• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di daerah tangkapan air bendungan sutami dan sengguruh: suatu pendekatan optimasi ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di daerah tangkapan air bendungan sutami dan sengguruh: suatu pendekatan optimasi ekonomi"

Copied!
626
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI

DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN

OPTIMASI EKONOMI

DISERTASI

Oleh:

RINI DWIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam disertasi saya yang berjudul

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI

DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang

sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

(3)

ABSTRAK

Rini Dwiastuti. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air di Daerah Tangkapan

Air Bendungan Sutami dan Sengguruh: Suatu Pendekatan Optimasi Ekonomi. (Bunasor Sanim sebagai Ketua, Yusman Syaukat, Bonar M. Sinaga dan Hermanto, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Aktivitas pertanian di daerah tangkapan air (DTA) menimbulkan erosi yang mengakibatkan degradasi lahan dan sedimentasi waduk. Eksternalitas negatif tersebut seringkali tidak disadari oleh masyarakat yang mengelola lahan di DTA. Informasi biaya eksternalitas erosi belum tersedia, padahal informasi tersebut sangat diperlukan untuk menyusun kebijakan pembangunan daerah aliran sungai (DAS) yang berorientasi hulu-hilir.

Dalam kerangka kerja pendekatan sistem dan optimasi dinamik, penelitian ini bertujuan membangun model optimasi dengan menyatukan sub-sistem hulu waduk dan sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebagai satu kesatuan unit pengambil keputusan; serta mengestimasi nilai ekonomi lapisan tanah dan air waduk. Pemecahan problem optimasi didasarkan pada: (1) perumusan diskrit dengan periode perencanaan jangka waktu tertentu, (2) fungsi tujuan aditif, yaitu memaksimumkan nilai sekarang manfaat sosial bersih dari kedua sub-sistem, (3) paket pola tanam sebagai variabel keputusan, (4) ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk sebagai kendala transisi.

Harga bayangan ketebalan lapisan tanah mencerminkan biaya lapisan tanah yang hilang. Hasil pendugaan nilai ekonomi lapisan tanah menunjukkan kecenderungan yang semakin kecil antar waktu. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil kajian Van Kooten et al. (1989) pada solum tebal. Nilai ekonomi lapisan tanah yang hilang di DTA bervariasi menurut: (1) pola tanam, (2) klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, dan (3) wilayah sub-sub DAS.

Harga bayangan kapasitas tampungan waduk mencerminkan biaya kesem-patan setiap satu meter kubik air yang tersimpan. Nilai air waduk atau biaya kesempatan air yang tersimpan berbeda antar waduk. Variasi tersebut karena adanya perbedaan harga per unit produksi listrik antar PLTA, dan perbedaan koefisien parameter teknis yang terkait dengan sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Disamping itu, nilai air waduk relatif lebih tinggi daripada biaya pengerukan per unit satuan volume.

Berdasarkan hasil pendugaan nilai ekonomi lapisan tanah dan air waduk, maka pengaturan pola tanam merupakan metode yang efektif untuk menangani sedimentasi. Metode tersebut telah lama diterapkan dengan berbagai bentuk program dan proyek, namun sedimentasi masih relatif tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan kelembagaan yang mampu menangani sedimentasi secara komprehensif yang dilengkapi dengan kelembagaan pengelola dana yang mampu menjembatani pihak penyedia air waduk di daerah tangkapan air dan pihak pemangku kepentingan di hilir. Penanganan sedimentasi dalam jangka panjang dapat dilakukan melalui penertiban penggunaan lahan sesuai dengan fungsi kawasan. Penertiban tersebut perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah Tingkat Propinsi yang dilengkapi dengan sanksi yang tegas dan insentif yang proporsional.

Kata Kunci: pola tanam, eksternalitas, nilai ekonomi lapisan tanah dan air

(4)

ABSTRACT

Rini Dwiastuti. Land and Water Resources Management in The Catchment Area

of Sutami and Sengguruh Dams: An Economic Optimization Approach. (Bunasor Sanim as Chairman, Yusman Syaukat, Bonar M. Sinaga and Hermanto, as members of the Advisory Committee)

Agricultural activities in the catchment area caused erosion which is resulting land degradation and reservoirs sedimentation. This negative externalities was unrealized for society by whom cactchment area managed. Information of erosion externality cost is not yet available, which usefull to conceived policy in the basin system development process with upstream-downstream paradigm.

In the system approach and dynamic optimization framework, the aims of this study is to develop optimization model with unifying the reservoir upstream sub-system and the dam-reservoir ecological sub-system as a unity decision maker, also estimate economics value of soil depth and reservoir water. Optimation problem solving is based on: (1) the discrete-time formulation with finite horizon problem, (2) additive objective function, which is maximizing the present value of net social benefit from both sub-system, (3) cropping pattern as decision variable, (4) both of soil depth and reservoir storage capacity as state variable.

The shadow price of soil depth reflects the cost of soil loss. Estimation result of the solum economic value tend to decrease over time. That condition in accordance with the study result of Van Kooten et al. (1989)on thick solum. The economic value of the soil loss in catchment area is varied by: (1) cropping pattern, (2) function and land slope classification, and (3) sub-sub water basin region.

The shadow price of reservoir storage capacity also reflects opportunity cost every one cubic meter water storage. Reservoir water value or opportunity cost of water storage is differ among the reservoir. That variation caused by the different of price per unit electricity product among hydropower station, and the different of technical parameter coefficient which is connected with the dam-reservoir ecological sub-system. Beside that, water dam-reservoir value relatively higher than dredging cost per unit volume.

Based on economic value of soil depth and reservoir water estimation result, cropping pattern arrangement is an effective method handling sedimentation. This method was used with varying form of program and project, but sedimentation still relatively high. Because of that, institutional arragement is needed to handle sedimentation comprehensively completed with fund management institution which also capable to bridging water reservoir supplier in the catchment area and stakeholder at downstream part. Sedimentation handling in the long run can be done by land tenure control as appropriate with land use system. This control need to be written in Province Ordinance completed with assertive sanction and proportionally insentive.

Key words: cropping pattern, externality, soil depth and reservoir water

(5)

© Hak cipta miliki Rini Dwiastuti, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN

SUTAMI

DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN

OPTIMASI EKONOMI

Oleh:

RINI DWIASTUTI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Disertasi : PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI

EKONOMI

Nama : Rini Dwiastuti

NIM : 995-183

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.

Ketua Anggota

Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Dr.Ir. Hermanto, M.S.

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof.Dr.Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bojonegoro Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1959

dari ayah Moehkiman Pringgoatmodjo (Alm) dan ibu Soepinah (Almh). Penulis

merupakan anak kedua dari enam bersaudara.

Pertengahan tahun 1979 penulis lulus dari SMPP (Sekolah Menengah

Persiapan Pembangunan) Negeri Nganjuk Jawa Timur dan pada bulan Agustus

tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya melalui

penyaringan ujian masuk perguruan tinggi Perintis I. Pada semester III penulis

memilih Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan mendapat gelar Sarjana

Pertanian pada tahun 1984. Dua tahun kemudian, penulis melanjutkan ke

jenjang pendidikan S2 pada Program Pascasarjana KPK Universitas Gajah Mada

Yogyakarta - Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 1990.

Sejak tahun 1986 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar

pada Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Pada tahun ajaran 1999/2000,

penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor (S3) di

(9)

PRAKATA

Rasa syukur dan terimakasih kepada Allah SWT atas ridla dan karunia

yang telah diberikan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Tema dipilih didasarkan pada perilaku masyarakat di daerah hulu

Brantas yang penulis tangkap pada saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata pada

tahun 1983, yaitu sikap yang tidak mau tahu terhadap pendangkalan waduk

karena menurut mereka yang menikmati listrik adalah orang kota di wilayah hilir.

Beberapa konsep dasar yang diaplikasikan dalam karya ilmiah ini meliputi: (1)

pendekatan sistem, (2) problem optimasi dinamik, (3) perumusan problem

diskrit, dan (4) optimasi sumberdaya exhaustible.

Penulis menyadari bahwa untuk menghasilkan karya ini banyak pihak yang

berperan. Oleh karena itu, ucapan terima kasih pertama-tama penulis

sampaikan kepada Komisi Pembimbing:

1. Bapak Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing

yang telah memberikan arahan dan pencerahan dalam kegiatan mulai dari

penyusunan proposal hingga laporan disertasi.

2. Bapak Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. sebagai anggota komisi pembimbing

yang telah banyak memberikan wawasan perspektif ekonomi sumberdaya

dan perangkat lunak GAMS. Pengalaman mengaplikasikan kedua hal

tersebut penulis rasakan sebagai suatu nilai tambah yang sangat berharga.

3. Bapak Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku anggota komisi pembimbing yang

telah banyak memberikan bekal pada saat perkuliahan untuk diaplikasikan

pada saat penyusunan proposal hingga laporan disertasi.

4. Bapak Dr.Ir. Hermanto, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah

banyak memberi arahan dalam mengeksplorasi manfaat praktis dari kajian

(10)

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:

1. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan beasiswa kepada

penulis untuk menempuh program Doktor di IPB melalui dana BPPS TA

2000/2001.

2. Pengurus Yayasan Sumberdaya Manusia dan Program SEARCA yang telah

memberi dana penelitian dan tambahan biaya hidup selama di Bogor.

3. Pimpinan di Universitas Brawijaya dan Fakultas Pertanian yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri dengan

mencari bekal ilmu ke IPB; serta telah memberikan bantuan dana sebelum

mendapat dan setelah tidak mendapat dana BPPS.

4. Bapak Dr.Ir. Kliwon Hidayat, M.S baik sebagai Ketua Jurusan Sosial Ekonomi

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya maupun selaku pribadi, yang telah

banyak memberikan dorongan moril maupun bantuan materiil.

5. Bapak Prof. Dr.Ir. M. Yunus Rasyid, M.Sc. yang telah mencarikan donatur

dan memberikan semangat terutama pada saat penulis merasa putus asa

karena masa studi yang berkepanjangan.

6. Bapak Dr.Ir. Nuhfil Hanani, M.S baik sebagai Pembantu Dekan I Fakultas

Pertanian Universitas Brawijaya maupun selaku pribadi, yang telah

memberi-kan bantuan materiil dan tempat bertanya pada saat penulis mengikuti

perkuliahan di semester satu hingga tiga.

7. Ketua Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang

telah memberi ijin penulis untuk mengakses fasilitas laboratorium.

8. Direksi PERUM Jasa Tirta I Malang, Kepala Balai Pengelolaan DAS Brantas,

Manajer Operasional Brantas PJB (Pembangkitan Jawa Bali), Kepala Dinas

Perkebunan serta Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Tanah Daerah

Tingkat II Kabupaten Malang yang telah memberikan ijin penulis untuk

(11)

Kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran kegiatan pengumpulan

data penulis ucapkan banyak terima kasih, diantaranya:

1. Bapak Ir. Widyo Parwanto, M.E. selaku Kepala Biro Manajemen Mutu pada

PERUM Jasa Tirta I Malang yang telah menyediakan waktu untuk berdiskusi

dan telah banyak meminjami buku laporan yang sangat bermanfaat untuk

menyusun model.

2. Sdr Ir. Raymond Valiant Ruritan yang telah membantu mengumpulkan data

sekunder di lingkungan PERUM Jasa Tirta I Malang.

3. Bapak Suliadi dan Ibu Siti Nurayah yang telah membantu mengumpulkan

data sekunder pada Balai Pengelolaan DAS Brantas yang berlokasi di

Malang.

4. Bapak Hery Suprayitno yang telah membantu mengumpulkan data sekunder

di lingkungan PJB unit Brantas.

5. Sdr Dwi Ningsih, SP, Rustam Haryoko, SP, Titik, Suhardi, Asti dan Ida yang

telah membantu mengumpulkan dan entry data primer. Serta Syahrul Kurniawan, SP yang telah membantu entry dan analisis data erosi di Laboratorium Fisika Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Sdr Dr.Ir. Didik Soeprayogo, M.Sc dan

Dr.Ir. Soedarto, M.S yang telah menyediakan waktu untuk memberikan masukan

dalam rencana penentuan lokasi pengambilan data primer. Serta kepada Sdr

Yundi Hafizrianda, SE, M.S. yang telah banyak meluangkan waktu untuk

mengajari pengoperasian perangkat lunak GAMS dan membantu menyusun

program pemecahan optimasi dinamik dalam bahasa GAMS. Terima kasih juga

disampaikan untuk ibu Ir. Farida Hanum, Msi yang telah membantu kegiatan

(12)

membantu mengurus ”kelengkapan administrasi” di kantor selama penulis

berada di Bogor.

Ucapan terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Ibu Sri

Wahyuningsih, S.H., M.S., mbak Ummu Hilmy, S.H., M.S., mbak Dr.Ir. Retno

Dyah Puspitarini, M.S. dan dik Ir. Theodora Maulina, M.S.; bagaikan saudara dan

yang telah bersedia menjadi “tempat berbagi suka dan duka”. Serta untuk

keluarga besar Bapak Moehkiman Pringoatmodjo (Alm) dan Bapak Abu Soedjak

(Alm). Hanya berkat do'a dan restu semua saudara kandung dan ipar, serta ibu

Maskayah (ibu mertua) telah mengantar penulis meraih keberhasilan.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan untuk suami Wahjudi, dan anak-anak:

Rachmad Sustyo Wibowo serta Ima Noor Puspitasari yang dengan ikhlas

memberikan kesempatan penulis pergi ke IPB untuk bereksplorasi memperdalam

pemahaman ilmu pengetahuan sebagai bekal menunaikan tugas sebagai tenaga

pengajar. Khusus untuk adik Peni Sapta Utami penulis sampaikan terima kasih

yang mendalam karena telah banyak membantu mengawasi dan membimbing

anak-anak sewaktu mereka masih dibangku SLTP dan SMU pada saat awal

penulis menunaikan kuliah di Bogor.

Semoga amal dari semua yang berperan tersebut mendapatkan balasan dari

Allah SWT yang Maha Bijaksana, Maha Pemurah dan Penyayang. Amin.

Bogor, Januari 2006

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 13

II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI – SENGGURUH 2.1. Letak dan Kondisi Fisik ... 15

2.2. Tataguna Lahan, Erosi dan Hidrologi ... 16

2.3. Sumberdaya Air ... 23

2.3.1. Pola operasi waduk ... 23

2.3.2. Fluktuasi debit dan produksi listrik ... 24

2.4. Erosi DAS Hulu dan Pendangkalan Waduk ... 27

2.5. Penanganan Sedimen ... 32

2.5.1. Jangka pendek ... 32

2.5.2. Jangka menengah ... 33

2.5.3. Jangka panjang ... 35

2.5.4. Sumber dana ... 35

2.6. Struktur Kelembagaan Pengelolaan DAS Kali Brantas ... 37

III. MODEL SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR 3.1. Alokasi Sumberdaya Lahan ... 41

3.2. Alokasi Sumberdaya Air ... 53

IV. APLIKASI EKONOMI DAMPAK EROSI 4.1. Hubungan Produktivitas dan Karakteristik Tanah ... 60

4.2. Konsep Biaya On-Site dan Off-Site (On-Site and Off-Site Cost) 65 4.3. Aplikasi Pendugaan Biaya On-site Erosi Tanah ... 69

(14)

Halaman

4.3.2. Model optimasi dinamik problem diskrit ... 71

4.3.3. Model optimasi dinamik problem kontinyu ... 82

4.4. Aplikasi Pendugaan Biaya Off-Site Erosi Tanah ... 90

4.5. Aplikasi Model ... 91

V. MODEL KONSEPTUAL 5.1. Landasan Teori Model Optimasi Dinamik ... 93

5.1.1. Komponen optimasi dinamik ... 93

5.1.2. Fungsi penerimaan lahan ... 95

5.1.3. Manfaat air waduk ... 97

5.2. Perumusan Kerangka Model Analisis Optimasi Dinamik ... 102

5.2.1. Manfaat sosial bersih pengelolaan lahan ... 102

5.2.2. Nilai outflow waduk untuk operasi PLTA ... 103

5.2.3. Nilai air baku untuk pengairan dan industri ... 104

5.2.4. Struktur biaya sosial ... 105

5.2.5. Manfaat bersih tahunan ... 106

5.2.6. Fungsi tujuan ... 107

5.2.7. Kendala ... 109

5.2.7.1. Ketebalan lapisan atas tanah ... 109

5.2.7.2. Kapasitas tampungan Waduk Sengguruh ... 110

5.2.7.3. Kapasitas tampungan Waduk Sutami ... 113

5.2.7.4. Kendala total luas areal berbagai fungsi lahan 116 5.2.8. Batas awal periode, batas atas dan bawah ... 117

5.2.8.1. Ketebalan lapisan tanah awal ... 117

5.2.8.2. Kondisi kapasitas tampungan waduk ... 117

5.2.8.3. Kondisi awal periode dari stok air dan sedimen serta batas atas stok sedimen .. 118

5.2.8.4. Batas debit operasi PLTA ... 119

5.2.9. Perubahan parameter ... 120

VI. METODE PENELITIAN 6.1. Daerah Penelitian ... 121

6.2. Metode Pengumpulan Data ... 123

(15)

Halaman

6.4. Metode Analisis ... 125

6.4.1. Model perumusan optimasi dinamik ... 126

6.4.2. Fungsi Lagrange ... 130

6.4.3. Present value dari fungsi Hamilton ... 131

6.4.4. Kondisi optimal ... 131

6.5. Penentuan Besaran Variabel dan Koefisien ... 137

6.5.1. Koefisien fungsi respon produksi-soil depth ... 137

6.5.2. Harga air untuk irigasi ... 137

6.5.3. Sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap pengairan dan industri ... 138

6.5.4. Biaya pengerukan per unit ... 138

6.5.5. Pendugaan tingkat erosi ... 139

6.5.6. Pendugaan sumbangan lahan terhadap inflow air ... 139

6.5.7. Koefisien penyesuaian massa sedimen ... 139

6.5.8. Koefisien pengali volume sedimen ... 140

6.5.9. Kendala lahan yang tersedia ... 140

6.5.10. Ketebalan lapisan tanah pada kondisi awal ... 141

6.6. Penentuan Perubahan Parameter ... 141

VII. ALOKASI INTERTEMPORAL 7.1. Pola Tanam Riil dan Hasil Optimasi ... 143

7.2. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Hulu Waduk ... 149

7.3. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Ekologi Bendungan-Waduk . 160 7.4. Ikhtisar ... 163

VIII. NILAI EKONOMI EROSI 8.1. Cadangan dan Ekstrasi Sumberdaya ... 167

8.2. Pendugaan Biaya On-Site Erosi ... 175

8.3. Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah ... 176

8.4. Pendugaan Biaya Off-Site Erosi ... 186

8.5. Ikhtisar ... 194

IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS 9.1. Perubahan Harga Komoditas ... 200

(16)

Halaman

9.3. Perubahan Luas Lahan Hutan Produksi ... 218

9.4. Ikhtisar ... 221

X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1. Kesimpulan ... 226

10.2. Implikasi Kebijakan ... 228

10.3. Saran ... 229

DAFTAR PUSTAKA ... 231

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Estimasi Pengaruh Kedalaman Lapisan Atas Tanah Terhadap

Produksi Gandum di Wilayah Palouse (Walker, 1982) ... 62

2. Fungsi Respon Produksi Gandum dan Ketebalan Lapisan Tanah

di Wilayah Palouse (Papendick et al.,1985) ... 65 3. Pendekatan Perbaikan Metode Pengukuran Biaya On-Site Erosi Tanah (Barbier, 1995) ... 67

4. Pendugaan Biaya Off-Site dari Pendangkalan Waduk (Barbier, 1995) 68 5. User Cost Ketika Soil Depth Tidak Mempengaruhi Produksi

(Mcconnell, 1983) ... 85

6. Diagram Alur Keterkaitan Antar Komponen Optimasi Dinamik pada Sistem Tangkapan Air (Catchment Area) Suatu Waduk ... 96 7. Lokasi Daerah Tangkapan Air Waduk Sutami dan Sengguruh ... 122

8. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Ketebalan Lapisan Tanah Lahan Tegal Kemiringan I (0– 5%) pada Pola Tanam Pd-Pd-Sy di Wilayah Sub-Sub DAS Metro ... 170

9. Pendugaan Volume Tampungan Efektif dan Tampungan Mati Waduk Sutami pada Tahun 2003 dan 2020 ... 173

10. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Tampungan Mati

Waduk Sutami ... 174

11. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan I (0–15%) Sub-Sub

DAS Bango ... 184

12. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Kentang-Wortel pada Lahan Tegal I (0–15%) Sub-Sub DAS Bango 185

13. Kurva Biaya Off-Site Erosi ... 194 14. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga terhadap Nilai Nominal Harga

Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan II Wilayah Sub-Sub

DAS Sumber Brantas ... 217

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan

(SPL) Di Wilayah Sub-Sub DAS Bango ... 239

2 . Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan

(SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas ... 240

3. Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan

(SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Amprong ... 242

4. Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan

(SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Lesti ... 243

5. Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan

(SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Metro ... 245

6. Pola Operasi Waduk Sengguruh dan Sutami (Pola Normal Bawah) 247

7. Hasil Pendugaan Nilai Air, Sumbangan Outflow Sutami Terhadap Penggunaan Air Waduk, Sumbangan Lahan Terhadap Inflow dan

Koefisien Penyesuaian Sedimen ... 248

8. Konsep Penentuan Keseimbangan Waduk Sebagai

Kendala Transisi ... 250

9. Sketsa Mekamisme Arus Masuk, Keluar dan Stok Air

serta Sedimen 251

10. Lokasi Pengumpulan Data Primer dan Jumlah Responden ... 252

11. Rincian Rumusan Fungsi Tujuan dan Kendala pada Perumusan Program Optimasi Dinamik DTA Sengguruh-Sutami ... 253

12. Program Pemecahan Optimasi Dinamik Aplikasi Perangkat

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai 11 800 km2 dengan

curah hujan berkisar antara 1 370 hingga 2 960 mm per tahun (Nippon Koei,

1998). Secara makro, DAS Kali Brantas sebagai sumber air sejumlah

agromelasi wilayah perkotaan beberapa Daerah Tingkat II di wilayah Propinsi

Jawa Timur yang mengandalkan sektor pertanian, industri dan jasa (PERUM

Jasa Tirta, 1998a). Pada wilayah DAS Kali Brantas terdapat 310 000 hektar

lahan pengairan yang terdiri atas 50% tanaman padi, 38% tanaman palawija dan

9% tanaman tebu (Ringler et al., 2003). Di samping itu, sebagian besar (60%) air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan industri berasal dari DAS Kali

Brantas.

Sebagaimana telah dicanangkan pada rencana pola induk (master plan) dari DAS Kali Brantas, penekanan pembangunan sumberdaya air adalah

ditujukan untuk pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir dan pemasok air.

Prinsip Dasar yang terealisasi sejalan dengan rencana tersebut adalah

pembuatan dam di beberapa lokasi baik yang hanya mempunyai satu fungsi

maupun banyak (multi) fungsi. Diantara beberapa dam (bendungan dan waduk)

yang mempunyai multi fungsi adalah Bendungan Sutami dan Sengguruh (Nippon

Koei, 1998).

Keberadaan fisik bendungan dan waduk Sutami-Sengguruh didukung oleh

daerah tangkapan air (catchment area) bagian hulu DAS Kali Brantas. Kondisi

agroekologi di wilayah tersebut merupakan salah satu pusat produksi tanaman

hortikultura (terutama kentang, kubis, wortel, bawang merah, bawang putih,

kacang merah, apel) dan tanaman perkebunan (seperti tebu lahan kering),

(20)

tinggi (Tim PSLH UNIBRAW, 1995). Sementara itu, proses degradasi

sumber-daya alam dan lingkungan hidup di bagian hulu DAS Kali Brantas juga

menunjukkan kencenderungan yang terus meningkat, yaitu yang ditunjukkan laju

sedimentasi yang semakin tinggi.

Dari awal operasi bendungan (tahun 1972) hingga tahun 1998 penyusutan

tampungan direncanakan hanya sebesar 26%; namun sedimentasi yang terjadi

pada Waduk Sutami sebesar 42%. Kondisi tersebut terjadi karena laju

sedimentasi pada Waduk Sutami sebesar 200% lebih cepat dari yang

seharusnya. Pada Waduk Sengguruh (yang beroperasi sejak tahun 1988) telah

mengalami penyusutan tampungan sebesar 46,8% pada tahun 1997 (PERUM

Jasa Tirta, 1998a).

Untuk mengatasi degradasi lingkungan telah dilakukan berbagai metode

pengelolaan sumberdaya di bagian hulu DAS Kali Brantas, yakni melalui

berbagai macam proyek fisik maupun metode peningkatan sumberdaya manusia.

Disamping itu, telah banyak dilakukan kajian tentang pengelolaan wilayah

tersebut, baik dari aspek biofisik, sosial maupun ekonomi sebagaimana yang

telah dirangkum oleh Tim PSLH Universitas Brawijaya (1995).

Sumber sedimentasi yang terjadi di DAS Kali Brantas berasal dari produk

vulkanis dan erosi lahan (PERUM Jasa Tirta, 1998a). Produk vulkanis sebagian

besar terdapat pada DAS Kali Brantas bagian tengah (Waduk Wlingi dan

Lodoyo), dan sumber sedimentasi dari erosi lahan sebagian besar pada DAS Kali

Brantas bagian hulu (sedimentasi terbesar terjadi pada Waduk Sengguruh dan

Sutami). Penyebab sedimentasi dari erosi lahan adalah terdapatnya lahan kritis

pada bagian hulu dan tengah DAS Kali Brantas. Pada wilayah bagian hulu DAS

Kali Brantas terdapat lahan kritis seluas 10% dari total lahan yang teridentifikasi

(21)

Pengembangan DAS dengan metode bendungan tidak hanya memerlukan

dana yang sangat tinggi akan tetapi seringkali juga memerlukan pengorbanan

fasilitas kehidupan yang lain dari penduduk yang daerahnya tergenang (misalnya

fasilitas pendidikan, rumah penduduk, jalan dan masih ditambah lagi lahan

produktif). Disamping itu, juga diperlukan pengorbanan yang tidak mudah dinilai

dengan uang, yaitu rusaknya kelestarian ekosistem lokal. Dana pembuatan

Waduk Wonogiri yang diresmikan tahun 1981 menghabiskan sebesar Rp 69.52

milyar; Waduk Wonorejo sebanyak ¥ 18,80 milyar dari ADB dan OECF serta Rp

21.90 milyar dari APBN; sedangkan pembuatan Waduk Mrican menyerap dana

sebanyak 356 juta $ Amerika Serikat (Kompas, 2000). Besarnya dana tunai

tersebut belum termasuk biaya penanggulangan permasalahan teknis seperti

yang telah diuraikan di atas.

Dengan mempertimbangkan besarnya fungsi waduk dalam kehidupan

sehari-hari serta mengingat dana untuk pembuatan dan perawatan sangat besar,

maka fungsi waduk perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang bisa ditempuh

adalah mempertahankan kapasitas waduk sampai pada akhir horizon waktu.

Mengingat sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di daerah

tangkapan air menggantungkan hidupnya dari hasil lahan pertanian, maka

selayaknya bila kajian dampak erosi terhadap produktivitas lahan

dipertimbang-kan. Di samping itu, secara makro dan jangka panjang, dampak degradasi lahan

dan deplesi sumberdaya tanah mempunyai implikasi ekonomi yang mendalam

untuk negara-negara berpendapatan rendah, yaitu dapat mengancam prospek

pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di waktu yang akan datang

(Barbier, 1995).

Anderson dan Thampapillai (1990) mengemukakan bahwa pengkajian

masalah degradasi lahan dari perspektif ekonomi dapat dikelompokkan menjadi:

(22)

dipandang sebagai suatu sumberdaya alam, (3) pengaruh degradasi lahan pada

sumberdaya pemilikan bersama (commom property) dan eksternalitas. Berkaitan

dengan berbagai kelompok kajian tersebut, Barbier (1995) berpendapat

pentingnya pengukuran dampak erosi terhadap menurunkan produktivitas (biaya

on-site) dan kerugian eksternal (biaya off-site); mengingat penggunaan lahan pertanian di negara-negara Asia Tenggara seringkali menghasilkan degradasi

tanah. Lebih lanjut diuraikan, pentingnya pengukuran eksternalitas erosi (off-site

cost) karena: (1) penelitian empiris terhadap biaya erosi dari degradasi lahan

sebagian besar di negara berkembang terbatas pada dampak on-site cost yang paling sering dikaji, (2) adanya perbedaan perilaku pengambilan keputusan

antara tingkat petani (hanya memperhatikan on-site cost) dan tingkat sosial atau komunitas (yang juga memperhatikan biaya eksternal atau off-site cost), dan (3) eksternalitas ekonomi dari sumberdaya merupakan bagian integral dari dampak

ekonomi dari degradasi lahan. Oleh karena itu, maka substansi kajian dari

disertasi ini adalah pengukuran nilai ekonomi dampak internal maupun eksternal

dari erosi yang dihasilkan lahan budidaya intensif di daerah tangkapan air.

Ekosistem DAS dapat dibagi menjadi tiga sub-sistem, yaitu sub-sistem hulu

waduk, sub-sistem ekologi bendungan-waduk, dan sub-sistem hilir (downstream).

Pendekatan sistem diperlukan karena dalam wilayah Daerah Aliran Sungai

(watershead) tidak saja menyangkut karakteristik hidrologi dan proses fisik,

namun juga menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh perilaku

manusia (McKinney et al., 1999). Karena sub-sistem ekologi bendungan-waduk dan subsistem hulu waduk merupakan satu kesatuan dalam satu sistem

tangkapan air, maka penelitian ini mencoba mendeskripsikan analisis ekonomi

pada sub-sistem daerah hulu waduk yang secara simultan mempengaruhi

(23)

Mengingat fenomena dampak degradasi lahan terkait dengan lingkungan

sosial ekonomi dan pengaturan kebijakan (Héerink, 2001) yang cenderung

berubah, maka dalam kajian menggunakan kerangka kerja dinamik. Pemecahan

problem dinamik perlu dilakukan mengingat pemodelan jangka panjang

mengupayakan keuntungan sosial serta mempertimbangkan eksternalitas spasial

dan temporal. Disamping itu, bisa mendeskripsikan dengan lebih baik dari efek

akumulatif dan ketidakpastian yang akan datang (McKinney et al., 1999).

1.2. Perumusan Masalah

Potensi permasalahan ekonomi di daerah tangkapan air (DTA) digali dari

fenomena hubungan proses fisik dan perilaku manusia dalam sistem. Keputusan

pola tanam merupakan salah satu bentuk implikasi dari hubungan proses fisik

dan perilaku manusia di DTA. Pada sub-sistem hulu waduk terdapat aktivitas

pengelolaan lahan budidaya intensif yang menyebabkan erosi. Dampak erosi

terhadap sedimentasi waduk merupakan eksternalitas negatif (external diseconomies).

Proses erosi mempunyai dampak berkurangnya ketebalan lapisan tanah

(soil depth atau SD) di wilayah sub-sistem hulu waduk. Pada wilayah sub-sistem ekologi bendungan-waduk, erosi menyebabkan sedimentasi sehingga terjadi

pengurangan kapasitas tampunan waduk. Dengan demikian berkurangnya SD

dan kapasitas tampungan waduk ditetapkan sebagai sumberdaya yang terkuras.

Deplesi atau pengurasan sumberdaya yang disebabkan oleh erosi

mengakibatkan biaya on-site erosi dan biaya off-site erosi (Barbier, 1995). Biaya operasi dan pemeliharaan prasarana pengairan di wilayah DAS Kali

Brantas berasal dari retribusi air baku dan subsidi pemerintah (PJT I et al., 2003). Dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dengan

mempertimbangkan kelestarian lingkungan wilayah DAS telah dilakukan kajian

(24)

terkesan bahwa yang bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan wilayah

DAS Kali Brantas adalah pemanfaat air yang berada di wilayah hilir dan

pemerintah. Hal tersebut dirasa kurang tepat mengingat pemanfaat lahan di DTA

sebetulnya mempunyai peran untuk menjaga kelestarian prasarana pengairan,

khususnya yang terkait dengan fasilitas bendungan dan waduk serta sumber air.

Oleh karena itu, penelitian disertasi ini mencoba mengeksplorasi kemungkinan

berbagi tanggungjawab kelestarian DAS Kali Brantas dengan melibatkan

masyarakat pengguna sumberdaya yang berada di wilayah hulu waduk; yakni

melalui aplikasi biaya eksternal dampak erosi.

Pada kondisi yang ada, alokasi air di wilayah DAS Kali Brantas didasarkan

pada perhitungan kuantitas permintaan dan air yang tersedia (PJT I et al., 2003). Permintaan air meliputi untuk irigasi, pembangkit listrik, industri, air minum,

perikanan dan penggelontoran sungai; sedangkan ketersediaan air didasarkan

pada curah hujan, inflow dan perkiraan air yang tersimpan dalam waduk. Sementara itu, alokasi penggunaan lahan di DTA didasarkan pada keputusan

individu rumah tangga petani. Alokasi kedua sumberdaya tersebut (air dan

lahan) terjadi pada unit keputusan yang terpisah atau parsial. Sebagai produsen,

pada umumnya petani tidak mempertimbangkan eksternalitas dari erosi yang

ditimbulkan dari pengelolaan lahan. Sedangkan dari perspektif kepentingan

publik mempertimbangkan eksternalitas lingkungan, yakni eksternalitas erosi

terhadap sedimen waduk. Berdasarkan pendekatan sistem, maka perlu

mengkaji perilaku keputusan pengelolaan lahan dengan menyatukan fungsi DTA

sebagai penyedia air dan sekaligus sebagai penghasil sedimen yang mengurangi

kapasitas simpan waduk. Untuk menangkap fenomena secara normatif tentang

kondisi aktivitas yang dapat menghasilkan manfaat sosial maksimal dengan

kendala ketersediaan sumberdaya di wilayah sistem, maka diaplikasikan analisis

(25)

sebagai dasar penilaian dampak eksternalitas erosi dari pendekatan biaya

kesempatan (opportunity cost); mengingat fungsi air waduk bersifat multiguna. Karena pengaruh erosi terhadap produktivitas tanah dan volume waduk

bersifat akumulasi, maka problem optimasi yang diterapkan adalah pemodelan

jangka panjang atau optimasi dinamik. Bertitik tolak dari akar permasalahan

bahwa pendangkalan waduk berasal dari degradasi lahan di wilayah hulu DAS

Kali Brantas, maka paket pola tanam ditetapkan sebagai variabel kontrol

(decision/control variable). Ketebalan lapisan tanah lahan budidaya intensif di wilayah sub-sistem hulu waduk dan kapasitas tampungan waduk ditetapkan

sebagai state variable.

Erosi sebagai akibat pengelolaan lahan budidaya intensif tidak saja

mempengaruhi pendapatan pada sub-sistem hulu waduk, namun juga

mempengaruhi kelestarian fungsi waduk. Dengan demikian permasalahan

penelitian yang muncul adalah: paket pola tanaman manakah yang mampu

mendatangkan manfaat sosial bersih maksimum serta menimbulkan

konsekwensi sedimen yang minimum. Dengan mempertimbangkan dimensi

waktu, permasalahan yang terkait adalah: bagaimana fenomena optimasi

intertemporal pada wilayah sub-sistem hulu waduk dan ekologi

bendungan-waduk?

Dalam satu Sub-sub DAS mempunyai keragaman unsur kondisi lingkungan

fisik diantaranya adalah: topografi/lereng, keadaan fisik tanah, dan iklim (curah

hujan dan elevasi). Keragaman yang terkait dengan perilaku manusia adalah

berbagai bentuk pengaturan pola tanam. Sehingga dalam mengkaji dampak erosi

mempertimbangkan keragaman kemiringan lahan maupun pola tanam, baik yang

dibentuk dari tanaman tahunan maupun tanaman semusim.

Dalam rangka eksplorasi penetapan pungutan atau retribusi terhadap

(26)

erosi. Dari perspektif ekonomi sumberdaya dan lingkungan, valuasi ekonomi

dalam bentuk nilai uang yang terkait dengan pengelolaan, pengembangan, dan

konservasi sumberdaya alam maupun lingkungan dimaksudkan untuk mengukur

penambahan (gains) dan kehilangan (loss) dari kegunaan lingkungan (Randall, 1981; Pearce and Turner, 1990).

Sementara itu, Chutubtim (2001) menguraikan bahwa untuk mereflesikan

nilai ekonomi dampak suatu proyek secara akurat diperlukan teknik valuasi

ekonomi yang cocok. Hal itu karena apabila terjadi pada pasar yang terdistorsi,

harga pasar tidak mencerminkan secara akurat dari biaya dan manfaat marjinal;

serta menimbulkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan estimasi nilai ekonomi yang relatif lebih akurat pada penggunaan

sumberdaya alam tanpa kehadiran pasar digunakan harga bayangan (shadow price). Karena sumberdaya ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk secara langsung tidak mempunyai pasar, maka dampak erosi lahan pada

daerah tangkapan air diukur berdasarkan harga bayangan.

Dalam kerangka kerja optimasi intertemporal, konsep user cost & costate

merupakan suatu pendekatan untuk mengukur nilai ekonomi yang terkait dengan

state variable (Chiang, 1990; Pearce dan Turner, 1990; Conrad, 1999; Peace (1975) dalam Anderson & Thampapillai (1990). Dengan demikian, maka

permasalahan penelitian yang terkait dengan eksternalitas erosi dari aktivitas

pengelolaan lahan budidaya intensif di wilayah sistem DTA adalah: berapakah

nilai ekonomi dampak eksternal erosi dari pengelolaan paket pola tanam tertentu

terhadap ketebalan lapisan tanah; dan berapakah nilai ekonomi dampak

eksternal erosi dari keseluruhan pola tanam optimal terhadap kapasitas

(27)

Dalam menangkap fenomena yang berkaitan degradasi tanah karena erosi,

Héerink (2001) menggunakan kerangka kerja analitik yang didasarkan pada

empat tingkatan, yaitu:

1. Tingkat makro (tempat pengambilan keputusan ekonomi).

2. Lingkungan sosial-ekonomi rumah tangga petani (tempat munculnya dampak

kebijakan).

3. Tingkat rumah tangga petani (tempat dibuatnya pilihan produksi pertanian

dan keputusan investasi).

4. Tingkat lapangan atau plot (tempat terjadinya proses degradasi tanah).

Dari skema kerangka kerja tersebut terdapat alur hubungan antara variabel

harga produk maupun faktor produksi sebagai dampak kebijakan tingkat makro

yang mempengaruhi keputusan tingkat rumah tangga dalam pemilihan produksi

pertanian dan menyebabkan degradasi lahan pada tingkat lapangan (landscape).

Fenomena yang sama juga dideskripsikan oleh Pakpahan (1991), program

pembangunan pertanian dan kebijakan pemerintah akan membawa konsekwensi

peningkatan erosi tanah. Program pembangunan yang dimaksud meliputi

intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Beberapa kebijakan

diantaranya adalah kebijakan harga, investasi, perdagangan dan regulasi. Lebih

spesifik diuraikan bahwa, kebijakan swasembada beras telah menggeser

beberapa komoditas non-padi ke daerah hulu yang bersifat ekspansi di lahan

marginal yang peruntukannya kurang sesuai untuk tanaman pangan, sehingga

menyebabkan semakin luasnya lahan kritis dan erosi meningkat. Disamping itu,

ekspansi komoditas non-padi ke daerah hulu juga dipengaruhi oleh

perkembang-an harga yperkembang-ang terus meningkat.

Dari sisi kebijakan sektoral, di wilayah kajian telah diterapkan program

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pada pelaksanaan program tersebut

(28)

pangan. Secara teknis tingkat erosi yang ditimbulkannya relatif lebih tinggi,

sehingga akan mempercepat sedimentasi waduk.

Keputusan pengembangan sumberdaya alam untuk kegunaan produktif

dan memelihara produktivitas, menurut Randall (1981) sesuai dengan logika

teori keputusan penanaman modal. Kondisi yang efisiensi untuk penanaman

modal sektor publik secara strategis adalah penamanan modal publik secara

optimal, yaknijika menghasilkan perubahan kesejahteraan positif. Hal itu adalah,

nilai sekarang kekayaan atau nilai sekarang aliran penerimaan yang ditentukan

oleh tambahan discounting penerimaan pada keseluruhan periode. Dengan demikian tingkat bunga riil (r) merupakan variabel penting terhadap hasil prosedur discounting dalam menentukan nilai sekarang dari aliran penerimaan.

Sementara itu, diskon faktor yang tinggi pada periode yang akan datang,

akan mendorong lebih cepatnya eksploitasi sumberdaya alam (Pearce dan

Turner, 1990). Hubungan tersebut melalui transmisi perubahan harga dan

tingkat internal rate of return (IRR). Kebijakan harga output maupun input dapat mendorong usahatani yang dapat menghasilkan IRR yang lebih besar. Apabila

IRR lebih besar dari tingkat bunga umum (interest rate), maka akan terjadi eksploitasi yang terus menerus terhadap lapisan tanah karena meningkatannya

intensitas penanaman dan ekstensifikasi. Dalam konteks ekonomi makro,

variabel ekonomi umum yang relevan dengan sektor pertanian diantaranya

adalah tingkat bunga (Deybe, 2001 dalam Herrink et al., 2001).

Bertitik tolak dari fenomena hubungan antara keputusan di tingkat

rumah-tangga dan perkembangan kondisi di tingkat makro tersebut, maka terdapat

permasalahan penelitian: bagaimanakah perilaku optimalisasi intertemporal

berkaitan dengan perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan pelestarian

lahan kawasan penyangga? Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka

(29)

programming, yakni dengan merubah tingkat harga, tingkat bunga serta pengurangan areal konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif.

Kajian ini diharapkan mampu “membangun kerangka kerja ekonomi

terintegrasi antar sub-sistem pada sistem DTA untuk menganalisis skenario

perubahan variabel ekonomi dan teknis terhadap pengelolaan lahan dan air di

wilayah DAS”. Implikasi yang diharapkan adalah dalam rangka menyusun

rencana perbaikan pengelolaan DAS dimasa yang akan datang, perencana

harus mengetahui hubungan antara perubahan variabel ekonomi dan fisik

dengan perubahan kapasitas tampungan waduk. Disamping itu, dapat

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi biaya eksternal erosi.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan permasalahan di atas,

secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguji model sistem DTA

(Model-DTA) dengan menyatukan sub-sistem hulu waduk dan sub-sistem ekologi

bendungan-waduk sebagai satu unit pengambil keputusan; serta menilai

eksternalitas erosi yang berasal dari pengelolaan pola tanam dengan

memperhatikan beberapa periode. Tujuan khusus penelitian meliputi:

1. Menyusun model integrasi antar sub-sistem di DTA bagian hulu DAS Kali

Brantas.

2. Menentukan pola tanam optimal dari lahan budidaya intensif yang dapat

mengurangi sedimentasi waduk.

3. Mengestimasi nilai ekonomi dampak eksternalitas erosi dari pengelolaan

lahan budidaya terhadap ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan

waduk.

4. Mengevaluasi dampak perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan

pengurangan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif terhadap

(30)

Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengaturan

beban tanggung jawab antar beberapa pihak (stakeholder) dalam rangka memelihara kelestarian DTA.

2. Sebagai salah satu substansi dasar dalam rangka sosialisasi penyadaran

kelestarian lingkungan.

3. Mendapatkan metode valuasi eksternalitas erosi dari kegiatan pengelolaan

sumberdaya di DTA melalui konsep on-site dan off-site cost. 4. Memperkaya khasanah kajian perspektif ekonomi sumberdaya.

5. Dapat melengkapi kajian pengelolaan DAS Brantas yang telah dilakukan oleh

IFPRI (International Food Policy Research Institute), yang lebih menekankan pada pengaturan air dari sisi permintaan (demand side) pada kondisi pasokan (supply) air tingkat tertentu (given).

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Wilayah DAS Kali Brantas terdiri atas: bagian hulu, tengah dan hilir.

Wilayah kajian adalah daerah tangkapan air bagian hulu DAS Kali Brantas.

Sistem daerah tangkapan air Hulu Brantas terdiri atas: (1) sub-sistem hulu

waduk, dan (2) sub-sistem ekologi bendungan-waduk.

Model program dinamik yang dipergunakan adalah bersifat deterministik,

yakni tidak memperhatikan probabilitas yang terkait dengan variabel keputusan

(decision variable). Untuk memaksimumkan kumulatif penerimaan bersih dari satu waktu (periode waktu t) ke waktu yang lain (periode waktu t+1) pada DTA

didasarkan pada asumsi bahwa sub-sistem hulu waduk dan ekologi

bendungan-waduk sebagai satu unit pengambil keputusan.

(31)

tertentu (given). Kuantitas penawaran air tergantung pada pengaturan pola tanam hasil pemecahan problem optimasi; sedangkan kuantitas permintaan

diasumsikan konstan sepanjang horizon waktu (time horizon).

Perumusan masalah optimasi dalam penelitian ini mempunyai

keterbatas-an dalam menketerbatas-angkap fenomena di lapketerbatas-ang. Beberapa kompleksitas fenomena

yang tidak diakomodasikan dalam model analisis ialah:

1. Manfaat fungsi ekologi dari lahan non-budidaya intensif (hutan dan

semak-belukar).

2. Sumber sedimen selain dari erosi lahan.

3. Produktivitas lahan yang dipengaruhi oleh sarana produksi.

4. Keterbatasan ketersediaan tenaga kerja dan kuantitas permintaan pasar

pada setiap komoditas.

5. Keragaman biaya produksi per satuan luas menurut wilayah Sub-sub DAS

dan periode (tahun).

6. Perubahan karakteristik hidrologi karena perubahan vegetasi dan curah

hujan.

7. Keragaman sumbangan lahan per hektar terhadap volume inflow air waduk. 8. Proses erosi yang diawali dari proses pelepasan, pengangkutan hingga

proses pengendapan antar wilayah yang terjadi secara bertahap.

9. Keragaman teknologi yang diterapkan petani menurut dimensi ruang dan

(32)

II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA

DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH

2. 1. Letak dan Kondisi Fisik

Daerah tangkapan air (DTA) Waduk Sutami dan Sengguruh merupakan

bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas. Daerah tersebut

terbentang antara 07o 44’ 20” hingga 08o 17’ 45” Lintang Selatan dan antara 112 o

27’ 30” sampai dengan 112 o 57’ 55” Bujur Timur (SubBRLKT, 1996). Secara

geografis terdiri atas Sub-sub DAS: Bango, Sumber Brantas, Amprong, Lesti,

dan Metro. Batas administratif sebelah Timur berbatasan dengan wilayah

Kabupaten Lumajang dan Kecamatan Ampelgading (Kabupaten Malang); di

sebelah Selatan adalah Kecamatan Ampelgading dan Donomulyo; di sebelah

Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Blitar dan Kecamatan Kalipare

(Kabupaten Malang); di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten

Pasuruan dan Mojokerto. Sedangkan secara geografis, DTA Waduk

Sutami-Sengguruh dikelilingi gugusan gunung. Sebelah timur terbentang pegunungan

Tengger (dengan Puncaknya Gunung Bromo) dan pegunungan Semeru (dengan

puncaknya Gunung Mahameru); wilayah selatan terdapat gugusan Pegunungan

Kendeng Selatan; di bagian Barat terbentang gugusan Gunung Kawi dan Butak;

serta di wilayah Utara terdapat gugusan Gunung Arjuno dan Anjasmoro.

Konfigurasi lapangan DTA Waduk Sutami dan Sengguruh sangat

bervariasi dari datar hingga bergunung dengan kelas kelerengan antara 0%

hingga lebih dari 40%. Di lereng kompleks pegunungan Tengger dan Semeru

terdiri atas topografi: (1) berombak pada ketinggian 850 meter di atas permukaan

laut (m dpl) sampai dengan 1 050 m dpl, (2) berbukit pada ketinggian 1 050

meter – 1 250 m dpl, dan (3) bergunung pada ketinggian lebih dari 1 250 m dpl.

Pada lereng Gunung Kawi terdiri atas konfigurasi bentuk lapangan: (1) berombak

(33)

1 250 m dpl, (3) berbukit pada ketinggian 1 250 – 1 650 m dpl, dan (4)

bergunung-gunung pada ketinggian lebih dari 1 650 m dpl. Di lereng kompleks

Gunung Arjuno terbagi atas bentuk lapangan: (1) berombak pada ketinggian 750

– 1 250 m dpl, (2) bergelombang pada ketinggian 1 250 – 1 650 m dpl, dan (3)

bergunung-gunung pada ketinggian lebih dari 1 650 m dpl.

Waduk Sengguruh terletak di sebelah hulu Waduk Sutami, yaitu yang

membendung Kali Lesti dan Kali Brantas. Hubungan seri dari letak kedua waduk

tersebut dimaksudkan agar Waduk Sengguruh berfungsi melindungi Waduk

Sutami dari sedimentasi. Penurunan tingkat sedimen kurang lebih sebesar 26%,

yaitu dari 6.93 juta m3/th menjadi 1.79 juta m3/th (Socheh, 2002). Apabila Waduk

Sengguruh dalam keadaan tidak beroperasi (penuh sedimen), kenaikan tingkat

sedimen Waduk Sutami meningkat menjadi tiga kali lipat, yakni dari 1.79 juta

m3/th menjadi 5.38 juta m3/th.

2.2. Tataguna Lahan, Erosi dan Hidrologi

Faktor paling utama yang mempengaruhi terjadinya

pengalihan tataguna lahan pada suatu DTA adalah jumlah

penduduk (Sandy, 1973). Perkembangan jumlah penduduk

akan membutuhkan lahan yang semakin meningkat guna

untuk memenuhi pemukiman maupun kebutuhan pangan.

Hal tersebut selaras dengan uraian McKinney

et al

. (1999)

(34)

menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh

perilaku manusia.

Berdasarkan hasil kajian BRLKT (1996a), luas DTA Waduk

Sutami-Sengguruh adalah 177 030 ha yang tersebar di 1 897 unit SPL (Satuan Pengelolaan Lahan). Secara umum, luas lahan budidaya intensif (58%) relatif

seimbang dengan lahan non-budidaya intensif (42%). Jenis penggunaan lahan

yang tergolong dalam non-budidaya intensif adalah pekarangan, kebun, semak

dan hutan. Pada lahan budidaya intensif dijumpai berbagai tanaman tahunan

dan semusim. Pada lahan budidaya intensif terdapat lima (5) jenis tanaman

tahunan (tebu, kopi, coklat, apel dan jeruk), serta terdapat 12 pola tanam yang

terdiri dari kombinasi antar tanaman pangan dan atau tanaman sayuran

(Lampiran 1 hingga 5).

Sebagian besar (

48.55

%) lahan mempunyai kemiringan

<

8% dan terdapat 17.58% dengan kemiringan

45%

(Tabel 1). Khusus untuk lahan non-budidaya intensif, luas

lahan dengan klasifikasi kemiringan V sedikit lebih luas bila

dibandingkan dengan lahan kemiringan I.

Tabel 1. Luas Jenis Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Air Waduk Sutami-Sengguruh Menurut Kemiringan dan Sebaran Sub-Sub DAS

Klasifikasi Non-budidaya intensif Budidaya intensif Total Luas (ha) SPL (unit) Luas (ha) SPL (unit) Luas (ha) %

Kemiringan:

(35)

Total 74 126 845 102 904 1 052 177 030 100

Sub-sub DAS:

Bango 6 719 104 11 764 113 18 483 10.44

Sumber Brantas 18 132 262 26 533 259 44 665 25.23

Amprong 14 990 35 16 082 203 31 072 17.55

Lesti 23 679 280 36 675 325 60 354 34.09

Metro 10 606 164 11 850 152 22 456 12.68

Sumber: olahan data sekunder

Keterangan: SPL = Satuan Pengelolaan Lahan

Disamping itu, pada lahan budidaya intensif sebagian besar (59.66%) merupakan

lahan dengan klasifikasi kemiringan I; serta semakin besar kemiringan luas lahan

semakin berkurang.

Perbedaan yang relatif besar antara luas lahan budidaya intensif dan

non-budidaya intensif terjadi pada Sub-sub DAS Bango, Sumber Brantas dan Lesti.

Disamping itu, Sub-sub DAS Lesti merupakan wilayah yang mempunyai areal

lahan budidaya yang relatif paling luas (34%).

Dalam kaitannya dengan tataguna lahan, perilaku manusia tercermin pada

berbagai macam pemanfaatan lahan dan bentuk pola tanam yang disesuaikan

dengan karakteristik geofisik. Bila ditinjau dari kemampuan tanaman

menghasil-kan erosi, berbagai tanaman yang ada di DTA Waduk Sutami-Sengguruh dapat

dipilah menjadi 3 (tiga) kelompok; yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Tanaman

yang menghasilkan erosi relatif rendah yaitu tanaman tahunan perkebunan dan

buah. Tanaman perkebunan yang relatif dominan di wilayah kajian adalah tebu

dan kopi; sedangkan tanaman buah adalah apel dan jeruk. Tanaman tebu dan

kopi dipilih sebagai aktvitas produksi dalam perumusan model optimasi karena

mempunyai sebaran lahan relatif merata baik menurut kemiringan maupun

Sub-sub DAS. Walaupun apel dan jeruk relatif kurang menyebar, namun komoditas

spesifik lokasi tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan pada sub-sub

(36)

yang terdiri atas tanaman pangan dan sayuran tergolong mempunyai

kemampuan menghasilkan erosi sedang hingga tinggi.

Dalam perumusan model optimasi tidak memasukan keseluruhan variasi

pola tanam riil (Lampiran 1 sampai 5), karena beberapa pola tanam mempunyai

sebaran lahan yang tidak merata ditinjau dari klasifikasi kemiringan lahan

maupun Sub-sub DAS. Dengan demikian untuk mendapatkan luas lahan yang

tersedia dilakukan penggabungan luas areal dari beberapa pola tanam yang

dipertimbangkan. Dasar penggabungan pola tanam adalah potensi kemampuan

menghasilkan erosi. Tanaman pangan yang menghasilkan erosi sedang adalah

padi dan jagung; sedangkan tanaman kacang tanah diklasifikasikan sebagai

penghasil erosi tinggi. Kentang dan wortel sebagai wakil tanaman sayuran

penghasil erosi tinggi.

Dari berbagai klasifikasi kemiringan lahan seperti yang

tertera dalam Lampiran 1 hingga Lampiran 5 selanjutnya

dikelompokan menjadi dua kelas; yaitu klasifikasi I dengan

kemiringan lahan

15%, sedangkan untuk yang lain adalah

kemiringan

>

15%. Hal tersebut didasarkan pada informasi

kualitatif dan hasil olahan data primer, bahwasanya

perbedaan produktivitas tanaman semusim mulai terlihat

pada kemiringan antara

15% dan

>

15%. Sebaran luas

(37)

dipergunakan sebagai dasar penentuan batas ketersediaan

lahan pada perumusan model optimasi.

Dari fungsi kawasan, terdapat indikasi terjadi perubahan fungsi lahan. Hal

itu terjadi pada tanaman apel dan tebu. Pada daerah-daerah tertentu lahan

dengan kemiringan diatas 30% seharusnya masuk dalam kategori fungsi hutan,

namun dalam realita di lapangan lahan tersebut dijadikan kebun apel atau tebu.

Berdasarkan data yang dikumpulkan BRLKT (1996b) telah terjadi perubahan

fungsi lahan untuk tanaman apel yang terjadi pada 9 unit SPL dan tamanan tebu

pada 3 unit SPL. Perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan apel

terjadi di beberapa Sub-sub DAS; yaitu Amprong (3 unit SPL seluas 214 ha);

Bango (1 unit SPL dengan luas 57 ha); dan Sumber Brantas (5 unit SPL seluas

290 ha). Sedangkan untuk tanaman tebu terjadi di Sub-sub DAS Amprong (2

unit SPL dengan luas 45 ha) dan Sub-sub DAS Bango (1 unit SPL seluas 73 ha).

Hasil cek lapangan dari kajian yang dilakukan Tim Peneliti ITS (2002)

didapatkan indikasi bahwa jenis lahan yang berfungsi sebagai hutan mengalami

perubahan (Tabel 2). Pada beberapa kawasan, pengelolaan lahan hutan

diusahakan pola pergiliran tanaman, yaitu yang terdiri atas tanaman pangan dan

sayuran. Pada beberapa kawasan yang lain diusahakan menjadi kebun

hortikultura (apel, sayuran) ataupun kebun tebu.

Tabel 2. Perubahan Fungsi Hutan di Wilayah DAS Brantas Hulu

Sub-DAS Kecamatan Pola Tanam Aktual di Lahan Hutan Amprong Jabung Cabe, bawang, sayuran lain - jagung -

jagung/cabai, bawang, sayuran lain Tebu

Poncokusumo Cabe, bawang, sayuran lain - cabai, bawang, sayuran lain - jagung/cabai, bawang, sayuran lain (Desa Belung) Cabe, bawang, sayuran lain - jagung - jagung/cabai, bawang, sayuran lain (Ds. Belung)

(38)

Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Bango Jabung Tebu

Karangploso Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung, sayuran)

Lesti Poncokusumo Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Sumbermanjing Wetan Tanah kosong tak diolah

Wajak Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Metro Dau Kacang tanah - jagung – jagung

Wagir Kebun campuran, ubikayu + kedele (Desa Petungsewu)

Sumber Brantas

Batu Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung, sayuran)

Bumiaji: Apel dan Kentang - wortel

Sumber: data primer (cek lapangan) dari hasil interpretasi Citra Satelit Landsat 7 ETM tahun 2001 (interpretasi dari Lab. Fisika Tanah)

[image:38.612.124.513.79.233.2]

Sementara itu, beberapa perubahan tataguna lahan di

wilayah lokasi kajian dari hasil wawancara disajikan pada

Tabel 3. Informasi lain yang diperoleh adalah terjadinya

penjarahan hutan secara besa-besaran di seluruh Sub-sub

DAS sejak digulirkannya reformasi, yakni sejak 1997

hingga tahun 2001.

Berdasarkan wawancara dengan key-informan dari seluruh lokasi kajian dapat diinformasikan bahwa penjarahan hutan secara besar-besaran terjadi

antara tahun 1999 hingga 2001; yakni sejak Presiden Abdul Rachman Wahid

menyatakan dalam pidatonya bahwa “hutan dan perkebunan adalah milik rakyat”.

Pernyataan politik tersebut secara meluas mempengaruhi pola pikir dan perilaku

masyarakat dalam pilihan penggunaan lahan. Kondisi tersebut sejalan dengan

hasil kajian Tim Peneliti ITS (2002), bahwa lahan kritis di wilayah DAS Kali

Brantas semakin meningkat yang dipicu oleh era reformasi dan krisi keuangan

yang melanda negara Indonesia.

(39)

Sub-DAS Kecamatan (Desa)

Perubahan tataguna lahan

Amprong Jabung (Kemantren)

a. Konversi lahan tegal menjadi perumahan seluas ± 157 ha terjadi tahun 1982

b. Lahan sawah menjadi dominan komoditas tebu sejak tahun 1992 (pola tanam lama: padi-padi-jagung)

Tumpang (Pulungdowo)

Pada tahun 1990 dibangun dam penahan di pedukuhan nJambu terjadi perubahan peruntukan tegal menjadi sawah, namun secara formal masih tercatat luas baku tegal

Lesti Poncokusumo (Sumberjo)

Pada tahun 2000 – 2001 terdapat penjarahan hutan Negara di Desa Sumberjo ± 50 ha. Lahan tersebut ditanami jagung dan ketela pohon, namun

produksinya kurang berhasil.

Metro Dau (Petungsewu) a. Lahan sawah menjadi kebun jeruk ( 40% dari total sawah desa) sejak tahun 1997, total lahan sawah desa: 33.18 ha.

b. Hutan produksi menjadi lahan tegal sejak 1985; di bawah wilayah kerja KPH Selorejo terdapat program hutan sosial (lahan tetelan) seluas 225 ha yang tersebar di desa Petungsewu, Selorejo dan desa Kucur. Setiap kepala keluarga diberi hak kelola seluas 25 x 75 m2 = 0.19 ha

Sumber Brantas

Bumiaji (Tulungrejo)

a. Lahan tegal tanaman sayuran menjadi kebun apel b. Hutan pelindung alam (yang berada dekat lahan

tegal ) berubah menjadi lahan tanaman sayuran Sumber: Data Primer

Berkaitan dengan erosi, Arsyad (1989) menguraikan faktor-faktor yang

mempengaruhi erosi yang terdiri atas: iklim (i), topografi (r), tumbuh-tumbuhan (vegetasi = v) dan manusia (m). Dari perbagai faktor tersebut lebih lanjut dapat

diklasifikasikan menjadi: (1) faktor yang dapat diubah oleh manusia (seperti

vegetasi, kapasitas infiltrasi dan kesuburan tanah), serta (2) faktor yang tidak

dapat diubah manusia (iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng).

Sementara itu, merujuk hasil kajian Talkurputra

(1979) dan Wastra (1990) dapat diperoleh gambaran

bahwa tataguna lahan dan vegetasi penutup lahan dapat

(40)

(2) rata-rata debit tahunan, serta (c) rasio antara rata-rata

debit tahunan dan luas DAS, (4) koefisien aliran, dan (5)

hidrograf satuan.

Lahan hutan lebat mempunyai pengaruh positif

terhadap fluktuasi debit, artinya semakin besar proporsi

lahan hutan lebat dari suatu wilayah DAS akan menjadikan

semakin kecilnya fluktuasi debit sungai. Dan semakin

besar proporsi lahan kebun dari suatu wilayah DAS akan

mempengaruhi semakin besarnya rata-rata debit tahunan.

Perubahan penutup vegetasi yang lebih terbuka

menyebabkan nilai fluktuasi debit dan koefisien aliran

semakin besar. Disamping itu, perubahan tersebut juga

mengakibatkan debit puncak semakin besar dan waktu

mencapai debit puncak semakin cepat. Kondisi tersebut

menggambarkan kontinyuitas aliran menjadi lebih buruk.

Produksi air yang dihasilkan wilayah DAS secara

empiris dipengaruhi oleh vegetasi hutan, perkebunan, dan

(41)

ketersediaan air permukaan (Bruijnzeel, 1982 dan

Sutterland , 1982 dalam Supriadi, 1997).

Pengukuran laju limpasan permukaan di DTA Waduk Sutami-Sengguruh

telah dilakukan oleh Tim Peneliti PSLH Unibraw (1984). Kajian tersebut

dilakukan pada berbagai tanaman tunggal maupun tumpangsari dengan tanaman

kacang tanah, jagung, ketela pohon, ketela rambat dan kentang. Laju limpasan

sangat bervariasi menurut jenis tanaman, pola tanam dan pengelolaan lahan

maupun menurut Sub-sub DAS. Pengelolaan lahan yang dipertimbangkan

adalah teras.

Bila aliran permukaan dipergunakan untuk mendekati (proksi) sumbangan

lahan terhadap debit air sungai, maka kendala yang dihadapi pada perumusan

model optimasi adalah menentukan tingkat sumbangan lahan terhadap debit

inflow air waduk karena:

1. Pengukuran laju limpasan pada umumnya pada skala plot.

2. Pola tanam yang dipertimbangkan dalam model cukup bervariasi bila ditinjau

dari jenis tanaman (Tabel 2).

Sehingga sumbangan lahan terhadap debit inflow air dalam perumusan model optimasi diasumsikan sama untuk semua pola tanam; dan keragaman variabel

tersebut terjadi menurut Sub-sub DAS.

2.3. Sumberdaya Air

2.3.1. Pola operasi waduk

Pola operasi waduk dan alokasi air di DAS Kali Brantas dimaksudkan

sebagai pedoman pengaturan air pengoperasian waduk untuk memenuhi

berbagai kebutuhan dan pengendali banjir (PERUM Jasa Tirta I, 2002b).

Pedoman tersebut disusun berdasarkan kesepakatan antara pemanfaat dan

(42)

keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur nomor 59/1994, PTPA

berfungsi sebagai pelaksana koordinasi tata pengaturan air di Jawa Timur.

Adapun ketua PTPA adalah Wakil Gubernur dengan aggota yang terdiri atas:

Pemerintah dan Bappeda Propinsi Jawa Timur, tujuh dinas di wilayah propinsi,

PLN dan PERUM Jasa Tirta I (pengelola air waduk). Alternatif pola operasi

waduk didasarkan pada permintaan yang diajukan oleh pengguna dan prakiraan

ketersediaan air dengan kriteria pola basah (keandalan < 35%); pola normal

(keandalan antara 35% - 65%); serta pola basah (keandalan > 65%).

Bila ditinjau dari saat pengisian dan pengosongan

terdapat dua jenis pola, yaitu pola tahunan dan pola harian.

Pola tahunan terjadi bila saat periode pengisian dan

pengosongan terjadi dalam kurun waktu satu tahun; saat

pengisian waduk terjadi antara bulan Desember sampai

Mei (musim penghujan) dan saat pengosongan terjadi

antara bulan Juni hingga Nopember (musim kemarau).

Pada pola harian, saat pengisian dan pengosongan terjadi

dalam kurun waktu satu hari. Waduk Sutami bersifat pola

tahunan sedangkan Waduk Sengguruh adalah pola harian

(PJT I, 2002

a

).

2.3.2. Fluktuasi debit & produksi listrik

Berdasarkan pola normal dengan keandalan 65%, telah tersusun pola

(43)

Rata-rata debit inflow bulanan dari Waduk Sengguruh dipergunakan untuk menduga debit sungai yang berada di wilayah hulu, yakni Kali Bango, Brantas

Hulu, Amprong dan Kali Lesti. Bersama variabel luas wilayah, debit sungai

dipergunakan untuk menduga sumbangan lahan terhadap inflow air waduk (Lampiran 7). Data debit outflow diperlukan sebagai dasar evaluasi alokasi optimum hasil pemecahan model optimasi.

Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Sutami dan Sengguruh merupakan dua diantara sebelas unit kegiatan usaha inti

dari Unit Pembangkitan (UP) Brantas. UP Brantas secara keseluruhan mempunyai 25 unit pembangkit (turbin)

dengan daya total sebesar 274.88 MW yang dapat menyediakan energi listrik 1 200 GWh per tahun. PLTA yang

dikelola UP Brantas tersebar di tujuh daerah tingkat II wilayah Propinsi Jawa Timur.

Dari susunan organisasi, UP Brantas dibawah PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB). UP Brantas berperan sebagai

pengoperasi pembangkit untuk menghasilkan energi listrik, sedangkan harga daya listrik ditetapkan oleh PT PJB

(informasi dari hasil wawancara). PT PJB selain mengelola PLTA juga mengelola Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Produksi daya listrik yang dikelola oleh PT PJB untuk memenuhi permintaan konsumen akhir di setengah wilayah

Pulau Jawa dan keseluruhan wilayah Propinsi Bali. Ditinjau dari penguasaan sumberdaya untuk menghasilkan

output (daya listrik) dan sebaran wilayah konsumen akhir, PT PJB diduga mempunyai kekuatan monopoli.

Implementasi kekuatan monopoli tersebut adalah kemampuan untuk melakukan eksploitasi pasar dalam rangka

memaksimalkan keuntungan melalui pengaturan harga dan kuantitas output-nya.

Tabel 4. Data Teknis dan Batasan Fasilitas Operasi Waduk Sutami dan Sengguruh

Fisik Waduk Sutami Waduk Sengguruh

1972 2003 1988 2003 Data teknis:

Elevasi air banjir/ tertinggi Elevasi air normal Elevasi air terendah Kap. pengisian maksimal Kapasitas pengisian efektif Kapasitas tampungan mati

+ 277.00 m + 272.50 m + 246.00 m 343 x 106 m3 253 x 106 m3 90 x 106 m3

175.61 x 106m3 81.91 x 106 m3 29.49 x 106 m3

+ 292.50 m + 291.40 m - 24.10 x 106 m3 2.70 x 106 m3 -

(44)

Batasan fasilitas operasi: Elevasi operasi maksimal Elevasi operasi minimal Elevasi operasi rata-rata Daya andalan

Debit maksimal turbin Lama beban puncak Batas daya minimal ijin

+ 272.50 m + 260.00 m - 3 x 35 MW 3 x 51.39 m3/det 5 jam -

+ 292.50 m

+ 291.40 m

+ 292.00 m

2 x 14.50 MW

2 x 91.50 m3/det 5 jam 60 % x 14.50 MW

Sumber: PERUM Jasa Tirta (1998b dan 2003)

Pada PLTA Sengguruh terdapat 2 unit pembangkit

atau turbin; dengan kapasitas terpasang setiap turbin

adalah 14 500 kW. Dengan demikian PLTA Sengguruh

mempunyai daya terpasang 2 x 14 500 kW yang

direncanakan beroperasi pada beban puncak selama 5 jam

setiap hari. Daya listrik yang dibangkitkan adalah sebesar

91.02 juta kWh/th. Adapun pada PLTA Sutami mempunyai

3 turbin; sehingga daya terpasang sebesar 3 x 35 MW

yang direncanakan dapat memproduksi daya listrik sebesar

488 juta kWh/th. Rencana besarnya produksi daya listrik

pada setiap PLTA didasarkan pada data teknis waduk dan

batasan fasilitas operasi seperti yang disajikan pada Tabel

(45)

kondisi awal periode dari stok air, dan batas atas maupun

bawah debit operasi PLTA.

Besaran daya listrik yang dibangkitkan setiap turbin dalam kurun waktu

satu jam (kWh) ditentukan oleh: debit pembangkitan (m3/det), tinggi jatuh efektif

(m), gravitasi serta efisiensi turbin dan generator. Tinggi jatuh efektif (Hef)

tergantung pada ketinggian muka air waduk (MAW), ketinggian tail race dan kehilangan tinggi tekan (HL). Besaran MAW dipengaruhi oleh volume air yang

tertampung (storage), sedangkan ketinggian tail race dan HL dipengaruhi oleh debit yang yang dialirkan melalui waduk. Efisiensi turbin dan generator

dipengaruhi oleh output. Dalam Nippon Koei Co, LTD. (1978) disajikan rumus

untuk menduga ketinggian tail race (TWL) dan HL sebagai berikut:

TWL = 0.018 Q + 178.88

(2.1)

HL = 0.02875 (Q/10) + 0.12 (Q/10)2 + 0.00125 (Q/10)3

(2.2)

Variasi atau keragaman TWL, HL dan efisiensi turbin maupun generator

telah diaplikasikan oleh PJT I et al. (2003) pada pendugaan produksi daya dari PLTA dengan pasokan air yang berasal dari tampungan waduk (storage reservoir hydropower plant). Pada PLTA dengan pasokan air yang berasal dari aliran sungai (run-off-river hydropower plant), ketinggian muka air dan efisiensi dianggap konstan.

Dalam rangka penyusunan rencana operasi waduk, pihak PERUM Jasa

Tirta I mengunakan efisiensi turbin-generator pada tingkat tertentu (given) baik pada PLTA di Sengguruh maupun Sutami; yakni sebesar 0.90 (hasil wawancara

(46)

didasarkan tail race (TWL) dengan pengoperasian tiga unit turbin (181.90 m). Pada penentuan debit pembangkitan didasarkan pada debit inflow yang tersedia (natural inflow) dan debit maksimal turbin maupun lama beban puncak. Batas debit maksimal turbin maupun lama beban puncak pada masing-masing PLTA

sebagaimana telah disajikan pada Tabel 4 di atas.

2.4. Erosi DAS Hulu dan Pendangkalan Waduk

Sedimentasi merupakan sebuah proses pengangkutan sedimen hasil erosi

oleh gerakan air permukaan. Proses sedimentasi terdiri atas tiga tah

Gambar

Tabel 3.  Informasi lain yang diperoleh adalah terjadinya
Tabel  5.  Perkembangan Volume Sedimen Waduk Sutami
Tabel 8. Pemanfaatan Lahan yang Diproyeksikan Tanpa dan Dengan Program Manajemen dengan Selang 5 Tahun di DTA Phewa Tal, Nepal, 1980
Gambar 3. Pendekatan Perbaikan Metode Pengukuran Biaya On-site Erosi Tanah (Barbier, 1995)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan senam hamil yaitu untuk memperkuat dan mempertahankan elatisitas otot-otot dinding perut, ligament-ligamen, otot dasar panggul yang berhubungan dengan proses

Hasil penelitian: (1)peran kepemimpinan kepala sekolah di TK FKIP Unsyiah yaitu sebagai seorang manajer, kepala sekolah mampu menjadi seorang pemimpin agar mencapai Visi dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan hubungan korelasi atau sebab-akibat antar tiga variabel, yaitu tingkat inflasi, indeks harga konsumen (IHK),

peramalan data intermiten adalah Exponential Smoothing. Metode tersebut banyak digunakan pada industri karena dianggap cepat, murah, dan menghasilkan peramalan yang

Jika Anda bukan penerima yang dituju, se- tiap penggunaan, ketergantungan pada, referensi, pengungkapan, perubahan atau penyali- nan dan/atau distribusi informasi

Terima kasih atas saran dan kritik yang menambah semangat saya dalam perbaikan Laporan PKL dan seluruh civitas akademik yang ada di Fakultas Perikanan dan Kelautan

Pelaksanaan inventarisasi dan pelaporan penurunan emisi GRK Provinsi DKI Jakarta merupakan tindak lanjut Peraturan Presiden RI No. 71/2011 mengenai