bahwa bagian waris anak perempuan saat ini, karena konteks dan situasinya berbeda dengan ketika ayat waris turun, seharusnya sama besar dengan bagian waris yang diterima anak laki-laki.

(asil ijtihad kontemporer terkait hukum waris )slam umumnya didasarkan pada prinsip keadilan yang dipandang sebagai nilai substansial dari ayat-ayat waris, sehingga ketentuan waris yang dianggap tidak mencerminkan nilai keadilan berusaha untuk direvisi dan direformulasi. Dalam ijtihad hukum waris kontemporer, konsep yang sering digunakan antara lain adalah wasiat wajibah. Konsep wasiat wajibah ini seringkali diberlakukan

2 Untuk menyebutkan sebagian kecil hasil ijtihad para sahabat dalam masalah waris ini adalah masalah yang terkenal dengan sebutan gharawain, musyarakah, akdariyah dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut, walaupun merupakan inovasi penyelesaian waris yang brilian, tetapi tidak semua sahabat sependapat dengan hasil ijtihad tersebut.

3 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 16-17 dan 27-30.

4 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 7-8 dan 70-71.

Dalam dokumen Majalah PA Edisi 10 2016 (Halaman 59-64)