PERBEDAAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT
TINGGI ANTARA SISWA YANG MENGGUNAKAN MODEL
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED
LEARNING) DAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
(PROJECT BASED LEARNING) PADA KONSEP FUNGI
(Penelitian Kuasi Eksperimen di SMAN 39 Jakarta)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
LATIFA NURRACHMAN
1110016100023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
v
Latifa Nurrachman, 1110016100023, Perbedaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) pada Konsep Fungi, Skripsi, Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) pada konsep fungi. Penelitian ini dilakukan di SMAN 39 Jakarta Tahun Pelajaran 2014/2015 dengan metode kuasi eksperimen yang menggunakan desain two group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas X MIA 1 berjumlah 36 orang sebagai kelas eksperimen I (kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah) dan siswa kelas X MIA 2 berjumlah 36 orang sebagai kelas eksperimen II (kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis proyek). Instrumen penelitian berupa soal uraian sebanyak 15 soal dan lembar observasi guru. Analisis data kedua kelompok menggunakan uji beda Mann Whitney U, diperoleh harga signifikansi sebesar 0,264 lebih besar dari harga alpha sebesar 0,05 (Sig > α ). Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) pada konsep fungi.
vi ABSTRACT
Latifa Nurrachman, 1110016100023, Differences High Order Thinking Skill Between Students Using Problem Based Learning Model and Project Based Learning Model on The Concept of Fungi, BA Thesis, Biology Education Study Program, Department of Natural Science Education, Faculty of Tarbiya and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.
The aim of this research study is to determine the differences high order thinking skill between students using problem based learning model and project based learning model on the concept of fungi. This research was conducted at SMAN 39 Jakarta academic year 2014/2005 with a quasi experimental method which uses two design group pretest posttest design. Sampling in this study was purposive sampling technique. The sample were class X MIA 1 with 36 students as the first experimental class (class using problem based learning model) and X MIA 1 with 36 students as the second experimental class (class using project based learning model). The instrument test were an essay test consist of 15 question and teacher observation sheet. Data analysis the two groups was Mann Whitney U test, the result of significance value is 0,264 over alpha value 0,05
(Sig > α). This suggest that there were no differences high order thinking skill
between students using problem based learning model and project based learning model on the concept of fungi.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya
dengan ridho-Nya yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi
dengan judul Perbedaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) pada Konsep Fungi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terima kasihkepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Baiq Hana Susanti, M.Sc., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Zulfiani, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Zulfiani, M.Pd., Dosen pembimbing I dan Dr. Yanti Herlanti, M.Pd.,
Dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan
skripsi ini.
5. Meiry F. Noor, M.Si., Dosen pembimbing akademik pendidikan biologi A
2010 yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan.
6. Seluruh dosen dan staf karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bantuan untuk
menyelesaikan penelitian ini.
7. Drs. H. Sukandi, MM., Kepala Sekolah SMA Negeri 39 Jakarta yang telah
memberi izin untuk melaksanakan penelitian ini dan Dra. Tri Hardani, guru
bidang studi Biologi Kelas X SMA Negeri 39 Jakarta yang telah memberikan
viii
8. sSiswa kelas X MIA 1 dan X MIA 2 SMA N 39 Jakarta yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini.
9. Ayah (Abdul Rahman) dan Ibu (R.Rahmawati) tercinta serta adik (Zaini Hadi
Nurrahman dan Latisya Citra Nurrahman) yang selalu mendoakan serta
memberikan motivasi kepada penulis.
10. Seluruh kawan-kawan Pendidikan Biologi 2010 yang tidak dapat disebutkan
satu persatu. Terima kasih selalu memberikan semangat dan bantuan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
11. Seluruh kawan-kawan PPKT SMA Negeri 4 Depok yaitu Aldian Kurnia
Putra, Bayu Purnomo, Kurnia Dewi N, Ardi Wahyudi, dan Mulianingsih yang
selalu memberikan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.
12. Asisten laboratorium pendidikan kimia dan pendidikan biologi FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan bantuan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
13. Kawan-kawanku, Anastasya desy P, Amalia Amin, Zulfah F, Sekar Wisma
W, Anas Binazar yang telah memberikan semangat dalam penelitian ini.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung
maupun tidak langsung, penulis mengucapkan terima kasih.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
khususnya.
Jakarta, Mei 2015
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Identifikasi Masalah………...5
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Kegunaan Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Kajian Teoritis ... 8
1. Kajian Teoritis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 8
2. Kajian Teoritis Teori Belajar Konstruktivisme ... 24
3. Kajian Teoritis Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) ... 28
4. Tinjauan Konsep Fungi ... 42
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 44
x
D. Hipotesis Penelitian ... 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49
B. Metode Penelitian ... 50
C. Variabel Penelitian ... 51
D. Populasi dan Sampel ... 51
E. Teknik Pengumpulan Data ... 52
F. Instrumen Penelitian ... 52
G. Prosedur Penelitian ... 56
H. Kalibrasi Instrumen ... 57
I. Teknik Analisis Data ... 61
J. Hipotesis Statistik ... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 68
1. Data Hasil Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II... 68
2. Data Hasil Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah) Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II... 73
B. Analisis Data Tes Hasil Belajar ... 77
1. Uji Normalitas ... 77
2. Uji Beda Gain (Uji Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 78
3. Uji Homogenitas Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah ... 79
4. Uji Hipotesis Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah ... 80
C. Data Hasil Observasi Kegiatan Pembelajaran ... 80
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 81
xi
B. Saran ... 90
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1Perbedaan Problem Solving Test dan Exercise Solving Test ... 20
Tabel 2.2Sintaks PBL ... 31
Tabel 2.3KI dan KD Konsep Fungi ... 42
Tabel 3.1Tahapan Persiapan, Uji Coba, dan Penelitian ... 49
Tabel 3.2Jadwal Penelitian Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II ... 50
Tabel 3.3Desain Penelitian... 51
Tabel 3.4 Kisi-Kisi Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Konsep Fungi ... 53
Tabel 3.5 Kisi-Kisi Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Konsep Fungi ... 55
Tabel 3.6Interpretasi Kriteria Realibilitas Instrumen... 59
Tabel 3.7Interpretasi Tingkat Kesukaran ... 60
Tabel 3.8Interpretasi Daya Pembeda ... 60
Tabel 4.1 Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) ... 68
Tabel 4.2 Hasil Ketercapaian Belajar (Keterampilan Berpikir TingkatTinggi) Sub-Konsep Pretest,Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I danKelas Eksperimen II ... 69
Tabel 4.3Hasil Ketercapaian Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II ... 72
Tabel 4.4Hasil N-Gain (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II ... 72
Tabel 4.5 Pretest, Posttest, dan N-Gain Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II (Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah) ... 73
Tabel 4.6Hasil Ketercapaian Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah)
xiii
Tabel 4.7Hasil Ketercapaian Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat
Rendah) Jenjang KognitifPretest dan Posttest Kelas Eksperimen I
dan Kelas EksperimenII ... 75
Tabel 4.8Uji Normalitas Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Siswa Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II ... 77
Tabel 4.9Uji Normalitas Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah
Siswa Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II ... 78
Tabel 4.10 Uji Beda Gain (Uji Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir
Tingkat Tinggi ... 79
Tabel 4.11 Uji Homogenitas berdasarkan Gain Keterampilan Berpikir
Tingkat Rendah ... 79
Tabel 4.12Uji Hipotesis berdasarkan Gain Keterampilan Berpikir Tingkat
Rendah... 80
Tabel 4.13 Data Hasil Observasi Guru selama Pembelajaran di Kelas
Eksperimen I ... 80
Tabel 4.14 Data Hasil Observasi Guru selama Pembelajaran di Kelas
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen I ... 97
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen II ... 141
Lampiran 3. LKS Kelas Eksperimen I ... 191
Lampiran 4. LKS Kelas Eksperimen II ... 223
Lampiran 5. Instrumen Tes Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi... 258
Lampiran 6. Rubrik Penilaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi... 273
Lampiran 7. Rekap Analisis Butir Soal Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah... 284
Lampiran 8. Instrumen Soal Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah ... 286
Lampiran 9. Data Nilai Pretest dan Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen I dan II ... 292
Lampiran 10.Nilai Pretest, Posttest, dan N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen I dan II ... 300
Lampiran 11.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Tiap Subkonsep Kelas Eksperimen I dan II ... 303
Lampiran 12.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Tiap Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif I dan II ... 315
Lampiran 13.Data Nilai Pretest dan Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Kelas Eksperimen I dan II... 331
Lampiran 14.Nilai Pretest, Posttest, dan N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Kelas Eksperimen I dan II... 339
Lampiran 15.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Tiap Subkonsep Kelas Eksperimen I dan II ... 341
Lampiran 16.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Tiap Jenjang Kognitif Kelas Eksperimen I dan II ... 353
Lampiran 17.Uji Normalitas Gain ... 365
Lampiran 18.Uji Beda Gain (Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 366
xv
Lampiran 20.Uji T Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah ... 368
Lampiran 21.Lembar Wawancara Guru ... 369
Lampiran 22.Nilai Siswa Pada Materi Sebelum Fungi ... 370
Lampiran 23.Uji Beda Gain (Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif ... 372
Lampiran 24.Lembar Observasi Guru Kelas Eksperimen I... 373
Lampiran 25.Lembar Observasi Guru Kelas Eksperimen II ... 385
Lampiran 26.Lembar Uji Referensi ... 397
Lampiran 27.Surat Permohonan Izin Penelitian ... 407
Lampiran 28.Surat Keterangan Penelitian ... 408
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi, setiap bangsa memiliki visi yang sama yaitu maju dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. UNESCO Science Report 2010 dalam
Sari menyatakan bahwa kejayaan suatu bangsa di era globalisasi seperti sekarang
ini ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang menguasai sains dan
teknologi (saintek).1Keunggulan dalam saintek mampu menciptakan berbagai
barang dan jasa yang baik serta diminati oleh berbagai negara. Akibatnya,
ekonomi negara tersebut akan maju. Sebaliknya, jika suatu negara tidak unggul
dalam saintek, maka negara tersebut akan bergantung kepada negara lain.
Keunggulan dalam saintek ditentukan oleh kualitas pendidikan. Kegiatan
pendidikan dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang bermutu
mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan di era globalisasi
sehingga menjadikannya manusia unggul dalam bidang saintek. Salah satu
indikator pembelajaran bermutu adalah dapat membelajarkan peserta didik belajar
secara mandiri dan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah proses berpikir untuk
menemukan jawaban atau solusi di tengah-tengah situasi yang sulit dan
membingungkan dengan cara mengambil informasi baru dan informasi yang
tersimpan dalam memori kemudian mampu menguhubungkannya menjadi
informasi yang lebih luas sehingga solusi ditemukan. Berpikir tingkat tinggi pada
Taksonomi Bloom berada pada proses kognitif analisis (C4), evaluasi (C5), dan
kreasi (C6). Proses kognitif menganalisis dan mengevaluasi digolongkan ke dalam
1
berpikir kritis (critical thinking), sementara mencipta digolongkan ke dalam
berpikir kreatif (creative thinking).2
Siswa memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak hanya hafal
informasi tetapi memiliki kemampuan menerapkan informasi pada situasi baru.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi juga meliputi keterampilan siswa dalam
menalar.3
Indonesia tidak termasuk negara yang diperhitungkan dalam perkembangan
saintek.4 Hal ini dikarenakan prestasi pendidikan Indonesia yang masih rendah.
Prestasi ini dinilai dari kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal yang
menggunakan daya pikir tingkat tinggi. Berdasarkan data PISA tahun 2012 yaitu
dari 65 negara peserta, peringkat Indonesia untuk kemampuan matematika dan
sains berada di posisi 64.5Siswa di Indonesia hanya terbiasa dengan soal-soal rutin
pada level 1 dan level 2 sehingga nilainya rendah ketika diberi soal dengan
standar PISA yang terdiri atas level 1-6 dan soal bersifat kontekstual.6
Pemerintah menerapkan kurikulum 2013 untuk menghadapi tuntutan
pendidikan di era globalisasi.Tema pengembangan kurikulum 2013yaitu
kurikulum yang dapat menghasilkan insan indonesia yang produktif, kreatif,
inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
terintegrasi.7Kompetensi sikap yang harus dimiliki siswa berupa perilaku yang
mencerminkan sikap orang beriman, jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santu,
responsif dan pro-aktif.Selain itu, siswa juga memiliki pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam berbagai bidang ilmu
2
Muslimin Ibrahim, “Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking)”, Makalah yang disampaikan pada seminar Pendidikan FMIPA di Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 11 April 2015), h. 3
3
Emi Rofiah, Nonoh Siti Aminah, Elvin Yusliana Ekawati, “Penyusunan Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Pada Siswa SMP”, Jurnal Pendidikan Fisika, Vol. 1, No. 2,September 2013,ISSN: 2338 - 0691, h. 17.
4
Sari., loc. cit. 5
OECD, PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know, 2015, p.5, (http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results-overview.pdf)
6
I Ketut Kertayasa, Tanpa Judul, 2014,
(http://www.indonesiapisacenter.com/2014/03/tentang-website.html) 7Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014, “
3
pengetahuan sebagai kompetensi pengetahuan. Kompetensi keterampilan
menuntut siswa memiliki kemampuan bertindak secara efektif, kreatif dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan dalam mengaplikasikan materi
yang dipelajari di sekolah di kehidupan sehari-hari.8
Pola pembelajaran kurikulum 2013 menekankan kepada high order thinking
skill.9 Keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dapat dikembangkan dengan
teknik pembelajaran yang mendorong siswa menggali pengetahuannya secara
aktif dan mandiri. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu menggunakan
pembelajaran berdasarkan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan
konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu
dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna.10
Model pembelajaran yang sesuai paham konstruktivisme dan kurikulum
2013 diantaranya Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning).11Pembelajaran berbasis
masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada siswa dan
menggunakan masalah dalam dunia nyata sebagai bahan bagi siswa untuk belajar.
Masalah yang dihadirkan bersifat rumit sehingga tidak ada jawaban atau prosedur
yang jelas untuk diikuti oleh siswa. Siswa menganalisis masalah, konteks dan
menerapkan proses berpikir deduktif dan induktif untuk memahami masalah dan
menemukan solusi.12 Sementara itu, pembelajaran berbasis proyek adalah metode
pembelajaran yang melatih kemampuan siswa untuk membuat suatu produk guna
mengaplikasikan pengetahuannya dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
Pembelajaran berbasis proyek memiliki sifat menjelajahi daerah baru, menemukan
8
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA), (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), h. 12
9
Kemdikbud, Perubahan Pola Pikir dalam Kurikulum 2013, 2014, h. 39, tersedia melalui kemdikbud.go.id diakses pada tanggal 2 April 2015.
10
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet ke 2, h. 69
11
Salinan Lampiran Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, h. 3, tersedia melalui akmadsudrajat.wordpress.com diunduh pada tanggal 12 Mei 2015.
12
masalah ilmiah baru dan mengintegrasikan pengetahuan dari mata pelajaran yang
berbeda.13
Persamaan kedua model ini antara lain kegiatan pembelajaran bersifat
student centered, pertanyaan yang disajikan menuntut banyak jawaban alternatif,
dan siswa bekerja secara kooperatif dalam sebuah grup, serta fokus pembelajaran
bermuara kepada pemecahan masalah. Perbedaan dari kedua model tersebut
adalah produk Problem Based Learning(PBL) berupa suatu solusi permasalahan
yang disampaikan dalam bentuk tulisan atau presentasi sedangkan pada Project
Based Learning(PjBL)siswa diharuskan membuat produk hasil kreasinya sebagai
solusi permasalahan sehingga mendorong siswa untuk menggunakan keterampilan
psikomotoriknya.
Penulis menerapkan penggunaan model Problem Based Learning dan
Project Based Learningpada konsep kingdom fungi (jamur). Konsep fungi yang
digunakan dalam penelitian ini dikarenakan jamur banyak memunculkan isu
positif maupun isu negatif bagi manusia. Isu yang muncul karena jamur dapat
bermanfaat maupun merugikan kehidupan manusia dan lingkungannya.
Sejauh ini belum banyak penelitian membedakanketerampilan berpikir
tingkat tinggi antara model Problem Based Learning (PBL) dan Project Based
Learning (PjBL) yang disertai dengan pembagian instrument pada ranah
pengetahuan dan jenjang kognitif. Instrumen pembelajaran penting dikembangan
sesuai dengan ranah pengetahuan dan jenjang kognitif agar memudahkan guru
dalam menentukan strategi pembelajaran.
Berdasarkan paparan di atas, penulis mencoba melakukan penelitian dengan
mengangkat judul penelitian “PerbedaanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based
Learning) Pada Konsep Fungi”.
13
5
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa Indonesia masih
rendah.
2. Pembelajaran kurikulum 2013 telah mengarah kepada pengembangan
keterampilan berpikir tingkat tinggi.
3. Model Problem Based Learning (PBL) dan Project Based Learning
(PjBL) dianggap sebagai solusi untuk mengembangkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi.
4. Belum banyak penelitian untuk melihat perbedaan keterampilan berpikir
tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model Problem Based
Learning (PBL) dan Project Based Learning (PjBL).
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka penelitian ini hanya dibatasi pada:
1. Subyek penelitian adalah siswa kelas X semester genap tahun pelajaran
2014/2015 di SMAN 39 Jakarta.
2. Instrumen untuk keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu soal uraian
dan instrumen untuk hasil belajar tingkat rendah yaitu soal pilihan ganda
3. Keterampilan berpikir tingkat tinggi mengukur pengetahuan faktual,
konseptual, dan prosedural pada jenjang kognitif Bloom C4-C6,
sementara untuk pengetahuan metakognitif dibatasi pada jenjang
kognitif Bloom C2 dan C4 sebagai data primer.
4. Keterampilan berpikir tingkat rendah yang diukur dalam soal pilihan
ganda dominan soal jenjang kognitif Bloom C1-C3 sebagai data
sekunder.
5. Model pembelajaran yang digunakan yaitu Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek
(Project Based Learning).
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Apakah keterampilan berpikir
tingkat tinggisiswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis proyek
(Project Based Learning) lebih tinggi dari siswa yang menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) pada konsep Fungi?”
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan keterampilan
berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model pembelajaran
berbasis masalah (Problem Based Learning) dan pembelajaran berbasis proyek
(Project Based Learning) pada Fungi di SMAN 39 Jakarta.
F. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk:
1. Bagi guru
Khususnya bagi guru bidang studi biologi dapat menjadikan penggunaan
Problem Based Learning dan Project Based Learning sebagai salah satu
alternatif strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa
2. Bagi siswa
Untuk membantu siswa meningkatkan keterampilan berpikir tingkat
tingginya yang meliputi kemampuan analisis, evaluasi, dan kreasi
3. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk diadakan
7
4. Bagi peneliti
Penelitian ini dapat menyampaikan informasi tentang perbedaan
penggunaan Problem Based Learning dan Project Based Learning
8
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kajian Teoritis
1. Kajian Teoritis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi a. Pengertian Keterampilan Berpikir
Menurut Gilmer dalam Kuswana, berpikir merupakan suatu pemecahan
masalah dan proses penggunaan gagasan atau simbol-simbol pengganti
suatu aktivitas yang tampak secara fisik. Berpikir juga sebuah proses dari
penyajian suatu peristiwa internal dan eksternal, kepemilikan masa lalu,
masa sekarang, dan masa depan yang satu sama lain saling berinteraksi.1
Berpikir dianggap sebagai sebuah tindakan dan kegiatan. Berpikir
adalah tindakan yang melebihi informasi yang diberikan dan kegiatan untuk
menemukan pengetahuan yang benar.2
Berpikir terkenal sulit untuk didefinisikan, tetapi jika kita ingin
mendefinisikannya, berpikir adalah proses psikologi abstrak yang
memanipulasi pengetahuan. Proses-proses yang abstrak tidak dapat dibatasi
oleh keterangan-keterangan dari pengalaman sebelumnya dan berpikir
abstrak merupakan dasar dari klaim rasionalitas manusia. Tidak seperti
mengingat sebagai proses berpikir abstrak yang dibatasi oleh peristiwa
sebelumnya, meskipun pengetahuan atau isi pikiran itu sendiri mungkin
menjadi pengalaman sebelumnya.3
“Costa menyatakan bahwa berpikir terdiri atas kegiatan atau proses berupamenemukan hukum sebab akibat, pemberian makna terhadap sesuatu
1
Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 1, h. 2
2
Maya Kusumaningrum dan Abdul Aziz Saefudin, “Mengoptimalkan Kemampuan Berpikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika”, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 10 November 2012, ISBN : 978-979-16353-8-7, h. 573
3
9
yang baru; , mendeteksi keteraturan di antara fenomena, penentuan kualitas
bersama (klasifikasi); dan menemukan ciri khas suatu fenomena”4
Berpikir terkait dengan fungsi otak bagian tertentu sehingga perlu diasah
supaya terbentuk pola pemikiran yang baik dengan terbiasa berpikir secara
logis, kompleks, realitis, dan sistematis. Oleh karena itu, diperlukan strategi
berpikir untuk mengembangkannya. Strategi berpikir atau taktik berpikir
adalah sekumpulan keterampilan berpikir yang digunakan secara
bersama-sama.5
Keterampilan adalah aksi kompleks yang membutuhkan pengetahuan,
melibatkan perbuatan, dan mudah dipelajari dalam waktu yang
singkat.6Sehingga dapat dikatakan keterampilan tidak hanya melibatkan
fungsi kognitif (pengetahuan) tetapi juga gerakan (motorik).
Keterampilan berpikir dibagi menjadi berpikir dasar dan berpikir
kompleks. Proses berpikir dasar adalah menemukan hubungan,
menghubungkan sebab akibat, mentransformasikan, mengklasifikasi, dan
memberi kualifikasi. Sedangkan proses berpikir kompleks yang dikenal
sebagai proses berpikir tingkat tinggi dikategorikan dalam 4 kelompok yaitu
pemecahan masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir
kreatif.7
Keterampilan berpikir sejalan dengan wacana meningkatkan mutu
pendidikan melalui proses pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan hasil
belajar. Hasil belajar yang diharapkan adalah hasil belajar yang sampai pada
tahapan berpikir tingkat tinggi. Menurut Gagne, hasil belajar yang paling
tinggi adalah kemampuan menyelesaikan masalah karena ketika seseorang
berhasil menyelesaikan masalah maka seseorang telah mencapai dua hal
sekaligus yaitu jawaban terhadap masalahnya (pengetahuan) dan cara
menyelesaikan masalah (proses).
Maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir adalah usaha aktif
seseorang menggunakan fungsi otak untuk memperoleh dan mengolah
pengetahuan yang ada guna menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
b. Pengertian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Taksonomi Bloom dianggap sebagai dasar untuk mengelompokkan
keterampilan berpikir.Dalam taksonomi Bloom revisi, kemampuan analisis,
evaluasi, dan mengkreasi dikategorikan dalam transferring atau processing
yang merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi, sementara kemampuan
mengingat, memahami, dan mengaplikasikan masuk ke dikategorikan ke
dalam recalling yang merupakan bagian kemampuan berpikir tingkat
rendah.8
Mc Loughlin dan Luca dalam Widodo dan Kadarwati menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi berarti kemampuan untuk memahami informasi lebih dari yang diberikan, mengadopsi sikap kritis, memiliki kesadaran metakognitif, dan mampu memecahkan masalah.9Kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thingking Skills – HOTS) merupakan merupakan kemampuan
menghubungkan, memanipulasi, dan mentransformasi pengetahuan serta
pengalaman yang sudah dimiliki untuk berpikir secara kritis dan kreatif
dalam upaya menentukan keputusan dan memecahkan masalah pada situasi
baru.10
Menurut Susan M. Brookhart keterampilan berpikir tingkat tinggi
dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Kategori tersebut adalah
mendefinisikan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam istilah transfer,
mendefinisikan keterampilan berpikir dalam hal berpikir kritis, dan
8
Ibrahim, loc. cit.
9
Tri Widodo dan Sri Kadarwati, “Higher Order Thinking Berbasis Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Berorientasi Pembentukan Karakter Siswa”,Jurnal Cakrawala Pendidikan, Nomor 1 Th. XXXII, Februari 2013, h. 163.
10
11
mendefinisikan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam hal pemecahan
masalah.11
Berdasarkan definisi di atas, muara keterampilan berpikir tingkat tinggi
adalah keterampilan pemecahan masalah. Menurut Woolfook dalam Eka
Sastrawati keterampilan pemecahan masalah adalah suatu keterampilan
seorang siswa dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan
masalah melalui pengumpulan fakta, analisis informasi, menyusun berbagai
alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling
efektif.12
Dapat disimpulkan keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah
keterampilan seseorang untuk mengkritisi, menyelesaikan masalah yang
sifatnya kompleks dan mampu memberikan berbagai solusi alternatif dari
pemecahan masalah dengan memanipulasi berbagai informasi yang ia
dapatkan. Manusia bukan satu-satunya makhluk yang dapat memecahkan
masalah, namun pemecahan masalah diidentifikasikan sebagai hal yang
paling khas dari aktivitas manusia.13
c. Taksonomi Bloom
Pada tahun 1956, Benyamin S Bloom membagi domain belajar kognitif
ke dalam enam jenjang yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis dan evaluasi. Kemudian pada tahun 2001, Anderson dan Krathwohl
merasa perlu melakukan revisi pada kawasan kognitif karena menurut
pendapat mereka proses berpikir itu dinamis sehingga harus dinyatakan
menggunakan kata kerja dan terdapat kerancuan sehingga sulit membedakan
11
Susan M. Brookhart, How to Assess Higher-Order Thinking Skills in Your Classroom, (Alexandria: ASCD, 2010), p. 3
12
Eka Sastrawati., Muhammad Rusdi, dan Syamsurizal, “Problem-Based Learning, Strategi Metakognisi, dan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa”. Tekno-Pedagogi. Vol. 1, No. 2, September 2011, ISSN: 2088-205X, h. 5.
13
setiap levelnya.14 Menurut mereka terdapat dua kategori yaitu dimensi
proses kognitif dan dimensi pengetahuan.
1) Dimensi Proses Kognitif
Dimensi proses kognitif merupakan pengklasifikasian
proses-proseskognitif siswa yang terdapat dalam tujuan bidang pendidikan. Pada
dimensi proses kognitif ada enam jenjang tujuan belajar yaitu mengingat,
mengerti, mengaplikasikan, menganalisis, menilai, dan mencipta.15
Level pertama adalahremembering (mengingat). Level ini merujuk pada
kemampuan peserta didik untuk mengingat kembali (recall) apa yang
disampaikan oleh gurunya. Peserta didik menyampaikan informasi
sederhana secara lisan atau tulisan. Misalnya tentang tanggal lahir suatu
tokoh, nama-nama ilmuwan, nama-nama presiden, menghafal puisi, dll. Jadi
sifatnya ingatan semata tanpa ada interpretasi atau manipulasi dari peserta
didik sebab yang diingat dan disampaikan adalah data dan fakta belaka.
Level kedua adalah understanding (memahami). Level ini merujuk pada
kemampuan peserta didik untuk memahami, menjabarka atau menegaska
informasi yang masuk seperti menafsirkan dengan bahasa sendiri, member
contoh, menjelaskan ide, membuat rangkuman, dan melakukan interpretasi
sederhana terhadap data serta memperkirakan kecenderungan masa depan.
Contohnya, peserta didik diminta untuk menafsirkan informasi yang
diberikan dari satu media ke media lain atau memberikan penjelasan sesuatu
dengan kata-kata mereka sendiri.
Level ketiga adalahapplying (menerapkan).Aplikasi memerlukan
informasi yang dipelajari untuk digunakan dalam mencapai solusi atau
menyelesaikan tugas. Contohnya, peserta didik menerapkan aturan tata
bahasa ketika menulis makalah atau menerapkan teorema geometris ketika
memecahkan masalah geometri. Untuk dikategorikan sebagai kegiatan
mengaplikasikan, soal yang disajikan harus unik. Dalam level ini, peserta
14
Ibrahim, loc. cit 15
Yuli Kwartolo, “Multiple Intelligences dan Implementasinya dalam Taksonomi Bloom”,
13
didik dapat melakukan aktivitas belajar dengan melaksanakan,
menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktikan, memilih,
menyusun, memulai, menyelesaikan, mendeteksi, dsb.
Level keempat adalah analysis (menganalisis). Level ini merujuk pada
kemampuan anak didik dalam menguraikan, membandingkan,
mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur, membuat kerangka,
menyusun outline, mengintegrasikan, membedakan, menyamakan,
mengelompokka, menjelaskan cara kerja sesuatu, menganalisis hubungan
antara bagian-bagian, mengenali motif, dsb. Seorang guru sains misalnya
bertanya bagaimana sistem peredaran darah manusia bekerja. Seorang guru
kelas VIII meminta gagasan tentang cara menggunakan sebuah kata dalam
sebuah kalimat. Sedangkan seorang guru IPS meminta peserta didik untuk
menjelaskan sikap yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Level kelima adalah evaluating (mengevaluasi). Level ini merujuk pada
kemampuan peserta didik memberikan penilaian terhadap sesuatu yang
dievalusi. Peserta didik dengan sendirinya memiliki berbagai bahan
pertimbangan yang diperlukan untuk member nilai. Selain itu, peserta didik
mampu menyusun hipotesis, mengkritik, menguji, membenarkan,
menyalahkan, dsb. Contoh, peserta didik diminta menentukan sumber energi
terbaik bagi Indonesia. Intinya, peserta didik diminta memutuskan yang
terbaik maupun yang terburuk; mengidentifikasi paling tidak atau paling
penting yang membutuhkan pemikiran dan penalaran tingkat tinggi.
Level keenam adalah creating (berkreasi). Level ini merujuk pada
kemampuan peserta didik memadukan berbagai macam informasi dan
mengembangkannya sehingga terjadi suatu bentuk baru. Selain itu juga
ditunjukkan dengan kemampuan dalam merancang, membangun,
merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan,
2) Dimensi Pengetahuan
Dimensi pengetahuan merupakan klasifikasi jenis pengetahuan yang
dipelajari di kelas. Dimensi pengetahuan dibagi menjadi empat kategori
yaitu faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif.16
Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang harus diketahui
siswa jika mereka akan diperkenalkan dengan suatu masalah tertentu atau
suatu mata pelajaran tertentu. Elemen-elemen ini lazimnya berupa
simbol-simbol yang berkaitan dengan makna konkret atau simbol-simbol yang
menyampaikan informasi penting.
Pengetahuan faktual dibedakan menjadi dua subjenis yaitu pengetahuan
tentang terminologi dan pengetahuan tentang detail-detail dan
elemen-elemen yang spesifik. Pengetahuan tentang terminologi merupakan
pengetahuan tentang label dan simbol verbal dan nonverbal. Contoh
pengetahuan tentang terminologi antara lain pengetahuan mengenai
alphabet, istilah tertentu misal nama-nama bagian sel, pengetahuan tentang
kosakata dalam seni rupa, dan pengetahuan tentang simbol-simbol yang
digunakan untuk menggambarkan pengucapan kata yang tepat. Pengetahuan
tentang detail dan elemen-elemen yang spesifik merupakan pengetahuan
yang meliputi semua informasi yang mendetail dan spesifik. Contohnya
pengetahuan tentang fakta-fakta pokok perihal kebudayaan dan masyarakat
tertentu; pengetahuan tentang nama orang, lokasi, tanggal, dan peristiwa
yang signifikan di koran, pengetahuan tentang produk utama dan produk
ekspor negara-negara tertentu, pengetahuan tentang sumber-sumber
informasi yag terpercaya tentang pembelian yang tepat.
Pengetahuan konseptual meliputi skema-skema, model-model mental,
atau teori eksplisit dan implicit dalam beragam model psikologi kognitif.
Skema-skema, model-model dan teori-teori ini menunjukkan pengetahuan
16
15
yang seseorang miliki mengenai bagaimana pokok bahasan tertentu diatur
dan disusun, bagaimana bagian-bagian informasi yag berbeda saling
berhubungan dan berkaitan dalam suatu cara yang lebih sistematis,
bagaimana bagian-bagian ini berfungsi bersama-sama.
Pengetahuan konseptual terdiri dari tiga subjenis yaitu pengetahuan
tentang klasifikasi dan kategori, pengetahuan tentang prinsip dan
generalisasi, dan pengetahuan tentang teori, model, dan struktur.
Pengetahuan klasifikasi dan kategori meliputi kategori, kelas, pembagian,
dan penyusunan spesifik yang digunakan dalam pokok bahasan yang
berbeda. Contohnya pengetahuan tentang macam-macam bentuk usaha,
pengetahuan tentang beraneka kalender, dan pengetahuan tentang berbagai
jenis masalah psikologi. Pengetahuan prinsip dan generalisasi meliputi
pengetahuan dari abstraksi-abstraksi tertentu yang merangkum
pengamatan-pengamatan fenomena. Contohnya, pengetahuan tentang hukum-hukum
fisika dasar, pengetahua tentang prinsip-prinsip kimia yang relevan dengan
proses kehidupan dan kesehatan, dan pengetahuan tentang
implikasi-implikasi kebijakan perdagangan Amerika pada perekonomian dunia dan
sikap masyarakat internasional. Sementara itu, pengetahuan tentang teori,
model, dan struktur meliputi pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi
serta interelasi antara keduanya yang menghadirkan pandangan yang jelas,
utuh, dan sistemik tentang sebuah fenomena, masalah, atau materi kajian
yang kompleks. Contohnya pengetahuan mengenai semua struktur MPR,
pengetahuan perihal rumusan lengkap teori evolusi, dan pengetahuan
tentang model-model genetika.
Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang cara melakukan
sesuatu. Melakukan sesuatu ini boleh jadi mengerjakan latihan rutin sampai
menyelesaikan masalah-masalah baru.
Pengetahuan prosedural dibedakan menjadi tiga subjenis yaitu
pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu dan algoritme,
pengetahuan tentang teknik dan metode dalam bidang tertentu, dan
prosedur yang tepat. Pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang
tertentu dan algoritma sebagai suatu rangkaian langkah-langkah yang secara
kolektif dikenal sebagai prosedur. Contohnya pengetahuan tentag
keterampilan-keterampilan yang dipakai dalam melukis dengan cat air.
Pengetahuan tentang teknik dan metode dalam bidang tertentu mencakup
pengetahuan yang galibnya merupakan hasil kesepakatan dalam disiplin
ilmu bukan hasil pengamatan atau eksperimen. Contohnya pengetahuan
tentang metode-metode untuk mengevaluasi konsep-konsep kesehatan.
Sementara itu, contoh pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan
harus menggunakan prosedur yang tepat contohnya pengetahuan tentang
kriteria untuk menentukan metode apa dalam menyelesaikan
persamaan-persamaan aljabar.
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognitif secara
umum dan kesadaran akan serta pengetahuan tentang kognisi diri sendiri.
Penekanan kepada murid untuk lebih sadar dan bertanggung jawab untuk
pengetahuan dan pemikiran mereka sendiri membuat gaya belajar mereka
menjadi lebih baik.
Peserta didik perlu memiliki, menyadari, dan memahami tiga jenis
pengetahuanuntuk meningkatkan kemampuan metakognitif . Ketiga jenis
penetahuan itu adalah pengetahuan deklaratif (declarative knowledge),
pengetahuan prosedural (procedural knowledge), dan pengetahuan
kondisional (conditional knowledge).17
Pengetahuan deklaratif adalah informasi faktual yang diketahui oleh
seseorang. Pengetahuan ini dapat diungkapkan baik dengan lisan maupun
tulisan. Contoh dari pengetahuan ini misalnya adalah seorang peserta didik
mengetahui bahwa formula untuk menghitung momentum dalam mata
17
17
pelajaran fisika. Formula momentum adalah massa dikalikan dengan
kecepatan.
Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan bagaimana seseorang
melakukan sesuatu, pengetahuan bagaimana cara seseorang dalam
menjalankan langkah-langkah dalam suatu proses. Contoh dari pengetahuan
ini adalah seorang peserta didik mengetahui masa suatu benda,
kecepatannya, dan bagaimana prosedur menentukan momentum benda
tersebut.
Pengetahuan kondisional adalah pengetahuan terkait kapan suatu
prosedur digunakan dan kapan tidak digunakan, pada kondisi apa suatu
prosedur dapat digunakan, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari
prosedur yang lain. Contoh dari pengetahuan ini misalnya identifikasi suatu
kasus/ soal cerita yang mensyaratkan perhitungan momentum sebagai salah
satu bagian dalam menentukan solusi penyelesaian.
d. Indikator Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Menurut Krathwohl dalam A revision of Bloom Taxonomy: an
overview-Theory Into Practice menyatakan bahwa indikator untuk mengukur berpikir
tingkat tinggi yaitu cara berpikir yang sifatnya menganalisis, mengevaluasi,
dan mengkreasi.
Indikator untuk berpikir analisis yaitumenganalisis informasi yang
masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian
yang lebih kecil untuk mengenalipola atau hubungannya, mengenali serta
membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuahskenario yang rumit,
dan mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan.
Indikator untuk berpikir evaluasi antara lain memberikan penilaian
terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang
cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau
manfaatnya, membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian, serta
menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yangtelah
Mengkreasi, merupakan tahapan berpikir yang terdiri dari membuat
generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu, merancang suatu
cara untuk menyelesaikan masalah, mengorganisasikan unsur-unsur atau
bagian-bagian menjadi strukturbaru yang belum pernah ada sebelumnya.18
Menilai keterampilan menganalisis siswa, dapat dilihat dari bagaimana
mereka menemukan informasi, membagi suatu informasi menjadi
bagian-bagiannya dan mencari hubungan dari setiap informasi yang ditemukan.
Kemudian, siswa mengajukan pertanyaan atau masalah yang jawabannya
memerlukan berbagai cara penyelesaian. Menjelaskan alasan yang
digunakan untuk menghubungkan berbagai bagian satu sama lainnya sering
menjadi bagian dari suatu tugas analisis.19
Menilai keterampilan mengevaluasi siswa, dapat dilihat dari bagaimana
siswa menilai manfaat beberapa materi menggunakan sudut pandangnya
sendiri. Penilaian yang diberikan oleh siswa bukan berdasarkan kesukaan
yang sifatnya personal melainkan harus didukung dengan data dan alasan
yang logis. 20
Menilai keterampilan siswa dalam mencipta, dapat dinilai dari
bagaimana siswa mengorganisaskan berbagai hal yang ada untuk menjadi
sesuatu yang baru. Caranya dengan memberikan siswa tugas yang
tuntutannya adalah memberikan berbagai solusi, merencanakan suatu
prosedur untuk menyelesaikan suatu tujuan tertentu, atau memproduksi
sesuatu yang baru.21
e. Cara Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Kesulitan (difficulty) mengacu kepada besarnya upaya yang dibutuhkan
dalam penyelesaian masalah. Kerumitan (complexity) merujuk pada proses
berpikir yang dilakukan otak dalam memproses informasi. Menciptakan
siswa ditengah sesuatu yang sulit merupakan hal yang mudah. Siswa cukup
18
19
diperintahkan untuk mengucapkan fakta-fakta yang ada atau menghafal
rumus dengan cara pengulangan terus menerus. Contohnya menghafal
karakteristik dan anggota semua divisi fungi. Hal ini mudah dan sepintas
kelihatannya murid sudah melakukan suatu proses pembelajaran yang
mendalam karena mampu mengingat banyak fakta. Tetapi contoh tersebut
menempati level paling bawah dalam aspek kognitif menurut taksonomi
Bloom walau memerlukan upaya yang besar dari siswa. 22
Perintah guru agar siswa menghafal beberapa fakta tidaklah salah asal
siswa diberi kesempatan untuk bisa masuk ke dalam tahapan berpikir yang
lebih tinggi. Sangat disayangkan jika murid hanya menghabiskan banyak
waktu dan energi untuk melakukan proses berpikir tingkat rendah. Murid
yang mampu menghafal dengan baik jelas akan mendapatkan nilai yang
tinggi. Tapi tidak ada jaminan jika ia dikenal sebagai orang yang cerdas dan
mampu berpikir tingkat tinggi.
HOT dapat dipelajari dan dapat diajarkan kepada siswa. Otak akan
berkembang dengan maksimal dalam lingkungan yang kaya akan multi
sensori dan tantangan berpikir.23 Kondisi lingkungan yang seperti itu dapat
meningkatkan komunikasi diantara sel-sel otak. Sel-sel otak selalu berusaha
mecari dan menciptakan arti dari suatu pembelajaran. Sehingga otak sangat
membutuhkan rangsangan dari luar yang bersifat segera dan menawarkan
banyak pilihan.
Jika pemecahan masalah merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi,
maka tujuan pembelajaran adalah memfasilitasi siswa agar mampu
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dalam urusanakademik dan
masalah kehidupan sehari-hari yang mereka alami.24 Oleh karena itu,
penting bagi guru untuk mendesain pembelajaran di mana siswa lebih sering
mengerjakan soal yang berbasis pemecahan masalah (problem solving test)
22
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menetapkan Accelerated Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 170
23
Ibid., h. 9. 24
bukan menyelesaikan soal latihan (exercise test). Adapun perbedaan
problem solving dan exercise solving test yaitu:25
Tabel 2.1 Perbedaan Problem Solving Test dan Exercise SolvingTest
No. Problem Solving Test Exercise Solving Test
1. Membutuhkan banyak cara yang
belum diketahui untuk
menemukan jawaban yang benar.
Melibatkan satu cara dan sudah ada satu jawaban yang benar
2. Situasinya tidak bisa diprediksikan, masalah tidak diungkapkan secara eksplisit oleh guru sehingga siswa harus berusaha untuk menemukan sebuah permasalahan dalam ketidakteraturan
Masalah dimunculkan secara eksplisit dalam soal.
3. Permasalahan yang diajukan bersifat baru bagi siswa. Siswa belum pernah menghadapi kasus itu sebelumnya di tiap pembelajaran.
Soal sama seperti yang ada di buku atau pernah dijelaskan oleh guru sebelumnya.
4. Tidak ada instruksi yang jelas bagi siswa untuk menentukan langkah-langkah pemecahan masalahnya (apa yang perlu dicari, alat bahan, dan cara kerja)
Ada instruksi yang jelas bagi siswa untuk memecahkan masalah yang diminta.
5. Menimbulkan banyak solusi Hanya ada satu solusi
6. Tidak ada rumus Ada rumusnya
7. Mengintegrasikan berbagai cabang ilmu
Satu topik di dalam satu cabang ilmu pengetahuan
8. Menuntut kemampuan
berkomunikasi secara lisan dan tulisan dalam memecahkan masalah.
Tidak menuntut kemampuan
berkomunikasi dalam
ememcahkan masalah.
Siswa juga dituntut untuk bisa mengembangkan keterampilan HOT
secara mandiri. Maksudnya supaya siswa tergantung kepada guru. Selain itu,
mencoba mengembangkan HOT secara mandiri berarti memberikan
25
21
kesempatan bagi siswa untuk bertanggung jawab dalam mengendalikan isi
pikirannya sehingga ketika ia sudah dewasa diharapkan ia mampu
menyelesaikan berbagai persoalan yang ada karena sudah berpengalaman
bekerja atau berpikir secara mandiri. Ada lima belas langkah untuk
mengembangkan HOT:26
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mencari potensi atau
kekuatan apa yang ada dalam diri sendiri. Potensi tersebut harus
dimanfaatkan secara maksimal untuk memecahkan masalah yang ada.
Kedua, ketika menghadapi konsep atau masalah baru, anda perlu
membandingkan dan menghubungkan konsep baru tersebut dengan konsep
yang sudah ada di dalam memori otak. Contohnya ketika belajar materi sel
di kelas XI, siswa harus memutar kembali ingatan di otak terhadap materi
sel yang pernah dipelajari di SMP, kemudian mencari informasi baru dari
konsep sel di kelas XI dan menghubungkan dengan konsep sebelumnya.
Ketiga, buatlah skema skema visual dari materi yang sedang anda
pelajari. Satu gambar yang simple untuk satu konsep.
Keempat, melakukan identifikasi konsep-konsep penting dan
menentukan jenis konsepnya (konkret,abstrak, verbal, nonverbal , atau
proses). Identifikasi konsep penting dilakukan supaya siswa dapat
menentukan strategi pemecahan masalah.
Kelima, membuat peta pikiran untuk memudahkan mengingat konsep.
Konsep-konsep yang ada dibuat skemanya sesuai dengan yang ada dalam
pikiran dan dipahami. Ketika siswa lupa materi, ia tidak perlu membuka
buku catatan dan buku pelajarannya yang cukup tebal, cukup melihat peta
pikiran yang dibuatnya maka konsep yang sebelumnya lupa akan mudah
diingat kembali.
Keenam, anggaplah anda sedang menonton film ketika anda menghadapi
konsep yang lebih kompleks dan luas. Maksudnya, jangan dianggap itu
26
Alice Thomas, Glenda Thorne and Bob Small, “Higher Order Thinking–It’s HOT!”,The
adalah hal yang sulit. Ketika anda menonton film, anda akan terbawa pada
rasa penasaran mengenai akhir film tersebut dan sabar dalam menontonnya.
Perasaan emosional inilah yang juga sebaiknya anda gunakan ketika ingin
melatih HOT.
Ketujuh, mencari apa saja yang sudah dipahami dan apa yang belum
dipahami. Kemudian bekerja pada konsep-konsep yang belum anda
dipahami. Ajukan pertanyaan tentang konsep itu, telusuri konsep tersebut
dengan banyak membaca dan diskusi dengan orang yang lebih mengerti.
Kedelapan, dalam memecahan suatu masalah, buatlah tahapan
perencanaan yang matang. Pikirkan tentang apa yang ingin ada capai.
Kembangkan beberapa cara untuk menemukan jawabannya dan pilih solusi
yang palingbaik.
Kesembilan, bekerjalah dengan orang yang sudah dikenal baik sebagai
problem solver. Contohnya teman anda yang cerdas, guru anda, atau pekerja
professional. Lihat bagaimana cara mereka bekerja menyelesaikan masalah.
Pikirkan bagaimana cara ia bekerja dan bagaimana cara anda mencari
alternatif pemecahan masalah.
Kesepuluh, gunakan beberapa langkah yang runut dalam menyelesaikan
masalah seperti menentukan permasalahan. Pahamilah apa yang ditanyakan,
identifikasi apa yang ingin kamu cari tahu. Ada banyak solusi yang dapat
diambil dan pikirkanlah solusi mana yang paling efektif. Cari sumber
informasi yang dapat membantu kamu dan jelaskan informasi tersebut
dengan benar. Jangan lupa untuk selalu melakukan pengecekan terhadap
kinerja anda. Jadilah orang yang flexible. Jangan takut untuk mengubah
rencana jika memang dibutuhkan. Evaluasi solusi yang anda pilih. Jika
solusi tersebut tidak bekerja, carilah solusi lain.
Kesebelas, anda perlu memikirkan tentang apakah anda cenderung
menggunakan berpikir analitis,praktis atau kreatif. Berani mengambil risiko
dan mencoba menggunakan duajenis kemampuan berpikir yang cenderung
mendukung anda. Untuk studi sosial, coba kembangkan kemampuan
23
baik, dan ketika memilih formula untuk memecahkan masalah matematik,
gunakan kecerdasan praktis anda.
Kedua belas, cocokan permasalahan yang ada dengan kemampuan
berpikir yang ingin digunakan. Jika anda ingin membuat poster, gunakan
berpikir kreatif, jika ada ingin memecahakan soal ulangan IPA, gunakan
berpikir analisis, jika ada ingin mencari rumus untuk memecahkan soal
matematika gunakan kecerdasan praktis.
Ketiga belas, perhatikan cara anda menggunakan kemampuan berpikir
yang berbeda. Pahami bagaimana anda berpikir adalah langkah pertama
untuk meningkatkan proses berpikir.
Keempat belas, pantau dan aturlah pemikiran anda. Hal ini dapat
membantu anda dalam menyesuaikan dan meningkatkan kemampuan
berpikir.
Kelima belas, yang paling penting, ingatlah bahwa ada banyak cara
untuk berpikir dan memecahkan masalah. Jangan lupa untuk perluas relasi
dengan orang-orang yang dapatmendukung kinerja anda.
f. Kegunaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi tentunya memberikan
banyakmanfaat diantaranya siswa lebih mudah memahamikonsep yang
kompleks dan abstrak, dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas,
dapat berargumen dengan baik dan mengkonstruksi penjelasan, membantu
siswa untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi, melatih kemampuan
berpikir secara induktif dan deduktif, melatih siswa untuk menghasilkan ide
yang berkualitas, melatih siswa menjadi pemikir yang mandiri, dan
pembelajaran dikelas terasa lebih produktif.
Berpikir induktif seperti mengenal hubungan, menganalisis masalah
yang bersifat terbuka, menentukan sebab dan akibat, membuat kesimpulan
deduktif melibatkan kemampuan memecahkan masalah yang bersifat
spasial, logis, silogisme, dan membedakan antara fakta dan opini. 27
Penggunaan HOT sebagai salah satu pendekatan pembelajaran
menghasilkan aktivitas belajar yang produktif misalnya dalam hal memberi
dan menerima bantuan; mengubah dan melengkapi sumber informasi;
mengelaborasi dan menjelaskan konsep; berbagi pengetahuan dengan teman;
saling memberi dan menerima balikan; menyelesaikan tugas dalam bentuk
kolaboratif, dan berkontribusi dalam menghadapi tantangan.
2. Kajian Teoritis Teori Belajar Konstruktivisme a. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang
barudalam psikologi pendidikan. Pandangan klasik yang selama ini
berkembang adalah pengetahuan secara utuh dipindahkan dari pikiran guru
ke pikiran anak. Kemudian,seiring dengan berkembangnya penelitian
pendidikan sains, terungkaplah bahwa pengetahuan itu dibangun dalam
pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut di dunia
pendidikan.
Belajar menurut pandangan konstruktivistik artinya membangun yaitu
siswa dapat mengkonstruksi sendiri pemahamannya dengan melakukan
aktifitas aktif dalam pembelajaran.28Menurut pandangan konstruktivisme
anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus
mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain
konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan
peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita
(Slavin, 1994: 225).29Seseorang dikatakan mengasimilasikan informasi
ketika ia sudah menggabungkan informasi baru yang didapatkan ke dalam
pengetahuannya yang sudah ada. Sedangkan mengakomodasikan infornasi
27
Adi, W. Gunawan., op. cit. 177 28
Zulfiani, Tonih Feronika, dan Kinkin Suartini, Strategi Pembelajaran Sains, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. 1., h. 119
29
25
adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru atau
melakukan modifikasi pengetahuan yang ada untuk mencocokkannya denga
informasi yang baru.
Guru semata-mata bukan hanya sekedar memberikan pengetahuan
kepada siswa, tetapi siswa harus mampu membangun pengetahuan dalam
benaknya. Peranan guru pada pendekatan konstruktivisme adalah sebagai
fasilitator. Tugas guru sebagai fasilitator yaitu menyediakan pengalaman
belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, memberikan tugas
yang dapat merangsang siswa berpikir aktif dengan membangun
pengetahuannya dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya
serta memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa
dapat diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan atau
tidak.30
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa teori pembelajaran
konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang menekankan proses
pembentukan pengetahuan terjadi di dalam diri peserta didik bukan dari
seorang pendidik ke peserta didiknya.
b. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Konstruktivisme
Winataputra dalam Putrayasa mengemukakan beberapa karakteristik
yang juga merupakan prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran.
Prinsip tersebut antara lain mengembangkan strategi alternatif untuk
memperoleh dan menganalisis informasi, dimungkinkannya perspektif
jamak dalam proses belajar, student center, penggunaan scaffolding, peran
guru sebagai fasilitator, mementingkan kegiatan belajar dan evaluasi belajar
yang otentik.31 Berikut penjelasan lebih rinci dari setiap butir prinsip yang
telah disebutkan.
30
Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.41
31
Tujuan dari prinsip pertama yaitu siswa perlu dibiasakan untuk dapat
mengakses informasi dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, koran,
pengamatan, wawancara, dan dengan menggunakan internet. Sesuai dengan
tingkat kemampuan berpikir siswa, mereka perlu belajar bagaimana
memproses informasi seperti menganalisis informasi, sejauh mana
kebenarannya, asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana
mengklasifikasikan informasi tersebut, dan menyederhanakan informasi
yang banyak.
Maksud dari prinsip kedua yaitu selama kegiatan belajar mengajar akan
muncul pendapat, pandangan, dan pengalaman yang beragam. Dalam
menjelaskan suatu fenomena, di antara siswa pun akan terjadi perbedaan
pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman, budaya dan struktur berpikir
yang dimiliki.
Student center artinya siswa aktif dalam kegiatan belajar bersama supaya
ia paham dengan pengetahuan yang didapatnya. Siswa perlu terlatih untuk
mendengarkan dan mencerna dengan baik pendapat siswa lain dan guru.
Sesuai dengan tahap perkembangan emosi dan berpikirnya, dia perlu dapat
menganalisis pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang
dimilikinya.
Scaffolding adalah proses memberikan bimbingan kepada siswa untuk
mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang sudah diketahui
siswa. Siswa dilatih secara perlahan dengan intensitas bimbingan yang
semakin berkurang. Dengan cara ini, kemampuan berpikir siswa akan
semakin berkembang.
Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk
mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa. Halini
menandai telah terjadi perubahan paradigmdari pembelajaran berorientasi
gurumenjadi pembelajaran berorientasi siswa. Siswa diharapkan mampu
secara sadar dan aktif mengelola belajarnya sendiri.
Kegiatan belajar yang otentik yaitu seberapa dekat kegiatan belajar yang
27
masyarakat yang dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan pengetahuan
tertentu.
c. Ciri-Ciri Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme
Menurut Driver dan Oldham dalam Siregar dan Nara, ada lima ciri-ciri
pembelajaran berbasis konstruktivis. Lima ciri tersebut antara lain orientasi,
elisitasi, restrukturisasi ide, penggunaan ide dalam berbagai situasi, dan
review.32
Orientasi, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan
motivasi ketika mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan
melakukan observasi. Motivasi penting untuk dibentuk supaya siswa tidak
bosa denga pembelajaran. Kegiatan observasi bertujuan supaya siswa aktif
menggunaka seluruh panca inderanya dalam kegiatan pembelajaran.
Elisitasi, yaitu siswa mengembangkan idenya dengan kegiatan diskusi,
menulis, membuat poster dan lain-lain. Semakin sering ia mengembangkan
idenya maka semakin banyak pengalaman yang ia dapat.
Restrukturisasi ide, yaitu setiap siswa saling mengklarifikasi,
membangun, dan mengevaluasi ide baru. Tujuannya supaya siswa dapat
saling bertukar pikiran dan membangun rasa toleransi.
Penggunaan ide baru dalam berbagai situasi, yaitu ide yang telah
terbentuk perlu diaplikasikan pada berbagai macam situasi. Maksudnya
supaya siswa dapat berpikir kreatif.
Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan, ide yang ada perlu
direvisi dengan menambahkan atau mengubah. Kegiatan review membentuk
siswa menjadi seorang yang mempunyai sifat berpikir fleksibel.
Ada beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar
konstruktivisme diantaranya pembelajaran berbasis masalah dan
pembelajaran berbasis proyek. Dari segi pedagogis, pembelajaran berbasis
masalah didasarkan pada teori konstruktivis dengan ciri pemahaman yang
diperoleh berasal dari interaksi antara skenario permasalahan dengan
lingkungan belajar; pergulatan masalah dan proses inquiry masalah
32