DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
1.
Adrian Sutedi. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan(Jakarta:Raih Asa Sukses,
2.Asih Eka Putri, Paham JKN Jaminan Kesehatan Nasional (CV Komunitas Pejaten Mediatama,2014).
3.Asih Eka Putri dan A.A Oka Mahendra, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-Undangan Jaminan Kesehatan Di Indonesia, (Tangerang Selatan:Martabat, 2014).
4.BPJS Kesehatan, Buku Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan
(Jakarta,BPJS Kesehatan 2015).
5.Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2013).
6.Hadi Setia Tunggal, Tanya-Jawab SJSN & BPJS (Jakarta: Sinar Grafika,2010).
7.Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis(Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2005).
8.Iswi Hariyani dam R.Serfianto. Buku Pintar Pasar Modal. (Jakarta : Visi Media, 2010).
10.Muliaman D Haddad, Buku Saku Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta,Otoritas Jasa Keuangan,2015).
11.Mundiharno,Hasbullah Thabrany, Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional2012-2019 (Jakarta,Dewan Jaminan Sosial Nasional 2012)
12.Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebuah Introduksi (Jakarta,PT RajaGrafindo Persada,2008).
13.Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudkan Amanat Konstitusi.
(Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2011).
B. Peraturan Perundang-Undangan.
Republik Indonesia, Undang –Undang Dasar 1945 setelah perubahan.
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Republik Indonesia, UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang
Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:5/POJK.05/2013
tentang Pengawasan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Republik Indonesia,Nota Kesepahaman Antara Otoritas Jasa Keuangan dan
Dewan Jaminan Sosial Nasional No:PRJ-17/D.01/2013,
No:377/DJSN/XII/2013 Tentang Koordinasi Pengawasan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
B. Jurnal dan Artikel
Agus Darmawan. 2014. ‘’Perfektif Law As An Allocative System Undang-Undang OJK)’’ Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8, no 3 Juli-September 2014,
Bismar Nasution, ‘’Struktur Regulasi Independen Otoritas Jasa Keuangan’’ ,
Seminar tentang Eksistensi dan Tantanagn OJK Dalam Menata Industri
Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi’’
BPJS Kesehatan, Pedoman Administrasi BPJS Kesehatan, Edisi Desember 2013.
Hasbullah Thabrany. 2014 .’’OJK Dan BPJS, Perlu Pengawasan Eksternal’’
M. Febriansyah Putra dkk, 2015. ‘’Pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan
Terhadap Penyelenggaran Jaminan Sosial Bagi Peserta Eks Jamsostek’’
USU Law Journal, Vol.3.No.3 (November 2015).
Naskah Akademik SJSN.
Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa
Keuangan&Persiapan Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Naskah
Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta Februari 2002.
Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor
3,September 2012.
Zulkarnain Sitompul, “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam Menjaga
Stabilitas Sistem Keuangan” (Medan: Makalah disampaikan pada Seminar
tentang KeberadaanOtoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan
perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil,25 November 2014).
C. Skripsi, Tesis dan Disertasi
Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Pengawasan Lembaga
PerbankanSuatu Kajian Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan, Skripsi Sarjana, (Depok:Fakultas Hukum Universitas
D. Website
http://www.jamsosindonesia.com/teropong/subdetail/bpjs-kesehatan_397/definisi-bpjs-kesehatan-_24, (Diakses tanggal 28 Februari 2016).
http://kamusbahasaindonesia.org/wewenang/mirip, (Diakses tanggal 28 Februari
2016).
http://www.depkes.go.id/article/view/13060100016/sosialisasi-jaminan
kesehatan-nasional.html, (Diakses tanggal 29 Februari 2016).
tanggal 9 maret 2016).
tanggal 12 maret 2016).
tanggal 14 Maret 2016).
tanggal 14 Maret 2016).
(Diakses
Maret 2016).
(Diakses pada 19 maret 2016).
maret 2016).
maret 2016).
,
,
(Diakses pada tanggal 29 Maret 2016).
maret 2016).
Maret 2016).
(Diakses pada tanggal 30 Maret 2016).
BAB III
PENGATURAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
A. Latar Belakang Terbentuknya Program Jaminan Kesehatan Nasional
Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh seluruh
bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia. Hak tersebut dicantumkan dalam
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1948 tentang Hak Azasi
Manusia.Setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan
dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan
berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi
janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan
kekurangan nafkah yang berada di luar kekuasaannya.63
Sidang ke-58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang
menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke58
mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang Berdasarkan deklarasi
tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk
mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua
penduduk (universal health coverage).
63
berkelanjutan melalui universal health coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar
mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem
pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak
menuju universal health coverage.Untuk mewujudkan komitmen global dan diatas,pemerintahbertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui JKN bagi kesehatan perorangan.Negara ini didirikan dengan
cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial.Kesejahteraan
yang berkeadilan sosial itu dapat terwujud melalui pengembangan sistem jaminan
sosial.64
Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain
pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran dan pegawai swasta. Masyarakat
miskin dan tidak mampu
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan
menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan
diantaranya adalah melalui PT.
65
64
Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudkan Amanat Konstitusi. (Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2011) , hlm. 11.
65
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Buku Pegangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta, hlm. 9.
pemerintah memberikan jaminan melalui skema
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda). Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Untuk
mengatasi hal itu, pada 2004 dikeluarkan UU SJSN. Undang-Undang ini
menyatakan bahwa program Jaminan Sosial bersifat wajib mencakup seluruh
penduduk yang pencapaiannya dilakukan secara bertahap. Seluruh rakyat wajib
mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program Jaminan
Kesehatan.66
Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut SJSN)
bidang kesehatan pada tahun 2014 merupakan suatu momentum yang sangat
krusial bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini merefleksikan keinginan dari
pemerintah sebagai representasi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat berdasarkan prinsip keadilan sosial. Penyediaan dan pengelolaan
sistem pelayanan kesehatan telah disepakati menjadi kewajiban pokok pemerintah
sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Sistem pelayanan kesehatan telah
diakui sebagai hak setiap warga negara sehingga keberadaannya harus dapat
dimanfaatkan oleh setiap lapisan masyarakat. Perlu dilakukan transformasi secara
menyeluruh dari sistem pelayanan kesehatan untuk mendukung pembentukan
SJSN tersebut.
UU SJSN juga menetapkan Jaminan SosialNasional (JSN) akan
diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS kesehatandan BPJS
ketenagakerjaan.Untuk menjalankan amanat undang-undang tersebut, pemerintah
akan menyelenggarakan program JKNyang akan diselenggarakan oleh BPJS
kesehatan yang implementasinyadimulai 1 Januari 2014.
67
1. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
BantuanIuran.
Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkandalam Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain:
66
Hadi Setia Tunggal, Tanya-Jawab SJSN & BPJS (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 88. 67
2. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang JaminanKesehatan dan
Peta Jalan JKN.68
Kementerian Kesehatan mendukung pelaksanaan program tersebut dengan
memberikan prioritas dalam program jaminan kesehatan dalam rangka
transformasi kesehatan indonesia.Program JKN hadir dalam pelayanan kesehatan
karena perintah Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan perundangan mengatur
dengan rinci tujuan, prinsip, para pelaku dan tata kelola JKN dalam satu kesatuan
sistempenyelenggaraan program jaminan sosial yaitu SJSN. Penetapan hal-hal
tersebut melalui proses penetapan kebijakan publik. Hal ini berbeda dengan
penyelenggaraan program jaminan/asuransi kesehatan privat/komersial. Asuransi
kesehatan komersial berlangsung berdasarkan kesepakatan jual beli antara
perusahaan asuransi dengan pembeli produk asuransi.
Peraturan Perundang-Undangan hanya mengatur hal-hal berkaitan dengan
perizinan usaha perasuransian dan tata cara perjanjian jual-beli. Manfaat, besar
iuran dan tata cara pengelolaan diatur oleh masing-masing perusahaan asuransi.
Perusahaan asuransi dan peserta menegosiasikan hal-hal tersebut dan
melaksanakannya sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan yang tercantum
dalam polis asuransi. Mencermati karakteristik JKN tersebut di atas seluruh
pemangku kepentingan JKN perlu memahami dasar hukum JKN, peraturan
perundangundangan yang terkait JKN, kebijakan pemerintah serta rujukan
68
internasional. Dari pemahaman yang benar diharapkan akan tercipta dukungan
publik secara berkelanjutan dan berorientasi peningkatan kualitas.69
B. Tujuan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Sistem Jaminan Sosial Nasional (nationalsocial security system) adalah sistem penyelenggaraan program negara dan pemerintah untuk memberikan
perlindungan sosial, agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup
yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk
Indonesia. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak
dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan
seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun, maupun karena
gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya.70
Jaminan kesehatandiselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.
JKN
merupakan bagian dari SJSN yang diselenggarakan dengan menggunakan
mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UU SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat
yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.
Naskah Akademik SJSN, hlm. 2. 71
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 19.
Manfaat pemeliharaan kesehatan sebagaimana yang
yang mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif), pelayanan pencegahan penyakit (preventif), pengobatan dan perawatan (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) termasuk obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Pelayanan kesehatan perorangan
tersebut terdiri atas manfaat medis dan manfaat non medis. Klasifikasi pelayanan
didasari atas perbedaan hak peserta karena adanya perbedaan besaran iuran yang
dibayarkan.72
1. Penyuluhan kesehatan perorangan, yaitu penyuluhan mengenai pengelolaan
faktor risiko penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat.
Manfaat pemeliharaan kesehatan yang dimaksud dalam tujuan JKN
adalah:
2. Imunisasi dasarmeliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio dan Campak.
3. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan
tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar
disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
4. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk
mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko
penyakit tertentu.73
72
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 22 dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 20.
73
Beberapa cakupan manfaat medis kesehatan yang dimaksud dalam tujuan
JKN :
1. Manfaat medis
Manfaat medis tidak terikat besaran iuran. Seluruh peserta JKN berhak
atasmanfaat medis yang sama sesuai dengan kebutuhan medisnya.74
a. Fasilitas kesehatan tingkat pertama, terdiri dari:
Manfaat
medis mencakup penyuluhan kesehatan, konsultasi, pemeriksaan penunjang
diagnostik, tindakan medis dan perawatan, transfusi, obat-obatan, bahanmedis
habis pakai, rehabilitasi medis, pelayanan kedokteran forensik serta pelayanan
jenazah.Manfaat medis diberikan secara berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan
non spesialistik diberikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan pelayanan
kesehatan spesialistik dan subspesialistik diberikan di fasilitas kesehatantingkat
lanjutan. JKN membagi dua tingkatan fasilitas kesehatan sebagai berikut:
1) puskesmas atau yang setara;
2) praktik dokter;
3) praktik dokter gigi;
4) klinik pratama atau yang setara;
5) rumah sakit kelas D atau yang setara.
b. Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatanspesialistik
dan sub spesialistik, terdiri dari:
a) klinik utama atau yang setara;
b) rumah sakit umum;
74
c) rumah sakit khusus.
Fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan didukung oleh
fasilitas kesehatan penunjang, yaitu:75
a) laboratorium;
b) instalasi farmasi rumah sakit;
c) apotek;
d) optik;
e) unit transfusi darah (Palang Merah Indonesia).
1. Manfaat non medis – Ruang Rawat Inap
Manfaat non medis terikat besaran iuran. Manfaat non medis meliputi
akomodasi layanan rawat inap dan ambulans.76
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membayar kelas
perawatan peserta sesuai hak peserta. Bila ruang rawat inap yang menjadi haknya Akomodasi layanan rawat inap
terbagi atas tiga kelas ruang perawatan,dari kelas tertinggi ke kelas terendah, yaitu
kelas 1, kelas 2 dan kelas 3.Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang
lebih tinggi dari pada haknya dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti
asuransi kesehatan tambahan atau membayar sendiri selisih antara biaya yang
dijamin olehBPJS kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan
kelasperawatan.Peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan tidak
diperkenankanmemilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.Dalam hal ruang rawat
inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapatdirawat di kelas perawatan
satu tingkat lebih tinggi paling lama tiga hari perawatan.
75
Republik Indonesia, Peraturan BPJS No. 1 Tahun 2014. 76
telah tersedia, pesertawajib menempati ruang rawat inap yang menjadi
haknya.Bila setelah tiga hari ruang rawat inap yang menjadi hak peserta
tidaktersedia maka selisih biaya menjadi tanggung jawab fasilitas
kesehatan.Fasilitas kesehatan dapat merujuk peserta tersebut ke fasilitas
kesehatanyang setara atas persetujuan peserta.77
2. Manfaat Non Medis – Ambulans
Ambulans diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan
kondisi tertentu yang ditentukan oleh BPJS kesehatan.Setiap saat kita sangat
berpotensi mengalami risiko antara lain: dapat terjadi sakit berat, menjadi tua dan
pensiun tidak ada pendapatan-masa hidup bisa panjang. Sementara dukungan
anak/keluarga lain tidak selalu ada dan tidak selalu cukup.Pada umumnya
masyarakat Indonesia masih berpikir praktis dan jangka pendeksehingga belum
ada budaya menabung untuk dapat menanggulangi apabila ada musibah
sakit.Masyarakat kita umumnya belum “insurance minded” terutama dalam asuransi kesehatan. Hal ini mungkin premi asuransi yang ada (komersial) mahal
atau memang belum paham manfaat asuransi. Dengan demikian untuk menjamin
agar semua risiko kesehatan tersebut dapat teratasi tanpa adanyahambatan
finansial maka JKN yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan
sosial yang bersifat nasional, wajib, nirlaba, gotong royong,ekuitas dan bertujuan
agar kesehatan seluruh rakyat Indonesia terjamin merupakan jalan keluar untuk
mengatasi risiko yang mungkin terjadi dalam kehidupan kita.78
77
Asih Eka Putri, Op.Cit., hlm. 61. 78
Pencapaian tujuan JKN akan sangat bergantung pada kepercayaan publik
terhadap kinerja BPJS. Untuk menjamin pengelolaan yang efektif,
efisientransparan dan akuntabilitas, BPJS akan diaudit oleh BPK dan akuntan
publik. Secara internal, DP dan DJSN akan terus memantau dan mengawasi
segala aspek penyelenggaraan JKN oleh BPJS kesehatan. Keluhan peserta, dokter
dan fasilitas kesehatan lainnya harus juga selalu ditampung.Setiap pemangku
kepentingan dapat menyampaikan keluhan atas layanan fasilitas kesehatan yang
tidak memuaskan dan layanan BPJS atau praktik petugas BPJS yang tidak bersih
melalui berbagai saluran pengaduan masyarakat hingga kepada Presiden.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kesehatandengan monitoring dari
DJSN harus menampung seluruh keluhan atau pengaduan yang ada dan
mengkoordinasikan penanganannya. Laporan keuangan harus dipublikasipaling
sedikit dua kali dalam setahun dalam berbagai media cetak dan elektronik agar
bisa diperiksa, diawasi, dan dievaluasi oleh pemangku kepentingan, akademisi,
pengawas korupsi, dan peneliti lainnya. Sebagaimana diatur dalam UU BPJS,
direksi dan komisaris PT. Askes akan mengemban menjadi direksi dan DP BPJS
untuk masa dua tahun. Karena masa jabatan direksi dan Dewan Komisaris PT.
Askes akan segera berakhir, maka penggantian Dewan Direksi dan Komisaris PT.
Askes yang nantinya sebagai pengelola BPJS diharapkan terdiri dari orang-orang
yang memahami dan berkomitmen menjalankan BPJS sebaik-baiknya. Dalam
rangka proses transformasi tersebut, PT. Askes dan koordinasi dengan berbagai
kementrian terkait lainnya, DJSN, OJK serta asosiasi profesi/organisasi fasilitas
Sosialisasi merupakan kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan dari JKN
mengingat tingkat kepesertaan jaminan kesehatan saat ini relatif rendah.
Sosialisasi yang baik akan memberikan pemahaman dan kesadaran kepada peserta
dan pemberi kerja akan hak dan kewajibannya. Dengan pemasaran yang memadai,
kepesertaan JKN yang berbasis asuransi sosial ini dapat mencapai target yang
diharapkan dan pemberi kerja dapat mendapatkan manfaat yang besar pula dari
terlindunginya kesehatan para pekerja. Sosialisasi diperlukan tidak hanya dari
kepesertaan namun juga untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang
terkait untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan baik di pusat, daerah, swasta
maupun unsur masyarakat lainnya.79
C. Prinsip Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan kesehatan yang dirumuskan oleh UU SJSN adalah jaminan
kesehatan yang diselenggarkan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial
dan prinsip ekuitas.80
1. Kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang
tua dan muda dan yang berisiko tinggi dan rendah.
Penjelasan Pasal 19 UU SJSN menyatakan bahwa yang
dimaksud prinsip asuransi sosial antara lain:
2. Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif.
3. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan.
80
4. Bersifat nirlaba.81
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam
memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan
besaran iuran yang telah dibayarkannya. Kesamaan memperoleh pelayanan adalah
kesamaan jangkauan finansial ke pelayanan kesehatan. Prinsip JKN menurut
Pasal4 UU SJSN antara lain:
1. Prinsip kegotong-royongan (risk pooling).Kegotong-royongan adalah upaya bersama agar semua penduduk berkontribusi (membayar iuran/ pajak) agar
terkumpul (pool) dana untuk membiayai pengobatan siapa saja yang sakit. Disinilah fungsi kegotong-royongan formal diwujudkan (karena setiap orang
diwajibkan mengiur/membayar pajak yang jumlahnya ditentukan). Dalam
kegotong-royongan informal yang telah lama berakar, kolega atau kerabat
membantu biaya pengobatan dengan menyumbang seikhlasnya (sukarela).
Mekanisme sukarela ini tidak menjamin kecukupan dana untuk biaya
pengobatan. Dengan mekanisme formal yang disebut risk-pooling,sumbangan berupa iuran wajib atau pajak diperhitungkan agar mencukupi biaya berobat
siapapun yang sakit. Tergantung dari sistem kegotong-royongan yang akan
diterapkan, beberapa negara menerapkan kegotong-royongan di antara
penduduk di suatu daerah, di sektor pekerja yag sama (PNS, pegawai swasta,
petani dan lainnya). Indonesia selama ini memiliki sistem yang terpecah
(terfragmentasi) seperti itu. Namun, UU SJSN dan UU BPJS telah menetapkan bahwa Indonesia akan menuju satu kegotong-royongan nasional
81
dimana iuran dari seluruh penduduk akan dikumpulkan (pool) dalam satu dana amanat yang akan dikelola oleh BPJS kesehatan. Dana amanat ini biaya
pengobatan semua penduduk yang sakit (setelah cakupan universal tercapai)
akandiambil dari satu sumber tanpa harus memperhatikan besaran iuran atau
besaran upah masing-masing pengiur dan tanpa memperhatikan tempat
tinggal pengiur. Yang menjadi pertimbangan penjaminan hanyalah kondisi
medis penduduk. Dengan demikian, akan terjadi keadilan sosial dan
memungkinkan tenaga kesehatan melayani penduduk tanpa diskriminasi
status sosial ekonomi.82
2. Prinsip nirlaba, di dalam prinsip nirlaba pengelolaan dana amanat oleh BPJS
adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.
Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil
pengembangannya akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
peserta.
3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Prinsip - prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana
yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4. Prinsip portabilitas, prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk
memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka
berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
82
Mundiharno,Hasbullah Thabrany, Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional
5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib, kepesertaan wajib dimaksudkan agar
seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun
kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, 83penerapannya tetap
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta
kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja
di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta
secara mandiri, sehingga pada akhirnya SJSN dapat mencakup seluruh
rakyat.84
6. Prinsip dana amanat, dana yang terkumpul dari iuran merupakan dana amanat
yang hanya dibelanjakan/dibelikan layanan kesehatan untuk peserta
(sementara) yang membayar iuran. Pembelian layanan ini sangat dipengaruhi
luasnya manfaat/layanan kesehatan yang dijamin, cara pembayaran ke
fasilitas kesehatan yang memproduksi/menjual layanan dan kemudahan
sistem administrasi. Kelak semua penduduk akan menjadi peserta. Belanja
layanan kesehatan (purchasing of services) harus dilakukan secermat dan sehemat mungkin agar dana amanat mencukupi dan tidak terjadi pemborosan
(optimal resources). Semakin luas (komprehensif) manfaat jaminan kesehatan semakin banyak dana yang dibutuhkan. Untuk efisiensi belanja layanan
kesehatan, cara-cara pembayaran/pembelian layanan kesehatan dari fasilitas
kesehatan publik maupun swasta harus diatur agar tidak terjadi pemborosan
atau belanja layanan yang tidak perlu (moral hazard atau fraud). Dalam konteks ini, UU SJSN telah merumuskan cara-cara pembayaran yang efisien
83
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Op.Cit., hlm.18. 84
(prospektif seperti kapitasi, budget dan berbasis diagnosis) yang bervariasi di berbagai wilayah untuk menggambarkan perbedaan biaya hidup atau harga
barang-barang dan tenaga kesehatan.85
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana diuraikan diatas
maka pengelolaan jaminan kesehatan dalam SJSN adalah sebagai berikut:
1. Pengelolaannya tidak lagi terpisah-pisah menurut tempat tinggal (provinsi
atau kota/kabupaten atau tempat bekerja) melainkan terintegrasi dalam BPJS
kesehatan secara nasional.
2. Pendanaan berbasis asuransi sosial dimana semua penduduk wajib iur.
Namun, penduduk yang miskin dan tidak mampu akan mendapat bantuan
iuran (mekanisme bantuan sosial) dari pemerintah. Ketika penduduk tersebut
tidak lagi miskin maka ia wajib membayar iuran.
3. Layanan kesehatan perorangan yang dijamin adalah semua layanan atas
indikasi medis (sesuai kebutuhan medis) mencakup upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat layanan orang per orang.
4. Fasilitas kesehatan yang memproduksi layanan yang akan dibeli oleh BPJS
adalah faskes milik pemerintah dan/atau swasta. Dengan demikian, semua
sumber daya kesehatan akan digunakan untuk menjamin seluruh penduduk
memiliki akses terhadap layanan kesehatan.
5. Cara belanja (metoda pembayaran) yang efisien agar dana amanat digunakan
secara optimal adalah cara pembayaran prospektif seperti pembayaran
kapitasi untuk rawat jalan primer dan pembayaran Diagnosis Related
85
Group(DRG) yang di Indonesia telahdikenal dengan INA-CBG untuk rawat jalan sekuder (rujukan) dan rawat inap.
6. Dengan pengelolaan oleh satu BPJS, maka sistem administrasi pengumpulan
dana,pembelanjaan, klaim, pelaporan dan lain-lain akan menjadi lebih efisien
dan memudahkan dipahami oleh seluruh peserta dan seluruh pengelola
fasilitas kesehatan.86
D. Mekanisme Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional
1. Kepersertaan
Peserta adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh pemerintah.87
a. Penerima Bantuan Iuran (selanjutnya disebut PBI) kesehatan yaitu
fakir miskin dan orang tidak mampu, dimana iurannya dibayarkan oleh
pemerintah ke BPJS kesehatan dan bukan PBI kesehatan dengan rincian
sebagai berikut:
Peserta dalam program JKN adalah setiap orang termasuk
orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di indonesia yang telah
membayar iuran, meliputi:
1) Peserta PBI jaminan kesehatan meliputi orang yang
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.
2) Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin
dan orang tidak mampu yang terdiri atas:
a) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:
86
Ibid., hlm., 14-15. 87
(1) Pegawai Negeri Sipil (PNS);
(2) anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI);
(3) anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI);
(4) pejabat negara;
(5) pegawai pemerintah non pegawai negeri;
(6) pegawai swasta;
(7) pekerja yang tidak termasuk huruf angka (1) - (6) yang
menerima upah.
b) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:
(1) pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri;
(2) pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima
upah;
(3) pekerja sebagaimana dimaksud angka (1) dan angka (2),
termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia
paling singkat 6 (enam) bulan.
c) Bukan pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
(1) investor;
(2) pemberi kerja;
(3) penerima pensiun;
(4) veteran;
(5) perintis kemerdekaan;
(6) bukan pekerja yang tidak termasuk angka (1)-angka (5)
d) Penerima pensiun terdiri atas:
(1) PNS yang berhenti dengan hak pensiun;
(2) anggota TNI dan anggota POLRI yang berhenti dengan hak
pensiun;
(3) pejabat negara yang berhenti dengan hak pensiun;
(4) penerima pensiun lain;
(5) janda, duda atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
sebagaimana dimaksud pada angka (1)-angka (5) yang
mendapat hak pensiun.88
Kepesertaan bersifat wajib dan mengikat dengan membayar iuran berkala
seumur hidup.89Kepesertaan wajib dilaksanakan secara bertahap hingga
menjangkau seluruh penduduk Indonesia.90Kepesertaan mengacu pada konsep
penduduk dengan mewajibkan warga negara asing yang bekerja paling singkat
enam bulan diIndonesia untuk ikut serta.91
88
BPJS Kesehatan, Buku Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan 2015, hlm. 2. 89
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Bab V. 90
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Bab V. 91
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 1 angka 8.
Kepesertaan berkesinambungan sesuai
prinsip portabilitas dengan memberlakukan program di seluruh wilayah Indonesia
dan menjamin keberlangsungan manfaat bagi peserta dan keluarganya hingga
enam bulan pasca Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selanjutnya, pekerja yang
dan tidak memiliki kemampuan ekonomi tetap menjadi peserta dan iurannya
dibayar oleh pemerintah.92
2. Iuran JKN
Kesinambungan kepesertaan bagi pensiunan dan ahli warisnya akan dapat
dipenuhi dengan melanjutkan pembayaran iuran jaminan kesehatan oleh manfaat
program jaminan pensiun. Setiap peserta yang telah terdaftar di BPJS kesehatan
berhak mendapatkan identitas peserta yang merupakan identitas tunggal yang
berlaku untuk semua program jaminan sosial.Pemutahiran data kepesertaan
menjadi kewajiban peserta untuk melaporkannya kepada BPJS kesehatan.
Iuran JKN adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan dibayarkan secara
teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program
JKN.Ketentuan iuran JKN ini diatur dalam:
a. UU SJSN Pasal 17, 27 dan 28.
b. UU BPJS Pasal 19.
c. Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 Pasal 16, 17 dan 18.Kewajiban
membayar iuran JKN diatur sebagai berikut:
1) setiap peserta wajib membayar iuran;
2) setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan
iuran tersebut kepada BPJS secara berkala;
3) iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dibayar oleh pemerintah, pada tahap pertama iuran yang
92
dibayar oleh pemerintah adalah untuk program jaminan
kesehatan.93
a) besaran iuran dihitung berdasarkan persentase upah/penghasilan
untuk peserta penerima upah atau berdasarkan suatu jumlah
nominal tertentu untuk peserta yang tidak menerima upah (lihat
tabel iuran);
Ketentuan umum mengenai besaran iuran adalah:
b) besarnya iuran yang ditanggung oleh pekerja dan pemberi kerja
ditetapka1. untuk setiap jenis program secara berkala sesuai
dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar
hidup yang layak;
c) iuran tambahan yang dikenakan kepada peserta yang
mengikutsertakan anggota keluarga yang lain, yaitu anak
keempat dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua;
d) iuran JKN bagi anggota keluarga yang lain dibayar oleh peserta:
(1) sebesar 1% (satu persen) dari gaji/upah peserta pekerja
penerima upah per orang per bulan;
(2) sesuai manfaat yang dipilih peserta pekerja bukan penerima
upahdan peserta bukan pekerja.
Ketentuan mengenai tata cara pembayaran iuran JKN adalah sebagai
berikut:
1. Iuran jaminan kesehatan bagi peserta PBI JKN dibayar oleh pemerintah.
93
2. Iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah dibayaroleh
pemberi kerja dan pekerja.
3. Iuran jaminan kesehatan bagi peserta bukan penerima upah dan peserta bukan
pekerja dibayar oleh peserta yang bersangkutan.
4. Pembayaran iuran setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap
bulan kepada BPJS kesehatan.
5. Apabila tanggl 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkanpada
hari kerja berikutnya.
6. Keterlambatan pembayaran iuran jaminan kesehatan dikenakan denda
administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang
tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan, dibayarkanbersamaan
dengan total iuran yang tertunggak.
7. Bila keterlambatan pembayaran iuran lebih dari tiga bulan, penjaminan dapat
dihentikan sementara.
8. Pembayaran iuran jaminan kesehatan dapat dilakukan di awal untuk 3 (tiga)
bulan, 6 (enam) bulan dan 1 (satu tahun).
9. Pengelolaan kelebihan atau kekurangan iuran:
a. BPJS kesehatan menghitung kelebihan/kekurangan iuran
jaminankesehatan sesuai dengan gaji atau upah peserta;
b. dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS
kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan/atau
c. kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkandengan
pembayaran iuran bulan berikutnya.94
Ketidakpuasan atas pelayanan yang diberikan terhadap masyarakat, peserta
yang merasa tidak puas terhadap pelayanan jaminan kesehatan yang diberikan
oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan, maka peserta
dapat menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
dan/atau BPJS kesehatan atau dapat langsung datang ke posko BPJS di kota dan
desa. Ada juga hotline servis BPJS di nomor kontak 500-400.
E. Efektifitas Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Sejak 1 Januari program JKN sebagai salah satu program dalam sistem
Jaminan Sosial Nasional (JSN) pemerintah yang bertujuan mulia mulai
diimplementasikan. Dan sekarang JKN sudah dua tahun telah berjalan, tentunya
dalam proses implementasinya dilakukan perbaikan dan koreksi disana sini guna
program JKN bisa diterima oleh penduduk Indonesia dengan cita rasa kepuasan
yang memuaskan sebagai salah satu indikator mutu layanan yang diselenggarakan
oleh BPJS bidang kesehatan.95
94
Ibid., hlm. 73-74.
Dibalik tujuan program JKN itu ternyata banyak
terdapat kelemahan yang berasal dari penjamin/penyelenggara ( BPJS), provider
(rumah sakit/klinik) bahkan dari peserta JKN itu sendiri. Terdapat beberapa
kelemahan yang membuat program JKN terasa kurang efektif antara lain :
1. Jaminan kesehatan nasional dinilai kurang transparan sehingga rawan obat
palsu
Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Luthfi Mardiansyah menilai program JKN pemerintah kurangtransparan."Masih
tidak jelas siapa pemasok obatnya serta bagaimana penentuannya. Padahal,
transparansi dan keterlibatan semua pemangku penting untuk membuat JKN
jadi program sukses," kata Luthfi saat konferensi pers di Jakarta, Selasa
(20/1). Luthfi berpendapat pemerintah perlu lebih aktif dalam mengajak pihak
swasta untuk menyukseskan program JKN. Selain itu, pemerintah dinilai
perlu menambah alokasi dana kesehatan dan akses kepada pengobatan yang
memadai. Berdasarkan data dari IPMG, pengeluaran layanan kesehatan
pemerintah Indonesia masih terbilang minim, yakni hanya 3,15 persen dari
total Penghasilan Domestik Bruto (PDB).
Negara lainnya mengeluarkan sekitar 6, 3 persen, pengeluaran layanan
kesehatan tersebut sebanyak 40,5 persen dilakukan pemerintah. Sementara,
59,46 persen belanja kesehatan dilakukan swasta. Selain persoalan rendahnya
belanja kesehatan, minimnya sosialiasasi juga dinilai sebagai kekurangan
JKN pemerintah. Sosialisasi ke masyarakat yang minim tapi juga ke penyedia
layanan JKN, banyak pihak sangat berharap banyak dari program JKN.
Pasalnya, sistem jaminan kesehatan tersebut berpengaruh terhadap
peningkatan pasar farmasi. Terutama kebutuhan Indonesia atas obat
berkualitas dan inovatif. Marak obat palsusementara itu, banyak pihak yang
peredaran obat palsu. Perlu sosialisasi lebih gencar agar masyarakat tahu
mana saja obat palsu. Pemerintah sudah melakukan inspeksi ke beberapa
apotek dan masih ditemukan obat palsu.96
Obat palsu tersebut umumnya berupa obat antibiotik dan obat pil biru.
Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada
2014 ditemukan sebanyak 583 kasus obat palsu, dengan total kerugian
ekonomi mencapai Rp27 miliar. Luthfi mengatakan semakin laku obatnya,
semakin banyak versi palsunya. Dari pihaknya di lapangan, tak hanya obat
luar negeri yang dipalsukan tetapi juga obat produksi dalam negeri.
Sementara itu, direktur eksekutif IPMG Parulian Simanjutak mengatakan
pemerintah sebaiknya mempercepat registrasi obat untuk menanggulangi
persoalan tersebut.97
2. Masalah tarif pelayanan kesehatan
Masalah tarif pelayanan kesehatan yang dikenal dalam program ini bernama
paket INA-CBGs. Dimana masih banyak Rumah Sakit (RS)swasta
yangbelum bekerjasama dengan BPJS kesehatan dengan alasan tarif yang
murah dan dapat merugikan RS. "Kemenkes sekarang menyusun perubahan
Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan berkaitan
sinkronisasi kebijakan pada level teknis," ujarnya. Dia melanjutkan masalah
tarif ini juga terkendala dari APBN yang tidak mencukupi. Padahal, banyak
96
Sesuai dengan hasil wawancara Luthfi Mardiansyah, Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG)
permasalahan di daerah dalam hal tarif tipe RS A, B, C, D yang tarifnya
terlalu mahal. "RS tipe A selisihnya besar dengan RS tipe B. RS perlihatkan
seperti tipe A tapi tarif tipe B itu masalah. Makanya ditiinjau terhadap tarif
yang tidak hanya dinaikan tapi singkat selisih yang diratakan serta
disesuaikan antara penyakit dan jenis kelompok penyakit," tuturnya.Dia
mengatakan, masalah lainnya adalah fasilitas kesehatan (faskes) tingkat
pertama, yakni RS, klinik dan puskesmas. Dimana, pihaknya sudah
mendorong agar seluruh Puskesmas dan Klinik itu bisa melayani pendaftaran
peserta JKN BPJS kesehatan.
Sekarang BPJS membuka diri untuk bekerjasama dengan seluruh klinik di
Indonesia.Pemerintah juga mendorong agar BPJS kesehatan bekerjasama
dengan rumah sakit swasta. Kalau rumah sakit swasta ikut kerjasama, maka
itu dapat kurangi antrian seperti yang terjadi di RSCM, RS. Hasan Sadikin
dan lainnya. RS swasta bisa kurang antrian, klinik mulai banyak untuk tutupi
RS pemerintah yang masih banyak masalah.98
3. Masalah minimnya tenaga medis
Melalui berbagai kegiatan dan peristiwa sepanjang tahun 2013, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH kerap
menggaris bawahi masalah terkait kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia kesehatan. Menurut beliau, meskipun secara nasional akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar sudah meningkat dengan
ditandai meningkatnya jumlah pusat layanan seperti puskesmas dan
poskesdes dimasing-masing desa serta mulai diberlakukannya JKN per 1
Januari 2014, namun data statistik Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia menunjukan adanya ketimpangan dalam penyebaran atau distribusi
tenaga terampil kesehatan sesuai jenis dan sifat pekerjaan.Dari data yang ada,
secara nasional, jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100.000
penduduk.
Jumlah dokter spesialis baru mencapai 7,73 dari target 9, dokter umum
tercatat baru mencapai 26,3 dari target 30. Sementara perawat baru mencapai
157,75 dari target 158 dan bidan 43,75 dari target 75 per 100.000 penduduk.
Dengan kondisi seperti ini, tentunya bisa dibayangkan, ketersediaan tenaga
kesehatan di kantong-kantong Daerah Tertinggal Terpencil Perbatasan
(DTTPK) seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Namun demikian
persoalan ini tidaklah berdiri sendiri tetapi terkait erat dengan berbagai faktor
seperti: kondisi geografis, transportasi, infrastruktur serta yang paling dasar
adalah regulasi terkait kuantitas dan kualitas dan pemerataan distribusi tenaga
kesehatan dimaksud.99
4. Adanya potensi fraud
Fraud merupakan suatu tindakan penipuan untukmendapatkan keuntungan
bagi pelaku fraud atau bagi pihak lain100
. Kesehatan Indonesia digemparkan
lagi dengan usul naiknya premi untuk PBI dari sebelumnya Rp 19.250
diakses pada tanggal 19 Maret 2016).
tanggal 29 Maret 2016 tanggal 19 Maret 2016).
(diakses
menjadi Rp 23 ribu. Direktur keuangan dan investasi BPJS kesehatan, Riduan
mengatakan kenaikan premi diharapkan dapat menutupi defisit anggaran
BPJS pada 2014, yang mencapai Rp 6 triliun. Defisit anggaran terjadi akibat
banyaknya orang yang berobat di rumah sakit. Program JKN berkembang
amat pesat sejak diluncurkan awal tahun lalu. Saat ini peserta program itu
sudah mencapai 150 juta jiwa dari sekitar 256 juta penduduk Indonesia.
Diharapkan pada 2019, seluruh penduduk Indonesia akan tercakup oleh
skema ini.
JKN merupakan ikhtiar pemerintah untuk menjamin pemenuhan
kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Melalui program ini, pemerintah berniat
memberi kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat
Indonesia agar hidup sehat, produktif, dan sejahtera.
JKN sejauh ini berhasil meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pada
dimensi aksesibilitas, meski menghadapi persoalan pada dimensi efektif dan
efisien. Belajar dari pengalaman di berbagai negara, memenuhi standar mutu
dimensi efektif dan efisien memang merupakan bagian tersulit dari asuransi
universal. Soalnya, tingkat efektivitas dan efisiensi sangat erat berkaitan dengan
pembiayaan dan standardisasi prosedur layanan kesehatan, dua aspek dalam
pelayanan kesehatan ini yang paling sering dimanipulasi oleh oknum-oknum tak
bertanggung jawab yang terlibat dalam sistem pelayanan, dari petugas
administrasi hingga dokter. Demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,
mereka mengabaikan mutu dan memberikan layanan yang tidak sesuai dengan
sebagai fraud ini di Indonesia bisa terjadi dalam bentuk pemberian obat-obatan
atas indikasi yang tidak jelas manfaatnya, pemeriksaan laboratorium, diagnosis
atas indikasi yang tidak tepat, hingga pembengkakan biaya pengobatan akibat
diagnosis palsu.
Akibatnya, selain tidak dilayani sesuai dengan standar mutu yang ada,
pasien sering menderita kerugian fisik. Misalnya, karena ingin mendapat
pembayaran lebih, rumah sakit atau kalangan profesional di bidang kesehatan
memberikan prosedur pelayanan yang tidak diperlukan atau melakukan tindakan
medis terpisah yang sebenarnya bisa dilakukan secara bersamaan. Ada banyak
contoh ketika fraud dalam pelayanan masyarakat berakibat buruk bagi pasien. Di Chicago, ada dokter spesialis yang melakukan 750 katerisasi jantung yang tidak
diperlukan. Dalam program JKN, biaya dan standar pelayanan dikendalikan
melalui sistem pembayaran kapitasi dan INA CBG's. Kapitasi diberlakukan pada
fasilitas kesehatan tingkat pertama, sedangkan INA CBG's untuk fasilitas
kesehatan tingkat lanjut. INA CBG's memudahkan pengguna layanan kesehatan
karena mereka hanya membayar sesuai dengan kode diagnosis penyakit, bukan
layanan yang diberikan. Adapun pembayaran sistem kapitasi dibayar dimuka oleh
BPJS kepada puskesmas per bulan tanpa menghitung jenis dan jumlah pelayanan
yang diberikan.
Setiap masyarakat yang telah menjadi peserta BPJS kesehatan mempunyai
hak berobat ke puskesmas dan rumah sakit tanpa harus membayar.
Masalahnya, kedua sistem ini belum sempurna benar. Di sana-sini masih ada
prosedur layanan, dari dinas kesehatan yang memotong besaran kapitasi
puskesmas sampai dokter yang melayani pasien tanpa mengikuti indikasi medis.
Jika kita asumsikan potensi fraud sekitar 5 persen, tahun lalu saja ada uang sekitar
Rp 1,8 triliun dari prediksi premi BPJS pada 2014 (sekitar Rp 38,5 triliun) yang
masuk kantong oknum tak bertanggung jawab. Amerika Serikat yang setiap tahun
tercatat 3-10 persen anggaran kesehatannya hilang digerogoti fraud, menggunakan
pendekatan retrospektif untuk mengatasi ulah kriminal ini.
Pendekatan retrospektif merupakan metode deteksi dini percobaan fraud.
Caranya adalah menelusuri Electronic Health Record (EHR) atau rekam medis pasien. Dengan cara ini, mereka berhasil mencegah hingga 80 persen upaya
penipuan dan penyalahgunaan skema jaminan. Di Indonesia, Pusat Kebijakan dan
Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kesehatan Universitas Gadjah Mada
juga melakukan pendekatan retrospektif untuk mendeteksi fraud. PKMK
melakukan audit klinis menggunakan rekam medis. Rekam medis yang diaudit
adalah penyakit dan tindakan yang high cost, high volume, ataupun problem prone
yang terjadi di rumah sakit.Hasil self assessment pada tujuh rumah sakit pemerintah di pulau Jawa menunjukkan memang ada potensi fraud dalam layanan
kesehatan di Indonesia. Modus yang potensi penggunaannya hingga 100 persen
adalah upcoding, yakni diagnosis atau prosedur pelayanan yang diklaim dibuat lebih kompleks dan lebih mahal daripada yang sebenarnya, sehingga nilai klaim
menjadi lebih tinggi ketimbang yang seharusnya.
keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2015 tentang pencegahan
kecurangan alias fraud dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan pada SJSN.
Peraturan ini telah memuat unsur pelaku fraud dan jenis-jenis potensi fraud yang terjadi pada layanan kesehatan primer serta kesehatan rujukan. Namun masih
diperlukan peraturan yang dapat memberi efek jera bagi pelaku fraud, misalnya dengan mencabut izin profesi.Setelah aturan yang komprehensif dan sanksi tegas
diterapkan, pada sisi pelaksana, para petugas BPJS dan penyelenggara fasiltas
layanan kesehatan seharusnya memahami secara baik modus-modus fraud dan cara pencegahannya. Dengan demikian, mereka secara aktif bisa mencegah upaya
manipulasi jaminan kesehatan. Di luar itu, pemerintah perlu mengembangkan dan
terus mengkampanyekan budaya anti fraud. Kemudian demi mendukung upaya-upaya penindakan sebaiknya Kementerian Kesehatan membuat saluran untuk
melaporkan fraud, memanfaatkan electronic medical recordRS untuk mendeteksi
fraud yang terjadi pada fasilitas layanan kesehatan serta menjalin kemitraan dengan penegak hukum untuk menindak pelaku fraud.101
Berbagai masalah terkait JKN tersebut disinyalir terletak pada sistem yang
dianggap belum dipersiapkan dengan baik yaitu terkait dengan sistem sosialisasi,
sistem registrasi, sistem rujukan dan sistem pembiayaan JKN sehingga
berpengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan tenga kesehatan.
Melihat fakta yang terjadi dilapangan sampai saat ini, sepertinya harapan untuk
memberikan kesejahteraan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia semakin jauh
dari angan-angan apabila permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diatasi
dengan baik dan diprediksi dapat memicu munculnya berbagai masalah baru
seperti banyak fasilitas pelayanan kesehatan yang memilih mengundurkan diri
dari keikutsertaannya dalam program JKN ini dan adanya penurunan kualitas
pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sehingga berdampak pada
penurunan kepuasaan dan keselamatan pasien.
Permasalahan lain yang diprediksi dan diperkirakan dapat terjadi yaitu
JKN tidak dapat menjangkau keseluruh lapisan masyarakat Indonesia karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti distribusi penduduk yang tidak merata.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa masyarakat yang tinggal di daerah desa
atau terpencil tidak dapat memperoleh jaminan kesehatan nasional secara layak
karena minimnya dana yang disalurkan ketempat tersebut, terkendala faktor
geografi, minimnya ketersediaan sarana dan prasarana serta kualitas pelayanan
kesehatan yang rendah. Berdasarkan hal tersebut pemerintah harus berupaya
untuk mencari tindakan antisipasi terhadap kemungkinan buruk yang dapat terjadi
dan dengan segera mengatasi masalah-masalah tersebut secara holistik mulai dari
perencanaan sampai ke pelaksanaan sehingga sistem yang bermasalah dapat
diperbaiki dan berjalan dengan baik. Selain itu faktor penting yang perlu
diperhatikan disini adalah kesiapan tenaga kesehatan dalam mendukung
pelaksanaan JKN ini.
Diluncurkannya program JKN ini, sistem dan bentuk pelayanan kesehatan
yang diberikan akan mengalami berbagai perubahan sehingga perlu dipersiapkan
upaya peningkatan kualitas tenaga kesehatan serta faktor pendukung lain seperti
masalah dalam pelaksanaan JKN tersebut apabila dapat dilakukan dengan baik
oleh pemerintah bekerjasama dengan BPJS dan pelayanan kesehatan akan
menciptakan sejarah baru kesehatan Indonesia, dimana seluruh masyarakat
Indonesia dapat meningkat derajat kesehatannya dan mendapatkan pelayanan
kesehatan yang adil dan layak. Sehingga program JKN di Indonesia bukan hanya
harapan semu akan tetapi bukti nyata perjuangan pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatIndonesia. 102
Melihat banyaknya kelemahan- kelemahan yang
terdapat dalam pelaksanaan program JKN diatas maka diharapkan peran semua
pihak yang berkepentingan dalam JKN untuk turut andil untuk meningkatkan
efektifitas program JKN terutama peran pemerintah. Efektivitas program
JKNmasih harus ditingkatkan. Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang
belum puas akan pelayanan dari program tersebut bahkan masih banyak
masyarakat yang belum menerima manfaat dari jaminan tersebut.
BAB IV
WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL BPJS KESEHATAN
A. Program Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, secara tegas menyatakan bahwa BPJS yang dibentuk dengan UU
BPJS adalah badan hukum publik. BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS adalah
BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan.Kedua BPJS tersebut pada dasarnya
mengemban misi negara untuk memenuhi hak konstitusional setiap orang atas
jaminan sosial dengan menyelenggarakan program jaminan yang bertujuan
memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.Penyelenggaraan jamianan sosial yang kuat dan berkelanjutan
merupakan salah satu pilar negara kesejahteraan, disamping pilar lainnya, yaitu
pendidikan bagi semua, lapangan pekerjaan yang terbuka luas dan pertumbuhan
ekonomi yang stabil dan berkeadilan.
Mengingat pentingnya peranan BPJS dalam menyelenggarakan program
jaminan sosial dengan cakupan seluruh penduduk Indonesia, maka UU BPJS
memberikan batasan fungsi, tugas dan wewenang yang jelas kepada BPJS.
Dengan demikian dapat diketahui secara pasti batas-batas tanggung jawabnya dan
sekaligus dapat dijadikan sarana untuk mengukur kinerja kedua BPJS tersebut
secara transparan. UU BPJS menetukan bahwa BPJS kesehatan berfungsi
Jaminan kesehatan menurut UU SJSN diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.103
Dewan pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota, 2 (dua) orang unsur
pemerintah, 2 (dua) orang unsur pekerja, 2 (dua) orang unsur pemberi kerja, 1
(satu) orang unsur tokoh masyarakat. Dewan pengawas tersebut diangkat dan
diberhentikan oleh presiden. Direksi dalam BPJSterdiri atas paling sedikit 5 (lima)
orang anggota yang berasal dari unsur profesional. Direksi sebagaimana dimaksud
diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Dalam melaksanakan pekerjaannya,
dewan pengawas mempunyai fungsi, tugas dan wewenangpelaksanaan tugas BPJS
dengan uraian sebagai berikut:
JKN diselenggarakan oleh BPJS
yang merupakan badan hukum publik milik negara yang bersifat non profit dan
bertanggung jawab kepada presiden. BPJS terdiri atas dewan pengawasdan
direksi.
104
1. Fungsi dewan pengawas adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas BPJS. Dewan pengawas bertugasuntuk:
a. melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja
direksi;
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan
pengembangan dana jaminan sosial oleh direksi;
2016). 104
c. memberikan saran, nasihat dan pertimbangan kepada direksi mengenai
kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS;
d. menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial
sebagai bagian dari laporan BPJS kepada presiden dengan tembusan
kepada DJSN.105
2. Dewan pengawas berwenanguntuk:
a. menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS;
b. mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi;
c. mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS;
d. melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai
penyelenggaraan BPJS;
e. memberikan saran dan rekomendasi kepada presiden mengenai kinerja
direksi.106
3. Fungsi, tugas dan wewenang direksi dalam menyelenggarakan JKN
Direksi BPJS mempunyai fungsi, tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. Direksi berfungsimelaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional
BPJS yang menjamin peserta untuk mendapatkan manfaat sesuai dengan
haknya.107
105
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 22 ayat (2).
106
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 22 ayat (3).
107
b. Direksi bertugasuntuk:
1) melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi;
2) mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan;
3) menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi dewan pengawas untuk
melaksanakan fungsinya. 108
c. Direksi berwenanguntuk:
1) melaksanakan wewenang BPJS;
2) menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata
kerja organisasi dan sistem kepegawaian;
3) menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS termasuk
mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai BPJS serta
menetapkan penghasilan pegawai BPJS;
4) mengusulkan kepada presiden penghasilan bagi dewan pengawas dan
direksi;
5) menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa dalam
rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan prinsip
transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas;
6) melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan dewan
pengawas;
108
7) melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
presiden;
8) melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).109
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
direksi diatur dengan peraturan direksi. Persyaratan untuk menjadi dewan
pengawas dan dewan direksi diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2011. Peraturan
Perundang-Undangan yang memerintahkan dan memberi kewenangan
penyelenggaraan program JKN terbentang luas, mulai dari UUD NRI 1945,
Undang-Undang hingga Peraturan Pemerintah telah menggunangkan banyak
Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum JKN, beberapa
diantaranya adalah :110
1. UUD NRI 1945
Pasal 28H dan Pasal 34 UUD NRI 1945 adalah dasar hukum tertinggi
yangmenjamin hak konstitusional warga negara atas pelayanan kesehatan dan
mewajibkan pemerintah untuk membangun sistem dan tata kelola
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang terintegrasi dengan
penyelenggaraan program jaminan sosial.
109
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pasal 24 ayat (3)
110
2. UU SJSN
UU SJSN menetapkan program JKN sebagai salah satu program
jaminansosial dalam sistem jaminan sosial nasional. Di dalam undang-undang
ini diatur asas, tujuan, prinsip, organisasi dan tata cara penyelenggaraan
program JKN.
3. UU BPJS
UU BPJS adalah peraturan pelaksanaan UU SJSN. UU BPJS
melaksanakanPasal 5 UU SJSN pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara Nomor 007/PUU-III/2005.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tentang PenerimaBantuan Iuran Jaminan
Kesehatan (selanjutnya disebut PP PBIJK)
PP PBIJK adalah peraturanpelaksanaan UU SJSN. PP PBIJK melaksanakan
ketentuan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6) UU SJSN. PP PBIJK
mengatur tata cara pengelolaan subsidi iuran jaminan kesehatan bagi
penerima bantuan iuran. PP PBIJK memuat ketentuan-ketentuan yang
mengatur penetapan kriteria dan tata cara pendataan fakir miskin dan orang
tidak mampu, penetapan penerimabantuan iuran jaminan kesehatan,
pendaftaran penerimabantuan iuran jaminan kesehatan, pendanaan,
pengelolaan data PBI serta peran serta masyarakat.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif (PP Sanksi Administratif)
PP Sanksi administratif kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara
dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah peraturan pelaksanaan UU
BPJS.
6. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentangJaminan Kesehatan
(selanjutnya disebut PERPRES JK)
PERPRES JK adalah peraturan pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS.
PERPRES JK mengatur peserta dan kepesertaan JKN, pendaftaran, iuran dan
tata kelola iuran, manfaat JKN, koordinasi manfaat, penyelenggaraan
pelayanan, fasilitas kesehatan, kendali mutu dan kendali biaya, penanganan
keluhan dan penanganan sengketa.
7. Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentangPerubahan Peraturan
Presiden No. 12 Tahun 2013(PERPRES PERUBAHAN PERPRES JK)
Menjelang penyelenggaraan JKN pada 1 Januari 2014, ditemukan
beberapaketentuan dalam PERPRES JK yang perlu disesuaikan dengan
kebutuhan penyelenggaraan JKN.
8. Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2013
PERPRES ini mengatur jenis pelayanan kesehatan bagi
KementerianPertahanan, TNI dan Kepolisian Negara RepublikIndonesia yang
tidak didanai oleh JKN. Pelayanan kesehatan tersebutdiselenggarakan di
fasilitas kesehatan milik Kementerian Pertahanandan Kepolisian
RepublikIndonesia, serta didanai oleh Anggaran Pendapatan dan
BelanjaNegara (APBN).
9. Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2014 tentang Standar
Fasilitas Kesehatan Tingkat LanjutanDalamPenyelenggaraan Program
Jaminan Kesehatan (selanjutnya disebut Permenkes Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan).
Permenkes Standar Tarif Pelayanan Kesehatan merupakan peraturan
pelaksanaan dari PERPRES JK. Permenkes Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan melaksanakan ketentuanPasal 37 ayat (1) PERPRES JK. Peraturan
ini mencakup satandar tarif bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Standar tarif memuat tarif INA-CBGs,
tarif kapitasi dan tarif non-kapitasi.
Penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh BPJS kesehatan memperlihatkan
harapan baru. Ada beberapa pelayanan yang menunjukkan keunggulan, yaitu
antara lain:
1. Prosedur pendaftaran dengan persyaratan yang lebih mudah.
2. Paket manfaat yang lebih komperhensif, tanpa ada cost sharing dari peserta. 3. Adanya kompensasi berupa uang, pengiriman tenaga kesehatan atau
penyediaan fasilitas kesehatan tertentu yang memberi jaminan kepada peserta
untuk tetap mendapatkan haknya atas layanan kesehatan saat berada di daerah
yang tidak terdapat fasilitas kesehatan.
4. Prosedur klaim yang lebih ringkas.
5. Dimungkinkannya penggunaan obat di luar formularium nasional
berdasarkan persetujuan komite medik dan kepala/direktur rumah sakit,
apabila diperlukan sesuai indikasi medis.
7. Jangka waktu pencairan klaim fasilitas kesehatan yang lebih cepat (15 hari
kerja dibanding sebelumnya yang hingga 1 bulan).111
B. Ruang Lingkup Pengawasan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Oleh Otoritas Jasa Keuangan
Badan hukum publik BPJS mendapat amanah dan kepercayaan dari
pembentuk undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial
dengan tujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau
anggota keluarganya. Oleh karena itu BPJS dituntut untuk melaksanakan amanah
dan kepercayaan tersebut secara akuntabel dan transparan.Untuk itulah perlu
dilakukan pengawasan terhadap BPJS agar dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan asas-asas, prinsip-prinsip, ketentuan peraturan perundang-undangan dan
memberi manfaat yang optimal kepada peserta dan/atau anggota
keluarganya.112Pengawasan adalah proses kegiatan penilaian terhadap BPJS
dengan tujuan agar BPJS melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil
mencapai tujuan yang telah ditetapkan113
Hasil pengawasan dapat dipergunakan oleh BPJS untuk melaksanakan
perbaikan internal dan juga digunakan oleh pemangku kepentingan untuk
mengevaluasi apakah:
2016).
113
1. BPJS telah melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar, tepat dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
2. program jaminan sosial yang diselenggarakan telah mencapai tujuan yang
ditetapkan;
3. pelayanan publik telah dilaksanakan secara berdaya guna, berhasil guna,
memenuhi standar dan berkeadilan.
Pengawasan dilakukan untuk melindungi berbagai pihak dari perlakuan
tidak adil dan tidak sesuai dengan hukum yang berlalu.114Dalam hal pengawasan
OJK pada industri keuangan baik bank maupun nonbank berada di satu atap atau
sistem pengawasan terpadu sehingga sistem pengawas bisa bertukar informasi
dengan mudah. Hal ini dapat menghindari putusnya informasi antara badan
pengawas bank dan nonbank yang telah ada di Indonesia sebelumnya.115
Pengawasan eksternal terhadap BPJS akan dilakukan oleh Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga pengawas independen dimana hal ini sudah
diatur dalam ketentuan Pasal 39 UU BPJS. Dalam penjelasan Pasal 39 UU BPJS
disebutkan bahwa lembaga pengawas independen yang dimaksud BPJS adalah Sistem
pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya
kordinasi antarlembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawas dalam suatu sistem
keuangan banyak tantangan yang harus dihadapi asalah satunya adalah
memastikan koordinasi antar lembaga-lembaga agar terciptanya konsistensi dalam
menentukan suatu kebijakan atau menentukan siapa yang bertanggung jawab atas
suatu kebijakan tersebut.
114
Adler Haymans Manurung., Op,Cit., hlm. 14. 115
OJK.Penunjukan OJK sebagai pengawas independen atas BPJS sejalan pula
dengan tugas pengaturan dan pengawasan OJK sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 6 UU OJK yang menjelaskan bahwa OJK melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan,
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa
keuangan lainnya. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 UU OJK juga disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan lembaga jasa keuangan lainnya adalah pergadaian,
lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan dan lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara
program jaminan sosial, pensiun dan kesejahteraan serta lembaga jasa keuangan
lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pengawasan terhadap BPJS dilakukan oleh OJK untuk mewujudkan
pengelolaan program jaminan sosial yang transparan, berkelanjutan dan mampu
melindungi kepentingan masyarakat. Agar tujuan tersebut tercapai diperlukan
suatu sistem pengawasan yang dapat memberikan indikasi mengenai potensi
kegagalan BPJS secara dini. Indikasi tersebut dapat diperoleh secara akurat
apabila OJK memperoleh informasi yang memadai mengenai kondisi BPJS yang
Ruang lingkup pengawasan OJK terhadap BPJS meliputi:
1. Kesehatan keuangan, yang dimaksud pengawasan terhadap kesehatan
keuangan antara lain dengan menilai kondisi keuangan BPJS dari aspek
likuiditas, solvabilitas, risk based capital, kecukupan cadangan, perimbangan aset dan liabilitas.
2. Penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis, yang dimaksud
pengawasan terhadap penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis
antara lain dengan memastikan manajemen BPJS melakukan evaluasi
terhadap penerapan prinsip-prinsip GCG serta penerapan risk management
termasuk dampak sistemik, quality assurance dan standard operating procedure yang baik termasuk proses bisnis.
3. Pengelolaan dan kinerja investasi, yang dimaksud pengawasan terhadap
pengelolaan kinerja dan investasi antara lain dengan melakukan evaluasi
terhadap penempatan dan pelepasan investasi serta capaian hasil investasi
oleh BPJS.
4. Penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik, yang dimaksud
pengawasan terhadap penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik
antara lain untuk memastikan bahwa BPJS memiliki dan
mengimplementasikan pedoman manajemen risiko dan pengendalian internal
dalam menyelenggarakan jaminan sosial. Sistem manajemen risiko yang
tersebut paling kurang meliputi proses pengidentifikasian, pengukuran dan