• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAWANCARA EKSKLUSIF

Dalam dokumen Majalah PA Edisi 10 2016 (Halaman 56-59)

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 10 | Des 2016

qaumihi li yubayyina lahum, harus

pake lisan kaum. Nanti saya jelaskan lisan kaum ini apa kalau di )ndonesia. Yang ketiga “khotibun naasa bi qodri ‘uqulihim, pake akal kaum, itu hadis

tapi sama maksudnya dengan lisan itu. Baru yang keempat “wa idfa’ billati hiya ahsan, apa sih kelebihannya?

Makanya orang )slam dimana-mana terpental karena terbalik terutama yang pulang dari Timur Tengah yang tidak mengerti falsafah negara. Mereka masih menolak itu.

Bil hikmah, yaitu masuk ke dalam

sistem, ada penyesuaian dalam sistem. Di )ndonesia itu ada Teori Resepsi. Suka tidak suka, teori resepsi itu masih berjalan. )tu kan sama statusnya dengan Nabi Khaidir, orangnya sudah mati tapi nyawanya masih hidup. Berdasarkan pengalaman, sangat mudah di dunia )slam masuk ke dalam negara nasional, hal itu karena kita kalah perang dunia. Jadi negara nasional itu karena mereka menang, akhirnya teori resepsi berjalan.

Orang )ndonesia ini masih mempertahankan pengalaman Timur Tengah yang sebagian memang negara )slam seperti di Saudi. Tapi dari segi peradaban, Timur Tengah itu kan negara yang sangat terbelakang, tidak bisa dijadikan imam. Kecuali semangatnya yang diambil. Maka kalau kita memperjuangkan hukum )slam, kita pakai bil hikmah, masuk

ke dalam sistem negara ini supaya mendapat tempat.

Nah sekarang diantara kita banyak teori yang tidak ingin masuk sistem karena lupa yang dibaca itu iqih- iqih oplosan. Fiqih yang di luar sistem itu yang masuk ke pesantren segala macam itu semua karena kebetulan lagi dijajah. Situasi sekarang ini berbeda. Jadi kita harus memperhitungkan karena politik negara ini negara Pancasila, ya kita harus sejalan dengan Pancasila, ya

disebut akal dan lisan Pancasila begitulah kira-kira.

Apa Prof Yudian juga mengamati perkembangan penerapan hukum Islam di peradilan agama?

Yah sebagian aja. Tapi begini saya melihat ada yang namanya draft- draft itu bagus, cuma saya melihat masih banyak umat )slam ini yang mau ngotot seperti yang saya bilang. Sebagai contoh, tahun , saya pernah diajak membahas tentang draft anak, itu lho usia nikah itu kan kalau di hadistnya kan baligh. Dulu pemerintah kita tentu dengan rekomendasi para ulama membatasi usia pernikahan untuk perempuan tahun dan laki-laki tahun. )tu contoh dari saddu dzariah. Terus

KTP dikasih status kawin, tidak kawin, termasuk agama di situ. )tu yang namanya kehadiran negara yang saya sebut dengan demokrasi konstitusional. Jadi negara hadir membela kita, memproteksi dan nanti memberikan fasilitasnya.

Pada saat membahas itu saya

mengusulkan usia perempuan itu dinaikkan jadi tahun. Alasannya sederhana, karena di )ndonesia ini orang kalau sudah menikah sebelum tamat SLTA itu mati sejarahnya, karena belum ada afϔirmative action yang

memperbolehkan orang yang sudah menikah itu sekolah bukan kuliah . Jadi, katakanlah ada perempuan umur tahun nikah itu sudah pasti tidak bisa berkembang, habis umurnya padahal tujuan pernikahan itu apa? Bukan hanya keturunan,

sakinah, mawaddah, wa rahmah. Bisa gak sakinah kalau gajinya sedikit?,

anaknya banyak?, orangnya misalnya belum punya pendapatan tetap? Suami isteri seperti itu bisa gak sakinah? Kalau senang-senangnya paling satu tahun saja, setelah itu pusing terus mereka. Maka dari itu ada yang namanya saddu dzariah tadi.

Nah, kalau tahun ini kan harapannya minimal tamat SMA atau SLTA. Nah kalau nikah, Perguruan Tinggi tidak mempersoalkan, jadi orang ini masih bisa berkembang. Berkembang itu sesuai dengan syariah kan, kebahagiaan kan di dunia

dan di akhirat. Salah satu syarat orang untuk hidup kan pakai ilmu, makanya

iqra turun duluan. Kalau ditarik ke

usia artinya itu saddu dzariah,

itu memberikan kesempatan atau proteksi kepada perempuan terutama perempuan yang sudah nikah itu supaya bisa berkembang kalau mereka menghendaki. kalau tidak kan lain cerita, tapi itu hak Konstitusional. Dengan begitu, usia laki-laki dengan sendirinya dinaikkan. Sama logikanya. Tapi ketika saya bicara begitu, ada yang menuduh yahudi, zionis, orientalis. Padahal itu saya pakai ushul fiqih. Nah, sekarang sudah jadi belum? Belum jadi kan? Ada juga yang komentar orang mau ibadah kok dilarang? Lho, memangnya kalau mau ibadah langsung boleh-boleh saja? Kalau mau ibadah langsung harus boleh? Nanti dulu, lihat merusak apa tidak untuk dirinya sendiri. Contoh, orang mau wasiat, apa kata Rasulullah? Sepertiga saja supaya kamu tidak hancur karena kebaikanmu itu. )slam itu dermawan tapi bukan dermawanisme, jelas yah? Sekarang ada orang yang cuma mau sholat boleh gak itu? tidak boleh karena )slam itu sholat tapi bukan

sholatisme. Terus ada lagi yang burungnya mau diputus tidak usah nikah gitu kan enak aja dikira )slam ini bujangisme, tidak lah.

Sekarang lihat dalam iqih, apa hukumnya wudhu dalam keadaan berkeringat? Makruh, kenapa makruh? )tu karena ke atas dapat pahala ke diri sendiri merusak. Makanya tidak boleh, sebaiknya jangan dilakukan.

Apa saran atau masukan Bapak untuk hakim peradilan agama kaitannya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia?

Saran saya selalu peningkatan Sumber Daya Manusia. (al itu bisa dilakukan dengan dua hal. (akim- hakim PA harus mengambil lagi kuliah. Pertama, kalau yang belum Doktor, harus sampai Doktor (ukum )slam. Yang kedua, penguasaan Bahasa Arab dan Ushul Fiqih hakim- hakim PA harus merujuk kepada level yang disebut ijtihad itu.

Saya melihat belakangan ini di Fakultas Syariah saja, pada umumnya kemampuan bahasa Arab dan Ushul Fiqih mahasiswa sudah sangat menurun. Bahkan sudah sampai S tapi kemampuan Bahasanya parah.

Perlu ada afϔirmative action di situ.

Dengan peningkatan dua bidang itu, maka akan lahir hakim- hakim PA yang mampu mengkaji masalah-masalah pelik. Di samping melaksanakan bunyi Undang- Undang, hakim kan juga punya hak diskresi. Nah bagaimana Anda bisa menggunakan hak diskresi tersebut jika tidak mengerti caranya. Maka menurut saya, penguatan kemampuan Bahasa Arab dan Ushul Fiqih itu mutlak bagi hakim PA.

Coba lihat, ada kecenderungan S dan S PTA)N sekarang ini yang mengarah ke social sciences. Akan lebih banyak orang pintar sosiologi atau politik tapi tidak mengerti lagi yang namanya Ushul Fiqih. Mereka seolah-oleh sudah hebat sekali padahal itu sebagian kecil dari Ushul Fiqih.

| M. Isna Wahyudi, Achmad Cholil, A. Zaenal Fanani, Rahmat Arijaya, Mahrus AR, Mohammad M. Noor |

Biograϐi

Yudian Wahyudi lahir di Balikpapan, 1960. Tamatan Pesantren Tremas Pacitan, 1978 dan Al-Munawir Krapyak, 1979. Gelar BA dan Drs. Diperolehnya dari IAIN Sunan Kalijaga, 1982-1987. Yudian pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM, 1986. Lalu, Yudian me-nyambung master ke McGill University, Montreal Kanada, 1993. Seterusnya doktoral, dengan gelar Ph.D yang disandangnya dari McGill, 2002. Yudian menerbitkan lebih dari 53 terjemahan dari Arab, Inggris, dan Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Selain tentunya, banyak karya publikasi dan buku karangannya. Yudian juga berpengalaman mempresentasikan makalah di forum internasional, yang melintasi lima benua, tak terkecuali kampus besar dunia: Harvard, Yale, dan Princeton.

WAWANCARA EKSKLUSIF

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 10 | Des 2016

P

enggalan percakapan itu terjadi pada tahun an di Kantor Bupati Sukoharjo. Yang dimaksud Pak Mukti dalam dialog itu adalah Mukti Arto. Jabatannya saat itu adalah Panitera Pengadilan Agama Sukoharjo. Perawakannya memang kecil dan usianya waktu itu masih di bawah tahun. Keperluannya saat itu adalah mengurus pengadaan

tanah untuk kantor PA Sukoharjo.

Percakapan di atas menggambarkan kedekatan Mukti Arto dengan pejabat lintas institusi. )a memang dikenal luwes dan mudah bergaul dengan berbagai kalangan, sampai-sampai Bupati pun mengganggapnya seperti anak sendiri.

Berkat lobi Mukti, gedung kantor PA Sukoharjo berdiri di kompleks Masjid Raya Sukoharjo, Jl. Slamet Riyadi, sebelum akhirnya pindah ke gedung baru pada

awal .

Perjalanan karir Mukti Arto dari seorang panitera menjadi hakim agung cukup berliku. Sosok yang dikenal luas sebagai dosen dan penulis sejumlah buku ini namanya sudah berkibar

Dr., Drs. H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum

H a k i m A g u n g M a h k a m a h A g u n g RI

H a kim Agu n g

Dalam dokumen Majalah PA Edisi 10 2016 (Halaman 56-59)