• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Penderita Miopi Tentang Kesehatan Mata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Penderita Miopi Tentang Kesehatan Mata"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN SISWA-SISWI SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN PENDERITA MIOPI TENTANG KESEHATAN MATA

Oleh :

EVELYNE THERESIA 080100245

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TINGKAT PENGETAHUAN SISWA-SISWI SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN PENDERITA MIOPI TENTANG KESEHATAN MATA

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

EVELYNE THERESIA 080100245

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tingkat Pengetahuan Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Penderita Miopi Tentang Kesehatan Mata

Nama : Evelyne Theresia NIM : 080100245

Pembimbing Penguji

(dr. Nurchaliza Hazaria Siregar, Sp.M.) (dr. Liberti Sirait, Sp.B-KBD) NIP: 19700908 200003 2 001 NIP: 19560413 198702 1 001

(dr. Yunita Sari Pane, M.Si.) NIP: 19710620 200212 2 001

Medan, 08 Desember 2011 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Tingkat Pengetahuan Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Penderita Miopi Tentang Kesehatan Mata”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Nurchaliza Hazaria Siregar, Sp.M., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Juga kepada dr. Liberty Sirait, Sp.B.-KBD, dan dr. Yunita Sari Pane, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

3. Bapak Drs. Johannes O. Fian, selaku Kepala SMA Santo Thomas 1 Medan, yang telah memberikan izin dan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan proses pengumpulan data di lokasi penelitian.

4. Seluruh staf SMA Santo Thomas 1 Medan yang telah membantu administrasi perizinan untuk melakukan penelitian.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(5)

dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan maupun karya tulis ini.

7. Seluruh siswa/i SMA Santo Thomas 1 Medan, atas bantuan dan partisipasinya dalam proses pengumpulan data penelitian ini.

8. Teman-teman penulis yang telah memberikan dukungan dan bantuannya selama kuliah dan pembuatan karya tulis ini, Dominika Chandra Kurniawan, S.H., Harianto Wirjono, S.H., Patricia Halim, S.H., Tondi Triyono, S.H., Novia Gracia Tobing, S.H., Rena Tarigan, Amd., Impola Silitonga, S.Pd., Regina Runike Andreita, S.P., Ali Sentosa, Scholastika Chandra Kurniawan, Wiedya Kristianti Angeline, Yunifen Wirjono, Evi Indrawati dan Christian Unggul, terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

9. Seluruh teman Stambuk 2008, terutama kepada Toh Chia Thing, Stefani Susilo, dan Felicia Tania, terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materiil yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan pahala yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, 08 Desember 2011 Penulis

(6)

ABSTRAK

Pengetahuan mengenai kesehatan mata sangat penting terutama mengenai koreksi kelainan refraksi. Jika kelainan refraksi tidak dikoreksi dapat menimbulkan komplikasi bahkan kebutaan. Salah satu penyakit mata yang cenderung meningkat dan menjadi masalah di masyarakat adalah miopia yang merupakan kesalahan refraksi dengan berkas sinar memasuki mata yang sejajar dengan sumbu optik dibawa ke fokus di depan retina.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi tentang kesehatan mata. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 75 orang dengan tingkat ketepatan relatif (d) sebesar 0,1. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan secara proposional berdasarkan tingkatan kelas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil uji tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi mengenai kesehatan mata sebesar 60% dikategorikan cukup dan sebesar 40% dikategorikan baik. Responden dengan pengetahuan cukup berdasarkan usia, terdapat pada kelompok usia 15-16 tahun, yakni sebesar 62,5%, sedangkan yang memiliki pengetahuan baik berada pada kelompok usia lebih besar dari 16 tahun sebesar 55,6%. Responden dengan pengetahuan cukup berdasarkan kelas mayoritas adalah kelas XI SMA sebesar 80%, sedangkan responden dengan pengetahuan baik sebesar 68% terdapat pada kelas XII SMA. Dan responden yang memiliki pengetahuan cukup berdasarkan jenis kelamin, terdapat pada kelompok perempuan sebesar 60,5% dan mayoritas yang memiliki pengetahuan baik adalah laki-laki sebesar 40,5%.

Dari hasil uji tersebut maka disimpulkan bahwa siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi memiliki tingkat pengetahuan cukup mengenai kesehatan mata. Maka dari itu, diharapkan orang tua siswi dapat meningkatkan kepedulian mereka terhadap pendidikan anak-anaknya mengenai kesehatan mata. Selain itu, diharapkan juga kepada pihak sekolah untuk dapat bekerja sama dengan pihak pelayanan kesehatan untuk dapat memberikan penyuluhan yang lebih baik mengenai kesehatan mata.

(7)

ABSTRACT

Knowledge about eye health is very important especially about correction refraction disorder. If refraction disorder not corrected, it can cause complication even blindness. One of eye disease that tends to increase and become problem in society is myopia which is a refractive error with a laser beam entering the eye is parallel to the optical axis was brought into focus in front of the retina.

This study was conducted to apprehend the knowledge of myopia students of SMA Santo Thomas 1 about eye health. Descriptive study was chosen in this study. A total of 75 samples were included with 0,1 as the precisions (d). Sampling technique used was stratified random sampling and samples were then distributed proportionally based on their level of education. Data were collected by utilizing questionnaires and analyzed by using descriptive statistic.

The result of myopia high school students’ knowledge in SMA Santo Thomas 1 Medan towards eye health is 60% categorized as sufficient and 40% categorized as good. Respondents with sufficient knowledge base on age is in age group 15-16 years with 62,5%, whereas who has good knowledge is age group more than 16 years with 55,6%. Respondents with sufficient knowledge base on class, majority is in XI SMA class with 80%, whereas respondents with good knowledge with 68% was XII SMA class. And respondents with sufficient knowledge base on gender was female with 60,5% and majority who have good knowledge was male with 40,5%.

From the result of this study, then concluded that myopia students of SMA Santo Thomas 1 Medan have sufficient knowledge about eye health. It is expected of the parents from the students to increase their care concerning their children’s education about eye health. Furthermore, it is expected of the school also to work together with health service in giving better guidance eye health.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan ... i

Kata Pengantar ... ii

Abstrak ... iv

Abstract ... v

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Pengetahuan ... 4

2.2. Miopia ... 6

2.2.1. Definisi ... 6

2.2.2. Etiologi ... 6

2.2.3. Klasifikasi ... 7

2.2.4. Faktor Resiko ... 9

2.2.4.1. Faktor herediter atau keturunan ... 10

2.2.4.2. Faktor lingkungan ... 10

2.2.5. Patofisiologi ... 11

2.2.6. Gambaran Klinis ... 12

(9)

2.2.8. Penatalaksanaan ... 15

2.2.9. Prognosis ... 16

2.2.10. Komplikasi ... 17

2.2.11. Pencegahan ... 18

2.3. Kesehatan Mata ... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 23

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 23

3.2. Definisi Operasional ... 23

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 25

4.1. Jenis Penelitian ... 25

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

4.3.1. Populasi ... 25

4.3.2. Sampel ... 25

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 27

4.4.1. Data Primer ... 27

4.4.2. Data Sekunder ... 27

4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 27

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 28

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

5.1. Hasil Penelitian ... 29

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 29

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 29

5.1.3. Hasil Analisis Data... 30

5.2. Pembahasan ... 34

(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

6.1. Kesimpulan ... 36

6.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sistem Klasifikasi Untuk Miopia ... 8

Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas Dan Realibilitas Kuesioner ... 27

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden ... 30

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan ... 31

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan ... 32

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan usia ... 32

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan kelas ... 33

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pembiasan Cahaya Pada Mata Miopia ... 6

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Lembar Penjelasan kepada Subjek Penelitian

Lampiran 3 Lembar Persetujuan Subjek Penelitian

Lampiran 4 Kuesioner Penelitian

Lampiran 5 Surat Izin Penelitian

Lampiran 6 Surat Persetujuan Komisi Etik

(14)

ABSTRAK

Pengetahuan mengenai kesehatan mata sangat penting terutama mengenai koreksi kelainan refraksi. Jika kelainan refraksi tidak dikoreksi dapat menimbulkan komplikasi bahkan kebutaan. Salah satu penyakit mata yang cenderung meningkat dan menjadi masalah di masyarakat adalah miopia yang merupakan kesalahan refraksi dengan berkas sinar memasuki mata yang sejajar dengan sumbu optik dibawa ke fokus di depan retina.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi tentang kesehatan mata. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 75 orang dengan tingkat ketepatan relatif (d) sebesar 0,1. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan secara proposional berdasarkan tingkatan kelas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil uji tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi mengenai kesehatan mata sebesar 60% dikategorikan cukup dan sebesar 40% dikategorikan baik. Responden dengan pengetahuan cukup berdasarkan usia, terdapat pada kelompok usia 15-16 tahun, yakni sebesar 62,5%, sedangkan yang memiliki pengetahuan baik berada pada kelompok usia lebih besar dari 16 tahun sebesar 55,6%. Responden dengan pengetahuan cukup berdasarkan kelas mayoritas adalah kelas XI SMA sebesar 80%, sedangkan responden dengan pengetahuan baik sebesar 68% terdapat pada kelas XII SMA. Dan responden yang memiliki pengetahuan cukup berdasarkan jenis kelamin, terdapat pada kelompok perempuan sebesar 60,5% dan mayoritas yang memiliki pengetahuan baik adalah laki-laki sebesar 40,5%.

Dari hasil uji tersebut maka disimpulkan bahwa siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi memiliki tingkat pengetahuan cukup mengenai kesehatan mata. Maka dari itu, diharapkan orang tua siswi dapat meningkatkan kepedulian mereka terhadap pendidikan anak-anaknya mengenai kesehatan mata. Selain itu, diharapkan juga kepada pihak sekolah untuk dapat bekerja sama dengan pihak pelayanan kesehatan untuk dapat memberikan penyuluhan yang lebih baik mengenai kesehatan mata.

(15)

ABSTRACT

Knowledge about eye health is very important especially about correction refraction disorder. If refraction disorder not corrected, it can cause complication even blindness. One of eye disease that tends to increase and become problem in society is myopia which is a refractive error with a laser beam entering the eye is parallel to the optical axis was brought into focus in front of the retina.

This study was conducted to apprehend the knowledge of myopia students of SMA Santo Thomas 1 about eye health. Descriptive study was chosen in this study. A total of 75 samples were included with 0,1 as the precisions (d). Sampling technique used was stratified random sampling and samples were then distributed proportionally based on their level of education. Data were collected by utilizing questionnaires and analyzed by using descriptive statistic.

The result of myopia high school students’ knowledge in SMA Santo Thomas 1 Medan towards eye health is 60% categorized as sufficient and 40% categorized as good. Respondents with sufficient knowledge base on age is in age group 15-16 years with 62,5%, whereas who has good knowledge is age group more than 16 years with 55,6%. Respondents with sufficient knowledge base on class, majority is in XI SMA class with 80%, whereas respondents with good knowledge with 68% was XII SMA class. And respondents with sufficient knowledge base on gender was female with 60,5% and majority who have good knowledge was male with 40,5%.

From the result of this study, then concluded that myopia students of SMA Santo Thomas 1 Medan have sufficient knowledge about eye health. It is expected of the parents from the students to increase their care concerning their children’s education about eye health. Furthermore, it is expected of the school also to work together with health service in giving better guidance eye health.

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan penglihatan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Tanpa mata, manusia mungkin tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada disekitarnya. Dalam penglihatan, mata mempunyai berbagai macam kelainan refraksi. Kelainan refraksi atau yang sering disebut dengan ametropia tersebut, terdiri dari miopia, hipermetropia, dan astigmatisme. Kelainan refraksi merupakan gangguan yang banyak terjadi di dunia tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun kelompok etnis (Ilyas, 2009). Kelainan refraksi merupakan kelainan pada mata yang paling umum. Hal ini terjadi apabila mata tidak mampu memfokuskan bayangan dengan jelas, sehingga penglihatan menjadi kabur, dimana kadang-kadang keadaan ini sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan pada penglihatan (WHO, 2009).

Tiga kelainan refraksi yang paling sering dijumpai yaitu miopia, hipermetropia, dan astigmatisme. Disamping itu, terdapat kelainan fisiologis yang menyerupai kelainan refraksi yang disebut dengan presbiopia. Keadaan ini berbeda dengan ketiga jenis lainnya dimana presbiopia berhubungan dengan proses penuaan dan terjadi hampir pada seluruh individu (WHO, 2009).

Prevalensi kebutaan menurut WHO (1990) adalah berkisar antara 0,08% pada anak-anak sampai 4,4% pada orang dewasa usia diatas 60 tahun. Secara keseluruhan, prevalensinya 0,7%. Jumlah orang yang mengalami kebutaan di dunia meningkat 1-2 juta orang setiap tahunnya (Andayani, 2008).

(17)

Di Indonesia terutama anak-anak remaja yang golongan ekonomi keluarganya menengah keatas mempunyai angka kejadian miopia yang semakin meningkat. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan miopia, salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan miopia adalah aktivitas melihat dekat atau nearwork. Adanya kemajuan teknologi dan telekomunikasi, seperti televisi, komputer, video game, dan lain-lain, secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat (Sahat, 2006).

Faktor gaya hidup mendukung tingginya akses anak terhadap media visual yang ada. Hampir seluruh murid di sekolah manapun di Indonesia rata-rata mempunyai televisi (94,5%), video game (39,4%), dan komputer (15,7%). Tingginya akses terhadap media visual ini apabila tidak diimbangi dengan pengawasan terhadap perilaku buruk, seperti jarak lihat yang terlalu dekat serta istirahat yang kurang, tentunya dapat meningkatkan terjadinya miopia (Sahat, 2006).

Miopia juga dapat terjadi karena ukuran bola mata yang relatif panjang atau karena indeks bias media yang tinggi. Penyebab utamanya adalah genetik, namun faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi seperti kekurangan gizi dan vitamin, dan membaca serta bekerja dengan jarak terlalu dekat dan waktu lama dapat menyebabkan miopia. Penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol, katarak jenis tetentu, obat anti hipertensi serta obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kekuatan refraksi dari lensa yang dapat menimbulkan miopi (Lee, 2010).

Walaupun kelainan refraksi sudah cukup banyak terjadi dan umum di masyarakat, namun pengetahuan mereka mengenai kelainan refraksi dan kesehatan mata ini masih belum cukup. Padahal pengetahuan ini sangat penting terutama mengenai koreksi kelainan refraksi. Jika kelainan refraksi tidak dikoreksi dapat menimbulkan komplikasi seperti esotropia (juling ke dalam) bahkan kebutaan.

(18)

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi tentang kesehatan mata?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan siswa-siswi penderita miopi tentang kesehatan mata di SMA Santo Thomas 1 Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi tentang kesehatan mata menurut tingkat pendidikan, usia, dan jenis kelamin.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

a. Dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang kesehatan mata.

b. Menambah pemahaman peneliti mengenai kesehatan mata.

c. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan tentang kesehatan mata.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga, perilaku dalam bentuk pengetahuan yakni dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Apabila perilaku didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long tasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.

2. Memahami (Comprehension)

(20)

sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan-makanan yang bergizi.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari pengunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya, terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

(21)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2007).

2.2. Miopia 2.2.1. Definisi

Miopia atau rabun jauh merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak dapat dilihat secara teliti karena sinar yang datang saling bersilangan pada badan kaca, ketika sinar tersebut sampai diretina sinar-sinar ini menjadi divergen, membentuk lingkaran yang difus dengan akibat bayangan yang kabur (Curtin, 1997).

Dalam kamus kedokteran Dorland disebutkan bahwa arti dari miopia adalah kesalahan refraksi dengan berkas sinar memasuki mata yang sejajar dengan sumbu optik dibawa ke fokus di depan retina (Hartanto, 2000).

Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata yang terlalu panjang, miopia aksial atau sumbu (Ilyas, 2009).

Gambar 2.1 Pembiasan cahaya pada mata miopia (Olver, 2005)

2.2.2. Etiologi

(22)

penyakit mata lain atau penyakit sistemik. Pada ras oriental, kebanyakan miopia tinggi diturunkan secara autosomal resesif (Ilyas, 2005).

Selain faktor genetik, menurut Curtin (2002) ada 2 mekanisme dasar yang menjadi penyebab miopia yaitu :

a. Hilangnya bentuk mata (hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar dalam retina berkurang.

b. Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika titik fokus cahaya berada di depan retina.

Miopia akan terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang pada saat masih bayi. Dikatakan bahwa semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka semakin besar kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan. Akibatnya, para penderita miopia umumnya merasa bayangan benda yang dilihatnya jatuh tidak tepat pada retina matanya, melainkan didepannya (Curtin, 2002).

2.2.3. Klasifikasi

Menurut Ilyas (2009), apabila berdasarkan derajat beratnya, maka miopia dapat dibagi tiga, yaitu:

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri. b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.

c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.

Menurut Ilyas (2009), ada beberapa bentuk myopia, yaitu : a. Miopia aksial

Dalam hal ini, terjadinya miopia akibat panjangnya sumbu bola mata (diameter antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal. b. Miopia kurvatura

(23)

yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola mata normal.

c. Perubahan indeks refraksi

Perubahan indeks refraksi atau miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang terjadi pada penderita diabetes melitus sehingga pembiasan lebih kuat.

Menurut Ilyas (2009), jika berdasarkan perjalanannya, maka miopia dapat dibagi menjadi :

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.

b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.

c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa/miopia maligna/miopia degeneratif.

Ada berbagai klasifikasi untuk miopia jika berdasarkan pada, yaitu klasifikasi berdasarkan gambaran klinis, derajat miopia, dan usia saat terkena miopia (Tabel 2.1) (American Optometric Association, 2006).

Tabel 2.1 Sistem klasifikasi untuk miopia

Type of Classification Classes of Myopia

Clinical Entity - Simple Myopia

- Nocturnal Myopia

- Pseudomyopia

- Degenerative myopia - Induced myopia

Degree - Low myopia (<3.00 D)

- Medium myopia (3.00 D-6.00 D)

- High myopia (>6.00 D)

Age of Onset - Congenital myopia (present at birth and

persisting through infancy)

- Youth-onset myopia (<20 years of age)

(24)

Mata dengan simple myopia adalah mata normal yang memiliki panjang aksial yang terlalu panjang untuk kekuatan optiknya, atau kekuatan optiknya terlalu besar untuk panjang aksialnya. Simple myopia, yang merupakan tipe yang paling sering terjadi daripada tipe lainnya, biasanya kurang dari 6 dioptri (D). Pada banyak pasien biasanya kurang dari 4 atau 5 D (American Optometric Association, 2006).

Nocturnal myopia hanya terjadi pada penerangan yang kurang atau gelap.

Hal ini dikarenakan meningkatnya respon akomodasi sehubungan dengan sedikitnya cahaya yang ada (American Optometric Association, 2006).

Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular

akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar. Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia karena respon akomodasi yang tidak sesuai (American Optometric Association, 2006).

Miopia yang berat yang berhubungan dengan perubahan degeneratif pada segmen posterior mata disebut degenerative atau pathological myopia. Perubahan degeneratif dapat menyebabkan fungsi penglihatan yang abnormal, seperti perubahan lapangan pandang. Retinal detachment dan glaukoma adalah sekuele yang biasa terjadi (American Optometric Association, 2006).

Induced myopia adalah akibat terpapar oleh berbagai obat-obatan, kadar

gula darah yang bervariasi, nuklear sklerosis pada lensa kristalin, atau kondisi ganjil lainnya. Miopia ini seringnya bersifat sementara dan reversibel (American Optometric Association, 2006).

2.2.4. Faktor Resiko

(25)

2.2.4.1. Faktor herediter atau keturunan

Beberapa penelitian telah melaporkan pengaruh ras terhadap prevalensi miopia. Pada populasi kulit putih, prevalensi miopia dilaporkan 17-26,2% sedangkan pada populasi kulit hitam prevalensi miopia sebesar 13-21,5%. Prevalensi miopia yang cenderung lebih tinggi lebih banyak dijumpai pada penduduk ras Asia Timur (Wong, 2003).

Adapun hasil penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi miopia pada anak yang kedua orang tuanya menderita miopia adalah sebesar 33-60%. Pada anak yang salah satu orang tuanya menderita miopia, prevalensinya adalah 23-40%. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia, hanya 6-15% yang menderita miopia. Perbedaan prevalensi ini menunjukkan bahwa riwayat orang tua memang berperan pada kejadian miopia bahkan pada anak pada beberapa tahun pertama sekolahnya (Saw, 1996).

2.2.4.2. Faktor lingkungan

Bahwa membaca atau kerja dekat dalam waktu yang lama menyebabkan miopia. Terdapat korelasi kuat antara tingkat pencapaian pendidikan dan prevalensi serta progresitivitas gangguan refraksi miopia. Individu dengan profesi yang banyak membaca seperti pengacara, dokter, pekerja dengan mikroskop, dan editor mengalami miopia derajat lebih tinggi. Miopia dapat berkembang tidak hanya pada usia remaja, namun melewati usia 20-30 tahun (Seet, 2001).

Iluminasi atau tingkat penerangan juga dianggap sebagai faktor pencetus yang mempengaruhi timbulnya miopia pada faktor lingkungan. Gangguan penerangan dapat menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi otot siliar secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan refraksi mata yaitu miopia (Fredrick, 2002).

(26)

Faktor resiko yang lain yang telah diteliti yang mungkin berperan pada kejadian miopia dan perkembangannya yaitu prematuritas, berat badan lahir rendah (BBLR), tinggi badan, kepribadian, dan malnutrisi. Namun belum ada bukti yang meyakinkan tentang hubungan miopia dengan tinggi badan, kepribadian, atau malnutrisi (Saw, 1996).

2.2.5. Patofisiologi

Pada saat baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia, namun saat pertumbuhan, mata menjadi kurang hiperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi. Pada anak dengan predisposisi berlanjut, namun mereka menderita miopia derajat rendah pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan pada faktor miopigenik seperti kerja jarak dekat secara berlebihan yang menyebabkan bayangan buram dan tidak terfokus pada retina. Miopisasi berlanjut untuk mencapai titik fokus yang menyebabkan elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada late adolescence (Fredrick, 2002).

Dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi pada miopia yaitu : 1. Menurut tahanan sklera

a. Mesodermal

Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana pembuangan sebagian mesenkim sklera dapat menyebabkan terjadi ektasia pada daerah ini karena adanya perubahan tekanan dinding okular (Sativa, 2003).

b. Ektodermal-Mesodermal

(27)

hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina (Sativa, 2003). 2. Meningkatnya suatu kekuatan yang luas

a. Tekanan intraokular basal

Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata (Sativa, 2003).

b. Susunan peningkatan tekanan

Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg (Sativa, 2003).

2.2.6. Gambaran Klinis

Gejala utama adalah gangguan penglihatan jarak jauh (buram). Tanda-tanda mata miopia antara lain adalah bola mata memanjang, kamera okuli anterior dalam, dan pupil melebar (Abrams, 1993). Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat, sedangkan melihat jauh kabur (rabun jauh). Seseorang dengan miopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2009).

(28)

2.2.7. Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis miopia, harus dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, pasien mengeluh penglihatan kabur saat melihat jauh, cepat lelah saat membaca atau melihat benda dari jarak dekat. Pada pemeriksaan opthalmologis dilakukan pemeriksaan refraksi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara subjektif dan cara objektif. Cara subjektif dilakukan dengan penggunaan optotipe dari snellen dan trial lenses; dan cara objektif dengan oftalmoskopi direk dan pemeriksaan

retinoskopi (Ilyas, 2009).

Pengukuran status refraksi terlebih dahulu ditentukan dengan penentuan tajam penglihatan. Tajam penglihatan dinilai melalui bayangan terkecil yang terbentuk di retina, dan diukur melalui obyek terkecil yang dapat dilihat jelas pada jarak tertentu. Makin jauh obyek dari mata, maka makin kecil bayangan yang terbentuk pada retina sehingga ukuran bayangan tidak hanya merupakan fungsi ukuran obyek namun juga jarak obyek dari mata (Abrams, 1993).

Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan jarak pemeriksa dan penderita sebesar 6 m, sesuai dengan jarak tak terhingga, dan pemeriksaan ini harus dilakukan dengan tenang, baik pemeriksa maupun penderita. Visus yang terbaik adalah 6/6, yaitu pada jarak pemeriksaan 6 m dapat terlihat huruf yang seharusnya terlihat pada jarak 6 m (Ilyas, 2000).

Bila huruf terbesar dari optotipe Snellen tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara meminta penderita menghitung jari pada dasar putih, pada bermacam-macam jarak. Hitung jari pada penglihatan normal terlihat pada jarak 60 m, jika penderita hanya dapat melihat pada jarak 2 m, maka visus sebesar 2/60. Apabila pada jarak terdekat pun hitung jari tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa menggerakkan tangannya pada bermacam-macam arah dan meminta penderita mengatakan arah gerakan tersebut pada bermacam-macam jarak (Muhdahani, 1994).

(29)

1/300. Namun apabila gerakan tangan tidak dapat terlihat pada jarak terdekat sekalipun, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan sinar atau cahaya dari senter pemeriksa dan mengarahkan sinar tersebut pada mata penderita dari segala arah, dengan salah satu mata penderita ditutup. Pada pemeriksaan ini penderita harus dapat melihat arah sinar dengan benar, apabila penderita dapat melihat sinar dan arahnya benar, maka fungsi retina bagian perifer masih baik dan dikatakan visusnya 1/~ dengan proyeksi baik. Namun jika penderita hanya dapat melihat sinar dan tidak dapat menentukan arah dengan benar atau pada beberapa tempat tidak dapat terlihat maka berarti retina tidak berfungsi dengan baik dan dikatakan sebagai proyeksi buruk. Bila cahaya senter sama sekali tidak terlihat oleh penderita maka berarti terjadi kerusakan dari retina secara keseluruhan dan dikatakan dengan visus 0 (nol) atau buta total (Muhdahani, 1994).

Pemeriksaan kelainan refraksi secara obyektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi untuk melihat refleks fundus dan ultrasonografi (USG) untuk mengukur panjang aksis bola mata sehingga dapat dipastikan bahwa miopia yang tejadi bersifat aksial, namun pemeriksaan dengan USG memerlukan biaya yang relatif mahal (Muhdahani, 1994).

Pemeriksaan oftalmoskopi direk bertujuan untuk melihat kelainan dan keadaan fundus okuli, dengan dasar cahaya yang dimasukkan ke dalam fundus akan memberikan refleks fundus dan akan terlihat gambaran fundus (Ilyas, 2000).

(30)

2.2.8. Penatalaksanaan

Penderita miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata, kontak lensa atau melalui operasi. Terapi terbaik pada miopia adalah dengan penggunaan kacamata atau kontak lensa yang akan mengkompensasi panjangnya bola mata dan akan memfokuskan sinar yang masuk jatuh tepat di retina. Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal tanpa akomodasi (Ilyas, 2006).

Pada miopia tinggi sebaiknya koreksi dengan sedikit kurang atau under correction. Lensa kontak dapat dipergunakan pada penderita miopia (Ilyas, 2005).

Pada saat ini telah terdapat berbagai cara pembedahan pada miopia seperti keratotomi radial (radial keratotomy - RK), keratektomi fotorefraktif (Photorefractive Keratectomy - PRK), dan laservasisted in situ interlamelar keratomilieusis (LASIK) (Ilyas, 2006).

Pengobatan terhadap miopia dapat dilakukan diantaranya dengan : a. Kacamata

Terapi yang diberikan pada pasien yang menderita miopia adalah dengan pemakaian kacamata sferis negatif untuk memperbaiki penglihatan jarak jauh. Perubahan refraksi terkecil dimana kebanyakan klinik merekomendasi perubahan kacamata adalah sekitar -0,5 D (Goss, 2000).

b. Lensa kontak

(31)

c. Bedah keratoretraktif

Bedah keratoretraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah kelengkungan permukaan anterior bola mata diantaranya adalah keratotomi radial, keratomileusis, keratofakia, dan epikeratofakia (Fredrick, 2002).

d. Operasi laser refraktif

Dapat mengurangi kondisi refraksi miopia, namun tidak menurunkan laju kondisi kebutaan karena ablasio retina, degenerasi makula dan glaukoma akibat miopia derajat tinggi (Fredrick, 2002).

e. Farmakologi

Antikolinergik seperti atropin telah digunakan dengan kombinasi kacamata bifokus untuk menghambat progresivitas miopia. Walaupun progresivitas miopia terhambat selama terapi namun efek jangka pendek nampaknya dengan perbedaan ukuran tidak lebih dari 1-2 D dan tidak ada kasus miopia patologis yang telah dicegah dengan terapi ini (Seet, 2001).

f. Non-farmakologi

Menjaga higiene visual dengan iluminasi yang adekuat, postur tubuh yang nyaman dan alami saat melakukan kerja, dan menghindari kelelahan mata (Abrams, 1993).

2.2.9. Prognosis

(32)

2.2.10. Komplikasi

Pada penderita miopia yang tidak dikoreksi dapat timbul komplikasi. Komplikasi tersebut antara lain:

a. Ablasio retina

Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 D – (-4,75) D sekitar 1/6662. Sedangkan pada (-5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-10) D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada miopia rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali (Sativa, 2003).

b. Vitreal Liquefaction dan Detachment

Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina (Sativa, 2003).

c. Miopic maculopaty

Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan kurangnya lapangan pandang (Sativa, 2003).

d. Glaukoma

(33)

e. Katarak

Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Bahwa pada orang dengan miopia onset katarak muncul lebih cepat (Sativa, 2003).

f. Skotomata

Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi retina maka akan timbul skotomata (sering timbul jika daerah makula terkena dan daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang telah mengalami degenerasi dan mencair berkumpul di muscae volicantes sehingga menimbulkan bayangan lebar di retina yang sangat mengganggu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu pasien tidak pernah menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai akhirnya tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio retina (Abrams, 1993).

g. Strabismus esotropia

Strabismus esotropia terjadi karena pada pasien miopia memiliki pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau kedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau esotropia. Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia (Vaughan, 2007).

2.2.11. Pencegahan

Menurut Curtin (2002) ada cara untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan: 1. Mencegah kebiasaan buruk seperti

a. Biasakan anak duduk dengan posisi tegak sejak kecil. b. Memegang alat tulis dengan benar.

c. Lakukan istirahat setiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau menonton televisi.

(34)

e. Atur jarak membaca buku dengan tepat (kurang lebih 30 centimeter dari buku) dan gunakan penerangan yang cukup.

f. Membaca dengan posisi tidur atau tengkurap bukanlah kebiasaan yang baik.

2. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah terjadinya miopia.

3. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan menunggu sampai ada gangguan mata. Jika tidak diperbaiki sejak awal, maka kelainan yang ada bisa menjadi permanen. Contohnya bila ada bayi prematur harus terus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang inkubator supaya dapat mencegah tanda-tanda retinopati.

4. Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling. Dan selama mengikuti rehabilitasi tersebut, patuhilah setiap perintah dokter dalam mengikuti program tersebut.

5. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil tetap perlu memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil. 6. Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai

kacamata.

7. Dengan mengenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang, maka segeralah melakukan pemeriksaan.

Selain Curtin (2002), menurut Wardani (2009) ada cara lain untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan:

1. Melakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun sekali atau sebelum 1 tahun bila ada keluhan (terutama yang telah memakai kacamata). 2. Istirahat yang cukup supaya mata tidak cepat lelah.

(35)

(tidak boleh terlalu silau atau redup). Lampu harus difokuskan pada buku yang dibaca.

4. Jaga jarak aman aman saat menonton televisi. Jarak yang ideal adalah 2 meter dari layar televisi dan usahakan posisi layar sejajar dengan mata dan pencahayaan ruangan yang memadai.

5. Bila bekerja di depan komputer, usahakan setiap 1-1,5 jam sekali selama 5-10 menit untuk memandang ke arah lain yang jauh, dengan maksud untuk mengistirahatkan otot-otot bola mata. Dan jangan lupa untuk sering berkedip supaya permukaan bola mata selalu basah.

6. Perbanyak konsumsi makanan, baik sayuran maupun buah-buahan yang banyak mengandung vitamin A, C, E dan lutein yang berfungsi sebagai antioksidan karotenoid pemberi warna kuning jingga pada sayuran dan buah-buahan.

7. Tidak merokok dan hindari asap rokok, karena rokok dapat mempercepat terjadinya katarak dan asap rokok dapat membuat mata menjadi cepat kering. 8. Gunakanlah sunglasses yang dilapisi dengan anti UV bila beraktifitas di luar

ruangan pada siang hari. Hal ini untuk mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan oleh karena sinar matahari mengandung sinar ultraviolet (UV) yang tidak baik untuk sel-sel saraf di retina.

9. Aturlah suhu ruangan bila menggunakan pendingin ruangan (AC). Kelembaban yang baik untuk permukaan mata berkisar antara 22-25⁰ C. Jadi bila menggunakan AC jangan terlalu dingin karena penguapan mata menjadi lebih cepat sehingga mata menjadi cepat kering.

2.3. Kesehatan Mata

(36)

kebalikan sudut (dalam menit) terkecil di mana sebuah benda masih kelihatan dan dapat dibedakan dan kemampuan untuk membedakan antara dua titik yang berbeda pada jarak tertentu. Kesehatan mata penting untuk mencegah kebutaan (Martine, 2007).

Menurut terminologi W.H.O., puskesmas, yang disebut dengan Primary Eye Care (P.E.C.), adalah unit terdepan yang merupakan bagian integral dari

Puskesmas, yang meliputi usaha-usaha peningkatan pencegahan dan pengobatan terhadap individu dan masyarakat, di mana masyarakat merupakan sasaran utama dari pelayanan tersebut (Trisnowiyanto, 2002).

Tujuan Primary Eye Care (P.E.C) adalah melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan mata yang diintegrasikan di puskesmas, yang berhubungan langsung dengan masyarakat, sehingga angka penyakit mata dapat ditekan dan kebutaan serta kemunduran fungsi penglihatan dapat dihilangkan (Trisnowiyanto, 2002).

Pelayanan lebih ditekankan pada usaha peningkatan kesehatan mata, pencegahan dan pengobatan. Pelayanan kesehatan mata mengutamakan pelayanan penderita yang berobat jalan. Sistem pelayanan kesehatan mata berorientasi pada partisipasi aktif masyarakat, maka dari itu diperlukan peningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat (Ilyas, 1997).

Pilihan makanan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mata. Penelitian menemukan kalau nutrisi berperan penting dalam menjaga kesehatan mata dan mencegah penyakit mata yang berkaitan dengan usia seperti Age-Related Macular Degeneration (ARMD), katarak, glukoma dan diabetes retinopati. Sebuah studi

yang dilakukan National Eye Institute (NEI) menunjukkan kalau vitamin dan nutrisi tertentu merupakan kunci utama mencegahan penyakit mata. Nutrisi dan vitamin tertentu tersebut bisa mencegah penyakit utama mata yang berkaitan dengan usia hingga 39%. Nutrisi dan vitamin tersebut antara lain lutein, beta karoten, zeaxanthin, sulforaphane, lycopene, selenium, omega-3, vitamin A, vitamin C, vitamin E (Trisnowiyanto, 2002).

(37)

Kekuatan pencahayaan ini aneka ragam. Penambahan kekuatan cahaya berarti menambah daya, tetapi kelelahan relatif bertambah pula. Namun meskipun pencahayaan cukup, harus dilihat pula aspek kualitas pencahayaan, antara lain faktor letak sumber cahaya. Sinar yang salah arah dan pencahayaan yang sangat kuat menyebabkan kilauan pada obyek. Kilauan ini dapat menimbulkan kerusakan mata. Penyebaran cahaya di dalam ruangan juga harus merata supaya mata tidak perlu lagi menyesuaikan terhadap berbagai kontras silau, sebab keanekaragaman kontras silau menyebabkan kelelahan mata. Kelelahan mata dapat menyebabkan irritasi, mata berair dan kelopak mata berwarna merah (konjungtivitis), penglihatan rangkap, sakit kepala, ketajaman penglihatan merosot, begitu pula kepekaan terhadap perbedaan (contrast sensitivity) dan kecepatan pandangan serta kekuatan menyesuaikan (accomodation) dan konvergensi menurun (Ilyas, 1997).

(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

[image:38.595.140.508.214.280.2]

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

3.2. Defenisi Operasional

Pengetahuan menunjukkan seberapa besar siswa-siswi penderita miopi mengetahui kesehatan mata dan secara langsung dapat mempengaruhi seseorang untuk dapat bertindak menjaga kesehatan mata. Pengetahuan dalam penelitian ini merupakan jumlah jawaban responden terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan kesehatan mata.

Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan penglihatan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Kesehatan mata merupakan hal yang penting untuk mempertahankan ketajaman penglihatan (visus) untuk mencegah kebutaan.

Pengukuran pada penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan kuesioner kepada responden. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang berisi 10 pertanyaan dengan bentuk pertanyaan pilihan berganda. Hasil ukur didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 10 pertanyaan, apabila responden menjawab pertanyaan dengan benar diberi nilai 1 dan apabila salah tidak dinilai (diberi nilai 0).

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala ordinal, dimana penggolongan tingkat pengetahuan diperoleh dari hasil pengukuran jumlah

Tingkat Pengetahuan

(39)

kuesioner yang diberikan kepada responden untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden dan pengetahuan tersebut dapat dikategorikan atas baik, cukup dan kurang sebagai berikut (Pratomo, 1990):

a. Tingkat pengetahuan Baik apabila responden dapat menjawab dengan benar >75% dari jumlah keseluruhan pertanyaan yang diberikan.

b. Tingkat pengetahuan Cukup apabila responden dapat menjawab dengan benar 40% sampai 75% dari jumlah keseluruhan pertanyaan yang diberikan.

(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi tentang kesehatan mata. Jenis penelitian yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional study dimana data dikumpulkan pada satu waktu tertentu.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Santo Thomas 1 Medan, propinsi Sumatera Utara. Sekolah ini dipilih sebagai tempat yang akan dilaksanakannya penelitian berdasarkan evaluasi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Pada sekolah ini, terdapat populasi yang cukup besar. Selain itu, terdapat juga variasi dalam hal asal lingkungan dan sosial budaya yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dan telah dilaksanakan pada bulan Juli 2011 hingga Agustus 2011.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan . Populasi pada penelitian ini berjumlah sekitar 315 orang.

4.3.2. Sampel

(41)

≈ 75 orang

Keterangan:

n = jumlah sampel minimum

= nilai distribusi normal baku menurut tabel Z pada α tertentu

p = harga proporsi pada populasi, bila tidak diketahui pada penelitian sebelumnya maka ditetapkan p sebesar 0,5

d = kesalahan yang dapat ditolerir N = jumlah populasi

Dengan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% maka diperoleh nilai distribusi normal baku menurut tabel Z sebesar 1,96. Dan dengan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir sebesar 10%, maka jumlah sampel yang diperoleh dengan memakai rumus tersebut adalah sebanyak 75 orang.

Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan merata pada

siswa-siswi SMA yang menjadi tempat penelitian.

a. Siswa-siswi SMA penderita miopi kelas X : 1/3 × 75 = 25 orang. b. Siswa-siswi SMA penderita miopi kelas XI : 1/3 × 75 = 25 orang. c. Siswa-siswi SMA penderita miopi kelas XII : 1/3 × 75 = 25 orang.

(42)

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang berasal dari sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner. Kuesioner yang telah selesai disusun akan dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas.

4.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan dari pihak sekolah yang berhubungan dengan jumlah siswa-siswi di sekolah tersebut.

4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas

[image:42.595.111.515.532.730.2]

Kuesioner yang dipergunakan dalam penelitian ini telah diuji validitas dan reliabilitasnya dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dan uji Cronbach (Cronbach Alpha) dengan menggunakan program SPSS. Sampel yang digunakan dalam uji validitas ini memiliki karakter yang hampir sama dengan sampel dalam penelitian ini. Jumlah sampel dalam uji validitas dan reliabilitas ini adalah sebanyak 20 orang. Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil uji validitas dan realibilitas Variabel No. Total Pearson

Correlation Status Alpha Status

Pengetahuan 1 0,457 Valid 0,739 Reliabel

2 0,485 Valid Reliabel

3 0,699 Valid Reliabel

4 0,485 Valid Reliabel

5 0,489 Valid Reliabel

6 0,544 Valid Reliabel

7 0,457 Valid Reliabel

8 0,808 Valid Reliabel

9 0,522 Valid Reliabel

(43)

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

SMA Katolik St. Thomas 1 Medan berdiri pada tahun 1955 oleh Vikariat Apolostik Medan. SMA ini berada di pusat kota tepatnya bertempat di Jl. Letnan Jenderal S.Parman 109 Medan. SMA ini merupakan salah satu SMA di Medan yang statusnya terakreditasi dengan peringkat A (sangat baik). SMA ini memiliki 33 ruang kelas, 4 ruang laboratorium, perpustakaan, aula serba guna, studio musik, halaman/ lapangan olah raga, kantin, ruang tata usaha, ruang guru dan ruang kepala sekolah.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini responden yang terpilih sebanyak 75 siswa yang terdiri dari 25 siswa kelas X, 25 siswa kelas XI dan 25 siswa kelas XII. Dari keseluruhan responden gambaran karakteristik responden yang diamati meliputi usia, kelas dan jenis kelamin.

(45)
[image:45.595.187.517.141.348.2]

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik responden

Karakteristik Jumlah %

Usia

<15 10 13,3

15-16 56 74,7

>16 9 12,0

Kelas

X SMA 25 33,3

XI SMA 25 33,3

XII SMA 25 33,3

Jenis Kelamin

Laki-laki 37 49,3

Perempuan 38 50,7

Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok terbesar pada usia di antara 15 sampai 16 tahun yaitu sebanyak 56 orang (74,7%), responden kedua terbesar pada usia kurang dari 15 tahun yaitu sebanyak 10 orang (13,3%) dan yang terendah pada kelompok usia di atas 16 tahun yaitu sebanyak 9 orang (12%). Jenis kelamin responden terbagi atas 2 jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan, yaitu sebanyak 38 orang (50,7%) dan laki-laki, yaitu sebanyak 37 orang (49,3%). Sedangkan rata-rata jumlah responden dari kelas X, XI dan XII adalah 25 siswa setiap kelas.

5.1.3. Hasil Analisis Data

(46)
[image:46.595.143.513.151.589.2]

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan

No. Pertanyaan/Pernyataan

Jawaban Responden Benar Salah

f % f %

1. Waktu terjadinya miopia 52 69,3 23 30,7 2. Penyakit yang akan timbul setelah

miopia 32 42,7 43 57,3

3. Kacamata yang cocok untuk penderita

miopia 72 96,0 3 4,0

4. Vitamin yang baik untuk kesehatan

mata untuk mencegah penyakit miopia 38 50,7 37 49,3 5. Waktu istirahat bagi mata setelah selesai

melakukan aktivitas 21 28,0 54 72,0

6. Waktu yang dibutuhkan untuk memandang ke arah lain yang jauh setelah selesai bekerja di depan computer

58 77,3 17 22,7

7. Jarak membaca buku yang tepat 69 92,0 6 8,0 8. Jarak sewaktu menonton televisi 48 64,0 27 36,0 9. Cahaya yang cocok untuk mencegah

terjadinya miopia 69 92,0 6 8,0

10. Posisi membaca 63 84,0 12 16,0

Berdasarkan tabel di atas pada pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan benar adalah pada nomor 3 yaitu sebesar 96,0%. Sedangkan yang paling banyak menjawab salah adalah pada pertanyaan nomor 5 yaitu sebesar 72,0%.

(47)
[image:47.595.186.449.129.211.2]

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan dengan kategori cukup memiliki persentase paling besar yaitu 60,0%, tingkat pengetahuan yang dikategorikan baik sebesar 40,0%, dan tidak ada yang memiliki tingkat pengetahuan kurang.

Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan usia

Dari tabel 5.4 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden paling banyak berada pada kategori cukup dengan populasi terbanyak adalah populasi yang berusia 15 sampai 16 tahun. Kategori tingkat pengetahuan responden yang paling sedikit berada pada kategori baik dengan jumlah 4 orang pada populasi yang berusia kurang dari 15 tahun dan tingkat pengetahuan kategori kurang memiliki nilai terendah, yaitu 0.

Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.5.

Pengetahuan f %

Kurang 0 0

Cukup 45 60,0

Baik 30 40,0

Total 75 100

Usia

Tingkat Pengetahuan

Total

Kurang Cukup Baik

f % F % f % f %

<15 0 0 6 60,0 4 40,0 10 100

15-16 0 0 35 62,5 21 37,5 56 100

>16 0 0 4 44,4 5 55,6 9 100

[image:47.595.148.521.379.496.2]
(48)

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan kelas

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden terbanyak berada pada kategori cukup. Pada kelas XI, 80,0% responden berada dalam kategori cukup, sedangkan pada kelas X, terdapat 68% responden dalam kategori cukup, namun kelas XII memiliki persentase responden yang sama tapi berada dalam kategori baik. Dari tabel tersebut, dapat dilihat juga bahwa kelas XI memiliki responden paling sedikit dalam kategori baik, yaitu sebanyak 20,0% responden dan tidak ada responden dari kelas X, XI, dan XII yang termasuk dalam kategori kurang.

Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin

Dari tabel 5.6 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden terbanyak terdapat dalam kategori cukup dengan populasi perempuan sebanyak 60,5% sedangkan laki-laki sebesar 59,5% responden. Tingkat pengetahuan responden terbanyak dalam kategori baik adalah laki-laki sebanyak 40,5% responden, sedangkan perempuan sebesar 39,5%.

Kelas

Tingkat Pengetahuan

Total

Kurang Cukup Baik

f % F % f % f %

X 0 0 17 68,0 8 32,0 25 100

XI 0 0 20 80,0 5 20,0 25 100

XII 0 0 8 32,0 17 68,0 25 100

Total 0 0 45 60,0 30 40,0 75 100

Jenis Kelamin

Tingkat Pengetahuan

Total

Kurang Cukup Baik

f % F % f % f %

Laki-laki 0 0 22 59,5 15 40,5 37 100 Perempuan 0 0 23 60,5 15 39,5 38 100

(49)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Tingkat Pengetahuan

Dari hasil analisis data, dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan siswi SMA Santo Thomas 1 Medan mengenai kesehatan mata paling banyak berada dalam kategori cukup, yaitu sebanyak 45 orang (60,0%), 30 responden (40,0%) yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan tidak ada (0%) yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang. Melalui data tersebut, dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan yang cukup mengenai miopia.

Hal ini dapat dikarenakan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi pengetahuan mereka, sehingga tingkat pengetahuan mereka berbeda. Tingkat kelas sendiri merupakan salah satu faktor pendidikan yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Dan juga terdapat kaitan dengan faktor pendidikan terakhir responden yang telah mempelajari tentang miopia pada jenjang pendidikan SD dan SMP.

Pada tabel distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan usia (tabel 5.4), dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden paling banyak berada pada kategori cukup dengan populasi terbanyak adalah populasi yang berusia 15-16 tahun. Peneliti berasumsi bahwa kemampuan mengakses informasi yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang sehingga dapat menyebabkan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh para siswa-siswi pun tidak dapat diukur hanya berdasarkan usia.

(50)

populasi perempuan sebanyak 23 responden (60,5%) sedangkan dalam kategori baik adalah laki-laki sebanyak 15 responden (40,5%).

Dari tabel 5.2 terlihat bahwa pertanyaan pada kuesioner yang paling banyak dijawab dengan benar adalah pertanyaan tentang kacamata yang cocok dipakai oleh penderita miopia. Hal ini menunjukkan bahwa para responden telah mengetahui bahwa kacamata yang cocok untuk penderita miopi adalah kacamata yang negatif. Sedangkan pertanyaan yang paling banyak dijawab salah adalah pertanyaan tentang waktu istirahat bagi mata setelah selesai melakukan aktivitas melihat dekat dalam waktu lama ataupun menonton televisi. Hal ini menunjukkan masih kurangnya pengetahuan responden mengenai pencegahan terjadinya miopia.

(51)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a) Tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi mengenai kesehatan mata sebanyak 45 orang (60,0%) dikategorikan cukup, 30 orang (40,0%) dikategorikan baik, dan tidak ada (0%) yang memiliki tingkat pengetahuan kurang.

b) Siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi yang berpengetahuan cukup berdasarkan kelas terdapat dikelas XI SMA, yaitu sebanyak 20 orang (80,0%). Sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan baik, yaitu 17 orang (68,0%) terdapat pada kelas XII SMA. c) Siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi yang

berpengetahuan cukup, yaitu sebanyak 35 orang (62,5%) yang terdapat pada rentang usia 15-16 tahun dan yang memiliki tingkat pengetahuan baik terdapat pada usia lebih besar dari 16 tahun dengan jumlah responden sebanyak 5 orang (55,6%).

d) Siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan penderita miopi yang memiliki tingkat pengetahuan baik berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki dengan jumlah responden sebanyak 15 orang (40,5%) dan mayoritas perempuan pada tingkat pengetahuan cukup dengan 23 orang (60,5%).

6.2. Saran

a) Bagi siswa-siswi untuk turut berperan dalam usaha pencegahan miopia dengan cara yaitu :

• Lakukan istirahat setiap 1 jam setelah melakukan kegiatan membaca, menonton televisi, atau bermain komputer.

• Atur jarak membaca buku dengan tepat (kurang lebih 30 centimeter dari buku) dan gunakan penerangan yang cukup.

(52)

• Perbanyak konsumsi makanan, baik sayuran maupun buah-buahan yang banyak mengandung vitamin A, C, dan E.

b) Bagi pihak orang tua agar dapat meningkatkan kepedulian mereka terhadap pendidikan anak-anaknya mengenai kesehatan mata. Upaya ini berguna untuk lebih memahami masalah kesehatan mata sehingga para remaja akan terhindar dari komplikasi yang diakibatkan oleh miopia itu sendiri.

c) Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih memperluas variabel-variabel lainya, misalnya perilaku. Ataupun dapat juga menghubungkan perilaku dengan pengaruh umur, lingkungan, status ekonomi, ataupun sumber informasi.

d) Bagi masyarakat

• Melakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun sekali atau sebelum 1 tahun bila ada keluhan (terutama yang telah memakai kacamata).

• Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan. Dan selama mengikuti rehabilitasi tersebut, patuhilah setiap perintah dokter dalam mengikuti program tersebut.

• Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil tetap perlu memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil untuk bayi didalam kandungan.

• Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai kacamata.

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Abrams D.A., 1993. Duke – Elder’s Practice of Refraction 10th Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone, 50-145.

American Optometric Association (AOA). 2006. OPTOMETRIC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE: CARE OF THE PATIENT WITH MYOPIA.

AOA Consensus Panel on Care of the Patient with Myopia, AOA Clinical Guidelines Coordinating Committee. Avaiable from:

Andayani, G., 2008. Introduction to Eye Problems in Indonesia. Department of Ophthalmology, FKUI. Available from:

Curtin B.J., 1997. The Optics of Myopia. Volume 1. New York: Lippincott–Raven Publisher Philadelphia, 1-10.

Curtin B.J., 2002. The Myopia. Philadelphia: Harper & Row Publisher, 348-38.

Fredrick, Douglas R., 2002. Myopia Clinical Review. In: BMJ 2002 volume 324, 1195-9.

Goss, D.A., 2000. Nearwork and Myopia. The Lancet 2000. 356 : 1456-7.

Hartanto, Huriawati, dkk, 2000. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi ke-29. Jakarta: EGC, 1423.

(54)

Ilyas, Sidarta, 2000. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas, Sidarta, 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga cetakan ke-2. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas, Sidarta, 2006. Kelainan Refraksi dan Kacamata Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas, Sidarta, 2009. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga cetakan ke-6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 72-83.

Lee, Judith and Gretchyn Bailey, 2010. Myopia (Nearsightedness). Available from: 14 Maret 2011].

Martine, M, 2007. Nutrisi dan Penglihatan. Available from :

20 Maret 2011].

Muhdahani, 1994. Pengaruh Monitor Komputer Terhadap Timbulnya Miopia pada Operator Komputer. Tesis, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah

Mada.

Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

(55)

Olver, Jane and Lorraine Cassidy, 2005. Ophthalmology At A Glance. USA: Blackwell Science Ltd.

Pratomo, H. dan Sudarti, 1990. Pedoman Usulan Penelitian Bidang Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.

Sahat, Ferry, 2006. Miopia, Menurunnya Prestasi Belajar Anak Perkotaan. Jakarta: Koran Kompas. Available from:

Sativa, Oriza, 2003. Tekanan Intraokular Pada Penderita Myopia Ringan dan Sedang. Bagian Ilmu Penyakit Mata Universitas Sumatra Utara. Available

from: Maret 2011].

Saw, S., Katz, J., Schein, O.D., Chew, S.J., and Chan, T., 1996. Epidemiology of Myopia. In Epidemiologic Reviews Vol. 18 (2): 175-187. Available from: 14 Maret 2011]

Seet, Benjamin, et al, 2001. Myopia in Singapore Taking a Public Health Approach. Br.J Opthalmology 2001. 85 ; 521-6. Available from:

(56)

Trisnowiyanto, Bambang, 2002. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan ketajaman Penglihatan. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Diponegoro.

Vaughan, Daniel G., Asbury, T., Riordan-Eva, P., 2007. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC.

Wahyuni, Arlinda Sari, 2008. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS). Jakarta Timur: Bamboedoea Communication, 116-117.

Wardani, Retno, 2009. Kelainan Penglihatan/Refraksi Pada Anak. Poliklinik Mata-RSIA Permata Cibubur. Available from:

01 April 2011].

WHO, 2001. Vision 2020: The Right to Sight. Regional Office for South-East Asia, New Delhi. Available from:

WHO, 2009. What is a refractive error?. Available from:

(57)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Evelyne Theresia

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 10 Februari 1990

Agama : Budha

Alamat : Jalan Kalianda No. 14 Medan

Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1995 lulus TK WR. Supratman 1 Medan 2. Tahun 2001 lulus Sekolah Dasar Santo Yoseph 1

Medan

3. Tahun 2004 lulus Sekolah Menengah Pertama Santo Thomas 1 Medan

(58)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Saya Evelyne Theresia, mahasiswa yang sedang menjalani program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saya akan mengadakan penelitian dengan judul “Tingkat Pengetahuan Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Pend

Gambar

Tabel 2.1 Sistem klasifikasi untuk miopia Classes of Myopia  - Simple Myopia
Gambar 3.1.  Kerangka konsep penelitian
Tabel 4.1 Hasil uji validitas dan realibilitas Total Pearson
Tabel 5.1  Distribusi frekuensi karakteristik responden
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel 5.7 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden paling banyak berada pada kategori cukup dengan populasi terbanyak adalah populasi yang berusia 15 tahun..

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai rata- rata sefalik indeks masyarakat etnis Batak dan Cina baik pada laki-laki maupun perempuan, sehingga dapat membantu

berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 117 responden (58,5%), sedangkan pada kategori sedang sebanyak 83 responden (41,5%), dan tidak didapatkan adanya pelajar SMA pada

Tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Santo Thomas 1 Medan dalam mencegah HIV/AIDS yang telah diuji dengan menggunakan kuesioner dapat dilihat pada tabel 5.5.. Tabel 5.4

Remaja adalah individu baik laki-laki maupun perempuan yang sedang berada.. di tengah masa transisi dari anak-anak

Penelitian ini memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan penggunaan lensa kontak dalam kategori baik yaitu sebanyak 81 siswi dari 89 siswi (91%), berdasarkan usia

Pengetahuan mengenai JKN pada laki-laki mayoritas termasuk dalam kategori cukup, sedangkan pada perempuan lebih banyak masuk dalam kategori baik, hal ini

Hasil : didapatkan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 29 reponden 65,9%, sebagian besar responden termasuk kategori tingkat pemahamannya baik yaitu sebanyak 31 reponden 70,5%,