• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kesesuaian Dosis Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari–Juni 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kesesuaian Dosis Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari–Juni 2014"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Lembar Pengumpulan Data

07. Tanggal Masuk Rumah sakit 08. Tanggal Keluar Rumah sakit 09. Lama Perawatan

10. Diagnosa MRS / Diagnosa Kerja

11. Alasan Masuk Rumah sakit

฀Observasi

12. Alasan Keluar Rumah sakit

฀ Tujuan MRS telah selesai

฀ Dipindahkan ke RS lain

฀ Pulang paksa

฀ Pulang berobat jalan

฀ Meninggal

2. Uji LaboratoriumFungsi Ginjal N

o Parameter Satuan

Tgl/ Hasil Pemeriksaan Nilai

(2)
(3)

Lampiran 1.Lembar Pengumpulan Data

DATA LENGKAP REKAM MEDIK PASIEN GGK PERIODE JANUARI – JUNI 2014

NO Inisial No RM

Lk /Pr

Umur (Thn)

BB (Kg)

TB (Cm)

Lama Pera watan

Stage Nama

Antibiotik Dosis

Kreatinin Serum

(4)

Lampiran 2. Data Lengkap Rekam Medik Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014

N

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 2 gram/ 24 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/

12 jam 2,03 48,152

Ceftazidime 1 gram/

12 jam 1,43 68,356

Meropenem 1 gram/

8 jam 0,72 135,763

12 Z 586

552 Pr 56 52 157 2 hari V

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/

12 jam 2,77 27,446

Metronidazole 500mg/

8 jam 2,74 27,747

21 MS 588

137 Pr 63 45 149 1 hari III

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

1,35 30,300

(5)

Lampiran 2. Data Lengkap Rekam Medik Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014

22 ARN 588

152 Lk 70 100 160 4 hari IV

Ceftriaxone 1 gram/

12 jam 6,39 15,214

Ceftriaxone 1 gram/

12 jam 5,73 12,722

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 2 gram/ 24 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

(6)

Lampiran 2. Data Lengkap Rekam Medik Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014

Ciprofloxacin 400mg/

12 jam 0,44 88,944

44 HS 593

353 Lk 46 55 166 4 hari V

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam Ceftriaxone 1 gram/

24 jam

47 LS 594

316 Pr 50 55 150

16

hari V

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 24 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Cefotaxime 2 gram/ 8 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 1 gram/

24 jam 23,45 2,743

Ceftriaxone 1 gram/ 24 jam

Ceftriaxone 2 gram/ 24 jam

9,02 11,910

(7)

Lampiran 2. Data Lengkap Rekam Medik Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014

64 JS 598

Ceftriaxone 2 gram/ 24 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 2 gram/

24 jam 22,97 4,208 Ceftriaxone 1 gram/

12 jam

Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam

Ceftriaxone 2 gram/

24 jam 6,25 10,111

Ciprofloxacin 400mg/

(8)

Lampiran 3. Data Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014 dengan Analisis Uji Statistik Chi-square Test

Jenis_Antibiotika

Frequency Percent Valid Percent

Valid Ceftriaxone 77 59,7 59,7

Ciprofloxacin 38 29,5 29,5

Metronidazole 5 3,9 3,9

Meropenem 7 5,4 5,4

Cefotaxime 1 ,8 ,8

Ceftazidime 1 ,8 ,8

Total 129 100,0 100,0

Test Statistics

Jenis_Antibiotika

Chi-square 217,465a

df 5

Asymp. Sig. ,000

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

(9)

Lampiran 4. Data Kesesuaian Dosis Penggunaan Antibotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014 Berdasarkan Karakteristik Usia, Jenis Kelamin, dan Stadium Gangguan Ginjal Kronik dengan Analisis Uji Statistik Chi-square Test

KESESUAIAN_DOSIS

Frequency Percent Valid Percent

Valid Sesuai 120 93,0 93,0

Linear-by-Linear Association 1,406 1 ,236

(10)

Lampiran 4. Data Kesesuaian Dosis Penggunaan Antibotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014 Berdasarkan Karakteristik Usia, Jenis Kelamin, dan Stadium Gangguan Ginjal Kronik dengan Analisis Uji Statistik Chi-square Test

Kesesuaian_Dosis * Jenis_Kelamin

Linear-by-Linear Association 1,982 1 ,159

N of Valid Cases 82

Linear-by-Linear Association 2,389 1 ,122

(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2010). Antibiotik. [Diakses 8 Oktober 2014]; Diambil dari http://meetabied.wordpress.com/2010/06/03/antibiotik.

Ashley, C., dan Currie, A. (2004). The Renal Drug Handbook. Edisi kedua. Oxford: Radcliffe Medical Press. Halaman 347.

Aslam, M., Tan, C.K., dan Prayitno, A. (2003). Farmasi Klinis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Halaman 137–139, 144 – 148, 321 – 331.

Budiarto, E. (2004). Metodelogi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC. Halaman 28.

Fransiska, J. (2014). Drug Related Problems (DRPs): Studi Kesesuaian Dosis Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014.

Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Halaman 42 – 43.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2006). The Heart. In: Schmitt, W., Gruliow, R., eds. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. Halaman 108.

Hallan, SI., Josef C., Brad, C.A., Arne, A., Neil, R.P., Solfrid, R., Hans, A.H., Stian, L., dan Jostein H. (2006). International comparison of the relationship of chronic kidneydisease prevalence and ESRD risk. Journal of the American Society Nephrology. 17(8): 2275–84.

Harvey, R.A., dan Champe, P.C. (2009). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi keempat. USA: Lippincott Williams & Wilkins/Wolters Kluwer Health Inc. Halaman 434 – 438, 461 – 466.

Hassan, Y., Al-Ramahi, R., Abd, A.N., dan Ghazali R. (2009). Drug use and dosing in chronic kidney disease. Annals of the Academy of Medicine. 38(12): 1095 – 103.

Kemenkes., R.I. (2011). Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 48.

(16)

Markum, H.,M.,S., (2003). Perubahan Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih Akibat Penuaan. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkembangan Mutakhir IlmuPenyakit Dalam. Acta Medica Indonesiana. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 35(1): 112 – 21.

Nasution, Y.M., Zulkhair, A., dan Wiguno, P. (2003). Pemakaian Obat Pada Gagal Ginjal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 409 – 411.

PERNEFRI. (2009). Konsensus Dialisis. Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Halaman 21 – 34.

Purnomo, B. B. (2012). Dasar – Dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto. Halaman 6 – 9.

Romauli. (2009). Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) Yang Di Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.H.Kumpulan Pane Tebing Tinggi Tahun 2007 – 2008. Skripsi. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Halaman 39 – 40.

Setiabudy, R. (2009). Golongan Kuinolon Dan Fluorokuinolon. Dalam: Elysabeth, Nafrialdi, Setiabudy, R., dan Gunawan, S.G. Edisi kelima.

Farmakologi Dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi Dan Terapeutik FK-UI. Halaman 688, 718 – 719.

Shargel, L., dan Yu, A. (1999). Applied Biopharmaceutics and Pharmakokinetics. 4th ed. Mc Graw-Hill Companies. Halaman 532.

Siregar, B.Y. (2012). Karakteristik Dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011.

Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Halaman 40 – 41.

Sjamsiah, S. (2005). Farmakoterapi Gagal Ginjal. Surabaya: Universitas Airlangga. Halaman 214.

Sukandar, E. (2006). Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin. Halaman 466 – 470, 720 – 721.

Susalit. (2012). Teknik Baru Pengobatan Gagal Ginjal. [Diakses 10 Oktober

2014]; Diambil dari

(17)

Suwitra, K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S. Edisi keempat.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI. Halaman 570 – 572.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Halaman 71 – 75, 146 – 149.

Togatorop, B.J.E.A. (2011). Gambaran Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan: Permasalahan Terkait Obat. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Halaman 43 – 44.

Troutman, W.G., Anderson, P.O., dan Knoben, J.E. (2002). Handbook of Clinical Drug Data. 10th ed. USA: The McGraw-Hill Companies. Halaman: 140, 147 – 149, 169, 187 – 188.

Umri, M. (2011). Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik Rawat Inap Di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2010. Skripsi. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Halaman 38 – 39.

USRDS. (2013). Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disease in the United States. Bethesda: National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 1(16): 1 – 148.

(18)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang beralamat di Jalan Bunga Lau nomor 17 pada bulan November 2014. Adapun metode, tahapan, bagan alur, definisi operasional, analisis data, dan cara kerja penelitian ini dapat dilihat penjelasannya seperti di bawah ini.

3.1 Jenis Penelitian

(19)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Lokasi penelitian ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakitpendidikan dan rumah sakit rujukan wilayah pembangunan A yaitu untuk Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau.

3.2.2 Waktu penelitian

Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan pada November 2014 dengan pengambilan data selama enam bulan pengamatan, yaitu dari bulan Januari– Juni 2014.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien yang mengalami gangguan ginjal kronik yang mendapatkan terapi antibiotika di RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode Januari– Juni 2014.

3.3.2Sampel

Sampel penelitian yang dipilih untuk dikelompokkan datanya berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin dan stadium gangguan ginjal kronik, harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

(20)

a. data rekam medik pasien yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan dengan diagnosis penyakit gangguan ginjal kronik yang mendapat terapi antibiotika pada periode Januari– Juni 2014.

b. datarekam medik pasien lengkap yakni yang memuat: data pasien, keluhan utama,diagnosis penyakit, data penggunaan obat, dan data laboratorium yang minimal memuat data kreatinin serum.

Kriteria eksklusi :

a. data rekam medik pasien yang tidak dirawat di instalasi rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan dengan diagnosis penyakit gagal ginjal kronik yang tidak mendapat terapi antibiotika dan diluar periode Januari – Juni 2014.

b. data rekam medik pasien yang tidak lengkap.

3.4 Definisi Operasional

Pengertian dasar dari unsur-unsur penelitian yang dilakukan dapat dilihat rangkumannya sebagai berikut:

a. subyek penelitian adalah data rekam medik pasien gangguan ginjal kronik yang menjalani rawat inap di instalasi rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode Januari – Juni 2014.

(21)

tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis.

c. rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentangidentitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

d. kesesuaian dosis adalah suatu takaran obat yang memenuhi batasan dosis terapi berdasarkan kondisi pasien, dalam hal ini dosis antibiotika disesuaikan berdasarkan fungsi ginjal pasien.

e. periode pengamatan adalah suatu rentang waktu untuk menentukan besarnya insidensi pada periode tersebut.

3.5 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan yang dapat dilihat seperti di bawah ini:

a. meminta izin Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara untuk melakukan penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan.

b. menghubungi Badan Litbang RSUP Haji Adam Malik Medan untuk mendapat izin melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

c. mengumpulkan data rekam medik pasien yang mengalami gangguan ginjal kronik yang mendapat terapi antibiotika berdasarkan kriteria inklusi.

(22)

3.6 Bagan Alur Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa proses sebelum pada akhirnya data dari penelitian dapat disajikan. Proses penyajian data tersebut telah di buat ke dalam bagan alur penelitian seperti di bawah ini:

Gambar 3.1 Bagan Alur Penelitian Evaluasi Kesesuaian Dosis Penggunaan

Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014.

3.7 Analisis Data

Data-data yang memenuhi syarat dianalisis dan dihitung persentasenya untuk memperoleh informasi tentang:

a. persentase penderita gangguan ginjal kronik berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin, dan stadium gangguan ginjal kronik pasien dihitung dari jumlah pasien dibagi jumlah kasus yang diteliti dikalikan 100%.

b. persentase antibiotika yang diberikan, dihitung dari jumlah kasus yang menerima antibiotika tertentu dibagi jumlah kasus yang diteliti dikalikan 100%.

c. persentase kesesuaian dosis antibiotika yang diberikan pada pasien gangguan ginjal kronik.

Survei awal Membuat lembar

pengumpulan data

Melaksanakan pengambilan data rekam medik pasien GGK yang mendapat terapi

obat antibiotika Melakukan

pengelompokan data

Melakukan analisis data

(23)

3.8 Cara Kerja

Dalam penelitian ini, cara-cara kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. survei awal

survei ini dilakukan untuk mengetahui proporsi pasien gangguan ginjal kronik. Proses survei ini dimulai dari observasi laporan di Sub Bagian Rekam Medik untuk kasus-kasus dengan diagnosis gagal ginjal kronik periode Januari 2014 – Juni 2014. Dari data Sub Bagian Rekam Medik digunakan untuk mengumpulkan rekam medik pasien.

b. pembuatan lembar pengumpulan data

pembuatan lembar pengumpulan data ini bertujuan untuk memudahkan pengumpulan data dari rekam medik. Lembar pengumpulan data berisikan: nomor rekam medik, nama pasien, umur pasien, jenis kelamin, berat badan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal keluar rumah sakit, lama perawatan, diagnosis saat masuk rumah sakit, diagnosis akhir, alasan masuk rumah sakit, alasan keluar rumah sakit, uji laboratorium, obat yang digunakan, sediaan (bentuk, kadar), dosis, dan rute pemberian.

c.pelaksanaan pengambilan data

proses pengambilan data dilakukan dengan cara mencatat data-data yang dibutuhkan dari rekam medik ke formulir pengumpul data.

d.pengelompokan data

(24)

berat badan, tinggi badan, lama perawatan, data laboratorium (kreatinin serum) dan menggunakan antibiotika).

e.analisis dan tabulasi data

(25)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini telah dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan pada November 2014. Data diambil dari rekam medik pasien rawat inap dengan diagnosis penyakit gangguan ginjal kronik pada periode Januari– Juni 2014. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan pasien gangguan ginjal kronik adalah sebanyak 132 orang. Beberapa data pasien dalam penelitian ini ada yang tidak memenuhi kriteria inklusi dikarenakan datanya kurang lengkap (tidak terdapat terapi antibiotika, tidak tercantumnya data berat badan dan tinggi badan, tidak diketahui stadium gagal ginjal kronik, tidak ada hasil pemeriksaan laboratorium berupa kreatinin serum). Data rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dapat dijadikan sebagai subyek penelitian adalah 82 data pasien.

4.1Karakteristik Berdasarkan Usia

Berdasarkan karakteristik usia pada subyek penelitian ini didapatkan rentang usia pasien mulai dari usia 19–79 tahun dengan usia rata-rata secara keseluruhan pada periode ini adalah 50 ± 5 tahun. Gambaran karakteristik usia subyek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Usia Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP

Haji Adam Malik Medan Periode Januari– Juni 2014.

Kelompok Usia Pasien Frekuensi (jumlah pasien) Persentase (%)

19 – 28 tahun 3 3,7

29 – 38 tahun 12 14,6

39 – 48 tahun 25 30,5

49 – 58 tahun 22 26,8

59 – 68 tahun 13 15,9

(26)

Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa distribusi usia terbanyak yang menderita gangguan ginjal kronik pada periode Januari – Juni 2014 dalam penelitian ini berada pada kelompok usia 39–48 tahun sebesar (30,5%) dan kelompok usia terendah berada pada kelompok usia 19–28 tahun sebesar (3,7%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok usia yang lebih banyak menderita gangguan ginjal kronik berada pada kelompok usia 39 – 48 tahun dengan usia tiga belas tahun lebih muda jika dibandingkan dengan penelitian Siregar (2012), yang meneliti karakteristik dan penatalaksanaan penyakit ginjal kronik di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 yang menyebutkan bahwa proporsi penderita gagal ginjal kronik tertinggi berada pada kelompok usia 54 – 61 tahun (28%) dan terendah pada kelompok usia 14 – 21 tahun (3%), dimana hasil ini serupa dengan penelitian Romauli (2009) yang juga meneliti karakteristik penderita gagal ginjal kronik yang dirawat inap di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi tahun 2007 – 2008 dimana proporsi penderita gagal ginjal kronik tertinggi berada pada kelompok usia 53 – 61 tahun (30,4%) dan terendah pada kelompok usia 17 – 25 tahun (3%).

(27)

tersendiri. Selain itu, setelah usia 35 tahun, laju filtrasi glomerulus (LFG) akan menurun hingga 8 – 10 ml/menit/1,73m2/dekade. Hal ini dikarenakan banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus, dan tubulus (Guyton dan Hall, 2006). Hal ini juga disebabkan oleh proses penuaan yangmengakibatkan berkurangnya jumlah nefron dan berkurangnya kemampuan untukmenggantikan sel-sel yang telah mengalami kerusakan. Proses ini tidak sama padasetiap orang, ada yang mempertahankan LFG dengan baik tetapi faal ini dapatmenurun dengan cepat misalnya karena hipertensi atau gangguan fungsi jantung(Markum, 2003).

4.2 Karakteristik Jenis Kelamin

Gambaran karakteristik jenis kelamin dari subyek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di

RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014. Jenis Kelamin Frekuensi (jumlah pasien) Persentase (%)

Laki-laki 40 48,8

Perempuan 42 51,2

Total 82 100

(28)

Pirngadi Medan tahun 2010, dimana proporsi jenis kelamin tertinggi ialah pada jenis kelamin laki-laki (54,7%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hallan, et al., (2006) di Norway yang mendapatkan perbandingan proporsi pasien gangguan ginjal kronik pada pasien berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitu 34 (53,1%) : 30 (46,9%). Hallan juga melampirkan hasil prevalensi dari The Third National Health And Nutrition Examination Survey (NHANES III) yang menyatakan bahwa prevalensi pasien yang menderita gangguan ginjal kronik pada pasien dengan jenis kelamin perempuan di US White dan Norwegia memiliki jumlah yang lebih tinggi daripada laki-laki.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien dengan jenis kelamin perempuan yang paling banyak menderita penyakit gangguan ginjal kronik namun penelitian mengenai hubungan jenis kelamin dengan penyakit gangguan ginjal kronik belum ada. Setiap penyakit dapat menyerang manusia baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan pekerjaan, kebiasaan atau pola hidup yang kurang sehat seperti misalnya merokok, mengonsumsi alkohol, kopi dan minuman berenergi, genetika atau kondisi fisiologisnya (Susalit, 2012).

4.3 Karakteristik Stadium Gangguan Ginjal Kronik

(29)

Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Stadium Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014.

Stadium GGK yang diderita

LFG (ml/min/1,73m2)

Frekuensi

(jumlah pasien) Persentase (%)

I >90 - -

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 82 data rekam medik pasien gangguan ginjal kronik yang menggunakan antibiotika, mayoritas berada pada stadium 5 (72%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Fransiska (2014) bahwa karakteristik kondisi ginjal pasien menurut stadium gangguan ginjal kronik yang diderita menunjukkan bahwa pasien gangguan ginjal kronik dengan stadium 5 berada di urutan paling tinggi dengan (82,9%) dan menurut penelitian Togatorop (2011) juga mendapatkan pasien gagal ginjal kronik stadium 5 pada urutan teratas sebesar (91%), keduanya sama-sama melakukan penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan.

(30)

ginjal tersebut sering tidak dirasakan bahkan diabaikan oleh pasien gagal ginjal kronik dan baru terdeteksi setelah kondisi ginjalnya semakin memburuk dan manifestasi klinisnya semakin parah yaitu biasanya memasuki stadium akhir yaitu stadium 5.

4.4 Jenis Antibiotika

Berdasarkan hasil penelitian, dari 129 antibiotika yang digunakan pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari – Juni 2014, jenis antibiotika yang paling banyak digunakan adalah dari golongan cephalosporin yaitu ceftriaxone (59,7%), kemudian ciprofloxacin (29,5%), meropenem (5,4%), dan metronidazole (3,9%). Data lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi Jenis Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di

RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014.

No Antibiotika Frekuensi Persentase

(%) P value

(31)

Ciprofloxacin termasuk kedalam golongan fluorokuinolon. Disebut fluorokuinolon dikarenakan adanya atom fluor pada posisi keenam dalam struktur molekulnya. Daya antibakteri fluorokuinolon jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan kelompok kuinolon lama. Selain itu kelompok obat ini diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral sehingga dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi berat, khususnya yang disebabkan oleh kuman gram negatif. Sifat lain fluorokuinolon yang menguntungkan ialah masa paruh eliminasinya yang panjang sehingga obat cukup diberikan dua kali sehari (Setiabudy, 2009).

Meropenem merupakan suatu derivat dimetilkarbamoil pirolidinil dari tienamisin. Meropenem juga termasuk kedalam golongan antibiotika beta-laktam lainnya (Setiabudy, 2009). Khasiat bakterisidnya sama dengan zat-zat penisilin dan cephalosporin. Spektrum kerjanya luas, meliputi banyak kuman gram positif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus dan Bacteroides, juga kuman patogen anareob.Mekanisme kerjanya ialah menghambat biosintesa dinding sel bakteri dengan berikatan pada beberapa penicillin-binding protein, yang selanjutnya terjadi penghambatan sintesa peptidoglikan di dinding sel(Tjay, 2007).

(32)

Ceftazidime dan cefotaxime juga termasuk golongan cephalosporin generasi ketiga, sama seperti ceftriaxone. Cefotaxime memiliki sifat anti-laktamase kuat dan khasiat anti-Pseudomonas sedang, digunakan terutama pada infeksi oleh kuman gram negatif. Ceftazidime memiliki aktivitas yang lebih kuat dan lebih luas lagi terhadap kuman gram negatif, meliputi Pseudomonas dan Bacteroides. Cephalosporin generasi ketiga ini kurang toksis bagi ginjal, tidak seperti generasi pertamanya (Tjay, 2007).

4.5 Kesesuaian Dosis Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Hasil distribusi kesesuaian dosis antibiotika pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Distribusi Kesesuaian Dosis Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal

Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014 Kesesuaian Dosis Antibiotika Pada

Pasien Gagal Ginjal Kronik

Frekuensi (jumlah

antibiotika) Persentase (%)

Sesuai 120 93

Tidak Sesuai 9 7

Total 129 100

(33)

12 jam, pada pasien dengan LFG 11 – 25 ml/menit memperoleh penyesuaian dosis sebesar 50% dari dosis lazim setiap 12 jam, dan pada pasien dengan LFG < 10 ml/menit sebesar 50% dari dosis lazim setiap 24 jam. Pada Cefotaxime, dosis lazimnya adalah 1 – 2 gram setiap 8 – 12 jam, penggunaannya pada pasien dengan LFG 10 – 50 ml/menit dosisnya tetap, tetapi pada pasien dengan LFG < 10 ml/menit interval waktunya menjadi 24 jam sekali dengan dosis yang sama. Ceftazidime, dosis lazimnya adalah 500 mg – 2 gram setiap 8 – 12 jam, penggunaannya pada pasien dengan LFG 30 – 50 ml/menit memperoleh penyesuaian dosis sebesar 50% dari dosis lazim setiap 12 – 24 jam, pada pasien dengan LFG 15 – 29 ml/menit dosisnya menjadi 1 gram setiap 24 jam, dan untuk pasien dengan LFG < 15 ml/menit dosisnya menjadi 500 mg setiap 24 – 48 jam. Khusus untuk Ceftriaxone yang memiliki dosis lazim 1 – 2 gram sehari tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada Ciprofloxacin, dosis lazimnya 200 – 400 mg setiap 12 jam, penggunaannya pada pasien dengan LFG 30 – 50 ml/menit dosisnya tetap, pada pasien dengan LFG 5 – 29 ml/menit dosisnya tetap namun setiap 18 – 24 jam. Metronidazole, dosis lazimnya 500 mg setiap 6 – 8 jam dan tidak mengalami perubahan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

(34)

ml/menit, seharusnya sesuai dengan ketentuan bahwa pasien dengan LFG 5 – 29 ml/menit dosisnya 200 – 400 mg setiap 18 – 24 jam. Terdapat satu pasien yang mendapat terapi cefotaxime 2 gram / 8 jam dengan LFG < 10 ml/menit, seharusnya dengan LFG < 10 ml/menit dosis cefotaxime yang dianjurkan adalah 1 – 2 gram setiap 24 jam.

Hasil distribusi kesesuaian dosis penggunaan antibiotika pada pasien gangguan ginjal kronik berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin, dan stadium gangguan ginjal kroniknya dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Distribusi Kesesuaian Dosis Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal

Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014 Berdasarkan Karakteristik Usia, Jenis Kelamin, Dan Stadium Gangguan Ginjal Kronik.

(35)

68 tahun (2 orang), sedangkan pada kelompok usia lainnya hanya terdapat 1 orang, dan hanya pada kelompok usia 19 – 28 tahun yang tidak mengalami pemberian dosis antibiotika yang tidak sesuai.

Pada karakteristik jenis kelamin, menunjukkan bahwa pada jenis kelamin perempuan yang memiliki jumlah terbanyak yang mengalami ketidaksesuaian dosis penggunaan antibiotika yaitu sebanyak 6 orang. Kemudian pada karakteristik stadium gagal ginjal kronik yang diderita pasien, dapat dilihat bahwa hanya pada stadium 5 yang mengalami ketidaksesuaian dosis penggunaan antibiotika yaitu sebanyak 8 orang. Stadium 5 merupakan stadium dengan keadaan fungsi ginjal yang sudah semakin memburuk dan penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah karena ginjal sudah tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh, maka dari itu diharapkan untuk lebih memperhatikan pemberian dosis antibiotika dan juga obat-obatan lainnya yang akan diberikan supaya tidak memperparah keadaan pasien.

(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas didapatkan kesimpulan sebagai berikut: a. persentase antibiotika yang paling banyak digunakan pada pasien

gangguan ginjal kronik adalah ceftriaxone (59,7%), diikuti ciprofloxacin (29,5%) dan meropenem (5,4%). Analisis data menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada jenis antibiotika yang digunakan pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014.

b. tingkat kesesuaian dosis dalam penggunaan antibiotika yang digunakan pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari – Juni 2014 menunjukkan sebanyak 120 jumlah antibiotika (93%) dosis penggunaannya telah sesuai dengan yang direkomendasikan dan dari analis data tidak terdapat perbedaan kesesuaian dosis penggunaan antibiotika berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin dan stadium gangguan ginjal kronik pada pasien gagal ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari – Juni 2014.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan tersebut, maka disarankan: a. untuk pihak rumah sakit sebaiknya dilakukan penigkatan monitoring

(37)

hidup pasien serta pelayanan di rumah sakit, khususnya agar dosis antibiotika untuk pasien gangguan ginjal kronik lebih diperhatikan lagi sehingga terapi untuk pasien gagl ginjal kronik lebih optimal.

(38)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Dalam hal ini, ginjal laki-laki relatif lebih besar ukurannya daripada perempuan. Pada orang yang mempunyai ginjal tunggal yang didapat sejak usia anak, ukurannya lebih besar daripada ginjal normal. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm panjangnya dengan lebar 6 cm dan tebal 3,5 cm. Beratnya bervariasi antara 120 – 170 gram, atau kurang lebih 0,4 % dari berat badan. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh beberapa otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejeunum, dan kolon (Purnomo, 2012).

(39)

kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau tes pencitraan ginjal serta LFG < 60 ml/menit/1,73m2(Sukandar, 2006).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal. Medula ginjal yang terletak lebih profundus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus (TC) proksimalis, Loop of Henle, tubulus kontortus (TC) distalis, dan duktus kologentes. Darah yang membawa sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) di dalam glomerulus dan kemudian setelah sampai di tubulus ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan oleh tubuh mengalami reabsorbsi dan zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi membentuk urin. Setiap hari tidak kurang dari 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urin sebanyak 1 sampai 2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2012).

(40)

darah, serta hormon prostaglandin yang berguna dalam berbagai mekanisme tubuh (Purnomo, 2012).

2.1.2 Epidemiologi

Beberapa tahun belakangan ini, penderita gangguan ginjal di Indonesia saat ini terbilang tinggi yakni mencapai 300.000 orang.Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menunjukkan bahwa 12,5% (sekitar 25 juta penduduk) dari populasi penduduk Indonesia yang mengalami penurunan fungsi ginjal (PERNEFRI, 2009). Menurut hasil penelitian Hallan SI, et al., tahun 2006 menyatakan bahwa, prevalensi dari gangguan ginjal kronik pada populasi umum Eropa yaitu sebesar 10,2%, dan prevalensi Amerika Serikat yaitu sebesar 11,5%. Berdasarkan data United State Renal Data System (USRDS) tahun 2013 diperkirakan lebih dari 20 juta (atau lebih dari 10%) orang dewasa di Amerika Serikat yang mengalami penyakit ginjal kronik per tahunnya. Kasus penyakit ginjal di dunia per tahun meningkat sebanyak lebih dari 50%. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan Riau (Kemenkes., 2013).

2.1.3 Etiologi

(41)

umumnya lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, dengan usia antara 20 – 40 tahun. Penyakit ginjal hipertensif juga merupakan salah satu penyebab gangguan ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2006).

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi derajat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sangat penting sebagai panduan terapi konservatif pada penderita yang mengalami penyakit gangguan ginjal kronik dan saat dimulainya terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi gangguan ginjal kronik berdasarkan derajatnya

Derajat Penjelasan LFG

(ml/menit/1,73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30 – 59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15 – 29 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis Sumber: NKF-K/DOQI (2004)

Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG

Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg%)

(42)

Sumber: International committee for nomenclature nosology of renal disease

(1975) dalam (Sukandar, 2006).

2.2 Farmakokinetik Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Farmakokinetika dapat dijelaskan sebagai suatu ilmu mengenai waktu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat serta hubungannya dengan respon farmakologis. Ekskresi adalah yang terutama dipengaruhi oleh gangguan ginjal, tetapi absorpsi, distribusi (termasuk ikatan protein), metabolisme maupun farmakodinamika dapat berubah. Peningkatan kadar urea darah pada penderita gagal ginjal dapat meningkatkan kadar urea dalam air liur (saliva) yang biasanya menyebabkan peningkatan pH asam lambung. Hal ini mengakibatkan penurunan absorpsi beberapa obat misalnya obat-obat yang mengandung zat besi, digoksin, dan dekstropropoksifen (Aslam, dkk., 2003).

(43)

dan fenitoin (90% dalam bentuk terikat, Vd 35 liter). Obat lain yang mempunyai ikatan protein tinggi antara lain diazoksida, metotreksat, asam nalidiksat, fenilbutazon, dan sulfonamida (Aslam, dkk., 2003).

Ginjal juga merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja. Ginjal bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivasi vitamin D melalui hidroksilasi 25-hidroksikolekalsiferol menjadi bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25-dihidroksikolekalsiferol. Proses ini terganggu pada pasien gagal ginjal sehingga penderita membutuhkan terapi pengganti vitamin D. Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan metabolitnya (baik aktif, tidak aktif, maupun toksik). Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus atau reabsorpsi. Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh gangguan ginjal. Obat yang dikeluarkan terutama melalui ekskresi ginjal dipercaya dapat menyebabkan toksisitas pada penderita gagal ginjal. Jika obat terutama dimetabolisme menjadi senyawa dalam bentuk tidak aktif, maka fungsi ginjal tidak akan terlalu mempengaruhi eliminasi senyawa aktif tersebut. Namun, apabila obat atau metabolit aktifnya diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal, maka perubahan pada fungsi ginjal akan mempengaruhi eliminasinya (Aslam, dkk., 2003).

2.3 Pemeriksaan Darah dan Faal Ginjal

(44)

ureum atau BUN (blood urea nitrogen), dan klirens kreatinin. Pemeriksaan BUN, ureum, atau kreatinin di dalam serum merupakan uji faal ginjal yang paling sering dipakai, namun uji ini baru menunjukkan adanya kelainan pada saat ginjal sudah

kehilangan 2

3 dari fungsinya (Purnomo, 2012).

Kreatinin adalah hasil dari katabolisme otot skeletal, diekskresikan oleh ginjal dan tidak terpengaruh oleh kondisi hidrasi seseorang. Oleh karena produksi kreatinin pada orang yang dalam keadaan aktif, setiap harinya relatif konstan, yakni lebih kurang 1 mg/menit pada orang dewasa, maka pemeriksaan ini cukup dipercaya sebagai uji pemeriksaan faal ginjal. Nilai kreatinin dipengaruhi oleh usia, besar atau volume massa otot, dan jenis kelamin. Pada orang yang berotot, nilai kreatinin lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berotot, dan pada usia yang semakin tua, nilai kreatininnya semakin meningkat. Demikian pula pada lelaki, laju katabolisme otot relatif lebih tinggi daripada perempuan sehingga nilai kreatinin laki-laki lebih tinggi (Purnomo, 2012).

(45)

klirens normal pada laki-laki dewasa adalah 80 – 120 ml/menit. Pada perempuan, nilai tersebut harus dikalikan dengan 0,85. Klirens kreatinin dihitung melalui

rumus: K = ��

� ×

1,73

� , dimana K adalah nilai klirens kreatinin (ml/menit), U adalah kadar kreatinin dalam urin (mg/dl), V adalah jumlah urin dalam 24 jam (ml), P adalah kadar kreatinin dalam serum (md/dl), dan L adalah luas permukaan tubuh (m2).

Untuk memeriksa klirens kreatinin harus menampung urin selama 24 jam, hal ini seringkali sulit dikerjakan oleh pasien, kecuali mereka yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Dengan memperhitungkan harga kreatinin serum, usia pasien, berat badan, dan jenis kelamin, Cockroft dan Gault memperkenalkan formula untuk meramalkan harga klirens kreatinin tanpa harus memperhitungkan jumlah urin selama 24 jam (Purnomo, 2012).

Rumus untuk menghitung klirens kreatinin pada pria = (140−����)×�� 72 ×��������� �����,

sedangkan pada wanita = (140−����)×��

72 ×��������� ����� × 0,85 , dimana usianya dalam tahun dan BB merupakan berat badan dalam kilogram. Namun perlu diperhatikan bahwa persamaan tersebut kurang akurat memperkirakan GFR jika:

1. pasien terlalu banyak mengonsumsi protein, bahan nabati (vegetarian), atau sedang menggunakan suplemen keratin atau asam amino.

2. berat badan pasien terlalu kurus atau gemuk

3. pasien mengalami gangguan otot, misalnya otot terlalu besar

(46)

2.4 Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Peresepan untuk penderita dengan gangguan ginjal memerlukan pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal penderita, riwayat pengobatan, metabolisme zat aktivitas obat, lama kerja obat serta cara ekskresinya. Tingkatan fungsi ginjal yang memerlukan penurunan dosis tergantung berapa bagian obat yang secara normal dikeluarkan melalui ginjal dan berapa bagian yang melalui rute metabolisme lain serta seberapa toksis obat tersebut (Aslam, dkk., 2003).

Pada pasien dengan riwayat gangguan ginjal atau penyakit lainnya (kelainan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat, perlu diketahui dengan jelas dan juga perlu ditelusuri riwayat penggunaan obat dan kemungkinan adanya alergi obat. Catatan rekam medik harus diteliti dengan cermat terutama bila ada penambahan obat baru. Pemeriksaan fisik seperti tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh, status nutrisi serta adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi untuk pengaturan dosis obat (Nasution, et al., 2003).

(47)

mekanisme selain ginjal (misalnya, metabolisme melalui hati) tidak terlalu berubah pada penderita dengan penyakit ginjal (Aslam, dkk., 2003).

Obat yang terutama dalam bentuk metabolit aktif akan diekskresikan melalui ginjal, maka penyesuaian dosis atau modifikasi takaran sangat penting untuk pasien dengan advanced renal failure. Takaran pemeliharaan (maintenance dose) perlu penyesuaian takaran dengan cara interval pemberian obat diperpanjang atau pengurangan takaran obat. Bila digunakan cara memperpanjang interval pemberian obat, maka takaran obat sama (usual dose) dan tidak diperlukan penyesuaian takaran obat. Bila digunakan teknik dosage reduction, takaran obat dikurangi dari dosis lazim tetapi interval pemberian obat tetap sama. Teknik penyesuaian takaran obat ini mempunyai tujuan untuk mempertahankan konsentrasi obat sehingga efek terapeutik cukup efektif dan terhindar dari akumulasi obat yang dapat menyebabkan efek samping. Pemantauan (monitoring) konsentrasi obat sangat penting sebagai panduan terapi obat dan mencegah toksisitas obat (Sukandar, 2006).

Menurut Ashley (2004), bila klirens kreatinin dibawah 60 ml/menit maka perlu penyesuaian dosis obat yang akan dikonsumsi. Berikut ini beberapa macam obat yang perlu penyesuaian dosis bila akan diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan ginjal, yaitu:

a. antibiotik/antifungi: aminoglikosida (gentamisin), carbapenem (meropenem)

(48)

d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit maka hindari penggunaan obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang efektivitasnya

e. psikotropika/antikejang: lithium dan topiramate

f. obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid dan insulin g. obat lain: methotrexate dan penicillamine

2.5 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Antibiotika merupakan suatu obat yang paling banyak digunakan saat ini oleh banyak orang dan sepertiga dari pasien rawat inap menggunakan antibiotika. Disamping itu penggunaan antibiotika dapat menimbulkan masalah resistensi dan efek obat yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, penggunaan antibiotika harus mengikuti strategi peresepan antibiotika (Aslam, dkk., 2003).

Terdapat beberapa golongan antibiotika yang digunakan pada pasien rawat inap yang menderita gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari – Juni 2014, yaitu:

a. Golongan Cephalosporin

Cephalosporin adalah antibiotika β-lactam yang terkait erat secara

(49)

Cephalosporin telah diklasifikasikan sebagai generasi pertama, kedua, ketiga, atau keempat, sebagian besar berdasarkan pola kepekaan bakterinya dan resistensinya terhadap β-lactamase. [Catatan: cephalosporin tidak efektif melawan

MRSA, L. monocytogenes, Clostridium difficile, dan enterokokus]. Cephalosporin generasi pertama bekerja sebagai pengganti penicillin G. Generasi ini resisten terhadap penicillinase stafilokokus dan juga memiliki aktivitas melawan Proteus mirabilis, E. Coli, dan Klebsiella pneumoniae (disingkat menjadi PecK). Contoh cephalosporin generasi pertama adalah cefazolin, cefadroxil, cephalexin, dan cephalothin (Harvey, 2009).

Cephalosporin generasi kedua memperlihatkan aktivitas yang lebih besar melawan tiga organisme gram-negatif tambahan: H. influenzae, Enterobacter aerogenes, dan beberapa spesies Neisseria, sedangkan aktivitas melawan organisme gram-positif lebih lemah (singkatan HENPEcK telah diajukan untuk cakupan generasi kedua yang lebih luas). [Catatan: pengecualian untuk generalisasi ini adalah cephamycin yang terkait secara struktural, yaitu cefoxitin yang memiliki sedikit aktivitas terhadap H. influenzae tetapi efektif terhadap organisme anaerob Bacteroides fragilis]. Contoh cephalosporin generasi kedua adalah cefaclor, cefoxitin, cefuroxime sodium, dan cefuroxime axetil (Harvey, 2009).

(50)

enterik lainnya, serta Serratia marcescens. Ceftriaxone atau cefotaxime telah menjadi agen pilihan dalam terapi meningitis. Ceftazidime mempunyai aktivitas terhadap P. aeruginosa. Contoh cephalosporin generasi ketiga adalah cefdinir, cefixime, cefotaxime, ceftazidime, ceftibuten, ceftizoxime, dan ceftriaxone. Cefepime diklasifikasikan sebagai cephalosporin generasi keempat dan harus diberikan melalui parenteral. Cefepime mempunyai spektrum bakteri yang luas, aktif melawan streptokokus dan stafilokokus (tetapi hanya terhadap yang peka

methicillin). Cefepime juga efektif melawan organisme gram-negatif aerobik, seperti enterobacter, E. coli, K. pneumoniae, P. mirabilis, dan P. aeruginosa(Harvey, 2009).

Mekanisme resistensi bakteri terhadap cephalosporin, pada dasarnya serupa dengan yang dijabarkan untuk penicillin. [Catatan: walaupun cephalosporin tidak rentan terhadap hidrolisis oelh penicillinase stafilokokus, cephalosporin dapat rentan terhadap β-lactamase yang berspektrum luas]. Dalam

(51)

diantaranya bersifat unik untuk anggota tertentu golongan ini. Pasien yang mengalami respon anafilatik terhadap penicillin tidak boleh diberikan cephalosporin. Cephalosporin harus dihindari atau digunakan secara hati-hati pada orang-orang yang alergi terhadap penicillin (sekitar 5%-15% menunjukkan sensitivitas-silang). Sebaliknya , insidensi reaksi alergi terhadap cephalosporin berkisar satu hingga dua persen pada pasien tanpa riwayat alergi penicillin (Harvey, 2009).

b. Antibiotika β-Lactam Lainnya (Carbapenem)

Carbapenem adalah antibiotika β-lactam sintetik yang berbeda struktur

dengan penicillin dalam hal atom sulfur cincin thiazolidine yang telah dibuang dan digantikan oleh suatu atom karbon. Imipenem, meropenem, dan ertapenem adalah obat-obat dari golongan ini yang tersedia saat ini. Imipenem disenyawakan dengan cilastatin untuk melindunginya dari metabolisme oleh dehidropeptidase ginjal. Imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan sediaan antibiotika β -lactam dengan spektrum terluas yang tersedia saat ini. Imipenem tahan dari hidrolisis oleh sebagian besar β-lactamase, tetapi tidak oleh metallo-β-lactamase. Obat ini berperan dalam terapi empirik karena aktif melawan organisme gram-positif dan gram-negatif penghasil penicillinase, anaerob, dan P. aeruginosa

(walaupun galur pseudomonas lainnya bersifat resisten, dan galur P. aeruginosa

(52)

Imipenem dan meropenem deberikan secara IV dan menembus dalam jaringan dan cairan tubuh secara baik, termasuk CSF ketika meninges mengalami inflamasi. Keduanya diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Imipenem mengalami pembelahan oleh dehidropeptidase yang ada pada brush border

tubulus proksimal ginjal. Enzim ini membentuk metabolit inaktif yang berpotensi menyebabkan nefrotoksik. Persenyawaan imipenem dengan cilastatin melindungi obat induknya sehingga mencegah pembentukan metabolit toksik. Hal ini membuat obat dapat digunakan dalam terapi infeksi saluran kemih. Meropenem tidak mengalami metabolisme. Ertapenem dapat diberikan melalui injeksi IV atau IM. Dosis obat golongan ini harus disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Efek samping dari imipenem/cilastatin ialah dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare. Kadar imipenem yang tinggi juga dapat memicu kejang, tetapi meropenem lebih sedikit kemungkinannya untuk menyebabkan kejang (Harvey, 2009).

c. Fluoroquinolone

(53)

diobati secara efektif. Ciprofloxacin juga merupakan obat pilihan untuk profilaksis dan terapi anthraks (Harvey, 2009).

Ciprofloxacin merupakan fluoroquinolone paling poten untuk infeksi

Pseudomonas aeruginosa sehingga obat ini digunakan dalam terapi infeksi pseudomonas akibat fibrosis kistik. Obat ini juga digunakan sebagai alternatif bagi obat yang lebih toksik, seperti aminoglycoside. Obat ini dapat bekerja secara sinergistik dengan β-lactam dan juga memiliki manfaat dalam mengobati

tuberkulosis yang resisten. Ciprofloxacin dapat diberikan melalui injeksi IV. Konsumsi fluoroquinolone dengan sucralfate, antasida yang mengandung alumunium atau magnesium, atau suplemen makanan yang mengandung besi dapat mengganggu absorpsi agen-agen ini. Fluoroquinolone diekskresikan melalui rute ginjal. Efek samping fluoroquinolone tersering adalah mual, muntah, dan diare, yang terjadi pada tiga hingga enam persen pasien. Fluoroquinolone harus dihindari pada kehamilan, ibu menyusui, dan pada anak berusia kurang dari 18 tahun karena erosi kartilago artikular (artropati) terjadi pada hewan percobaan yang belum dewasa. Pada orang dewasa, kadang-kadang, fluoroquinolone dapat menyebabkan ruptur tendon. Efek terapi fluoroquinolone terhadap sistem saraf pusat yang paling menonjol adalah sakit kepala dan pusing atau kepala terasa ringan. Oleh sebab itu, pasien dengan gangguan SSP, seperti epilepsi, harus diobati secara hati-hati dengan obat-obat ini. Ciprofloxacin mengganggu metabolisme theophylline dan dapat membangkitkan kejang (Harvey, 2009).

d. Metronidazole

(54)
(55)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Gangguan ginjal kronik adalah salah satu penyakit yang tidak menular dan merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan tidak dapat kembali ke keadaan semula (Romauli, 2009).

Kriteria penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Manifestasinya adalah kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) serta laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Suwitra, 2006).

(56)

maupun kronis) (Aslam, dkk., 2003).

Dewasa ini, prevalensi penyakit gangguan ginjal kronik semakin meningkat setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Menurut hasil penelitian Hallan dan kawan-kawan pada tahun 2006 menyatakan bahwa, prevalensi dari gangguan ginjal kronik pada populasi umum Eropa yaitu sebesar 10,2%, dan prevalensi Amerika Serikat yaitu sebesar 11,5% (Hallan SI, et al., 2006). Berdasarkan data United State Renal Data System (USRDS) tahun 2013 diperkirakan lebih dari 20 juta (atau lebih dari 10%) orang dewasa di Amerika Serikat yang mengalami penyakit ginjal kronik per tahunnya. Kasus penyakit ginjal di dunia per tahun meningkat sebanyak lebih dari 50%. Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menunjukkan bahwa 12,5% (sekitar 25 juta penduduk) dari populasi penduduk Indonesia yang mengalami penurunan fungsi ginjal (PERNEFRI, 2009). Beberapa tahun belakangan ini, penderita gagal ginjal di Indonesia saat ini terbilang tinggi, mencapai 300.000 orang namun belum semua pasien dapat ditangani oleh para tenaga medis, diperkirakan baru sekitar 25.000 orang pasien saja yang dapat ditangani, artinya ada lebih dari 80 persen pasien yang belum mendapat pengobatan (Susalit, 2012).

(57)

jenis lain. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospesnya (Abidin, 2010).

Penyesuaian dosis obat sangat penting untuk obat dengan rasio toksik-terapetik yang sempit, atau yang sedang menderita penyakit ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dosis antibiotik disesuaikan dengan tingkat bersihan kreatinin. Pada umumnya dengan bersihan kreatinin 40–60ml/menit dosis pemeliharaan akanditurunkan 50% dari dosis lazim. Bila bersihan kreatininnya 10–40ml/menit, selain dosis pemeliharaannya diturunkan 50% perlu juga memperpanjang jarak pemberian menjadi dua kali lipat serta usahakan untuk menghindari obat yang bersifat nefrotoksis pada pasien gangguan ginjal. Daftar antibiotik dengan eliminasi utama melalui ginjal dan yang memerlukan penyesuaian dosis antara lain: sebagian besar ß-laktam, aminoglikosida, Trimethoprim sulfamethoxazole, monobaktam, ciprofloksasin, levofloksasin, gatifloksasin, gemifloksasin, vankomisin, nitrofurantoin,fosfomisin, tetrasiklin, daptomisin, karbapenem, polimiksin B, colistin, dan flusitosin (Kemenkes., 2011).Pada umumnya antibiotika golongan beta-laktam menyebabkan efek samping yang paling jarang dan paling ringan (Aslam, dkk, 2003).

(58)

penyesuaian dosis meliputi metode yang didasarkan atas tingkat bersihan kreatinin dan metode yang didasarkan atas waktu paruh eliminasi (Hassan, et al., 2009).

Penerapan farmakokinetika bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi atau menurunkan efek samping dan toksisitas pada pasien. Penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis pemeliharaan seringkali diperlukan. Perubahan dosis yang sering kali dijumpai adalah penurunan dosis obat atau perpanjangan interval pemberian obat atau gabungan keduanya (Shargel dan Yu, 1999).Untuk memilih dan menentukan dosis obat diperlukan pengetahuan tentang perubahan fisiologi yang terjadi pada lanjut usia, (seperti menurunnya fungsi ginjal, dengan akibat menurunnya klirens obat) dan frekuensi efek samping obat yang lebih tinggi (Aslam, dkk., 2003).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat tingkat kesesuaian dosis penggunaan antibiotika pada pasien yang mengalami gangguan ginjal kronik yang dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

(59)

Gambaran kerangka pikir penelitian ini selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut (Gambar 1.1):

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 1.1 Skema Kerangka Pikir Penelitian Evaluasi Kesesuaian Dosis

Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014.

1.3Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah adalah:

a. apakah terdapatperbedaan persentase penggunaan antibiotika pada pengobatanpasien gangguan ginjal kronikdi RSUP Haji Adam Malik Medanpada periode Januari – Juni 2014?

b. apakah terdapat perbedaan kesesuaian dosis penggunaan antibiotika yang diberikan pada pasien gangguan ginjal kronikdi RSUP Haji Adam Malik Medanpada periode Januari – Juni 2014 berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin dan stadium gagal ginjal kronik?

1.4Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Karakteristik Pasien: Usia

Jenis kelamin

(60)

a. terdapat perbedaan persentase penggunaan antibiotika pada pengobatan pasien gangguan ginjal kronikdi RSUP Haji Adam Malik Medanpada periode Januari – Juni 2014.

b. tidakterdapat perbedaan kesesuaian dosis penggunaan antibiotika yang diberikan pada pasien gangguan ginjal kronikdi RSUP Haji Adam Malik Medanpada periode Januari – Juni 2014 berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin dan stadium gagal ginjal kronik.

1.5Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. persentase penggunaan antibiotika pada pengobatan pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan padaperiode Januari – Juni 2014. b. persentase kesesuaian dosis penggunaan antibiotika yang diberikan pada pasien

gangguan ginjal kronik diRSUP Haji Adam Malik Medanpada periodeJanuari – Juni 2014 berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin dan stadium gangguan ginjal kronik.

1.6Manfaat Penelitian

(61)

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKAPADA PASIEN GANGGUAN GINJAL

KRONIK DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI – JUNI2014

ABSTRAK

Antibiotika adalah zat organisme lain yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Pada pasien yang mengalami gangguan ginjal kronik, dosis antibiotik disesuaikan dengan bersihan kreatinin. Oleh karena beberapa antibiotika terutama diekskresi melalui ginjal, maka perludilakukan penyesuaian dosis. Ketepatan dalam pemberian dosis pada pasien yang menderita gangguan ginjal merupakan salah satu indikator penting agar tercapainya terapi yang baik untuk menjaga kualitas hidup pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase penggunaan antibiotika yang digunakan dan tingkat kesesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari – Juni 2014. Metode penyesuaian dosis pada penderita dengan kerusakan ginjal didasarkan pada klirens obat tersebut dengan perhitungan Cockcroft-Gault. Data rekam medik pasien gangguan ginjal kronik yang memenuhi kriteria dan dijadikan sebagai sampel adalah 82 data pasien. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dan menggunakan metode deskriptif rancangan penelitian cross sectional dengan pendekatan retrospektif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan usia, pasien gangguan ginjal kronik mayoritas berada pada kelompok usia 39-48 tahun sebesar (30,5%) yaitu 25 orang. Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan mayoritas pasien gangguan ginjal kronik berjenis kelamin perempuan sebesar (51,2%) yaitu 42 orang. Berdasarkan stadium yang diderita, pasien gangguan ginjal kronik mayoritas berada pada stadium 5 dengan (72%) yaitu 59 orang, diikuti stadium 4 (18,3%) yaitu 15 orang, stadium 3 (8,5%) yaitu 7 orang, dan stadium 2 (1,2%) yaitu 1 orang. Antibiotika yang paling banyak digunakan oleh pasien gangguan ginjal kronik ialah dari golongan sefalosporin yaitu ceftriaxone (59,7%). Tingkat kesesuaian dosis penggunaan antibiotika pada pasien gangguan ginjal kronik sebesar (93%). Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa terdapat perbedaan penggunaan antibiotika dan tidak terdapat perbedaan kesesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari– Juni 2014 berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin dan stadium gangguan ginjal kronik.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kesesuaian dosis penggunaan antibiotika pada pasien gangguan ginjal kronik periode Januari– Juni 2014 telah baik, sesuai dengan standar pengobatan yang direkomendasikan RSUP Haji Adam Malik Medan.

(62)

EVALUATION OF CONFORMITY DOSE OF ANTIBIOTIC USE IN PATIENT WITH CHRONIC RENAL DISORDER

AT HAJI ADAM MALIK HOSPITAL MEDAN IN PERIOD JANUARY – JUNE2014

ABSTRACT

Antibiotic is a another organism substance produced by microorganism which could deny or rooting out the other kind of microbes.In patient with chronic renal disorder, the adjustmentdose of antibiotic based oncreatinine clearance. As some antibiotics are mainly excreted through renal, therefore it is necessary to adjust the dose. The accuracy in giving dose to patient with chronic renal disorderis one important indicator to reach therapy and to maintain the patient’s lifequality.

This study aims to determinethe percentage of the use of the antibiotic and the degree of doseadjustmenttoward patients with chronic renal disorder in Haji Adam Malik Hospital Medan on period January – June 2014. The method of dose adjustment in patient with renal failure is based on the drug clearance by Cockcroft-Gault equation. There are 82 medical records of patient with chronic renal disorder which fits the criteria and used as a sample. This study is a non eksperimental study and use descriptive method with cross sectional design and a retrospective way.

The result showed that based on age, the majority of patient with chronic renal disorder was at the age group 39–48 years (30.5%) is 25 people. Based on sex, the majority of patient with chronic renal disorder was female (51.2%) is 42 people. Based on the stage, the majority of patient with chronic renal disorder was stage 5 with (72%) is 59 people, followed by stage 4 (18.3%) is 15 people, stage 3 (8.5%) is 7 people and stage 2 (1.2%) is 1 people. The most widely antibiotic which used by patient with chronic renal disorderis fromcephalosporin classes,that is ceftriaxone(59.7%). The level dose conformity ofantibiotic use in patient with chronic renal disorder was (93%). Based on dataanalysis, there is difference inthe antibioticuse andthere is no difference ofdoseconformity in patientwith chronic renal disorderinHajiAdam MalikHospitalMedan on period January – June 2014 based on characteristics of age, sex and stage chronic renal failure.

Based on this result, it can be concluded that the dose conformity of antibiotic use in patientwith chronic renal disorderon periodJanuary – June 2014has been good, in accordance with standard treatment recommended byHajiAdam MalikHospitalMedan.

(63)

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS PENGGUNAAN

ANTIBIOTIKA PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL

KRONIK DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI – JUNI 2014

SKRIPSI

OLEH:

MAYA NATALINA

NIM 101501048

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

(64)

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS PENGGUNAAN

ANTIBIOTIKA PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL

KRONIK DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI – JUNI 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MAYA NATALINA

NIM 101501048

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(65)

PENGESAHAN SKRIPSI

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS PENGGUNAAN

ANTIBIOTIKA PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL

KRONIK DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI – JUNI 2014

OLEH: MAYA NATALINA

NIM 101501048

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 8 Januari 2016 Disetujui Oleh:

Pembimbing I,

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP197806032005012004

Pembimbing II,

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm, Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

Dr. Wiryanto, M.S., Apt. NIP195110251980021001

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP197806032005012004

Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 195111021977102001

(66)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerah dan kasih setiaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Evaluasi Kesesuaian Dosis Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

(67)

Purnamawati, MARS yang telah memberikan izin dan fasilitas kepada penulis selama melakukan penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan yang tulus dan tak terhingga kepada orangtua terkasih Alm. Bapak P. Hutapea, S.E. dan Ibu R. Napitupulu atas doa yang tulus, motivasi, nasehat, dan dukungan baik moril maupun materil, untuk ketiga adik tersayang Arin Wijaya Hutapea, Ayu Dewi Sari, dan Murni Eunike, dan teman-teman Farmasi Klinis Dan Komunitas S-1 Reguler stambuk 2010 serta semua pihak yang telah memberikan pertolongan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masi jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2016 Penulis,

(68)

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKAPADA PASIEN GANGGUAN GINJAL

KRONIK DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI – JUNI2014

ABSTRAK

Antibiotika adalah zat organisme lain yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Pada pasien yang mengalami gangguan ginjal kronik, dosis antibiotik disesuaikan dengan bersihan kreatinin. Oleh karena beberapa antibiotika terutama diekskresi melalui ginjal, maka perludilakukan penyesuaian dosis. Ketepatan dalam pemberian dosis pada pasien yang menderita gangguan ginjal merupakan salah satu indikator penting agar tercapainya terapi yang baik untuk menjaga kualitas hidup pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase penggunaan antibiotika yang digunakan dan tingkat kesesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari – Juni 2014. Metode penyesuaian dosis pada penderita dengan kerusakan ginjal didasarkan pada klirens obat tersebut dengan perhitungan Cockcroft-Gault. Data rekam medik pasien gangguan ginjal kronik yang memenuhi kriteria dan dijadikan sebagai sampel adalah 82 data pasien. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dan menggunakan metode deskriptif rancangan penelitian cross sectional dengan pendekatan retrospektif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan usia, pasien gangguan ginjal kronik mayoritas berada pada kelompok usia 39-48 tahun sebesar (30,5%) yaitu 25 orang. Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan mayoritas pasien gangguan ginjal kronik berjenis kelamin perempuan sebesar (51,2%) yaitu 42 orang. Berdasarkan stadium yang diderita, pasien gangguan ginjal kronik mayoritas berada pada stadium 5 dengan (72%) yaitu 59 orang, diikuti stadium 4 (18,3%) yaitu 15 orang, stadium 3 (8,5%) yaitu 7 orang, dan stadium 2 (1,2%) yaitu 1 orang. Antibiotika yang paling banyak digunakan oleh pasien gangguan ginjal kronik ialah dari golongan sefalosporin yaitu ceftriaxone (59,7%). Tingkat kesesuaian dosis penggunaan antibiotika pada pasien gangguan ginjal kronik sebesar (93%). Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa terdapat perbedaan penggunaan antibiotika dan tidak terdapat perbedaan kesesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari– Juni 2014 berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin dan stadium gangguan ginjal kronik.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kesesuaian dosis penggunaan antibiotika pada pasien gangguan ginjal kronik periode Januari– Juni 2014 telah baik, sesuai dengan standar pengobatan yang direkomendasikan RSUP Haji Adam Malik Medan.

Gambar

Gambar 3.1 Bagan Alur Penelitian Evaluasi Kesesuaian Dosis Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Usia Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari– Juni 2014
Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Stadium Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014
Tabel 4.4 Distribusi Jenis Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2014
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ketujuh hanya ada Satu Kasus, semua peserta diikutkan namun hanya dua peserta yang melakukan praktek 58 standar dan langkah-langkah asuhan persalinan normal,

Simpulan yang dapat ditarik dari analisis yang dilakukan adalah terdapat hambatan-hambatan untuk Just In Time Purchasing sehingga tidak dapat dilakukan secara efektif dan untuk

Dalam penulisan ilmiah ini penulis mempunyai tujuan untuk menghitung besarnya break even point multi produk sebagai dasar perencanaan laba pada industri Maya Bakery. Setelah

Persiapan Kegiatan diawali dari penyusunan Renja yang dibuat pada

Program dan Jenis Kegiatan Hasil yang diharapkan Waktu Pelaksana an Pelaksa na Sumbe r Dana penyelenggaraan Prakerin 2.3 Pencarian obyek. 2.4   Rapat   pembentukan

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL TAHUN PELAJARAN 20… / 20… MATA PELAJARAN : Matematika.. KELAS / SEMESTER : II (Dua)

30 Desember 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian.. Keuangan Provinsi Sumatera Utara tanggal 30 Desember 2016 melalui Aplikasi

berkesimpulan bahwa pelelangan ini gagal karena tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran,. dan membatalkan lelang atau mengulang lelang paket pelelangan ini dalam