• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biosistematika Jenis Jenis Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biosistematika Jenis Jenis Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

BIOSISTEMATIKA JENIS-JENIS INDIGOFERA INDONESIA

PENGHASIL PEWARNA

MUZZAZINAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Biosistematika Jenis-jenis Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Muzzazinah

NIM G363110031

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

(4)

RINGKASAN

MUZZAZINAH. Biosistematika Jenis-Jenis Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna. Dibimbing oleh TATIK CHIKMAWATI, MIEN A RIFAI dan NUNIK SRI ARIYANTI.

Marga Indigofera merupakan salah satu sumber pewarna biru alami untuk batik dan tenun. Jumlah jenis marga ini mencapai 750–780 di dunia. Jenis yang sering dimanfaatkan sebagai sumber pewarna biru oleh pembatik dan penenun di Indonesia, yaitu I. tinctoria. Warna biru yang dihasilkan daun Indigofera berasal dari senyawa glukosida yang disebut indikan. Namun, keberadaan indikan dalam daun hingga kini belum dapat dikenali dari ciri morfologi. Ciri Indigofera perlu digali untuk keperluan praktis mengenali Indigofera yang mengandung indikan dalam jumlah tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memutahirkan data keberagaman jenis Indigofera, memetakan persebaran Indigofera pewarna di Indonesia, menganalisis kuantitas dan kualitas indikan dan indigo dari Indigofera

penghasil pewarna, dan menganalisis keberagaman berdasar ciri morfologi dan marka molekuler pada I. tinctoria.

Indigofera dieksplorasi dari lima pulau yaitu P. Samosir, P Jawa, P. Madura, P. Lombok dan P. Flores. Pengamatan morfologi dilakukan terhadap 216 individu yang dikoleksi dari lima pulau tersebut dan 630 lembar spesimen herbarium koleksi di Herbarium Bogoriense dengan menggunakan ciri morfologi. Keberadaan indikan pada 9 jenis Indigofera diuji dengan percobaan perendaman, kualitas warna diuji dengan ketahanan luntur warna. Plastisitas ciri dianalisis dengan percobaan penanaman di lahan percobaan di Magelang dan Cikabayan IPB. Kuantitas indikan diukur dengan HPLC. Sebaran Indigofera pewarna dipetakan dengan ArcGIS 10.1 Korelasi ciri morfologi dengan kandungan indikan dianalisis dengan SPSS. Keberagaman genetik I. tinctoria dianalisis berdasarkan ciri morfologi dan molekular dengan marka simple sequence repeat (SSR).

Berdasarkan revisi terakhir pada tahun 1984 tercatat 39 jenis dan lima anakjenis Indigofera dijumpai di Asia Tenggara, 17 jenis dan satu anakjenis di Indonesia, dan 16 jenis dan satu anakjenis di P. Jawa. Eksplorasi Indigofera

Indonesia akhir akhir ini (2015) berhasil menemukan kembali dan mengoleksi 9 jenis, termasuk I. longeracemosa yang tercatat dalam Flora of Java (1963) tetapi tidak tercantum dalam revisi Indigofera Asia Tenggara. Laporan dan koleksi I. longeracemosa dari P. Jawa ini menambahkan satu jenis Indigofera menjadi 17 di P. Jawa, 18 di Indonesia, dan 40 jenis di Asia Tenggara.

(5)

Secara morfologi, empat jenis Indigofera pewarna akan mudah diidentifikasi dari ciri permukaan atas maupun bawah daun kering yang berwarna keabu-abuan sampai abu-abu gelap. Indigofera pewarna tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 0–2400 m dpl dengan kondisi tanah subur sampai tanah kering, pH asam sampai basa 6.24–8.9, suhu udara 18 0C sampai 310C, kelembapan rendah sampai tinggi 64–95%, intensitas cahaya tinggi 125–1371Lux dan curah hujan 0–109.4 mm. Jenis yang mampu dan bertahan pada ketinggian 2400 m dpl adalah I. arrecta, sedangkan tiga jenis lainnya lebih mudah dijumpai pada dataran rendah dan mendekati pantai.

Uji penanaman di kebun koleksi di Magelang menunjukkan hasil indikan berbeda nyata antarjenis, dan penanaman pada lahan percobaan di Cikabayan IPB menunjukkan hasil indikan pada I. longeracemosa lebih tinggi dibandingkan ketiga jenis yang lain. Indigofera arrecta memiliki kandungan indikan tertinggi dari hasil eksplorasi lapangan, sedangkan I. longeracemosa memproduksi indikan tertinggi pada hasil tanam di lahan percobaan di Magelang dan Cikabayan. Kandungan indikan tertinggi dicapai ketika tanaman berumur 124 hari. Pada daun muda dan daun tua, kandungan indikan pada I. longeracemosa dan I. suffruticosa lebih tinggi dari I. arrecta dan I. tinctoria. Pada percobaan di Magelang, kandungan indigo tertinggi dihasilkan oleh I. suffruticosa, sedangkan pada hasil tanam di Cikabayan kandungan indigo tertinggi dihasilkan oleh I. longeracemosa. Tanaman berumur 210 hari memproduksi indigo tertinggi dibandingkan tanaman umur 124 dan 144 hari. Dengan demikian, perbedaan kandungan indikan dari lapangan diduga dipengaruhi adanya variasi lingkungan tempat tumbuh Indigofera pewarna, seperti suhu udara, kelembapan, intensitas cahaya, kandungan hara tanah, dan pH tanah.

Penanaman empat jenis Indigofera pewarna di lahan Cikabayan IPB menunjukkan I. longeracemosa memiliki ciri agronomi paling baik, dengan jumlah cabang, diameter tajuk, dan berat basah tertinggi dibandingkan dengan tiga jenis lainnya. Jenis I. longeracemosa juga menghasilkan indikan dan indigo tertinggi. Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian ini I. longeracemosa memiliki potensi sebagai tanaman pewarna yang lebih baik dibandingkan tiga jenis lainnya, termasuk I. tinctoria yang selama ini sudah digunakan oleh pembatik dan penenun di Indonesia.

Analisis morfologi yang dilakukan terhadap I. tinctoria menunjukkan adanya tingkat keserupaan yang rendah (0.31) antara populasi I. tinctoria dari P. Flores, P. Jawa dan P. Madura. Berbeda dengan analisis keberagaman morfologi, tingkat keserupaan genetik berdasar marka SSR jauh lebih tinggi yaitu 0.68, yang berarti I. tinctoria memiliki keberagaman genetik yang rendah (32%) antar populasi. Dengan demikian, perbedaan ciri morfologi yang tampak antara individu I. tinctoria lebih besar disebabkan oleh lokasi tumbuh (lingkungan) yang berbeda. Meskipun topologi dendrogram berbeda, I. tinctoria cenderung mengelompok berdasarkan asal lokasi baik berdasarkan ciri morfologi maupun molekular. Dendrogram berdasarkan marka SSR cenderung kongruen dengan dendrogram berdasarkan ciri morfologi, akan tetapi pembentukan kategori infrajenis dalam I. tinctoria belum bisa dilakukan mengingat plastisitas ciri morfologi jenis ini cukup tinggi. Oleh karena itu, dugaan infrajenis untuk populasi asal P. Flores harus dikuatkan dengan data tambahan.

(6)

SUMMARY

MUZZAZINAH. Biosistematics of Indonesian Dye Producing Indigofera. Supervised by TATIK CHIKMAWATI, MIEN A RIFAI and NUNIK SRI ARIYANTI.

Indigofera L. is one of natural blue dye sources for batik and weaving industries. The genus comprises of 750–780 species distributed in tropical and subtropical regions around the world. As many as 17 Indigofera species found in Indonesia. However, currently only one species, I. tinctoria, is used as blue dye source for batik and weavers in Indonesia. The blue color, called indican, comes from glucoside colorless compound of Indigofera leaves. Unfortunately, until now the existence of indican compound in the leaves could not be recognized through morphological features. For practical purposes, it is important to determine the morphological traits that are correlated with the presence of indican in the leaves. The aims of this study were to update the data of species diversity of Indigofera, to map Indigofera species distribution, to analyze the quantity and quality of indican and indigo of dye producing Indigofera, and to describe the genetic diversity of I. tinctoria based on morphological and molecular markers.

Indigofera had been explored from five islands i.e.: Samosir, Java, Madura, Lombok and Flores islands. Morphological observations were conducted on 216 individuals collected from those islands and 630 herbarium specimens of Herbarium Bogoriense collections, using morphological descriptor of Leguminosae. The existence of indican was analyzed by immersion experiments of leaves, and the color quality was tested using color fastness test. The plasticity of morphological characters was analyzed using field trials in Magelang, Central Java and Cikabayan IPB, West Java. Indican content was measured using HPLC. The correlation between morphological characters and the indican content was analyzed using SPSS. The distribution of dye producing Indigofera was mapped using the ArcGIS 10.1, and the genetic diversity of I. tinctoria was analyzed based on morphological characters and microsatellite marker.

The latest revision of Southeast Asian Indigofera in 1984 recorded 39 species and five subspecies of Indigofera in Southeast Asia, seventeen species and one subspecies in Indonesia, sixteen species and one subspecies in Java. The exploration of Indonesian Indigofera recently (2015) rediscovered and collected nine species include the I. longeracemosa that wasrecorded in Flora of Java (1963) but it is not mentioned in the latest revision of Indifofera in Southeast Asia. This research successfully recorded that the number of Indigofera species are 17 species and one subspecies in Java, 18 species and one subspecies in Indonesia, and 40 species and five subspecies in Southeast Asia.

(7)

temperature, sweat acid and alkaline condition, bright lights drrying and heat suppression.

The ability to produce dye of Indigofera species could be easily identified based on the color of the upper and lower surfaces of dry leaves, which is greyish green to greenish grey. Four dye producing Indigofera species were distributed at lowlands to high altitude (0–2400 m) and grow on fertile soil to dry soil with the pH 6.24–8.9, 18 0C to 31 0C of air temperature, 64–95% of air humidity, 125–1371 Lux of light intensity, and 0–109.4 mm of rainfall. Indigofera arrecta is able to grow at high altitude (2400 m), while the other dye producing Indigofera, I. tinctoria, I. suffruticosa and I. longeracemosa are restricted in the lowlands.

Field experiments in Magelang showed that the indican production of four species were significantly different among species, while planting them in Cikabayan IPB field station showed the indican level of I. longeracemosa was significantly higher than that of the other three species. Compared to the other species collected from the field exploration, I. arrecta produced the highest indican content, whereas I. longeracemosa produced the highest indican content when was planted in Magelang and Cikabayan IPB field stations. The highest indican content was achieved at 124 days after planting, but the indican content tends to decrease by increasing the plant age. In both young and old leaves, the indican content of I. longeracemosa and I. suffruticosa were higher than that of I. arrecta and I. tinctoria. Indigofera suffruticosa had the highest indigo content in the field experiment in Magelang, meanwhile I. longeracemosa had the highest indigo content in Cikabayan, IPB field station. In contrast to Indican content, the indigo content was the highest when the plant was 210 days old. Thus, the differences of indican content in the plant seems to be more influenced by environmental variation such as temperature, humidity, light intensity, soil nutrient content, soil pH, than genetic factor.

The four dye producing species of Indigofera that were planted in the field at Cikabayan showed that I. longeracemosa has better agronomic traits than the three other species, it has the highest number of branches, widest crown diameter, and the highest wet weight. In addition it produced the highest quantity of indican and indigo. According to this research, the species of I. longeracemosa is more potential as a dye plant compared to three other species including I. tinctoria, which has already been used for batik and weavers.

Indigofera tinctoria demonstrated a low level of morphological similarity (0.31) among its populations collected from all locations. In contrast to morphological analysis, among I. tinctoria individuals showed much higher similarity on SSR characters (0.68), which means it exhibits lower genetic diversity among populations (32%). Thus, the morphological differences among individuals of I. tinctoria seems due to the differences of their original growing location (environment). Despite of the different tree topologies, I. tinctoria populations grouped based on their locations of origin. Dendrogram constructed based on SSR markers tends to be congruent with the dendrogram based on morphological characteristics. Thus, the formation of infraspecific category within I. tinctoria

could not be inferenced yet considering the high plasticity of its morphological characters.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Progam Studi Biologi Tumbuhan

BIOSISTEMATIKA JENIS-JENIS INDIGOFERA INDONESIA

PENGHASIL PEWARNA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Hamim, MSi

Staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA IPB Dr Rugayah, MSc

Peneliti Herbarium Bogoriense LIPI

Penguji pada Sidang Promosi Terbuka:

Dr Ir Hamim, MSi

Staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA IPB Dr Rugayah, MSc

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Tumbuhan Pewarna Alami, dengan judul Biosistematika Jenis-jenis Indigofera

Indonesia Penghasil Pewarna.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi, Prof Dr Mien A Rifai, dan Dr Nunik Sri Ariyanti, MSi selaku pembimbing; pihak Universitas Sebelas Maret Solo yang telah memberi kesempatan untuk menempuh program doktoral; Dikti untuk biasiswa pendidikan melalui BPPS selama empat tahun menempuh studi dan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai sebagian penelitian ini melalui hibah PUPT 2013-1016. Penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Anis Herliyani Mahsunaha, selaku penanggungjawab Laboratorium Bioteknologi Puspitek Serpong beserta stafnya atas kerjasamanya; Dr Joenie Setijo Rahajoe, Kepala Herbarium Bogoriense yang telah mengijinkan memeriksa koleksi dan diskusi yang membukakan wawasan baru; Dra Mulyati Rahayu, Kepala Museum Etnobotani atas fasilitas yang disediakan; Ibu Yustina Neing, Ketua Sanggar Tenun Blinan Sina di Desa Kojawair, Kec. Hewakloang, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur; serta Bapak Widodo dari Tom Batik di Desa Banaran, Kec. Galur, Kab. Kulon progo, DIY; Bapak Ahmad Rizky dan keluarga dari Batik Jawa Timur di Pamekasan; Ibu T Retno A dari Kerajinan Batik Tulis Tengah Sawah di Desa Lorok, Kec. Donorojo, Kab. Pacitan, Jawa Timur, yang telah membantu selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih tak terhingga disampaikan pula kepada seluruh keluarga besar Ali Muchtar, Bapak/Ibu Purwo Sugiharta, dan Suami (Sugiyanta SH) atas doa dan kasih sayangnya; Teman-teman Angkatan 2011 Program Studi Biologi Tumbuhan, Zoologi dan Mikrobiologi yang telah menjadi teman diskusi; Teman-teman Angkatan 2010 Biologi Tumbuhan serta adik-adik di Lab. Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB atas diskusi ilmiahnya; Bapak Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNS yang selalu menginspirasi; Keluarga Bapak Muslim di Medan atas bantuan sampling di P. Samosir; Suster Darmini, pertemuan yang tak terduga dan saya meyakini telah diatur Allah SWT untuk menunjukkan jalan saat eksplorasi di P. Flores; dan seluruh sahabat yang telah membantu penelitian ini yang tidak disebutkan.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan taksonomi tumbuhan, khususnya tanaman pewarna di Indonesia.

Bogor, Agustus 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

2.3 Senyawa Metabolit Sekunder dalam Tumbuhan 2.3.1 Terpenoid

2.4.1 Tumbuhan Penghasil Pewarna 11

2.4.2 Sejarah Pewarna Indigo 14

2.5 Penggunaan Data Molekuler 16

3 METODE 17

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 17

3.2 Prosedur Penelitian 17

3.2.1 Pemutahiran Data Keberagaman dan Sebaran

Indigofera Indonesia 3.2.1.2 Sebaran Indigofera Indonesia 19 3.2.2 Analisis Indigofera Penghasil Pewarna 19

3.2.2.1Penapisan Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna

19 3.2.2.2Analisis Keberagaman dan Keserupaan

Morfologi Indigofera Penghasil Pewarna

Indonesia 21

3.2.2.3Pengujian Kualitas Warna, Kuantitas Indikan

dan Indigo pada Indigofera 21

3.2.3 Analisis Keberagaman Genetik I. tinctoria Berdasarkan Ciri Morfologi dan Marka SSR

3.2.3.1 Bahan dan Prosedur Pengamatan Morfologi

I. tinctoria

3.2.3.2 Bahan dan prosedur Pengamatan Molekuler

(16)

4.1 Pemutahiran Data, Informasi Keberagaman dan Sebaran

Indigofera Indonesia

34

4.2 Indigofera Penghasil Pewarna 46

4.2.1 Penapisan dan Penanda Morfologi Indigofera Penghasil

Pewarna 46

4.2.2 Keberagaman Morfologi Indigofera Pewarna 57 4.2.2.1 Deskripsi Indigofera Pewarna 57 4.2.2.2 Keserupaan Indigofera Pewarna 66 4.2.3 Kualitas Warna, Kuantitas Indikan dan Indigo pada

Indigofera 68

4.2.3.1 Ketahanan Luntur Warna 68

4.2.3.2 Kuantitas Indikan Dan Indigo pada

Indigofera dari Lapangan dan Kebun Koleksi di Magelang

70 4.2.3.3 Kuantitas Indikan dan Indigo Pada Umur

Tanam dan Tingkat Perkembangan Daun Berbeda 75 4.2.3.4 Kuantitas Indikan Asal Lokasi Berbeda dari

Indigofera Pewarna 79

4.2.4 Keberagaman Ciri Agronomi pada Indigofera Pewarna 83 4.3 Keberagaman Morfologi dan Genetik I. tinctoria 86 4.3.1 Keberagaman dan Keserupaan Morfologi 86 4.3.2 Keberagaman I. tinctoria dalam dan Antarpopulasi 90 4.3.3 Keberagaman Genetik I. tinctoria Berdasarkan Marka SSR 94

4.3.4 Struktur Populasi I. tinctoria 97

4.4 Sintesis Biosistematika Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna 98

5 SIMPULAN DAN SARAN 102

6 DAFTAR PUSTAKA 104

7 LAMPIRAN 117

(17)

DAFTAR TABEL

3.1 Sampel pengamatan morfologi dan pengujian keberadaan indikan

secara kualitatif pada sembilan jenis Indigofera 19 3.2 Jenis kain uji (helai 1) dan pasangannya (helai 2) 23 3.3 Primer SSR yang digunakan dalam amplifikasi DNA I.tinctoria 31

4.1 Jenis Indigofera Indonesia 34

4.2 Ciri indikator adanya indikan pada sembilan jenis Indigofera 51 4.3 Ciri diagnostik sembilan jenis Indigofera 54 4.4 Koefisien korelasi Pearson untuk 11 ciri morfologi pada Indigofera

penghasil Pewarna 55

4.5 Nilai perubahan warna dan penodaan warna pada uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian 400C pada empat jenis Indigofera 69 4.6 Nilai perubahan warna dan penodaan warna pada uji ketahanan

luntur warna terhadap keringat pada empat jenis Indigofera 69 4.7 Nilai perubahan warna dan penodaan warna pada uji ketahanan

luntur warna terhadap penekanan panas pada empat jenis Indigofera 70 4.8 Kandungan C, N, mikronutrien (Fe, Zn, Mn, Cu) pada 30 lokasi

pengambilan sampel Indigofera 82

4.9 Ciri agronomi pada empat jenis Indigofera penghasil pewarna yang

ditanam pada lahan percobaan Cikabayan, Faperta IPB 84 4.10 Komponen pemuatan dari analisis komponen utama individu I.

tinctoria dari P. Jawa, P. Madura, dan P. Flores yang dievaluasi

dengan 28 ciri morfologi 91

4.11 Indikator keberagaman populasi I. tinctoria berdasar ciri morfologi 93 4.12 Profil pita hasil amplifikasi genom I. tinctoria dengan 15 primer

SSR 94

4.13 Indikator keberagaman genetik I. tinctoria pada 14 populasi asal P.

(18)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Bagan alur penelitian 5

2.1 Oksidasi indol pada tumbuhan tingkat tinggi ( E1=Indole oxygenase, E2 = Indole oxidase; E3 = Indole 2, 3-dioxygenase; E4 = Indikan synthase; E5 = Indoksil-UDPG-glucosyltransferase; E6 = Formylase; E7 = Aldehyde oxidase; S = reaksi spontan, P = jaringan atau organ tanaman; GT? = Glucosyltransferase, belum teridentifikasi; GLU? =

Glucosidase, belum teridentifikasi 12

2.2 Struktur dasar pewarna nabati yang tidak termasuk golongan pigmen

(Lemmens et al. 1992) 13

2.3 Jalur perdagangan indigo dari India ke Eropa melalui Indonesia

(Byrne 2006) 15

2.4 Jejak pabrik indigo di Jawa pada masa tanam paksa. A. Peta lokasi pabrik indigo di desa Bumi Segoro Kabupaten Magelang Jawa Tengah (panah); B. Bekas pondasi pabrik indigo; C. Pasta indigo bentuk blok yang diekspor ke Eropa (Sumber: Kwan Hwie Liong, Komunikasi

pribadi, 2014) 15

3.1 Peta lokasi pengambilan sampel Indigofera. = lokasi pengambilan

sampel 17

3.2 Perendaman daun dan ranting selama 24–48 jam untuk mengamati keberadaan indikan. A1. Air rendaman berwarna hijau dan berbuih; A2. Warna hijau sebagai indikator adanya indikan; A3. Air rendaman berwarna biru setelah dilakukan aerasi; A4. Endapan indigo (panah) setelah 24 jam dari aerasi; B1. Air rendaman tidak berwarna, tidak berbuih; B2. Warna bening indikator tidak adanya indikan; B3. Air rendaman yang semula kekuningan tidak terjadi perubahan setelah aerasi; B4. Warna rendaman daun dan ranting yang tidak

menghasilkan endapan indigo 20

3.3 Proses perendaman daun dan ranting Indigofera dalam pembentukan pasta indigo dari bahan daun Indigofera. A. Ranting dan daun dicacah; B. Ranting dan daun direndam dalam ember; C. Air rendaman setelah 10 jam berwarna hijau tua, D. Air rendaman dikebur; E. Hasil kebur; F. Larutan yang telah diinkubasi 24 jam; G. Ekstrak (endapan) yang selanjutnya disebut pasta indigo ditiriskan selama 3 hari; H. Pasta

indigo siap digunakan sebagai pewarna 21

3.4 Proses pewarnaan kain dengan pasta indigo. Pencampuran bahan-bahan A. tape singkong; B. molase; C. pasta indigo; D. larutan kapur aktif; E. Ramuan bahan pencelup; F. Ramuan setelah 24 jam inkubasi; G. Kain yang sudah dibasahi, H. Proses pencelupan 1; I. Kain dibilas dengan air bersih selanjutnya dikeringanginkan selama 10 menit; J. Setelah pencelupan ke 20 kali kain direndam dalam asam cuka 22 3.5 Koleksi hidup sembilan jenis Indigofera hasil eksplorasi lapangan. A.

Bedeng semaian biji; B. Biji viabel; C. Semaian biji dalam plastik polibag semai; D. Bedeng penanaman; E. Tanaman usia 2 bulan; F. Tanaman koleksi usia 1 bulan di lahan tanam; G. Tanaman koleksi

(19)

3.6 Koleksi hidup empat jenis Indigofera pewarna di lahan percobaan Cikabayan. A. Persemaian bibit; B. Lahan tanam; C. Tanaman usia 3 bulan; D. Tanaman usia 4 bulan; E. Pemangkasan untuk diukur kandungan indikan dan indigo; F. Air rendaman daun dan ranting; G. Serbuk daun untuk diukur kandungan indikan; H. Alat sentrifus; I.

Pasta indigo 30

4.1 Morfologi I. longeracemosa. A. Perawakan; B. Perbungaan tegak; C. Warna batang merah; D. Pertumbuhan batang ujung zig-zag; E. Tandan buah tegak, bentuk buah lurus menyelinder 35 4.2 Perawakan Indigofera. A. Pohon (I. zollingeriana); B. Perdu

(I. tinctoria); C. Herba (I. trifoliata) 37

4.3 Variasi ukuran dan bentuk daun penumpu pada Indigofera. A,B, E–G. Menyegitiga memanjang (A. I. arrecta, B. I. galegoides; E. I. 4.5 Bangun daun. A. Anak daun terminal (kiri) dan B. Anak daun lateral

(kanan). 1= I trifoliata; 2= I. hirsuta; 3= I. longeracemosa; 4= I. tinctoria; 5= I. suffruticosa; 6= I. arrecta; 7= I. galegoides; 8= I. zollingeriana

39 4.6 Perbungaan Indigofera. A & E. Kedudukan perbungaan membentuk

sudut kurang dari 45o (A. I.arrecta; E. I. suffruticosa); B–D, F–H. Perbungaan membentuk sudut 90o dengan batang (B. I. galegoides; C. I. hirsuta; D. I. longeracemosa; F. I. tinctoria;H. I. zollingeriana); G. Perbungaan sangat pendek, seperti melekat (G. I. trifoliata) 40 4.7 Bentuk bunga jenis-jenis Indigofera:A. I arrecta , B.I.galegoides, C.

I.hirsuta; D. I. longeracemosa; E. I.suffruticosa; F. I.tinctoria; G.

I.trifoliata; H. I.zollingeriana 41

4.8 Keberagaman bentuk daun kelopak bunga Indigofera. A,B,E–G. Cuping berlekatan (A. I arrecta; B.I.galegoides; E. I. longeracemosa; F. I.suffruticosa; G. I.tinctoria); C,D,H. Cuping menyegitiga memanjang berambut panjang ( C. I.hirsuta; D. I. linifolia; H. I. trifoliata); I. Cuping berlekatan (I. I.zollingeriana) 42 4.9 Variasi tandan dan bentuk polong pada Indigofera. A–C, E–G.

(20)

(I. trifoliata); 6=polong melengkung pada sepertiga dibagian ujung (I. tinctoria); 7=Ujung polong berparuh (I. galegoides)

44 Warna biru (22E5) dihasilkan oleh I. arrecta; 7= Warna biru keabu-abuan (22E6) oleh I. longeracemosa; 8= biru keabu-abuan (21E6, 22E6) sampai biru gelap (22F5, 22F7, 22F8); I. suffruticosa; dan 9= warna biru gelap (22F5, 22F7, 22F8) dihasilkan oleh pewarnaan I. 4.18 Warna daun kering Indigofera terindikasi tidak mengandung indikan

dan mengandung indikan. A–E. Tidak mengandung indikan (A. I.

Permukaan batang beralur berwarna cokelat; D. Perbungaan; E. Buah;

F. Biji 58

4.20 Morfologi I. longeracemosa. A. Perawakan; B. Percabangan ranting; C. Tandan bunga; D. Bunga; E. Ujung batang; F. Buah; G. Biji 60 4.21 Morfologi I.suffruticosa. A. Perawakan; B. Percabangan; C.

Perbungaan; D. Buah; E. Biji 62

4.22 Morfologi I. tinctoria. A. Perawakan; B. Percabangan; C. Buah; D.

Perbungaan; E. Biji 65

4.23 Dendrogram empat jenis Indigofera penghasil pewarna berdasarkan 38 ciri morfologi yang dibangun dengan indek keserupaan SM dan

metode UPGMA 67

4.24 Kondisi lingkungan di kebun percobaan di Magelang. A. Rerata suhu harian (0C); B. Rerata kelembaban udara (%); C. Rerata curah hujan

(21)

4.25 Kandungan indikan empat jenis Indigofera hasil eksplorasi lapangan dan tanam pada lahan percobaan di Magelang. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku. = Kandungan indikan pada Indigofera hasil eksplorasi lapangan; = Kandungan indikan

pada Indigofera hasil tanam di Magelang 72

4.26 Kandungan rerata indikan pada empat jenis Indigofera selama masa tanam 210 hari. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan

galat baku 73

4.27 Kandungan indigo empat jenis Indigofera hasil tanam pada lahan percobaan di Magelang dan Cikabayan. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku. = Kandungan indigo hasil tanam di kebun koleksi Magelang; = Kandungan indigo hasil

tanam di kebun koleksi Cikabayan IPB 74

4.28 Kondisi lingkungan di lahan tanam kebun percobaan Cikabayan IPB. A. Suhu udara (oC); B. Kelembapan udara (%); C. Curah hujan (mm)

selama satu tahun 75

4.29 Kandungan indikan empat jenis Indigofera pada umur tanam berbeda 124 hari, 144 hari dan 210 hari. = I. arrecta; = I. longeracemosa; = I. suffruticosa; = I. tinctoria

77 4.30 Kandungan indigo empat jenis Indigofera pewarna pada tingkat umur

berbeda. = I. arrecta; = I. longeracemosa; = I. suffruticosa; = I. tinctoria

77 4.31 Kandungan indikan pada tingkat perkembangan daun pada empat

jenis Indigofera pewarna. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku. = Kandungan indikan pada perkembangan daun muda; = Kandungan indikan pada

perkembangan daun tua 78

4.32 Kandungan indigo pada tingkat perkembangan daun berbeda pada empat jenis Indigofera pewarna. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku. = Kandungan indigo pada perkembangan

daun muda; = Kandungan indigo pada perkembangan daun tua 79 4.33 Kandungan indikan jenis I. arrecta pada empat lokasi berbeda. Garis

vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku 79 4.34 Kadungan indikan jenis I.suffruticosa pada tujuhlokasi pengambilan

sampel. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku 80 4.35 Kandungan indikan jenis I.tinctoria dari 17 wilayah yang berbeda.

Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku 81 4.36 Tinggi tanaman empat jenis Indigofera selama 180 hari. =I.arrecta;

= I. longeracemosa; = I. suffruticosa; = I. tinctoria

83 4.37 Berat basah daun dan ranting pada empat jenis Indigofera setelah di

tanam pada lahan percobaan Cikabayan Faperta IPB

85 4.38 Respon Indigofera terhadap curah hujan rendah dan suhu udara tinggi

pada musim kemarau (Juli–September 2015). A. I. longeracemosa; B.

(22)

4.40 Dendrogram 74 koleksi I. tinctoria berdasarkan karakter morfologi yang dibangun dengan indek keserupaan SM dan metode UPGMA

88 4.41 Proyeksi 3 dimensi Principle Componen Analysis dari 74 lokasi tom

jawa berdasar 28 karakter morfologi. = Sumenep, = Banten, =Cirebon, =Sampang, =Bangkalan, =Pamekasan, =Bantul, =Kulon Progo, =Tuban, = Wairklei, = Waioti, = Wairbleler; = Gunung Kidul

90 4.42 Persentase keberagaman dalam dan antarpopulasi pada I. tinctoria 92 4.43 Profil pita hasil amplifikasi DNA genom I. tinctoria dari empat pulau

di Indonesia dengan primer A1 dan suhu annealing 45–51 oC. M=

Marker DNA 10.000 bp; 89= Pakhandangan; 91= Andulang; 92a˗b= Gapura; 21a˗c= Burneh; 22a˗c= HPK; 23a˗c= Jukporong; 26a˗c= Jenma; 27a˗c= Tlanakan; 31a˗c= Kerek; 40a˗c= Pantai Sadeng;

44a˗c= KulonProgo; 45a˗c= Stadion; 51a˗c= Bambanglipuro; 60a˗c= Piyungan; 52a˗c= Babatan; 53a˗c= Kajawenan; 55a˗c= Karangantu; 064= Wairklei; 065a˗c= Kotauning; 068a˗c= Naiora; 069a˗c= Luah; 073a˗c= Wairbleler

95 4.44 Dendrogram pengelompokan 63 individu I. tinctoria berdasar SSR

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nama jenis, nomor koleksi dan asal koleksi Indigofera hasil

eksplorasi yang diamati 117

2 Ciri morfologi sifat ciri dan kode skoring untuk analisis

keberagaman empat jenis Indigofera pewarna di Indonesia 119 3 Ciri dan kode skoring sifat ciri morfologi I. tinctoria 122

4 Gafik kurva standar indikan 124

5 Hasil pengujian standar indikan 125

6 Koefisien keserupaan I. tinctoria di P. Jawa, P. Madura dan

P. Flores 126

(24)
(25)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu sumber pewarna biru alami yang dipertahankan oleh sebagian masyarakat di Indonesia sebagai pewarna batik dan tenun adalah kelompok tumbuhan tom-toman (Indigofera). Marga Indigofera ini mudah dikenali dari beberapa ciri utama yaitu perbungaan di ketiak daun, menandan, daun pelindung mudah luruh, kelopak bunga melonceng dengan cuping bagian atas lebih panjang, bendera bunga selalu menyelimuti bunga saat kuncup, permukaan atas bendera ditutupi trikom, sayap bunga memiliki bentuk memanjang dengan bagian basal seperti daun telinga, lunas bunga melancor atau menyudip dengan taji menggalah, benang sari 10 dalam dua tukal; buah memanjang, melonjong, membulat telur dengan penampang menyelinder atau segi empat, dua katup, seluruh organ tanaman mengandung trikom biramus, dan buah dengan tipe polong (Mu et al. 2010; Adema 2011).

Indigofera yang tercatat di Indonesia meliputi 17 jenis dan satu anakjenis (De Kort dan Thijsse 1984). Berbeda dengan Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963) yang telah merekam dan mendeskripsikan I. longeracemosa Boiv. ex Baill., De Kort dan Thijsse (1984) tidak mencatat jenis tersebut dalam revisinya, tetapi mendeskripsikan I. dosua di P. Jawa. Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963) mendeskripsikan I. guatemalensis sebagai jenis, tetapi De Kort dan Thijsse (1984) menempatkan sebagai anakjenis dari I. suffruticosa. Perbedaan hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan pentingnya untuk meninjau ulang keberagaman jenis

Indigofera di wilayah ini. Pemutahiran data keberagaman jenis dan sebaran

Indigofera di Indonesia telah dilakukan dalam penelitian ini.

Sejak akhir abad IV Masehi sebagian masyarakat Indonesia telah memanfaatkan salah satu jenis Indigofera sebagai pewarna (Van Rijckevorsel 1925), sehingga pengrajin batik dan tenun di Indonesia tidak asing terhadap tanaman Indigofera. Pengrajin batik mengenal Indigofera dengan nama umum tom

sebagai tanaman yang menghasilkan warna biru. Secara tradisional pembatik menggunakan daun tom untuk membuat pewarna biru dalam bentuk pasta yang

digunakan untuk “medel” (proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke larutan warna secara berulang-ulang sehingga mendapatkan warna yang diinginkan) dan

mbironi” (menutupi warna biru dan mengisi pola yang berupa titik dengan

menggunakan malam) dalam proses pewarnaan batik.

Sejak ditemukannya pewarna biru sintetis oleh kimiawan Jerman pada tahun 1879, pemakaian pewarna alami berangsur-angsur hilang. Isu global back to nature

yang dimulai pada tahun 1995, dan adanya pelarangan ekspor tekstil dan produk tekstil yang menggunakan zat warna kimia gugus AZO ke Eropa pada tanggal 13 Juni 1996, maka penggunaan pewarna alami bersumber tumbuhan kembali diminati. Kembalinya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan tumbuhan khususnya Indigofera sebagai sumber warna menjadi tantangan bagi pengrajin batik dan tenun, botanis, dan pemulia tanaman.

(26)

berpotensi sebagai pewarna selain I. tinctoria, dan agar sebaran Indigofera di beberapa wilayah di Indonesia saat ini dapat diketahui. Tersedianya peta akan sangat menunjang pemanfaatannya sebagai pewarna alami dan sebagai sumber data dalam monitoring dan upaya konservasi Indigofera.

Warna biru yang dihasilkan daun Indigofera berasal dari senyawa glukosida yang dalam kondisi tunggal tidak berwarna yang disebut indikan. Ketika sel-sel daun rusak, indikan terhidrolisis oleh enzim ß-glukosidase menjadi indoksil dan glukosa. Selanjutnya indoksil mengalami tautomerisasi secara spontan menjadi senyawa indigo. Sebelum penelitian ini dilakukan, adanya indikan dalam daun belum dapat dikenali dari ciri morfologi, sehingga perlu ditemukan ciri Indigofera

yang memiliki kandungan indikan tinggi. Pengenalan ciri morfologi dan variasinya pada Indigofera pewarna menjadi informasi praktis bagi pengusaha pewarna batik dan tenun di Indonesia.

Indigofera penghasil pewarna merupakan tanaman potensial yang mendukung gerakan kembali ke alam, yaitu untuk mencari jenis penghasil indigo dengan warna biru yang lebih memenuhi keinginan konsumen modern.Tanaman I. tinctoria yang lebih popular sebagai tom jawa sangat penting dalam kehidupan masyarakat pembatik, dan beberapa pengrajin meyakini bahwa semua jenis tom dapat digunakan sebagai pewarna. Kajian ilmiah terhadap semua jenis tanaman

Indigofera dalam penelitian ini dengan menguji keberadaan kandungan indikan pada semua jenisnya telah berhasil mengungkapkan bahwa tidak hanya tom jawa yang berpotensi sebagai pewarna.

Di antara jenis Indigofera, I.tinctoria memiliki sebaran yang paling luas di Indonesia. Jenis ini dapat ditemukan pada habitat-habitat kritis seperti tanah kapur dan tanah pasir di sepanjang pantai di sebagian wilayah Indonesia. Jenis ini memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan kering, tergenang dan bersalinitas tinggi (Hassen et al. 2006). Kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan membawa konsekuensi adanya variasi morfologi dalam jenis ini yang mungkin dapat dikaitkan dengan kuantitas dan kualitas bahan pewarna yang dihasilkan, dan status klasifikasi intrajenis.

Adanya variasi ciri morfologi pada I. tinctoria di P. Flores dimungkinkan dengan kondisi pulau ini cenderung beriklim lebih kering dari P. Jawa. Selain itu visualisasi warna biru pada kain tenun asal P. Flores cenderung lebih gelap dari warna biru yang dihasilkan pada kain batik asal P. Jawa dan P. Madura. Visualisasi warna ini diduga terkait dengan kandungan indikan yang didukung oleh ciri morfologi atau genetiknya. Ciri morfologi sering tidak cukup untuk mengategori status intrajenis, karena ciri morfologi merupakan hasil interaksi antara gen dan lingkungan. Untuk itu kendala yang dihadapi ketika pengamatan dengan morfologi dapat diatasi dengan menggunakan marka molekuler berbasis DNA. Penanda molekuler langsung berintegrasi dengan genetik dan menggambarkan keadaan genom tanaman (Douaihy et al. 2012; Jonah et al. 2011). Gabungan data morfologi dan molekuler akan memberikan gambaran dan analisis yang lebih tepat tentang keberagaman tanaman (Saddoud et al. 2011). Penanda molekuler sebagai ciri atau penciri tanaman bersifat lebih stabil dibandingkan ciri morfologi. Ciri DNA sebagai sumber penciri tanaman tidak dipengaruhi oleh variasi lingkungan dan dapat terdeteksi pada semua fase pertumbuhan tanaman (Kumar et al. 2009).

(27)

mengungkapkan asal usul I. kirilowi, dan I. koreana yang berasal dari Korea. Penelitian keberagaman Indigofera di Indonesia berbasis molekular masih sangat terbatas, namun telah dimulai. Keberagaman genetik I. tinctoria asal P. Jawa dan Madura berhasil diungkap menggunakan penanda ISSR (Hariri 2016).

Selain DNA inti dan ISSR, marka yang telah banyak digunakan untuk pemetaan genetik dan analisis keberagaman genetik pada tingkat jenis tanaman kacang-kacangan adalah mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat (SSR). Mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2–5 unit nukleotida yang tersebar dan meliputi seluruh genom yang ditemukan secara luas pada Eukariota. Marka ini bersifat kodominan sehingga cocok dipakai untuk mendeteksi keberagaman alel yang tinggi, polimorfisme tinggi, mudah diaplikasikan menggunakan proses Polymerase Chain Reaction (PCR) dan tersebar merata pada seluruh genom. Mikrosatelit telah banyak digunakan untuk pemetaan genetik dan analisis keberagaman genetik pada tingkat jenis tanaman kacang-kacangan seperti Vicia ervilia, Enterolobium contortilisiquum, Vigna exilis, Phaseolus vulgare, dan Lathyrus sativus (El Fatehi et al. 2013; Moreirea et al. 2015; Kaewwongwal et al. 2013; Sicard et al. 2005). Mikrosatelit sudah dibuktikan tidak hanya mampu membedakan takson intrajenis, tetapi juga antaraksesi dan dapat mengungkap populasi tanaman introduksi dan populasi tanaman asli pada I. pseudotinctoria di Jepang (Ercisli et al. 2011; Hee et al. 2011; Tantasawat et al. 2011; Otao et al. 2016).

Informasi keberagaman genetik I. tinctoria asal P. Jawa, P. Madura, dan P. Flores berdasarkan marker mikrosatelit dilaporkan dalam disertasi ini. Penggunaan marka mikrosatelit berhasil mengungkap keberagaman genetik I. tinctoria dari berbagai lokasi di Indonesia.

1.2 Perumusan dan Pendekatan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi empat topik utama, yaitu belum diketahuinya kemampuan menghasilkan pewarna pada

Indigofera selain I. tinctoria, ciri mudah untuk mengenali Indigofera belum diketahui, informasi tanaman dengan kandungan indikan dan indigo tinggi belum

diuji, dan status taksonomi infraspesies varian I. tinctoria asal Flores belum jelas.

(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan menyintesis biosistematika Indigofera

Indonesia penghasil pewarna melalui pemutahiran keberagaman jenis Indigofera, menganalisis kuantitas dan kualitas indikan dan indigo dari Indigofera penghasil pewarna, dan menganalisis keberagaman genetik berdasarkan ciri morfologi dan marka SSR pada I. tinctoria di tiga pulau di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Ditemukannya kembali I.longeracemosa Boiv. ex. Baill. di Jawa merupakan informasi penting karena jenis ini mengandung pewarna lebih tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis Indigofera lainnya di Indonesia. Dideskripsikannya empat jenis

Indigofera penghasil pewarna biru yaitu I. arrecta Hochst. ex A. Rich, I. suffruticosa Mill., I.longeracemosa Boiv. ex. Baill. dan I. tinctoria L., merupakan informasi yang berguna bagi pengguna pewarna alami juga pemakaian di masa datang, khususnya pembatik dan penenun. Informasi kuantitas dan kualitas kandungan indigo pada empat jenis Indigofera penghasil pewarna merupakan informasi baru bagi ilmu pengetahuan khususnya tumbuhan penghasil pewarna alami. Sebaran Indigofera di Indonesia yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan informasi yang dapat digunakan untuk pelacakan lokasi koleksi plasma nutfah Indigofera berciri tertentu.

Penanaman koleksi dan pengungkapan ciri agronomi Indigofera penghasil pewarna di Indonesia dapat menyediakan informasi awal tentang pewarna alami yang datanya dapat digunakan oleh pemulia tanaman guna perakitan bibit

Indigofera pewarna yang diinginkan. Data dan informasi yang terungkap diharapkan dapat dimanfaatkan oleh petani Indigofera dan pengusaha pasta indigo dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pasta indigo. Selain itu, masyarakat pecinta pewarna alami dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk menggalakkan penanaman jenis-jenis Indigofera penghasil pewarna dalam upaya konservasinya.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri atas empat aspek kajian, yang berkaitan satu sama lainnya, yaitu analisis morfologi Indigofera berdasar eksplorasi di lima pulau di Indonesia, uji kualitas warna, kandungan indikan dan indigo berdasarkan eksplorasi dan koleksi di lahan percobaan, uji plastisitas ciri di kebun koleksi di Magelang dan Cikabayan, dan analisis molekuler yang mencakup keberagaman genetik berdasar marka SSR.

Keempat aspek tersebut dirumuskan dalam tiga subjudul penelitian sebagai berikut: (1) pemutahiran data keberagaman Indigofera Indonesia; (2) Indigofera

(29)

1.6 Kebaruan Penelitian

Penelitian ini menghasilkan beberapa kebaruan. Adapun kebaruan pertama pada penelitian ini adalah data keberagaman Indigofera Indonesia dimutahirkan dengan dikoleksinya I. longeracemosa Boiv. ex Baill. di P. Jawa. Jenis I. longeracemosa memiliki ciri agronomi lebih baik dibandingkan I. tinctoria yang sudah biasa digunakan oleh pembatik dan penenun. Jenis ini menghasilkan kandungan indigo tinggi, memiliki daun yang tahan rontok pada curah hujan rendah

Keberagaman Genetik I. tinctoria

Permasalahan:

 Penciri morfologi Indigofera penghasil pewarna belum dikaji

 Keberadaan I. longeracemosa di Indonesia tidak tercatat dalam revisi Indigofera Asia Tenggara

 Perlu diketahui jenis Indigofera pewarna selain I. tinctoria

 Perlu dicari Indigofera penghasil pewarna dengan ciri agronomi unggul, dan produktivitas indigo tinggi

 Keberagaman jenis Indigofera penghasil pewarna belum dikaji

 Keberagaman genetik I. tinctoria yang ditemukan di Jawa, Madura, dan Flores belum dikaji

Gambar 1.1 Bagan alur penelitian Sebaran Indigofera di Indonesia

(30)

dan suhu udara tinggi, jumlah cabang lebih banyak, diameter kanopi lebih besar dan produksi daun lebih tinggi.

Kebaruan kedua adalah diketahuinya warna permukaan atas dan bawah daun kering yang dapat digunakan sebagai penciri jenis Indigofera penghasil pewarna, dan didapatkannya hasil uji kualitas warna dari empat jenis Indigofera Indonesia. Warna permukaan atas daun kering pada I. arrecta berkisar antara abu-abu kehijauan (27D2), hijau keabu-abuan (29D5, 30E6) sampai keabu-abuan (27D5); pada I. longeracemosa memiliki warna permukaan atas daun kering sangat khas yaitu abu-abu (29F1), warna permukaan atas daun kering pada I. suffruticosa

berwarna hijau gelap (25F3, 29F5, 29F3) pada I. tinctoria berwarna abu-abu kehijauan (26E2, 30F2). Warna permukaan bawah daun kering pada I. arrecta

berwarna hijau gelap-hijau pudar (30D8–30E3) sampai hijau keabu-abuan (29C4, 29D4, 29D5) dan abu-abu (29F1, 29F2, 30F2), sementara pada I. suffruticosa, I. tinctoria dan I. longeracemosa berwarna abu-abu (29F1), abu-abu kehijauan (29F2, 30F2), sedangkan pada dua contoh jenis Indigofera bukan penghasil pewarna seperti I. galegoides memiliki warna permukaan atas daun kering antara hijau (27F6) sampai hijau keabu-abuan (29E7, 29E5). Warna permukaan atas daun kering pada I. zollingeriana hijau tua (30D8), hijau keabu-abuan (27E6) sampai hijau keabu-abuan (29D7).

Kebaruan ketiga adalah diketahuinya kualitas bagus pewarna indigo yang dihasilkan oleh empat jenis Indigofera pewarna Indonesia memiliki nilai 4–5 sesuai SNI tentang ketahanan luntur warna dan penodaan warna terhadap pencucian 40 0C, keringat asam basa, penekanan panas, dan terang sinar matahari.

(31)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keberagaman Indigofera

Tom-toman dikelompokkan dalam marga Indigofera yang diklasifikasikan dalam puak Indigofereae, anak suku Faboidea, suku Fabaceae (Lewis et al. 2005; Schrire et al. 2009). Indigofera pertama kali dipertelakan oleh Linnaeus pada tahun 1753. Marga ini merupakan salah satu dari 686 marga dari suku Fabaceae yang tersebar di seluruh daerah tropik (Kirkbride et al. 2003). Marga Indigofera memiliki jumlah jenis sangat tinggi mencapai 780–800 jenis (Schrire 1995; Adema 2011; Chauhan dan Pandey 2015).

Revisi marga Indigofera Asia dan Asia Tenggara telah dilakukan disusun berdasarkan ciri morfologi (De Kort dan Thijsse 1984); Sanjappa 1985; Gao 2007); Clark et al. 2015). Variasi ciri morfologi mudah dan cepat diamati, tetapi adanya plastisitas ciri sering ditemukan. Plastisitas ciri pada Indigofera ditemukan pada beberapa struktur trikom (Marquiafavel et al. 2009), kelopak persisten yang menempel pada buah matang, bentuk perhiasan bunga, warna buah (De Kort dan Thijsse 1984), bentuk dan ornamen kulit biji(Al-Ghamdi 2011).

Jumlah kromosom dasar dari marga Indigofera adalah n=8 akan tetapi jumlah kromosom masing-masing jenis bervariasi. Jenis diploid (2n=16) meliputi:

I. arrecta, I. colutea, I. cordifolia, I. hirsuta, I. linnaei, I. suffruticosa, I. tinctoria, I. trita subsp. subulata. Jenis tetraploid (2n=32) adalah I. zollingeriana,I. spicata,

dan I. caloneura (Zheng et al. 2011). Jenis I. decora dan I. dosua dari Koreaadalah tanaman heksaploid (2n=48) (Darlington dan Wylie 1955; Choi dan Kim 1997). Pada jenis I. grandiflora memiliki jenis kromosom tetraploid (2n=32) dan heksaploid (2n=48) (Kim et al. 2005)

Keberagaman Indigofera tidak hanya terletak pada ciri morfologi dan kromosom, tetapi juga terletak pada manfaatnya. Indigofera menjadi salah satu marga penting dalam kehidupan, karena memiliki banyak manfaat antara lain sebagai pewarna alami meliputi I. arrecta., I. amorphoides, I. tinctoria, I. longeracemosa, I. cavallii, I. articulata, I. coreulea, I. conzatii, I. caroliniana, I. byobiensis, I. truxilensis, I. suffruticosa, I. blanchetiana, I. thibaudiana, I. caumevacana, I. platycarpa, I. suffruticosa subsp. guatemalensis, I. hirsuta, (Schrire et al. 2009; De Kort dan Thijsse 1984; Lemmens dan Wessel-Riemens 1991; Chauhan dan Pandey 2015). I.zollingeriana sebagai pakan ternak sapi, rusa dan kambing (Abdullah 2010). Jenis I. tinctoria juga dimanfaatkan sebagai anti epilepsi, I. linnaei bersifat anti fertilitas untuk mencit; dan I. glandulosa sebagai antimikrobia (Garbhapu et al. 2011; Pradeepa et al. 2012; Prabakaran et al. 2011).

2.2 Jenis-jenis Indigofera di Indonesia

(32)

di Jawa tetapi tidak ada spesimen I. longeracemosa dari P. Jawa yang disimpan di Herbarium Bogoriense, Herbarium Kew, Leiden, maupun Singapura. Oleh karena itu dalam revisi Indigofera di Asia Tenggara oleh De Kort dan Thijsse (1984), I. longeracemosa tidak dicantumkan sebagai jenis yang ada di P. Jawa, Indonesia ataupun di Asia Tenggara. Eksplorasi jenis Indigofera di Indonesia yang dilakukan dalam penelitian ini berhasil mengungkapkan kembali keberadaan I. longeracemosa di Pulau Jawa (Muzzazinah et al. 2015).

Kunci determinasi dari 18 jenis Indigofera Indonesia berikut ini disusun berdasarkan hasil pengamatan ciri morfologi spesimen yang dikoleksi pada kegiatan eksplorasi dan spesimen herbarium yang disimpan di Herbarium Bogoriense.

1. a. Perawakan pohon, tinggi mencapai 15 m.... I. zollingeriana

b. Perawakan semak, perdu, tegak, menjalar,

tinggi mencapai 3 m... 2 2. a. Daun tunggal. Perbungaan melekat,

panjang tandan 0.20˗1 cm... 3 b. Daun majemuk. Perbungaan bertangkai,

panjang 2˗20 cm …... 4 3. a. Daun menjorong–memita, bagian basal

melancip-meloncos, ujung meluncip, permukaan daun ditutupi rambut beruntutan tunggal yang berwarna putih dan rapat, ukuran 1˗ 35 mm; daun penumpu

mendabus, 1.5˗5 mm; polong membulat... I. linifolia

b. Daun membundar telur, bagian basal menjantung, ujung lancip; daun penumpu

menyerupai seta; polong hampir membulat I. cordifolia

4. a. Anak daun 3; berbulu balig ………. 5

b. Anak daun 5˗17; permukaan daun bagian

bawah berambut biramus …………... 6 5. a. Permukaan daun bagian bawah tidak

berglandula... I. trita

b. Permukaan daun bagian bawah berglandula 7

6 a. Batang berambut sangat jelas …………... 8

b. Batang tidak berambut………... 9

7 a. Polong bersegi empat; biji 4˗8………... I. trifoliata

b. Polong menggalah, biji 1˗2………... I. glandulosa

8 a. Batang, rakis, kelopak, dan buah berambut

biramus; polong berparuh pendek………... I. colutea

b. Batang, rakis, kelopak, buah berambut

panjang (hirsute); polong tidak berparuh … I. hirsuta

9 a. Batang menanjak………... 10

b. Batang tegak……….... 11

10 a. Perbungaan melekat; polong tegak, 3˗5

(33)

b. Perbungaan bertangkai, polong memuntir,

20˗25 mm, berambut biramus; biji

6˗20………... I. spicata

11 a. Batang ujung kemerahan, pertumbuhan zig-zag; Perbungaan membentuk sudut 90o

dengan ranting... I.longeracemosa

b. Batang ujung hijau, pertumbuhan lurus; Perbungaan membentuk sudut 450 dengan

ranting... 12

12 a. Bentuk polong melengkung…………... 13

b. Bentuk polong lurus...………... 15

13 a. Polong melengkung pada bagian tengah

membentuk seperti curva... I. suffruticosa

b. Polong melengkung pada bagian basal…… 14 14 a. Panjang polong 2-10 mm………. I.suffruticosa

subsp.

guatemalensis

b. Panjang polong 14-36 mm……… I.tinctoria

15 a. Bunga berwarna ungu muda; kedudukan polong menghadap ke atas, panjang polong

5.3˗8.5 cm...…... I. galegoides

biji persegi panjang………... I.arrecta

2.3Senyawa Metabolit Sekunder dalam Tumbuhan

Secara alami tanaman tidak bisa menghindari serangan dari herbivora dan patogen dengan hanya bergerak menjauh, tetapi harus melindungi sendiri dengan cara lain. Struktur lapisan organ tanaman yang terdiri dari kutin, waks, dan suberin diselaputi lapisan lipid untuk mengurangi hilangnya air dan menghalangi masuknya patogen fungi dan bakteri (Taiz dan Zeiger 2010). Melalui aktivitas biologis tanaman menghasilkan banyak metabolit sekunder untuk tujuan pertahanan diri dari herbivor dan patogen.

(34)

pembentukan karbohidrat, protein dan lipid. Metabolit sekunder hanya dijumpai pada satu jenis atau sekelompok jenis. Metabolit sekunder merupakan hasil samping atau intermediet metabolisme primer. Metabolit sekunder berperan pada strategi resistensi level struktur dan menginduksi antibiotik pertahanan yang berasal dari fenolik dan terpenoid; melindungi tumbuhan dari gangguan herbivor dan menghindari infeksi yang disebabkan oleh patogen mikrobia; menarik polinator dan hewan penyebar biji melalui bau, warna dan rasa; berperan sebagai agen kompetisi antartanaman dan antara tanaman mikroorganisme.

Metabolit sekunder dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu terpenoid, fenolik dan produk sekunder mengandung nitrogen.

2.3.1 Terpenoid

Terpenoid merupakan kelompok metabolit sekunder terbesar, disintesis melalui jalur Asetil Ko-A atau intermediat glikolisis melalui lintasan asam mevalonat. Semua terpenoid disusun oleh unit isopren ber-C5. Terpenoid diklasifikasikan berdasarkan jumlah unit isoprene, yaitu ( 2 unit C5); sesquiterpen ( 3 unit C5); diterpen (4 unit C5); triterpen (30 karbon), tetraterpen (40 karbon) dan politerpen (C5)n, dimana n > 8) (Taiz dan Zeiger 2010).

Terpenoid berfungsi: 1) pertumbuhan dan perkembangan, contoh, giberelin adalah hormon penting tumbuhan yang termasuk kelompok diterpen. Sterol adalah derivat triterpen yang merupakan komponen esensial membran sel yang menstabilkan interaksi fosfolipid. Karotenoid merah, kuning, oranye adalah tetraterpen yang berfungsi sebagai pigmen asksesori pada fotosintesis dan melindungi jaringan fotosintetik dari fotooksidasi. Hormon asam absisat adalah terpen C15 yang dihasilkan dari degradasi prekursor karotenoid; 2) senyawa penjaga, karena bersifat toksin terhadap insekta dan mamalia: resin pada konifer (monoterpen), minyak esensial dalam rambut kelenjar di epidermis: pepermint, limon (Taiz dan Zeiger 2010). Terpenoid teridentifikasi dalam daun I. tinctoria

(Renukadevi dan Sultana 2011; Motamarri et al. 2012; Rani et al. 2013). 2.3.2 Senyawa Fenol

Produk metabolit sekunder yang dihasilkan mempunyai ciri sama, yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus OH. Ribuan senyawa fenolik alam telah diketahui strukturnya, antara lain antosianin, flavonoid, fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, polifenol (lignin, melanin, tannin), dan pigmen kuinon. Flavonoid merupakan kelompok terbesar pada senyawa fenolik tumbuhan, antara lain antosianin, lignin dan tanin (Taiz dan Zeiger 2010).

(35)

berdasarkan warna bunga yang disukai. Selain itu senyawa volatil khusunya monoterpen seringkali menghasilkan aroma yang atraktif untuk penarik polinator.

Senyawa fenol dalam bentuk flavonoid, tannin, terpenoid dijumpai pada daun

I. tinctoria, I. suffruticosa, I. linnaei (Rani et al. 2013; Gafar et al. 2010; Jain et al. 2010; Calvo et al. 2009; Kumar et al. 2011). Upman dan Sarin (2011) mengisolasi tiga flavonoid: Apegenin, Kaemferol, dan Quercetin dari batang, daun dan akar I. cordifolia dan I. linnaei. Daun I. tinctoria yang diekstraksi dengan air menghasilkan fenol, tannin, dan flavonoid berturut-turut 263.37 mg/g, 65.20 mg/g, dan 0.70 mg/g (Anusuya dan Manian 2013).

2.3.3 Senyawa Nitrogen

Senyawa nitrogen terbesar dalam tumbuhan adalah alkaloid, senyawa lain adalah glikosida sianogen, indol, pigmen porfirin, dan klorofil. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Taiz dan Zeiger 2010). Senyawa alkaloid pada Indigofera diisolasi dari daun I. colutea, I. tinctoria, I. suffruticosa(Bakasso et al. 2008;Vieiraet al. 2012).

Indol adalah molekul yang berbentuk planar dengan sistem elektron 10 terkonjugasi, 2 berasal dari nitrogen dan 8 berasal dari karbon. Senyawa tersebut terdiri dari ikatan benzene 5 dan benzene 6, sifatnya padat dan beraroma wangi pada suhu kamar. Molekul indol ditemukan secara alami pada hormon tanaman, aroma bunga, triptofan, pewarna, kotoran manusia, dan tar batubara (Houlihan 1972; Sundberg 1996; Sharma et al. 2010). Pada tanaman, indol adalah komponen wewangian dan pewarna. Dalam industri, indol digunakan pada industri parfum dalam pembuatan minyak melati sintetis, namun lebih banyak pada industri farmasi untuk obat halusinogen, anti-inflamasi (Stoff et al. 1978; Del Soldato et al. 1979; Safarinejad 2008; Loder 2010).

Pada tanaman penghasil indigo seperti Indigofera spp., Isatis tinctoria, Isatis indigotica dan Polygonum tinctorium indol dioksidasi melalui jalur asam shikimat atau asam indol 3 - piruvat (Xia dan Zenk 1992; Yuan et al. 2011). Pada tanaman yang tidak memproduksi indikan seperti tumbuhan Tecoma stans dan Jasminum grandiflorum, cincin indol teroksidasi menjadi antranil dan asam antranilik secara langsung. Pada tanaman penghasil indikan, indol teroksidasi membentuk indoksil, dan indoksil yang dihasilkan kemudian mengalami glikosilasi yang menghasilkan glikosida dan terbentuk senyawa indikan, isatan A, isatan B dan isatan C sebagai prekursor indigo ( Maier et al. 1990; Frey et al. 1997; Marcinek et al. 2000; Minami

et al. 2000; Maugard et al. 2001, 2002; Zou dan Koh, 2007) (Gambar 2.1).

2.4 Pewarna Alami 2.4.1 Tumbuhan Penghasil Pewarna

(36)

Carthamus tinctorius, kayu Caesalpinia sappan, kayu Rubia tinctoria, kayu

Haematoxylon camphechianum, kayu Rumex dentatus, kayu Morinda tinctoria, bunga Mallotus philippinensis. Warna kuning dari bunga Solidago grandis, daun

Tectona grandis, bunga Tagetes, bunga Crocus sativus, bunga Butea monosperma. Warna hitam dari kulit kayu Alnus glutinosa, daun Loranthus pentapetalus, buah

Annona reticulata, buah Terminalia chebula. Warna jingga berasal dari biji Bixa orellana, bunga Dhalia sp, daun Convallaria majalis, daun Urtica dioica; warna hijau berasal dari kulit buah Terminalia bellerica, daun Eupatorium odoratum. Warna cokelat dihasilkan oleh kulit kayu Pelthophorum pterocarpum, kulit kayu

Ceriop tagal, kulit kayu Swietenia mahagoni (Lemmens et al. 1992; Siva 2007; Acquaviva et al. 2010; Chengaiah et al. 2010).

Gambar 2.1 Oksidasi indol pada tumbuhan tingkat tinggi (E1 = Indole oxygenase, E2 = Indole oxidase; E3 = Indole 2, 3-dioxygenase; E4 = Indikan synthase; E5 =Indoksil-UDPG-glucosyltransferase; E6 =Formylase; E7 = Aldehyde oxidase; S = reaksi spontan, P = jaringan atau organ tanaman; GT? = Glucosyltransferase, belum teridentifikasi; GLU? = Glucosidase, belum teridentifikasi

Golongan utama zat warna dapat berupa klorofil, karotinoid, flavonoid, dan kuinon. Klorofil merupakan zat warna hijau dalam tanaman yang dicirikan dengan gugus Klorofil a CH3, dan gugus klorofil b CH. Karotenoid dicirikan oleh suatu rantai panjang poliena alifatik. Contoh pigmen karotenoid adalah biksin, krosin,

Tumbuhan penghasil indigo Tumbuhan tidak

(37)

safran. Flavonoid dicirikan oleh adanya struktur flavon atau flavonol, antosianin, dan isoflavonoid contohnya morin dan rutin. Kuinon mengandung struktur kuinon, subkelompok utama naftokuinon, benzokuinon, dan antrakuinon. Contoh pigmen naftakuinon adalah lawson dari Lawsonia inermis (inai), Contoh antrakuinon adalah alizarin, morindin, dan purpurin yang diperoleh dari suku Rubiaceae. Pewarna nabati yang tidak tergolong ke dalam pigmen di atas adalah indigo, brazilin, kurkumin (Gambar 2.2) (Lemmens et al. 1992).

Sebanyak 90 jenis tumbuhan di Asia Tenggara, dan 450 jenis di India telah diujicoba sebagai pewarna (Lemmens dan Wessel-Riemens 1992). Sekitar 150 macam pigmen yang dihasilkan tumbuhan telah dieksploitasi sebagai komoditas yang komersial (Siva 2007; Chengaiah et al. 2010). Pewarna yang dihasilkan tumbuhan dapat digunakan untuk mewarnai tekstil, kertas, kayu, kulit, tinta, bulu, makanan, kosmetik, obat, dan sebagainya. Secara kimiawi molekul pewarna memiliki dua kelompok utama yaitu kromofor dan auksokrom. Kromofor terikat dalam sebuah cincin aromatik yang fungsinya berkaitan dengan kekuatan pewarnaan. Kromofor memiliki ikatan tak jenuh, yang dapat menentukan intensitas warna. Auksokrom membantu molekul pewarna untuk berikatan dengan substrat, sehingga memberikan warna yang lain (Lemmens et al. 1992; Siva 2007).

Di dunia dikenal beberapa tumbuhan penghasil warna biru. Jenis–jenis tersebut tumbuh dan dapat dijumpai pada wilayah dan belahan bumi yang berbeda.

Isatis tinctoria tumbuh di Eropa, Isatis indigotica di China, Polygonum tinctorium

dan Marsdenia tinctoria tumbuh dan dimanfaatkan sebagai pewarna alami oleh masyarakat Korea dan Jepang, Calanthe veratrifolia dan Lawsonia spinose tumbuh di daerah tropis, dan Indigofera spp. dimanfaatkan oleh masyarakat di Asia, Afrika, Madagaskar, dan Amerika Selatan (Georgievics 1892; Beijerinck 1900; Xia dan Zenk 1992; Chanayath et al. 2002; John dan Angelini 2009).

Brazilin (merah)

Curcumin (kuning-jingga)

Indigo (biru)

(38)

Prekursor warna biru indigo terdiri dari beberapa pola. Pola prekursor indigo yang dihasilkan oleh jenis Isatis tinctoria dan Isatis indigotica terdari dari isatan A (indoxyl-3-O-(6’-O-malonyl-β-D-ribohexo-3-ulopyranoside), isatan B (indoxyl-3-O-β-D-ribohexo-3-ulopyranoside) dan indikan (Indoxsyl β-D glucoside) (Oberthu ¨r et al. 2004). Indikan merupakan komponen minor pada Isatis tinctoria dengan rasio 3:1 jika dibandingkan dengan indikan pada Indigofera, tetapi sebagai komponen mayor pada Indigofera dan P. tinctorium (Strobel dan Goger 1989, Kokobun et al. 1998; Gilbert et al. 2000).

Penemuan senyawa prekursor indigo dimulai abad ke 19 pada Isatis tinctoria

oleh Schunk (1855), dan senyawa indikan pada P. tinctorium dan Indigofera oleh Beijerinck (1899). Indikan diubah menjadi indoksil dengan bantuan enzim isatase. Indikan adalah zat warna biru yang dihasilkan daun Indigofera yang berasal dari senyawa glukosida tidak berwarna. Ketika sel tanaman rusak akan dihasilkan indikan yang terhidrolisis oleh enzim β-Glukosidase menjadi indoksil. Selanjutnya indoksil mengalami tautomerisasi yang secara spontan menjadi senyawa indigo.

2.4.2 Sejarah Pewarna Indigo

Suatu zat dikatakan berwarna disebabkan telah menyerap cahaya yang dapat dilihat manusia yang mempunyai panjang gelombang 400–800 nm. Pewarna dari tumbuhan dapat diperoleh melalui ekstraksi dengan jalan fermentasi, atau direbus. Pewarna dalam tumbuhan kadang sudah tampak pada tumbuhan hidup misalnya saffron yang diekstrak dari stigma Crocus sativus, tetapi terdapat pewarna nabati yang berasal dari tumbuhan yang dalam keadaan alamiah tidak berwarna misalnya

Indigofera (Lemmens et al. 1992; Chengaiah et al. 2010).

Bukti awal penggunaan warna datang dari lukisan di gua oleh manusia Cro-Magnon yang dilukis pada 10.000–30.000 SM (Seefelder 1994). Sampai abad 20 warna-warna yang digunakan berasal dari tumbuhan. Warna kuning, sebagian besar dari weld (Reseda luteola). Madder (Rubia tinctorum), menghasilkan sumber yang paling penting dari pewarna merah; beberapa warna merah juga berasal dari serangga, misalnya, cochineal dan kermes. Warna biru yang bersumber dari indigo masih digunakan sampai sekarang. Indigo alam dapat diturunkan dari tanaman tropis, dan subtropis dari banyak jenis berbeda. Di daerah tropis dan subtropis, tanaman yang paling banyak digunakan untuk produksi indigo adalah Indigofera

spp. ( Martin 1975; Schunk 1855). Di daerah beriklim sedang, jenis yang paling umum digunakan adalah Isatis tinctoria atau woad. Jenis lain, misalnya, P. tinctorum juga telah digunakan di Jepang, Cina dan Rusia untuk produksi indigo.

Bukti awal menunjukkan bahwa penggunaan warna biru alami, diperkirakan sejak zaman perunggu 3300–1300 SM di lembah Indus Punjab India dan 2400 SM di Mesopotamia (Byrne 1981; Kumar 2004). Arkeolog menemukan selembar kain linen berwarna biru pada dua lokasi tersebut (Teresinha 2004). Kain linen yang ditemukan di Mesopotamia diperkirakan merupakan hasil pewarnaan dengan tumbuhan Isatis tinctoria yang tumbuh di Turki, sedangkan kain berwarna biru yang ditemukan di Lembah Indus merupakan kain yang diwarnai dengan tumbuhan

I. tinctoria.

(39)

diperluas penanamannya sampai ke Bihar, Bengal Barat dan Tamil Nadu untuk di ekspor ke Eropa melalui jalur laut (Gambar 2.3) (Byrne 2016). Selama diberlakukannya politik tanam paksa pada abad XIX di Indonesia pabrik indigo pernah berpusat di desa Bumi Segoro Kabupaten Magelang yang berdekatan dengan kompleks Candi Borobudur (Eksplorasi & Komunikasi Pribadi, 2014) (Gambar 2.4)

Gambar 2.4 Jejak pabrik indigo di P. Jawa pada masa tanam paksa. A. Peta lokasi pabrik indigo di desa Bumi Segoro Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (panah); B. Bekas pondasi pabrik indigo; C. Pasta indigo bentuk blok yang diekspor ke Eropa pada masa penjajahan Belanda (Sumber: Kwan Hwie Liong, Komunikasi Pribadi, 2014)

A

B

C

Gambar

Gambar 2.2  Struktur dasar pewarna nabati yang tidak termasuk  golongan pigmen (Lemmens et al
Gambar 2.3 Jalur perdagangan indigo dari India ke Eropa melalui Indonesia                        (Byrne 2006)
Gambar  3.3  Proses  perendaman  daun  dan  ranting  Indigofera  dalam  pembentukan  pasta indigo dari bahan daun Indigofera
Gambar  3.4    Proses  pewarnaan  kain  dengan  pasta  indigo.  Pencampuran  bahan- bahan-bahan  A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain permasalahan mendasar tersebut di atas, dalam satu tahun terakhir terdapat beberapa isu penting/strategis yang perlu penanganan segera, yaitu: peningkatan akses dan

Demikian juga pada hasil pembacaan sampel dari Siompu-Kendari (Gambar 5) dan sampel dari Bali dan Batu (Gambar 6) menunjukkan bahwa sampel dengan gejala defisiensi Zn dan Fe serta

Laju pertumbuhan dan kontribusi pajak reklame di Kota Pangkalpinang lebih tinggi daripada Kabupaten Belitung dengan kategori laju pertumbuhan pajak reklame keduanya tidak

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Indramayu Nomor 09 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Kampanye Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Indramayu Tahun 2015; 9.. Peraturan

Sub Bidang Pengkajian Kawasan mempunyai tugas menyiapkan bahan dan melaksanakan pengembangan serta pemanfaatan teknologi pengkajian dan penetapan hasil evaluasi

Aplikasi berupa game tentang tata bahasa Inggris ini dibangun dengan meng-implementasikan metode Knuth– Morris–Pratt pada proses koreksi susunan kata dan metode

Sistem pompa dan kolam tampungan dapat menghabiskan biaya yang besar untuk investasi dan operasionalnya, oleh karena itu perlu dilakukan pemeliharaan dan hasilnya

Namun, dapat dilihat pula bahwa komunitas ini juga tetap mengadakan pertemuan tatap muka untuk beribadah seperti kelompok doa kecil yang disebut sel dan kelompok