IDENTIFIKASI MORFOMETRI KARAKTERISTIK DAN
EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DAGING KELELAWAR
DI SULAWESI SEBAGAI BAHAN PANGAN
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Identifikasi Morfometri Karakteristik dan Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan Pangan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2013
Tiltje Andretha Ransaleleh
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Morphometric Identification Characteristics and Extraction of Bioactive Components of Fruit Bats Meat in Celebes as Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
This study aims to determine the species of fruitbats, bioactive compounds in meat, carcass and meat product, meat quality and nutritional value, level of consumer acceptance of processed meat, and security of processed meat as food. The results showed five species of bats identified to species level, and 3 types to genus level. Carcass production of Acerodon celebensis were 51.98-56.04%,
Pteropus alecto (54.49-56.55%), Nyctimene cephalotes (61.58%), Rousettus
amplexicaudatus (55.65%) Thoopterus sp (49.29-64.07%), and meat production
were 54.81-56.92, 45.37-54.03, 50.27, 51.67, 51.41-51.86%, respectively. The pH value and water holding capacity for unfrozen P. alecto meat were higher than frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna, while the cooking loss were lower. Protein, water, Ca and P percentage of P. alecto and R. amplexicaudatus
were lower than pork, chicken, and tuna, but the fat percentage was higher. Ratio
of saturated fatty acid (SFA), Monounsaturated fatty acid (MUFA), and
Polyunsaturated fatty acid (PUFA) for A. celebensis was 17.21:13.27:1, for P.
alecto was 23.36:13.13:1, for R. amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was
2.48:2.83:1, Chicken was 2:1.5:1, Tuna was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino acids and non essential amino acids for A. celebensis was 1.16:1, for P. alecto
was 0.98:1, for R. amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for chicken was 1.17:1, and for tuna was 1.12:1. Cholesterol for P. alecto, R.
amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20, 234.75, 287.54, 192.88,
263.15, 138.21 mg, respectively. LC-MS results showed that the highest in percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 (C26H3704), 324.2691 (C23H34N), 276.2 (C19H34N), and 319.3 (C21H39N2). Consumer preference for processed P. alecto meat was the same with conventional livestock meat and tuna. P. alecto meat was cooked rica-rica that stored up to 14 days in freezing temperatures contained total microbial count of 3.1 x 104 cfu/mL-6.0 x 104 cfu/mL, Staphylococcus aureus, 7.7 x 101 cfu / mL - 7.6 x 103 cfu / mL.
Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of P.
alecto meat that cooked kari was 6.8 x 105 cfu / mL - 9.7 x 105 cfu/mL, S. aureus
was 4.3 x 101 cfu / mL - 1 x 104 cfu / mL. E. coli <3 / mL, and Salmonella sp was negative. The conclusions of this study was fruit bats were found 5 sp. The body weight could be used to predict the expected growth rate and carcass component of the fruit bats. The quality for fruit bat meats are similar with conventional livestock and tuna. Rica-rica P. alecto meat and curry were preferred by consumers and safe for consumption up to 14 days of storage at 5ºC.
Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan
Pangan. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU.
Kelelawar sangat penting keberadaannya karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan dan penyerbuk tumbuhan, juga sebagai bahan pangan yang dipercayai dapat menyembuhkan alergi, asma, dan meningkatkan stamina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dijadikan bahan pangan, produksi karkas dan komponen karkas, sifat-sifat fisik dan kimia daging, nilai gizi daging, serta jenis komponen bioaktif pada daging kelelawar yang dibandingkan dengan daging ternak konvensional, dan ikan cakalang. Selain itu untuk mengetahui komponen bioaktif bumbu masak, tingkat penerimaan konsumen, dan total mikrob daging kelelawar olahan pada saat dikonsumsi.
Identifikasi dilakukan menggunakan kunci identifikasi kelelawar berdasarkan morfometri dan warna tubuh. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Produksi karkas dan komponen karkas dihitung berdasarkan perhitungan ternak konvensional. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak, sedangkan sifat kimia daging adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol. Untuk mengetahui komponen bioaktif dalam daging, sebagai skrining awal dilakukan uji fitokimia, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi ekstrak n-heksana P. alecto. Ekstraksi menggunakan metode Sokhlet. Uji fitokimia daging dan bumbu masak meliputi uji steroid/triterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah total fenolik menggunakan pereaksi AlCl2, dan uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (KLT).
Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-MS). Penentuan struktur kimia senyawa aktif menggunakan software masslynx. Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak dengan cara dikukus, dimasak kari, dan masak rica-rica dianalisis menggunakan uji
Kruskal-Wallis. Untuk mengetahui sebaran data dari respons panelis terhadap contoh uji,
dianalisis menggunakan grafik kotak plot (boxplot). Skala hedonik yang digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah warna, rasa, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Untuk mengkaji total mikrob, Escherichia
coli.Staphylococcus aureus,Salmonella sp, dan Koliform dalam daging kelelawar
menggunakan metode hitungan cawan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat genus ada tiga jenis, yaitu satu jenis dari genus
sampai tingkat spesies ada lima spesies. Analisis kelompok (cluster analysis)
menunjukkan Pteropus sp memiliki kesamaan morfometri mencapai 99% dengan
P. alecto. Thoopterus sp memiliki kesamaan 99% dengan T. nigrescens. Produksi
karkas A. celebensis adalah 51.98%-56.04% dan produksi daging 54.81-56.92%. Produksi karkas P. alecto adalah 54.49%-56.55% dan produksi daging 45.37%-54.03%. Produksi karkas N. cephalotes adalah 61.58% dan produksi daging 50.27%. Produksi karkas R. amplexicaudatus 55.65% dan produksi daging
51.67%. Produksi karkasdari kedua marga Thoopterus spadalah 49.29%-64.07%
dan produksi daging 51.41%-51.86%. Nilai pH daging kelelawar P. alecto yang disembelih, daging kelelawar P. alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92%±2.95%, 32.63±1.00%, 44.78±0.68%, 45.78±3.59%, dan 43.23 ±1.13%, sedangkan susut masak adalah 12.83±.1.12%, 36.46±1.39%, 19.45±1.46%, 16.30±1.12%, dan 27.32±0.72%. Berdasarkan basis segar maka kadar protein daging kelelawar P. alecto, kelelawar
N. cephalotes, dan kelelawar R. amplexicaudatus secara berturut-turut adalah
20.48, 21.73, dan 21.08%, dan kadar air adalah 67.21, 62.45, dan 63.84%. Berdasarkan basis kering, kadar protein P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 48.97, 51.49, 69.08, 67.14, dan 69.41%, kadar lemak adalah 29.85, 22.63, 8.91, 11.65, dan 3.47%, kadar air adalah 5.76, 7.54, 9.92, 8.27, dan 9.90%, kadar Ca adalah 10.62, 2.09, 1.09, 1.36, dan 1.83%, dan kadar P adalah 1.46, 1.44, 0.69, 0.66, dan 0.72%. Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA A. celebensis adalah 17.21: 13.27:1. P.
alecto adalah 23.36:13.13:1. R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1. Daging babi
adalah 2.48:2.83:1. Daging ayam adalah 2:1.5:1. Ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1. Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial daging A. celebensis adalah 1.16:1, daging P. alecto adalah0.98:1, daging R. amplexicaudatus adalah 1.05:1, daging babi adalah 1.1:1, daging ayam adalah 1.17:1, dan ikan cakalang adalah 1.12:1. Kadar kolesterol P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Hasil skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging N. cephalotes,
P. alecto, dan T. nigrescens positif mengandung senyawa steroid. Hasil skrining
awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari N. cephalotes, P.
alecto, dan R. amplexicaudatus menunjukkan adanya senyawa steroid dan
alkaloid, sedangkan A. celebensis, T. nigrescens, Pteropus sp, dan Thopterus sp,
daging babi, kelinci, dan ikan cakalang hanya mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron, yaitu 17-[(3
Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate dengan rumus molekul
C26H37O4, dan empat senyawa mirip dengan steroid kelompok androstan, yaitu
(5α,14β,17β)- Androstan -17-aminium, (5β,14β,17β)- Androstan -17-aminium,
(5β,8α,14β,17β)-Androstan-17-aminium, (5α,8α,14β,17β)-Androstan-17-aminium
dengan rumus molekul C19H34N. Empat senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid kerangka piridin-piperidin dan senyawa kitotifen, yaitu 1-{[(5R,7S)-3-(4-Methyl phenyl)- 1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3- phenylpyridinium, 1-
1-[1-(7-Isopropyl-1-methyl-4-azulenyl)-2-methyl-2-propanyl]- 1-methylpyrrolidinium, dan satu senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid golongan imidazol, yaitu (3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3, 9-dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo [1,2-a:1',2'-c] pyrimidin-4-ium. Tingkat kesukaan konsumen menunjukkan bahwa jenis daging dengan cara pengolahan yang berbeda berpengaruh nyata (P˂0.05) pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis tahap
pertama terhadap kandungan mikrob menunjukkan bahwa total mikrob S. aureus,
E. coli, coliform, dan Salmonella sp dari tiga jenis kelelawar yang dimasak
rica-rica dan dimasak kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang ditetapkan Bandan Standard Nasional untuk pangan asal hewan. Hasil analisis tahap kedua menunjukkan bahwa kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan hingga 14 hari mengandung total mikrob 3.1 x 104 cfu/mL-6.0 x 104cfu/mL, S.
aureus 7.7 x 101 cfu/mL-7.6 x 103 cfu/mL, sedangkan E. coli dan Salmonella sp
adalah negatif. Daging kelelawar kari mengandung total mikrob 6.8 x 105cfu/mL- 9.7 x 105cfu/mL, S. aureus 4.3 x 101 cfu/mL-1 x 104 cfu/mL. E. coli < 3/ mL, dan
Salmonella sp adalah negatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis kelelawar yang ditemukan adalah lima spesies. Daging kelelawar A. celebensis, P. alecto, dan R.
amplexicaudatus memiliki kualitas fisik dan kimia daging yang hampir sama
dengan daging babi dan ayam, walaupun kandungan SFA yang tinggi. Tingkat kesukaan penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak menggunakan bumbu kari dan rica. Daging kelelawar rica-rica dan kelelawar kari yang dimasak beberapa jam setelah pemotongan dan disimpan hingga hari ke-14 pada suhu 5ºC masih layak dikonsumsi. N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa yang lebih beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol, oleh karena itu dugaan daging kelelawar dapat membantu penyembuhan penyakit asma dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DAGING KELELAWAR
DI SULAWESI SEBAGAI BAHAN PANGAN
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.RurSc. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria-Rungkat, MSc
Nama : Tiltje Andretha Ransaleleh
NIM : D161090031
Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Ketua
Prof. Dr. Dra. Purwantiningsih Sugita, MS Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu
Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 20 November 2012 Tanggal Lulus: ………
anugerah dan kasihNya sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan judul Identifikasi Morfometri Karakteristik dan Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan Pangan pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari DEA, Ibu Prof. Dr. Dra. Purwantiningsih Sugita MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu yang telah memberi arahan, bimbingan, saran, dan perhatian dalam penyelesaian disertasi ini. Dekan Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, para dosen dilingkungan Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB atas ilmu, arahan, layanan, bantuan dan semua masukkan yang diberikan.
Terima kasih disampaikan kepada bapak Sigit Wiantoro dari LIPI Cibinong yang sudah membantu mengidentifikasi kelelawar. Bapak Sabur, Ibu Jenni, mbak Nia, dan adik-adik mahasiswa dari Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Mner John dan Cristine dari Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Manado. Mbak Devi, Angie dan adik-adik mahasiswa dari Laboratorium Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB. Ibu Anis dari Laboratorium Bioteknologi, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi, Serpong, Tangerang. Teman-teman mahasiswa pascasarjana angkatan 2009 (Ibu Lucia lambey, Ibu Triana Susanti, Ibu Nena Helmia, Ibu Lia Budimulyati Salman, Ibu Nova Rugayah, Ibu Yurleni, Bapak Hasil Tamsil) akan bantuan, kebersamaan, saling membagi, dan memberi semangat dalam menyelesaikan studi.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman Asrama Mahasiswa Bogor Baru ll (Only, Ola, Enci Lenda, Indri, Dave, Rendy), Asrama Bogor Baru 1 dan Sempur atas kerjasama yang baik, juga Ibu Adel yang selalu mendoakan selama menuntut ilmu di IPB. Ucapan terima kasih disampaikan kepada kakak dan adik-adikku Jefri Ransaleleh, Heltie Ransaleleh, Weycke Ransaleleh, James Ransaleleh, Swingly Ransaleleh, Stenly Weley, dan Solly Schalwyk, serta hukum tua dan masyarakat desa Peonea yang sudah membantu penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih dan hormat dipersembahkan kepada papa dan mama serta seluruh keluarga besar Ransaleleh-Schalwyk atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Penulis dilahirkan di Karimbow, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 17 Agustus 1964 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Max Ransaleleh dan ibu Adolfina Schalwyk.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1989, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, IPB Bogor dan menamatkannya pada Tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan, di universitas yang sama pada tahun 2009. Penulis merupakan dosen Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado. Selama menempuh Program Doktor di biayai oleh BPPS tahun 2009-2012.
Selama mengikuti program S-3, karya tulis ilmiah berjudul Kandungan Mikrob Daging Kelelawar yang Diolah sebagai Bahan Pangan Tradisional akan diterbitkan di Jurnal Veteriner volume 14, No 3, edisi September Tahun 2013. Karya tulis berjudul Identifikasi Berdasarkan Morfometri Kelelawar Pemakan Buah Di Sulawesi sebagai Bahan Pangan, juga Produksi Karkas dan Daging Kelelawar Pemakan Buah (Pteropus alecto ) Asal dari Empat Lokasi di Sulawesi (sedang di review) pada jurnal Veteriner. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari penelitian program S-3 penulis.
DAFTAR TABEL………... xxiii
IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI KELELAWAR PEMAKAN BUAH di SULAWESI
PRODUKSI KARKAS DAN DAGING KELELAWAR PEMAKAN BUAH
KUALITAS DAGING KELELAWAR DIBANDINGKAN DENGAN DAGING BABI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG
TELAAH FITOKIMIA DAN FRAKSINASI SENYAWA AKTIF
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAGING KELELAWAR, SAPI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG
1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di
lokasi pengambilan sampel………….……….. 21
2 Rataan sifat fisik daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
cakalang……… 69
3 Rataan komposisi kimia daging kelelawar, daging babi, daging ayam,
dan ikan cakalang……..……… 74
4 Profil asam lemak daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang…... 76
5 Perbandingan kolesterol total daging kelelawar, daging babi, daging
ayam, dan ikan cakalang (basis kering)……… 80
6 Profil Asam amino daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan
ikan cakalang……….... 81
7 Perubahan warna beberapa komponen tubuh kelelawar P. alecto yang
diekstraksi menggunakan sokhlet dan maserasi………... 99
8 Uji Fitokimia ekstrak n-heksana daging kelelawar dan beberapa daging
ternak konvensional serta ikan cakalang……… 100
9 Uji fitokimia bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan
kelelawar………... 102
10 Bobot ekstrak n-heksana dan bobot fase yang tidak tersabunkan dari
ketiga jenis kelelawar dan daging babi….………...…………. 102
11 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap rasa daging Kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari,
dan masak rica-rica………..……… 121
12 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap warna daging kelelawar, sapi, ayam dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica………... 125
13 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap aroma daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica……….. 129
14 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap keempukan daging kelelawar, sapi, ayam dan, ikan cakalang yang dikukus, masak
15 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan masak rica-rica……….………... 136
16 Rataan total mikrob (cfu/mL) daging kelelawar segar, rica-rica, dan
kari yang disimpan selama 14 hari……… 151
17 Rataan S. aureus (cfu/mL) daging kelelawar segar, rica-rica, dan kari
yang disimpan selama 14 hari………..………. 154
18 Rataan Coliform, E. coli, dan Salmonella sp(cfu/mL) daging kelelawar
Halaman
Struktur komunitas kelelawar di Pasar Bersehati, Pakuure, Lamaya,
Matialemba, Peonea, dan Kolono………..
Perbedaan warna Pteropus sp (a) dan P. alecto (b) pada bagian leher dan punggung……….………
Tingkat Kesamaan Pteropus sp dengan P. alecto berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono……….………..
Perbedaan T. nigrescens (a), Thoopterus sp 1(b) dan Thoopterus sp 2
(c) berdasarkan warna tubuh………..
Tingkat kesamaan Thoopterus sp dengan T. nigrescens berdasarkan
ukuran tubuh dan tengkorak di Pakuure………
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan
Kolono………...………
Warna tubuh A. celebensis cokelat kekuningan (a), dan warna sayap
cokelat tua (b)………
Warna seluruh tubuh, sayap, dan jumlah rigi palatum P. alecto……
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di
Pakuure………...
R. amplexicaudatus yang terjaring di Peonea………
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak T. nigrescens (TnP) Thoopterus
15
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk), dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dab BK) A. celebensis dari
Lamaya dan Kolono………...
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk), dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) P. alecto di Pasar
Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono………
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk) , bobot nonkarkas (Bnk), dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) Thoopterus sp di
Pakuure……….……….
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk), dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) N. cephalotes di
Pakuure………...
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk), dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) R. amplexicaudatus
di Peonea………..…..
Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi ekstrak n-heksana daging
kelelawar………...
Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan
penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan………...
Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak
n-hexana P. alecto pada enam pelarut tunggal……....………..
Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n-heksana pada pelarut etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat……...
Pola noda pada kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto pada perbandingan n-heksana-etil asetat yang
berbeda……….………...
Pola noda pada kromatografi lapis tipis enam fraksi gabungan fase tak tersabunkan ekstrak n-heksana P. alecto………...………...
Spektrum MS dari fraksi A………....
Lima kemungkinan senyawa dengan massa 413.26………..
Enam kemungkinan senyawa dengan massa 324.27………...
30
Empat kemungkinan senyawa dengan massa 276.26…..………..
Dua kemungkinan senyawa dengan bobot molekul 319.3………
Diagram alir pengolahan daging sampai pengujian organoleptik……
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar, sapi, ayam dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari dan rica-rica………...
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari dan rica-rica………....
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari dan rica-rica………...
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan ikan
cakalang yang dikukus, masak kari dan rica-rica………...
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan
ikan cakalang yang dikukus, masak kari dan rica-rica………...
Diagram alir analisis mikrob daging kelelawar segar, masak kari dan
2
minimum ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan
Kolono………...
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak N. chepalotes di
Pakuure………...………...
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati,
Lamaya, Matialemba, dan Kolono……….………
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di
Peonea………....
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak Thoopterus spp. di
Pakuure………..
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas A. celebensis di Lamaya dan Kolono………
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
nonkarkas Thoopterus spp.di Pakuure………...
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas N. cephalotes di Pakuure………....
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas R. amplexicaudatus di Peonea………...
13
Intensitas warna senyawa triterpenoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang……….
Uji flavonoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan
daging kelelawar, ternak konvensional, dan ikan cakalang…………
Data uji hedonik terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica………...
Uji Kruskal-Wallis rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam,
dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-Data uji hedonik terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica………...
Uji Kruskal-Wallis keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica………...
Data uji hedonik terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak
kari, dan dimasak rica-rica………..
Uji Kruskal-Wallis penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi,
Kebutuhan daging ternak konvensional (ruminansia dan unggas) secara
nasional dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya
mengkonsumsi makanan bergizi. Untuk memenuhi kebutuhan daging maka
pemerintah bersama swasta harus mengimpor daging atau ternak dari luar negeri.
Berdasarkan data Statistik Peternakan (2009) bahwa pada tahun 2007 konsumsi
daging rata-rata per kapita per tahun di Indonesia sebesar 8.37 kg, tahun 2008
sebesar 7.75 kg, tahun 2009 sebesar 6.5 kg, dan tahun 2010 sebesar 6.97 kg.
Sementara ketersediaan daging per kapita per tahun untuk tahun 2007 hanya
sebesar 6.3 kg, tahun 2008 sebesar 6.4 kg, tahun 2009 sebesar 6.60 kg, dan tahun
2010 sebesar 6.95 kg, sehingga harus mengimpor daging tahun 2009 sebesar
771.370.806 kg, tahun 2010 sebesar 874.680.103, dan tahun 2011 sebesar
599.823.558 kg (Direktorat Jenderal Peternakan 2011).
Salah satu alternatif untuk memenuhi suplai daging adalah mencari potensi
hayati yang ada di Indonesia untuk dijadikan sebagai sumber daging. Indonesia
kaya akan keragaman hayati yang merupakan sumber daya genetik, di antaranya
terdapat 205 jenis kelelawar atau sekitar 21% dari semua jenis kelelawar yang ada
di dunia (Suyanto 2001). Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan
manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan (Hodgkison et al.
2003), sebagai penyerbuk tumbuhan (Bumrungsri et al. 2009), sebagai bahan
pangan (Jenkins & Racey 2008), dan dipercaya sebagai obat tradisional
(Mohd-Azlan et al. 2001).
Berdasarkan informasi lewat media elektronik diketahui bahwa pada
beberapa tempat, seperti di Jawa Timur, Medan, Kalimantan, dan Yogyakarta,
sebagian masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar karena masyarakat
meyakini bahwa selain sebagai bahan pangan, daging kelelawar juga dapat
menyembuhkan penyakit tertentu, seperti asma dan alergi serta dapat
meningkatkan stamina. Di Sukabumi, daging kelelawar diolah menjadi abon
untuk diperdagangkan dengan label dapat menyembuhkan penyakit asma,
kelelawar yang dikonsumsi sebagai bahan pangan yang berfungsi untuk
menyembuhkan asma. Diduga daging kelelawar mengandung komponen aktif
berupa senyawa steroid dan senyawa kitotifen. Steroid adalah sejenis lipid yang
berfungsi sebagai hormon pengatur tubuh. Kitotifen adalah antihistamin yang
berfungsi untuk menstabilkan membran sel-sel mastosit dan menghambat
pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan hipersensitivitas (Klooker
et al. 2010). Sel-sel mastosit kaya akan histamin dan leukotrin yang bertanggung
jawab atas awal mula terjadinya asma akibat alergi. Histamin adalah senyawa
turunan dari asam amino yang terlibat dalam tanggapan imun (Bratawijaya 1988).
Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI (2007) bahwa asma
adalah inflamasi saluran napas, dan salah satu pemicu asma adalah alergi
(Bratawidjaya & Sundaru 1981).
Seiring dengan permintaan konsumen terhadap daging kelelawar, dan
adanya pemeo bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, maka
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan mulai bergeser, yaitu pangan yang
diminati bukan sekadar mempunyai nilai gizi dan cita rasa yang enak, tetapi juga
memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh yang dikenal sebagai pangan fungsional
(Wijaya 2002). Pangan fungsional menurut Undang Undang No. 7 (1996) dan
Badan Pengawas Obat dan Minuman Republik Indonesia (BPOM RI 2011) adalah
pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau
lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah dianggap mempunyai
fungsi fisiologis tertentu, tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan.
Daging kelelewar diduga mempunyai potensi sebagai pangan fungsional,
karena diduga selain memiliki nilai gizi yang baik, juga mengandung komponen
aktif. Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa komponen aktif hasil
ekstraksi, seperti alkaloid, flavonoid, fenolik, terpenoid, dan steroid berfungsi
sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan sebagai hormon pengatur tumbuh yang
terdapat pada hewan, tumbuhan, dan rempah-rempah (Yohnny et al. 2003,
Chaovanalikit &Wrolstad 2004, Handayani et al. 2008, Sukadana et al. 2008).
Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan
rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, cabe rawit, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan
Minahasa dan Manado. Berdasarkan wawancara dengan beberapa konsumen
diperoleh informasi bahwa mereka mengkonsumsi daging kelelawar olahan bukan
karena mereka menyadari bahwa daging tersebut sebagai sumber gizi, tetapi
karena daging kelelawar lezat dan enak. Daging kelelawar sebagai lauk
merupakan salah satu pangan tradisional alternatif sumber daging selain daging
ternak konvensional lainnya. Pangan tradisional pada umumnya memiliki
kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya mikrobiologi (Khalafalla et
al.1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010). Adanya bahaya tersebut sering kali
ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum
diterapkannnya praktik sanitasi dan higiene yang memadai, dan kurangnya
kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional
(Setiowati & Mardiastuty 2009).
Kelelawar sebagai bahan pangan mempunyai keunikan tersendiri apabila
dibandingkan dengan ternak konvensional karena hampir semua komponen tubuh
kelelawar, yaitu karkas, sayap, rongga dada, dan rongga perut diolah bersama
untuk dikonsumsi. Hasil survei di pasar tradisional Tomohon dan Kawangkoan,
Minahasa, Sulawesi Utara, diperoleh data bahwa rata-rata penjualan kelelawar
setiap penjual per hari adalah 50 kg, dengan bobot masing-masing kelelawar
rata-rata 300-600 g. Berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat
penjual kelelawar di Pasar Bersehati, Manado, diperoleh informasi bahwa
rata-rata kelelawar yang habis terjual sebanyak 100 ekor per hari, atau setiap harinya
daging kelelawar menyumbang penyediaan daging yang setara dengan 30-50 kg.
Mempertimbangkan minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging
kelelawar olahan dan sumbangan daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi
daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan ketersediaannya.
Laporan ilmiah yang mengungkapkan jenis-jenis kelelawar pemakan buah
yang dikonsumsi, produksi karkas dan daging, kandungan komponen aktif,
komposisi nilai gizi yang baik dan aman dikonsumsi, serta tingkat penerimaan
masyarakat terhadap daging kelelawar olahan sampai saat ini belum tersedia.
Sampai sejauh ini, bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit
tertentu masih merupakan pemeo. Oleh karena itu, manfaat dan khasiat ini perlu
untuk dilakukan dan diharapkan data hasil penelitian ini merupakan informasi
awal untuk menjadikan daging kelelawar sebagai salah satu alternatif ternak
penghasil daging yang bersifat fungsional.
Tujuan Penelitian
a. Melakukan identifikasi berdasarkan morfometri, struktur gigi, dan
ciri-ciri fisik tubuh untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan
buah yang dijadikan sebagai bahan pangan di Sulawesi.
b. Mengkaji distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan
buah di Sulawesi.
c. Mengkaji kandungan gizi, sifat fisik, dan sifat kimia daging kelelawar
dibandingkan dengan daging ternak konvensional.
d. Mengkaji tingkat penerimaan daging kelelawar yang dimasak rica-rica
dan kari dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional
e. Mengkaji kandungan komponen bioaktif daging kelelawar pemakan
buah, dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional, dan
ikan cakalang.
f. Mengkaji kandungan mikrob daging kelelawar segar dan olahan yang
disimpan selama 14 hari.
g. Membuktikan potensi kelelewar sebagai pangan fungsional yang aman
berbasis pangan tradisional yang disukai dan aman untuk dikonsumsi.
Manfaat Penelitian
a. Sebagai informasi ilmiah awal tentang jenis-jenis kelelawar pemakan
buah di Sulawesi yang dijadikan bahan pangan.
b. Sebagai informasi ilmiah awal tentang distribusi potongan karkas dan
daging kelelawar pemakan buah di Sulawesi.
c. Sebagai pembuktian ilmiah tentang kandungan senyawa aktif, nilai
gizi, dan tingkat penerimaan konsumen terhadap kelelawar pemakan
buah di Sulawesi dan beberapa hewan konvensional sebagai pangan
d. Memperkuat klaim kasiat dan potensi kelelawar sebagai bahan pangan
yang aman dikonsumsi dan mempunyai fungsi fisiologis yang dapat
memberi manfaat bagi kesehatan tubuh.
e. Menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang pangan, khususnya
pangan berbasis tradisional sebagai pangan fungsional
f. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk
pengembangan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai
komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus acuan untuk
mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber
plasma nutfah Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang terdiri atas 6 tahap.
Tahap ke-1. Survei lapangan meliputi enam daerah di Sulawesi dengan kegiatan
penelitian yaitu identifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah.
Tahap ke-2. Produktivitas karkas dan komponen karkas kelelawar pemakan buah
yang teridentifikasi.
Tahap ke-3. Kualitas daging yang meliputi sifat-sifat fisik daging dan nilai gizi
daging kelelawar yang meliputi komposisi kimia, kandungan kolesterol,
kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kandungan asam-asam amino
esensial dan nonesensial.
Tahap ke-4. Uji fitokimia daging kelelawar dan daging ternak konvensional, serta
bumbu masak, yang dilanjutkan dengan karakterisasi komponen aktif, khususnya
pada daging kelelawar yang positif mengandung senyawa aktif yang intensitas
warnanya sangat kuat dan ketersediaan daging di pasaran.
Tahap ke-5. Uji penerimaan konsumen terhadap daging kelelawar olahan
dibandingkan dengan daging olahan ternak konvensional serta ikan.
Tahap ke-6. Uji kandungan mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan
Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan sebagai
kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mamalia, ordo Chiroptera.
Berdasarkan jenis makanan, kelelawar di Indonesia dibagi menjadi dua subordo,
yaitu subordo Megachiroptera yang terdiri atas 1 famili, 41 genus, dan 163
spesies, dan subordo Microchiroptera yang terdiri atas 17 famili, 147 genus, dan
814 spesies (Corbet & Hill 1992, Flannery 1995). Megachiroptera adalah
kelelawar pemakan buah, daun, nektar, dan serbuk sari, dan Microchiroptera
adalah kelawar yang kebanyakan memakan serangga dan hanya sebagian kecil
yang pemakan buah dan nektar (Yalden & Morris 1975). Di Indonesia,
diperkirakan terdapat 72 spesies subordo Megachiroptera, 133 spesies subordo
Microchiroptera.
Di Sulawesi, subordo Megachiroptera terdapat 11 genus, 22 spesies, yaitu
Acerodon Jourdan, 1837; L.F.I yang terdiri atas 2 spesies, yaitu Acerodon
celebensis Peters, 1867 dengan nama daerah kalong sulawesi yang tersebar di
Sulawesi, dan Acerodon humilis K Andersen, 1909 dengan nama daerah kalong
talaud yang tersebar di Pulau Karakelang dan Salibabu Kepulauan Talaud. Boneia
Jentink, 1879 hanya 1 spesies, yaitu Boneia bidens, Jentink 1879 dengan nama
daerah cecudu sulawesi yang hanya tersebar di Sulawesi. Chironax Andersen,
1912; L.F.2 hanya 1 spesies, yaitu Chironax melanocephalus Temminck, 1825
dengan nama daerah bakul kepala hitam yang tersebar di Thailand, Malaysia,
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Pteropus Erxlebe,
1777 terdiri atas 5 spesies, yaitu Pteropus alecto Temminck, 1837 dengan nama
daerah kalong hitam yang tersebar di Pulau Bawean, Nusa Tenggara, Sulawesi,
Maluku, Ambon, Papua Barat, Panua Niugini, dan Australia, Pteropus caniceps
Gray, 1844 dengan nama daerah kalong morotai yang tersebar di Sulawesi dan
Maluku, Pteropus griseus E Geoffroy, 1810 dengan nama daerah kalong kelabu
yang tersebar di Filipina, Sulawesi, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Pteropus
pumilus Miller, 1910 dan Pteropus speciosus Andersen, 1908 dengan nama
daerah kalong laud yang tersebar di Filipina dan Kepulauan Talaud. Nyctimene
dengan nama daerah paniki pallas yang tersebar di Sulawesi, Maluku, Pulau
Timor, Nusa Tenggara, Papua Barat, dan Papua Niugini, dan Nyctimene minitus K
Andersen, 1910 dengan nama daerah paniki sulawesi yang tersebar di Sulawesi,
Pulau Buru, dan Maluku. Chynopterus F Cuvier, 1824 terdiri atas 2 spesies, yaitu
Chynopterus luzoniensis Peters, 1861 dengan nama daerah codot sulawesi yang
tersebar di Filipina dan Sulawesi, dan Chynopterus minutus Miller, 1906 dengan
nama daerah codot mini yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan
Sumatera. Dobsonia Palmer, 1898 terdiri atas 3 spesies, yaitu Dobsonia exoleta K
Andersen, 1909 dengan nama daerah kubu sulawesi tersebar hanya di Sulawesi,
Dobsonia minor Dobson, 1879 dengan nama daerah kubu kecil tersebar di
Sulawesi, dan Papua Barat, Dobsonia viridis Heude, 1896 dengan nama daerah
kubu hijau tersebar di Sulawesi, dan Maluku. Neopteryx Hayman, 1946 hanya 1
spesies, yaitu Neopteryx frosti dengan nama daerah cocot gigi kecil tersebar hanya
di Sulawesi. Thoopterus Matschie, 1899 hanya 1 spesies, yaitu Thoopterus
nigrescens dengan nama daerah codot walet tersebar di Sulawesi dan Maluku.
Macroglossus F Cuvier, 1824 hanya 1 spesies, yaitu Macroglossus minimus E
Geoffroy, 1810 dengan nama daerah cecudu pisang kecil tersebar luas di
Indonesia, kecuali Sumatera, Thailand, Papua Niugini, Indocina, Filipina, dan
Australia. Rousettus Gray, 1821 terdiri atas 3 spesies, yaitu Rousettus
amplexicaudatus E Geoffroy 1810 dengan nama daerah nyap biasa tersebar di
seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara, Malaysia, Filipina, Kepulauan
Bismarck, dan Solomon, Rousettus celebensis K Andersen, 1907 dengan nama
daerah nyap sulawesi tersebar di Sulawesi dan Maluku (Flannery 1995, Suyanto
2001), dan Rousettus linduensis tersebar di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi
Tengah (Maryanto & Yani 2003)
Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki perbedaan yaitu,
Microchiroptera menggunakan ekolokasi untuk orientasi saat terbang, memiliki
mata yang kecil, memiliki tragus dan antitragus, yaitu bagian yang menyerupai
tangkai yang terletak di dalam telinga, sedangkan Megachiroptera lebih
menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat
Morfologi kelelawar dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh luar,
seperti panjang ekor, panjang kaki belakang, bobot tubuh, ekor, bola mata,
telinga, dan rambut. Perbedaan ukuran tubuh dapat diketahui berdasarkan jenis
pakannya. Megachiroptera umumnya memiliki ukuran tubuh yang besar, bisa
mencapai bobot lebih dari 1500 g, dan moncong seperti anjing. Microchiroptera
umumnya berukuran lebih kecil, ukuran paling kecil 2 g dan paling besar 196 g
(Suyanto 2001). Kelelawar merupakan binatang nokturnal, yakni mencari makan
pada malam hari dan beristirahat di siang hari, dan mempunyai tempat tinggal
yang sangat bervariasi, ada yang bertengger di pohon, lubang pohon, gua,
gulungan dedaunan dan celah-celah pada ruas bambu (Hill & Smith 1984).
Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena
perannya sebagai pemencar biji buah-buahan (Hodgkison et al. 2003), sebagai
penyerbukan bunga dan buah-buahan (Bumrungisri et al. 2009, Dumont 2004),
oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai bahan pangan (Wiles et al. 1997, Lee
2000b, Riley 2002, Jenkins & Racey 2008, Afolabi et al. 2009), dan diyakini
dapat menyembuhkan suatu penyakit (Mohd-Azlan et al. 2001).
Karakteristik Fisik-Kimia Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ-organ, seperti
hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot, termasuk
ke dalam definisi ini (Lawrie 2003, Soeparno 2005). Karakteristik fisik dan kimia
daging segar antara lain ditentukan oleh susut masak, daya mengikat air oleh
protein daging, keempukan, dan pH (Aberle et al. 2001). Susut masak atau
cooking loss didefinisikan sebagai hilangnya cairan daging akibat pemasakan.
Susut masak merupakan indikator nilai gizi yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot, dan
besarnya nilai susut masak bervariasi antara 1.5-54% (Aberle et al. 2001,
Soeparno 2005). Daya mengikat air atau Water Holding Capacity (WHC)
didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya selama aplikasi
daya eksternal, seperti, pemotongan, pemanasan, dan pengepresan (Aberle et al.
daging mencapai titik isoelektrik (5.2-5.4) apabila jumlah gugus reaktif dari
protein otot yang dimuati secara positif dan negatif sama, sehingga gugus tersebut
cenderung saling menarik dan hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk
mengikat air (Aberle et al. 2001). Keempukan merupakan salah satu faktor
berhubungan dengan palatabilitas. Kesan keempukan mencakup tekstrur yang
melibatkan aspek kemudahan awal menggigit, mudah dikunyah menjadi bagian
kecil, dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Lawrie 2003).
Keempukan daging dapat diuji berdasar sensory test atau uji organoleptik yang
dilakukan oleh uji panel (Setyaningsih et al. 2010)
Komposisi Kimia Daging Beberapa Hewan/Ternak
Kandungan zat gizi daging merupakan salah satu penentu kualitas daging.
Secara umum susunan kimia daging terdiri atas air (65-80 %), protein (16-22%),
lemak (1.5-13%), dan zat terlarut bukan protein (2.3%), dan selebihnya adalah
vitamin (Aberle et al. 2001). Air merupakan unsur utama daging dilihat secara
kualitas, yang dapat mempengaruhi juiciness, keempukan, warna, dan citarasa
daging. Kadar air dipengaruhi oleh umur ternak, jenis kelamin, dan kadar lemak
dalam daging. Karbohidrat dan substansi non protein dalam daging terdapat dalam
bentuk glikogen dan glukosa. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar
air, kadar protein, dan kadar lemak, sehingga daging tanpa lemak secara relatif
lebih banyak mengandung mineral (Aberle et al. 2001). Kadar abu daging
bervariasi antara 0.5-1.5% (Soeparno 2005).
Protein daging adalah komponen bahan kering yang sebagian besar berupa
kolagen yang terdapat dalam otot dan jaringan ikat. Di dalam otot, proporsi
protein terbesar terdapat pada miofibril, yaitu lebih besar dari 50% dan sisanya
dalam jumlah kecil berupa protein regulator (Aberle et al. 2001). Protein terdiri
atas serangkaian asam-asam amino yang terikat secara kimiawi. Asam amino
terdiri atas asam amino esensial dan nonesensial. Asam amino esensial tidak dapat
disintesis oleh tubuh sehingga perlu tersedia dalam bahan pangan. Asam amino
yang dapat disintesis oleh tubuh digolongkan sebagai asam amino nonesensial
(Murray et al. 2003).
Lemak daging merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding
memberi rasa enak pada makanan (Aberle et al. 2001). Lemak (triasil gliserol)
tersusun oleh gliserol dan asam lemak. Asam lemak adalah asam organik berantai
panjang yang mempunyai atom karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak dapat
dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak
tidak jenuh (unsaturated fatty acid).Tingkat kejenuhan asam lemak dapat
mempengaruhi penampilan fisik dan kualitas daging. Daging yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh akan terlihat lebih berminyak karena rendahnya
titik cair (Lawrie 2003).
Kolesterol secara khas adalah produk metabolisme hewan dan karenanya
terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan, seperti, kuning telur, daging,
hati, dan otak. Kolesterol merupakan senyawa yang dibutuhkan tubuh dalam
keadaan normal untuk membentuk membran sel, sistem saraf pusat, dan vitamin.
Kolesterol terdapat dalam darah bersama dengan trigliserida. Kolesterol berada
dalam keadaan bebas ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh (Wibraham
& Matta 1992).
Keamanan Daging dan Produk Olahannya
Di Indonesia, proses pengolahan daging sangat bervariasi, baik diolah
secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional pengolahan daging
didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun
temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan, dan
pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah
dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan
pangan yang diolah. Secara alami, rempah-rempah mengandung berbagai macam
komponen aktif yang sangat besar perannya dalam penciptaan cita rasa suatu
produk. Rempah-rempah telah terbukti memiliki senyawa antioksidan yang
diperlukan untuk mengatasi serangan radikal bebas. Komponen bioaktif yang
berdapat pada kemangi adalah steroid/tritepenoid (Hendarwati 2009 ), pada sereh
adalah sitral dan geraniol, cabai merah kapcaisin, hidrokapsaisin, vitamin A,
vitamin C, zat warna kapsantin, serta karoten yang berkhasiat sebagai antirematik,
dan peluruh kencing atau diuretik. Daun batang bawang mengandung komponen
aktif, seperti flavonoid, saponin, dan steroid. Jahe memiliki komponen aktif,
sebagai antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, rematik, dan kekebalan tubuh.
Kunyit memiliki komponen aktif kurkominoid dan komponon fenolik yang
berfungsi sebagai antikolesterol dan penghilang rasa nyeri (Winarti & Nurdjana
2005). Rahayu (2000) melaporkan bahwa penggunaan bumbu masak dapat
membantu bahan-bahan lainya dalam bahan makanan untuk menghambat
sejumlah mikrob.
Pemasakan daging merupakan langkah untuk mendapatkan makanan
secara mikrobiologi lebih aman. UU Pangan No.7 tahun 1996 mendefinisikan
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Batas cemaran
mikrob daging, produk daging, dan daging hewan buruan mentah adalah angka
lempeng total (ALT) 1 x 106 cfu/mL, Koliform 1x102 cfu/mL, Salmonella sp
1x101 cfu/mL, Staphylococcus Aureus 1x102 cfu/mL, Campylobacter sp negatif/25
mL. Batas cemaran mikrob produk olahan daging, daging unggas, dan daging
hewan buruan adalah ALT (30 ºC, 72 jam) 1 x105 cfu/mL, Escherichia coli <
3/mL, Salmonella sp. negatif/25 mL, S. Aureus 1x102 cfu/mL, Bacilus careus
1x102 cfu/mL (BSN 2009).
Metabolit Sekunder
Pada dasarnya senyawa-senyawa pangan bagi berbagai kehidupan
mempunyai peranan universal sama, yaitu sebagai bahan energi, sebagai bahan
struktural, serta untuk fungsi-fungsi fisiologis. Senyawa-senyawa demikian
mempunyai fungsi vital dan pola biosintesis maupun perombakannya dalam
berbagai jenis kehidupan mengikuti tapak-tapak yang sama. Lintasan
metabolismenya tergolong pada metabolisme primer. Berbagai senyawa
bioorganik hewan, mikrob dan tumbuhan yang tidak berperan dalam proses
metabolisme primer disebut metabolit sekunder. Metabolisme sekunder
mengiringi metabolisme primer karena metabolisme primer menghasilkan
metabolit sekunder. Senyawa-senyawa metabolit sekunder sangat berbeda antar
spesies. Metabolit sekunder dapat juga dianggap sebagai hasil ekstraksi yang tidak
berguna bagi kehidupan yang menghasilkannya. Metabolit sekunder pada hewan
dihasilkan oleh pola dan kebiasaan makannya. Komponen aktif hasil metabolit
sekunder pada hewan umumnya disimpan dalam jaringan khusus seperti alkoloid
salamander kodok ditemukan dalam kelenjar kulit (Moeljohardjo 1990).
Beberapa metabolit sekunder berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan
antidegranulasi sel-sel mastosit. Handayani et al. (2008) melaporkan bahwa
ekstrak metanol spon laut acanthodendrilla sp kosentrasi 25 µg/mL sampai
dengan 400µg/mL dapat menghambat sel-sel mastosit yang diinduksi dengan
antigen putih telur ayam ras konsentarsi 50% secara in vivo. Nurjanah et al.
(2008) melaporkan bahwa ekstrak steroid dari teripang pasir dapat meningkatkan
kadar testoteron pada mencit.
Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, isoprene,
terpena, dan steroid. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari fungi,
tumbuhan dan hewan. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen
yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan, tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan. Isoprena dihasilkan secara
alamiah oleh tumbuhan dan hewan. Isoprena biasa juga dikandung dalam kadar
rendah pada banyak bahan pangan. Terpena merupakan suatu golongan
hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sejumlah hewan. Sebagai
contoh, senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpena.
Terpena dan terpenoid menyusun banyak minyak atsiri yang dihasilkan oleh
tumbuhan. Kandungan minyak atsiri mempengaruhi penggunaan produk
rempah-rempah, baik sebagai bumbu, sebagai wewangian, serta sebagai bahan pengobatan
kesehatan (Moeljohardjo 1990).
Senyawa steroid pada hewan kebanyakan ditemukan dalam keadaan
bebas, sedangkan pada tanaman dalam keadaan glikosida. Pada sterol-sterol
hewani, kebanyakan bertindak sebagai senyawa induk ialah lanosterol yang dalam
tubuh hewan diubah menjadi sterol-sterol yang lain. Lanosterol ialah yang
pertama diubah menjadi kolesterol melalui zimosterol. Kolesterol adalah
intermediat penting dalam sintesis steroid baik pada hewan (Murray et al. 2003).
Beberapa steroid bersifat anabolik. Secara fisiologi, steroid anabolik dapat
membuat seseorang menjadi agresif. Hormon steroid menimbulkan peningkatan
(Johny et al. 2003). Saleh (2007) melaporkan bahwa ekstrak metanol dari akar
tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid (clionesterol) mempunyai
aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL / kg bb mencit jantan.
Pangan Fungsional
Pangan menurut Badan Pengawasan Obat dan Minuman Republik
Indonesia (UU No. 7 1996, BPOM 2011) adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah dan
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan, sedangkan pangan
fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses,
mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian
ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak
berbahaya dan bermanfaat bagi kesehatan. Suatu pangan dapat dikategorikan
menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu
merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang
mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus
merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, memiliki fungsi
tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan
biologis, mencegah, dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Berdasarkan Morfometri Kelelawar Pemakan Buah di Sulawesi. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan, sebagai penyerbu tumbuhan, sebagai penghasil pupuk organik, dan sebagai bahan pangan. Di Sulawesi Utara, kelelawar pemakan buah dijadikan pangan eksotik sehingga keberadaan kelelawar dikhawatirkan akan terancam punah karena perburuan tak terkendali. Perombakan hutan untuk lahan-lahan perkebunan menyebabkan habitat kelelawar terganggu dan berpindah tempat. Identifikasi morfometri ukuran tubuh, tengkorak, dan ciri-ciri fisik diperlukan untuk mengetahui jenis-jenis dan penyebaran kelelawar pemakan buah di Sulawesi. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif dan diinterpretasikan melalui narasi untuk menggambarkan seluruh penelitian. Kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi ada lima spesies, yaitu Acerodon celebensis ditemukan di
Desa Lamaya, Gorontalo dan Desa Kolono, Sulawesi Tengah, Nyctimene
cephalotes dan Tooptherus nigrescens ditemukan di Desa Pakuure, Sulawesi
Utara, Rousettus amplexicaudatus ditemukan di Desa Peonea, Sulawesi Tengah,
Pteropus alecto ditemukan di Pasar Bersehati Kota Manado, Desa Lamaya
Gorontalo, Desa Matialemba dan Kolono, Sulawesi Tengah.
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. The Morphometric Identification of Fruit Bats In Sulawesi. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
The presence of bats is very important for human life, because of its role as pollinators of plants, as a producer of organic fertilizer, and as food. In Northern Sulawesi, fruit bats serve as an exotic food, so the population of bats is feared to be threatened with extinction due to uncontrolled hunting. Overhaul of the forest for plantation lands cause disturbed habitats and migratory bats. Morphometry of body size, skull, and physical characteristics are required to determine the types and distribution of fruit bats in Sulawesi. The method used was a survey of the field to the hunt, collectors, and sellers of bats in Sulawesi. The collected data were analyzed using descriptive method with a narrative that described the entire study. Five types of fruit bats were found at the site. Acerodon celebensis was found in Lamaya, Gorontalo and Kolono, Central Sulawesi. Nyctimene cephalotes and Thoopterus nigrescens were found in Pakuure, North Sulawesi. Rousettus amplexicaudatus was found in Peonea, Central Sulawesi. Pteropus alecto was found in the Bersehati market of Manado, North Sulawesi, Lamaya Gorontalo, Matialemba and Kolono, Central Sulawesi.
Pendahuluan
Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan dalam
kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mammalia, ordo Chiroptera.
Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar dibagi menjadi dua subordo, yaitu
subordo megachiroptera, yaitu pemakan tumbuhan, yang terdiri atas satu famili,
yaitu Pteropodidae, 42 genus, 175 spesies, dan subordo microchiroptera, yaitu
pemakan serangga, yang terdiri atas 16 famili, 145 genus, dan 788 spesies.
Kedua subordo tersebut memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, telinga, serta
ecolocation (Corbet & Hill 1992). Megachiroptera mempunyai tubuh berukuran
besar, lidah panjang, dan umumnya memiliki cakar pada jari sayap kedua. Di
Sulawesi, subordo megachiroptera (Pteropodidae) terdapat 11 genus dan 22
spesies, yaitu Acerodon spp. dua spesies, Boneia sp. satu spesies, Chironax sp.
satu spesies, Pteropus spp. lima spesies, Nyctimene spp. dua spesies, Chynopterus
spp. dua spesies, Dopsonia spp. tiga spesies, Neopteryx sp. satu spesies, Rousettus
sp. satu spesies, Thoopterus sp. satu spesies, dan Macroglossus sp. satu spesies
(Flanery 1995, Suyanto 2001, Maryanto & Yani 2003).
Di beberapa negara, seperti Nigeria, Madagaskar, Selandia Baru, dan
Malaysia, sebagian masyarakat menjadikan daging kelelawar sebagai bahan
pangan (Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins & Racey 2008,
Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009), serta sebagai obat tradisional
(Mohd-Azlan et al. 2001). Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan daging
kelelawar pemakan buah sebagai bahan makanan tradisional yang penting, dan
kelelelawar terus diburu sehingga di pasar-pasar tradisional dan swalayan sering
dijumpai kelelawar sebagai salah satu produk yang dipasarkan (Lee 2000b).
Lee et al. (2005) melaporkan bahwa spesies kelelawar yang dipasarkan di
Sulawesi Utara adalah Pteropus hypomelanus, P. alecto, A. celebensis, dan
Acerodon humilis, dengan jumlah yang terjual adalah 38.000 ekor selama 2 tahun
hanya untuk 6 pasar tradisional. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan
penjual kelelawar pada Maret-Oktober 2011 di pasar Pinasungkulan dan Pasar
Bersehati Manado, diketahui bahwa kelelawar pemakan buah yang dipasarkan di
Sulawesi Utara, berasal dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi
alecto dan A. celebensis dan rata-rata kelelawar yang terjual adalah 100 ekor per
hari.
Melihat minat masyarakat terhadap daging kelelawar, dikhawatirkan suatu
saat keberadaannya akan terancam punah. Lane et al. (2006) melaporkan bahwa
diduga ada 24% kelelawar pemakan buah di Asia Tenggara akan punah pada akhir
abad 21, dan 25 spesies dari genus Pteropus dan 5 spesies dari genus Acerodon
masuk status concern. Beberapa spesies kelelawar endemik Sulawesi yang masuk
daftar IUCN Red List dengan status endangered adalah Neopteryx frosti dan A.
humilis (IUCN Redlist 2012). Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk
mengendalikan populasi kelelawar, di antaranya usaha budi daya dengan harapan
bahwa masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar yang berasal dari hasil budi
daya. Untuk mencegah kepunahan maka keberadaan populasi kelelawar perlu
dikaji. Salah satu bentuk kajian awal yang sangat penting adalah identifikasi
morfomeri kelelawar.
Identifikasi berdasarkan morfomeri adalah salah satu upaya untuk
mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi masyakarat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi berdasarkan morfometri dan
ciri-ciri fisik kelelawar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi
untuk pengelolaan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas
alternatif satwa penghasil daging, sekaligus dasar untuk mengkaji upaya
pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Identifikasi kelelawar pemakan buah dilakukan di enam tempat, yaitu (1)
Pasar Bersehati Kecamatan Wenang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara; (2)
Perkebunan rakyat hutan Gunung Lolombulan, Desa Pakuure, Kecamatan Tenga,
Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, di titik ordinat 1° 06᾿10.50” N, 124° 26’19.54” E; (3) Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso; (4) Hutan Lindung Saluwaidei, Desa Peonea,