• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Teuku Reza Budiansya 111101103

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Nama : Teuku Reza Budiansya

NIM : 111101103

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Hubungan Gaya

Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang

Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan” adalah benar hasil karya saya

sendiri, kecuali dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya dan belum

pernah dianjurkan kepada institusi manapun serta bukan karya jiplakan. Saya

bertanggung jawab atas keabsahan isinya sesuai dengan kaidah ilmiah yang harus

dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan

atau paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika

(3)
(4)

Pelaksana di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dapat diselesaikan dengan

baik.

Selama proses skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan,

dukungan dan doa dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan

dan bimbingan dari berbagai pihak, baik mulai dari masa perkuliahan sampai pada

penyusunan skripsi ini, tentulah akan terasa sangat sulit bagi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp., MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Achmad Fathi, S.Kep, Ns., MNS sebagai pembimbing yang telah

meluangkan waktu dan perhatian dengan penuh kesabaran dalam

memberikan masukan, arahan, dukungan serta bimbingan dalam proses

penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Nur Asiah, S.Kep, Ns., M.Biomed. sebagai penguji I yang telah

memberi masukan untuk tertuntasnya skripsi ini.

5. Ibu Diah Arruum, S.Kep., Ns., M.Kep. sebagai penguji II yang telah

(5)

Mustafa yang telah memberikan bantuan, dukungan material dan moral serta

doa demi kemudahan dalam menyelesaikan pendidikan, beserta adik saya

Syafira Anggraini yang telah memberikan dukungan dan doa kepada saya.

8. Sahabat-sahabat terbaik saya, Winda Yani Sinambela, Sarwan Aramico, Isep

Ariyanto, Mukhlizar Ridha, Dedi Satriawan Siregar, Fauzan Suherdi,

Karyaman E. Lombu, Armando Samosir, Sopiyan Hadi Sirait, Muhammad

Rois Almaududy, Mulya Abdi Siregar, Abdul Hadi Dalimunthe, serta semua

teman-teman S1 2011 Fakultas Keperawatan yang terus memberikan

dukungan kepada saya.

9. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menempuh

pendidikan dan penyusunan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya, dan

penulis juga menerima saran yang membangun dari semua pihak untuk hasil yang

lebih baik. Akhir kata penulis sampaikan terima kasih.

Medan, Juli 2015

(6)

PRAKATA... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... DAFTAR SKEMA... ix x ABSTRAK... xi

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang... 1

2. Rumusan Masalah... 5

3. Pertanyaan Penelitian... 5

4. Tujuan Penelitian... 6

5. Manfaat Penelitian... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 7

1. Gaya Kepemimpinan ... 7

1.1Definisi Gaya Kepemimpinan ... 1.2Jenis Gaya Kepemimpinan... 1.2.1 Gaya Kepemimpinan Menurut Likert... 1.2.2 Gaya Kepemimpinan Menurut Hersey-Blanchard... 1.2.3 Gaya Kepemimpinan Menurut Lewin... 7 7 8 11 2. Burnout ... 15

2.1 Definisi Burnout ... 15

2.2 Dimensi Burnout ... 17

2.3 Manifestasi Burnout ... 18

2.4 Pencegahan dan Penanganan Burnout ... 20

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN... 22

1. Kerangka Penelitian ... 22

2. Definisi Operasional ... 3. Hipotesis Penelitian... 23 25 BAB 4. METODE PENELITIAN... 26

1. Desain Penelitian ... 26

2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 26

2.1 Populasi Penelitian ... 26

2.2Sampel Penelitian ... 2.3Teknik Pengambilan Sampel... 26 27 3. Lokasi dan Waktu Penelitian... 3.1Lokasi Penelitian... 3.2Waktu Penelitian... 28 28 29 4. Pertimbangan Etik... 29

5. Instrumen Penelitian... 30

(7)

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 36

1. Hasil Penelitian... 36

1.1 Karakteristik Data Demografi... 36

1.2 Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan... 37

1.3 Tingkat Burnout Perawat Pelaksana... 38

1.4 Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Burnout... 38

1.4.1 Uji Normalitas... 38

1.4.2 Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Burnout ... 39

2. Pembahasan... 39

2.1 Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan... 39

2.2 Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan... 42

2.3Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan... 44

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 46

1. Kesimpulan... 46

2. Saran... 47

2.1 Manajemen Rumah Sakit... 47

2.2 Perawat Pelaksana... 47

2.3 Penelitian Selanjutnya... 48

DAFTAR PUSTAKA... 49

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 53

1. Lembar Penjelasan Penelitian... 53

2. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian... 54

3. Instrumen Penelitian... 55

4. Ethical Clearance... 59

5. Surat Izin Reliabilitas di Rumah Sakit Haji Medan... 6. Surat Izin Bidang Penelitian RS Dr. Pirngadi Medan... 60 61 7. Surat Izin Bidang Keperawatan RS Dr. Pirngadi Medan... 62

8. Hasil Uji Validitas... 63

9. Hasil Uji Reliabilitas... 65

10.Hasil Penelitian... 67

11.Surat Selesai Penelitian... 73

12.Dana Penelitian... 74

13.Lembar Bukti Bimbingan... 75

14.Abstrak Bahasa Inggris... 77

(8)

2.2 Pembagian Gaya Kepemimpinan Menurut Hersey-Blanchard... 13

2.3 Pembagian Gaya Kepemimpinan Menurut Lewin... 15

3.1 Definisi Operasional Variabel Independen... 23

3.2 Definisi Operasional Variabel Dependen... 24

4.1 Pembagian Sampel dan Populasi Menurut Ruangan... 28

5.1 Distribusi Frekuensi & Persentase Karakteristik Demografi Responden (n=63)... 36

5.2 Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan (n=63)... 37

5.3 Tingkat Burnout Perawat Pelaksana (n=63)..... 38

(9)
(10)

Fakultas : Keperawatan

Tahun Akademik : 2014/2015

ABSTRAK

Gaya kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin dalam memberikan arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok secara bersama-sama. Gaya kepemimpinan dibagi menjadi tiga:

otokratis, demokratis, laissez-faire. Burnout adalah sindroma kejenuhan kerja

yang ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada seseorang dalam pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan gaya kepemimpinan kepala ruangan

dengan burnout perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan. Desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif korelasional. Sampel penelitian adalah 63 orang perawat pelaksana dengan teknik pengambilan

sampel quota sampling diikuti dengan convenience sampling. Pengumpulan data

menggunakan kuesioner meliputi data demografi, gaya kepemimpinan dan burnout. Data dianalisa dengan menggunakan analisis non-parametrik uji spearman rho. Hasil penelitian menunjukkan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh para kepala ruangan adalah gaya kepemimpinan otokratis

(12.7%), demokratis (79.4%), dan laissez-faire (7.9%). Burnout yang dialami oleh

para perawat pelaksana berkisar pada rentang sedang (7.9%) dan rendah (92.1%).

Uji koefisien korelasi Spearman rho menunjukkan nilai ρ sebesar 0,932 (p>0,1)

atau hipotesis null diterima. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan. Penelitian selanjutnya diharapkan membahas hubungan faktor-faktor gaya

kepemimpinan dan faktor-faktor penyebab burnout.

(11)

Faculty : Nursing

Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

Leadership style is a leader’s method in giving guidance, implementing planning, and motivating his subordinates to achieve the goal of the group. It is divided into three: autocratic, democratic, and laissez faire. Burnout is a syndrome of over full work which is indicated by emotional fatigue, depersonalization, and decrease in self-performance in a person’s job. The objective of the research was to analyze

the correlation between Ward Heads’ leadership style and the burnout of nurse

practitioners in the inpatient wards of dr. Pirngadi General Hospital, Medan. The research used descriptive correlation design. The samples were 63 nurse practitioners, taken by using quota sampling technique and convenience sampling technique. The data were gathered by distributing questionnaires on demographic data, leadership style, and burnout and analyzed by using non-parametric Spearman rho test. The result of the research showed that leadership styles applied by the ward heads were autocratic leadership (12.7%), democratic leadership (79.4%), and laissez faire (7.9%). The result of coefficient correlation Spearman rho test showed that p-value = 0.932 (p > 0.1) or null hypothesis was accepted. The conclusion of the research was that there was no significant correlation between ward heads’ leadership style and the burnout of nurse practitioners in the Inpatient Wards of dr. Pirngadi General Hospital, Medan. It is recommended that the next researches analyze the correlation between the factors of leadership style and the factors of the cause of burnout.

(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Seorang pemimpin keperawatan berperan untuk merencanakan,

mengorganisir, melaksanakan, dan mengevaluasi sarana dan prasarana yang

tersedia untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang seefektif dan seefisien

mungkin bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Kepala ruangan sebagai

pemimpin operasional di bidang keperawatan memimpin perawat pelaksana

sebagai sumber daya manusia secara langsung dalam menghasilkan asuhan

keperawatan secara profesional. Kepala ruangan merupakan jabatan yang penting

karena kemampuan perilaku kepemimpinan kepala ruangan ikut menentukan

keberhasilan pelayanan keperawatan (Soejitno, Alkatiri & Ibrahim, 2002).

Gaya kepemimpinan adalah kumpulan perilaku dan kepribadian pemimpin

dalam memengaruhi anggota kelompok untuk menjalankan aktivitasnya mencapai

tujuan bersama (Kippenberger, 2002). Nursalam (2009) menyatakan bahwa gaya

kepemimpinan dapat diidentifikasi berdasarkan perilaku pemimpin dan

pengalaman dalam kehidupannya. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan cenderung

bervariasi antara satu pemimpin dan pemimpin lainnya.

Gaya kepemimpinan dibagi menjadi beberapa kategori menurut para ahli.

Likert (1967 dalam Kippenberger, 2002) membagi gaya kepemimpinan menjadi

(13)

consultative, dan participative. Hersey dan Blanchard (1997 dalam Nursalam,

2009) membagi gaya kepemimpinan menjadi empat kategori utama, yaitu

kepemimpinan instruksi, kepemimpinan konsultasi, kepemimpinan partisipasi dan

kepemimpinan delegasi. Lewin (1939, dalam Marquis & Huston, 2010) membagi

gaya kepemimpinan menjadi tiga kategori utama, yaitu kepemimpinan otokratis,

demokratis dan laissez-faire. Peneliti memutuskan untuk memilih teori

kepemimpinan berdasarkan teori Lewin (1939, dalam Marquis & Huston, 2010)

karena teori ini dirancang untuk dapat diterapkan secara universal dan lebih jelas

sehingga memudahkan peneliti dalam mengelompokkan gaya kepemimpinan

yang diterapkan oleh kepala ruangan.

Gaya kepemimpinan seseorang memiliki pengaruh terhadap hasil kerja

dan kinerja anggotanya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umam, Hakam dan

Susilo (2015) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh

sigmifikan terhadap motivasi kerja yang selanjutnya dihubungkan dengan kinerja

anggotanya. Gaya kepemimpinan tersebut akan memengaruhi motivasi kerja dan

kinerja para perawat , otonomi pekerjaan, tingkat frustrasi, dan tingkat kelelahan

kerja perawat pelaksana (Marquis & Huston, 2010). Gaya kepemimpinan yang

tidak efektif dapat menciptakan hasil kerja yang tidak optimal. Sebagai contoh,

aturan ketat yang ditetapkan oleh pemimpin sering membuat pegawai memiliki

batasan dalam berinovasi, merasa tidak mengerti tentang apa yang harus

dilakukan, tidak puas dengan hasil yang mereka dapat, dan menurunkan prestasi

kerja. Akibatnya, pegawai dapat mengalami kelelahan kerja berkelanjutan yang

(14)

Burnout merupakan suatu sindroma kelelahan emosional, depersonalisasi

dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada seseorang dalam kurun

waktu tertentu di lingkungan pekerjaannya, dan tidak akan teratasi tanpa

pertolongan dari luar. Burnout dibedakan dengan stres kerja, depresi, stres

psikologis akibat pemberhentian kerja, sindroma kelelahan kronik, dan gangguan

kejiwaan. (Maslach & Jackson, 1986)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tawale, Budi dan Nurcholis (2011)

mengenai hubungan antara motivasi kerja perawat dan kecenderungan mengalami

burnout pada perawat di RSUD Serui Papua memperlihatkan adanya hubungan

yang bersifat negatif antara motivasi kerja perawat dengan kecenderungan

mengalami burnout pada perawat di RSUD Serui Papua. Dengan kata lain,

perawat yang memiliki motivasi kerja yang tinggi cenderung mengalami burnout.

Penelitian ini menunjukkan bahwa salah satu cara mengatasi burnout adalah

dengan memberi motivasi kerja kepada perawat pelaksana. Salah satu metode

seorang kepala ruangan dalam memberikan motivasi kerja kepada perawat

pelaksana adalah dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif dan

memotivasi.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Sinaga (2014) mengenai

pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap stres psikologis perawat

pelaksana di ruang critical care Rumah Sakit Santa Elizabeth Medan

menunjukkan gaya kepemimpinan yang paling rendah meyebabkan stres

psikologis pada perawat pelaksana adalah gaya kepemimpinan demokratis dan

(15)

gaya kepemimpinan otokratik. Penelitian ini membuktikan gaya kepemimpinan

kepala ruangan memiliki pengaruh yang kuat terhadap stres psikologis perawat

pelaksana. Bila gaya kepemimpinan yang tidak efektif terus-menerus diterapkan

oleh kepala ruangan, maka stres kerja perawat pelaksana akan menetap dan

berkembang menjadi burnout.

Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah sakit pemerintah

rujukan di kota Medan yang memiliki standar khusus bagi pengelolaan sumber

daya manusia di bidang kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2006)

mengenai perbedaan tingkat stres dan koping perawat kepribadian tipe A dan tipe

B di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan menunjukkan bahwa dari

88 responden yang dibagi secara merata, sebanyak 59,1% perawat kepribadian

tipe A mengalami tingkat stres sedang dan sebanyak 56,8% menggunakan koping

maladaptif, sementara sebanyak 22,7% perawat kepribadian tipe B mengalami

stres sedang dan 75% menggunakan koping maladaptif. Sari (2006)

menyimpulkan bahwa kepribadian tipe A dan B tidak memiliki perbedaan dalam

hal tingkat stres dan koping. Hal ini menunjukkan bahwa perawat yang bekerja di

ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi memiliki resiko menimbulkan stres

yang lebih tinggi dan berkepanjangan (burnout) jika tidak ditangani oleh

pemimpin keperawatan dengan tepat.

Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan dalam

memimpin perawat pelaksana memegang peranan penting dalam pelayanan

keperawatan yang diberikan. Peneliti belum menemukan adanya penelitian yang

(16)

dengan burnout perawat pelaksana, khususnya di Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan sebagai rumah sakit pemerintah. Peneliti merasa perlu mengadakan

penelitian untuk menganalisa hubungan gaya kepemimpinan kepala ruangan

dengan burnout perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah hubungan gaya kepemimpinan

kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah

Sakit Dr. Pirngadi Medan?”

3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

3.1Bagaimanakah gaya kepemimpinan kepala ruangan di ruang rawat inap

Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan?

3.2Bagaimanakah tingkat burnout perawat pelaksana di ruang rawat inap

Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan?

3.3Bagaimanakah hubungan gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan

burnout perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan?

4. Tujuan Penelitian

(17)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan gaya

kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat perawat pelaksana

di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

4.2Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

4.2.1 Untuk mengetahui gaya kepemimpinan yang diterapkan kepala

ruangan di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

4.2.2 Untuk mengetahui tingkat burnout perawat pelaksana di ruang

rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

5. Manfaat Penelitian

5.1Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi data tambahan pada pembahasan materi

manajemen keperawatan yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan

kepala ruangan dan burnout perawat pelaksana.

5.2Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi materi panduan oleh kepala ruangan

dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif untuk menghindari

burnout perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan.

5.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai dasar penelitian

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Gaya Kepemimpinan

1.1 Definisi Gaya Kepemimpinan

Jones (2007) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara seorang

pemimpin yang dipersepsikan oleh karyawan dalam memberikan arahan,

melaksanakan rencana, dan memotivasi pegawai. Kets de Vries (2001 dalam

Kippenberger, 2002) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai kumpulan cara

yang dipengaruhi oleh perilaku dan kepribadian pemimpin dalam memengaruhi

anggota kelompok menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama.

Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gaya

kepemimpinan adalah suatu cara pemimpin dalam memengaruhi anggota

kelompok menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama yang

dipersepsikan oleh anggota kelompok tersebut.

1.2 Jenis Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan dibagi berdasarkan pengelompokannya menurut

beberapa ahli. Likert, Hersey dan Blanchard, dan Lewin mengelompokkan gaya

(19)

1.2.1Gaya Kepemimpinan menurut Likert

Sistem pembagian gaya kepemimpinan ini dikembangkan oleh Rensis

Likert. Likert (1967 dalam Kippenberger, 2002) menguraikan empat gaya

kepemimpinan untuk menggambarkan hubungan, keterlibatan, dan peran

pemimpin dan anggota dalam pengaturan organisasi, yaitu

Exploitative-Authoritative, Benevolent-Exploitative-Authoritative, Consultative, dan Participative (dapat

dilihat pada Tabel 2.1).

Gaya kepemimpinan Exploitative-Authoritative berakar pada teori klasik.

Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin cenderung menggunakan ancaman,

ketakutan, dan hukuman untuk memotivasi para anggota. Pemimpin berada di

bagian atas hirarki dalam membuat semua keputusan dan biasanya tidak

menyadari masalah yang dihadapi oleh orang-orang di tingkat yang lebih rendah

di organisasi. Keputusan dikenakan pada anggota, dan motivasi ditandai dengan

ancaman. Perintah hanya dikeluarkan dari atasan. Akibatnya, para anggota

cenderung memusuhi tujuan organisasi dan mungkin terlibat dalam perilaku yang

bertentangan dengan tujuan-tujuan tersebut (Likert, 1967 dalam Kippenberger,

2002).

Gaya kepemimpinan Benevolent-Authoritative memiliki pengendalian yang

kurang mengikat dibandingkan Exploitative-Authoritative. Gaya kepemimpinan

Benevolent-Authoritative didasarkan pada porsi hukuman dan imbalan yang

seimbang. Wilayah pengambilan keputusan diperluas dengan memungkinkan

anggota untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan, tetapi dibatasi oleh kerangka

(20)

banyak komunikasi ke bawah (anggota-anggota) dengan sedikit komunikasi ke

atas (anggota-pemimpin). Pemimpin di atas merasa memiliki tanggung jawab

lebih berat terhadap tujuan organisasi dibandingkan anggota di bagian bawah,

yang merasa memiliki tanggung jawab yang sangat sedikit. Dalam perasaan

terhadap tanggung jawab hal ini dapat mengakibatkan konflik dan sikap negatif

dengan tujuan organisasi (Likert, 1967 dalam Kippenberger, 2002).

Gaya kepemimpinan Consultative berdasarkan pada teori yang sangat erat

kaitannya dengan manusia dan hubungan terhadap sesama. Pemimpin memotivasi

anggota melalui imbalan dengan sedikit hukuman, dan sangat sedikit keterlibatan

dalam pengambilan keputusan dan tujuan. Anggota di tingkatan yang lebih rendah

memiliki kebebasan untuk membuat keputusan tertentu yang akan mempengaruhi

pekerjaan mereka. Manajemen tingkat atas masih memiliki kontrol atas kebijakan

dan keputusan umum yang mempengaruhi organisasi. Pemimpin akan berbicara

dengan anggota mereka tentang masalah dan rencana aksi sebelum mereka

menetapkan tujuan organisasi. Komunikasi dalam sistem ini mengalir baik ke

bawah dan ke atas, meskipun komunikasi ke atas lebih terbatas. Ini menciptakan

efek yang lebih baik kepada hubungan anggota dan memungkinkan mereka untuk

menjadi lebih kooperatif. Anggota dengan tingkatan lebih rendah dipandang

sebagai konsultan untuk keputusan yang dibuat dan lebih bersedia untuk

menerima mereka karena keterlibatan mereka. Kepuasan anggota lebih tinggi

dibandingkan gaya kepemimpinan Benevolent-Authoritative (Likert, 1967 dalam

(21)

Likert (1967 dalam Kippenberger, 2002) berpendapat bahwa gaya

kepemimpinan Participative adalah bentuk yang paling efektif. Gaya

kepemimpinan ini mendorong partisipasi dalam membuat keputusan dan

menetapkan tujuan melalui komunikasi horizontal yang mengalir bebas dan

memanfaatkan kreativitas dan keterampilan anggota. Pemimpin sepenuhnya

menyadari masalah yang ada di tingkat yang lebih rendah di organisasi. Semua

tujuan organisasi diterima oleh semua orang karena mereka diatur melalui

partisipasi kelompok. Terdapat tanggung jawab dan akuntabilitas yang tinggi

terhadap tujuan organisasi oleh semua anggota. Pemimpin memotivasi anggota

melalui penghargaan finansial dan partisipasi dalam penetapan tujuan. Kepuasan

anggota berada di tingkat yang tertinggi dari tiga gaya kepemimpinan

sebelumnya.

Sumber: Likert (1967 dalam Kippenberger, 2002)

Tabel 2.1 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Likert

Komponen

Exploitative-Authoritative

Benevolent-Authoritative

Consultative Participative

Pemberian motivasi

Rasa takut dan ancaman

Imbalan dan hukuman

Imbalan Partisipasi

grup

Komunikasi Satu arah Satu arah Dua arah

(terbatas)

Dua arah

Pengambilan keputusan

Sentralisasi Sentralisasi Desentralisasi

(terbatas)

(22)

1.2.2Gaya Kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard

Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard (1997, dalam

Nursalam, 2009) dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu Instruksi,

Konsultasi, Partisipatif, dan Delegasi (dapat dilihat pada Tabel 2.2). Gaya

kepemimpinan Instruksi memiliki karakteristik khusus dimana tugas kerja yang

diberikan oleh pemimpin berada dalam keadaan tinggi namun rendah dalam hal

hubungan pekerjaan. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin berjalan sejarah

dari pemimpin ke anggota. Pengambilan keputusan berada pada pemimpin dan

peran anggota dalam pengambilan keputusan tersebut sangat minimal. Pemimpin

banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik serta mengawasi

dengan ketat.

Gaya kepemimpinan Konsultasi memiliki karakteristik tugas kerja yang

tinggi dan juga hubungan pekerjaan yang tinggi. Komunikasi terjadi dua arah

antara pemimpin dan anggota. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan cukup besar. Gaya kepemimpinan Partisipatif

menerapkan pemberian tugas yang rendah namun disertai hubungan pekerjaan

yang tinggi. Pemimpin dan anggota bersama-sama memberi gagasan dalam

pengambilan keputusan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan

anggota (Hersey & Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009).

Gaya kepemimpinan Delegasi memiliki karakteristik rendah hubungan dan

rendah tugas pekerjaan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan

(23)

anggota dalam pemecahan masalah serta anggota diberi delegasi untuk

mengambil keputusan (Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009).

Kepemimpinan Instruksi memiliki karakteristik khusus dimana tugas kerja

yang diberikan oleh pemimpin berada dalam keadaan tinggi namun rendah dalam

hal hubungan pekerjaan. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin berjalan

searah dari pemimpin ke anggota. Pengambilan keputusan berada pada pemimpin

dan peran anggota dalam pengambilan keputusan tersebut sangat minimal.

Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik serta

mengawasi dengan ketat.

Gaya kepemimpinan Konsultasi memiliki karakteristik tugas kerja yang

tinggi dan juga hubungan pekerjaan yang tinggi. Komunikasi terjadi dua arah

antara pemimpin dan anggota. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan cukup besar.

Gaya kepemimpinan Partisipatif menerapkan pemberian tugas yang rendah

namun disertai hubungan pekerjaan yang tinggi. Pemimpin dan anggota

bersama-sama memberi gagasan dalam pengambilan keputusan. Komunikasi terjadi dua

arah antara pemimpin dan anggota (Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam,

2009).

Gaya kepemimpinan Delegasi memiliki karakteristik rendah hubungan dan

rendah tugas pekerjaan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan

anggota hanya saat diperlukan. Diskusi sering dilakukan antara pemimpin dan

anggota dalam pemecahan masalah serta anggota diberi delegasi untuk

(24)

Tabel 2.2 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Hersey-Blanchard

Komponen Instruksi Konsultasi Partisipasi Delegasi

Tugas Tinggi Tinggi Rendah Rendah

Hubungan Rendah Tinggi Tinggi Rendah

Komunikasi Searah Dua arah Dua arah Dua arah

Pengambilan

Keputusan Pimpinan

Pimpinan (dominan) dan anggota Pimpinan dan anggota Pimpinan dan anggota (dominan) Sumber: Hersey dan Blanchard (1997, dalam Nursalam 2009)

1.2.3Gaya Kepemimpinan menurut Lewin

Lewin (1939 dalam Marquis & Huston, 2010) mengelompokkan gaya

kepemimpinan menjadi tiga kategori utama, yaitu: Otoriter, Demokratis, dan

Laissez-faire (dapat dilihat pada Tabel 2.3). Gaya kepemimpinan otoriter

memiliki karakteristik dimana wewenang mutlak dan tanggung jawab berada pada

pemimpin. Pengambilan keputusan organisasi selalu dibuat oleh pemimpin.

Pengawasan terhadap sikap, perilaku, atau kegiatan para anggota dilakukan secara

ketat. Pemimpin tidak menyediakan kesempatan bagi anggota untuk memberikan

saran, pertimbangan atau pendapat untuk organisasi. Tugas-tugas kepada anggota

diberikan secara instruktif oleh pemimpin. Pemimpin memberikan hadiah dan

hukuman untuk memotivasi anggota. Pemimpin menilai cara memimpin yang

efektif adalah dengan memberikan perintah secara instruktif dan mengawasi

secara ketat (Whitehead, Weiss & Tappen, 2007).

Gaya kepemimpinan demokratis memiliki karakteristik dimana wewenang

pemimpin tidak bersifat mutlak. Pemimpin menilai setiap anggota berkompetensi

(25)

dibuat bersama antara pemimpin dan anggota (Whitehead, Weiss & Tappen,

2007). Pengawasan dilakukan secara wajar. Banyak kesempatan disediakan

kepada anggota untuk menyampaikan saran dan pertimbangan. Pemimpin dibantu

anggota mengelompokkan tugas bersama-sama. Komunikasi suportif yang

membangun dan berkelanjutan digunakan untuk memotivasi karyawan. (Marquis

& Huston, 2010).

Kata “Laissez-faire” berasal dari bahasa Prancis yang berarti “membiarkan”

(orang-orang) “melakukan” (yang terbaik) (Barnhart & Robert, 1988). Gaya

kepemimpinan laissez-faire memiliki karakteristik dimana pelaksanaan pekerjaan

dilakukan lebih banyak oleh anggota. Keputusan dan kebijakan organisasi lebih

banyak dibuat oleh anggota. Pemimpin membiarkan anggota memotivasi timnya

sesuai keinginan. Pemimpin melakukan pengawasan dengan tingkatan rendah

terhadap para anggota (Whitehead, Weiss & Tappen, 2007). Pemimpin

memfasilitasi anggota untuk melakukan umpan balik kepada tim tanpa harus

berkonsultasi kepada pemimpin. Pemimpin memberikan kebebasan kepada para

anggota untuk memilih tugas yang akan dilakukan Secara umum, pemimpin

menilai cara yang efektif adalah dengan membiarkan para anggota bekerja secara

(26)

Tabel 2.3 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Lewin

Komponen Otokratis Demokratis Laissez-faire

Pengambilan Keputusan

Pemimpin Pemimpin dan

anggota

Anggota

Umpan Balik Tidak ada Ada Anggota

Motivasi Hadiah dan

hukuman

Komunikasi Suportif

Anggota

Pembagian Tugas Pemimpin Pemimpin dan

anggota

Anggota

Sumber: Lewin (1939 dalam Marquis & Huston, 2010)

Peneliti memutuskan untuk memilih teori kepemimpinan Lewin (1939

dalam Marquis & Huston, 2010) sebagai teori dasar dalam penelitian karena teori

ini dirancang untuk dapat diterapkan secara universal dan lebih jelas sehingga

memudahkan peneliti dalam mengelompokkan gaya kepemimpinan yang

diterapkan oleh kepala ruangan.

2. Burnout

2.1 Definisi Burnout

Menurut Maslach dan Jackson (1986), burnout adalah sindroma kelelahan

emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada

seseorang di dalam pekerjaannya. Kelelahan emosional mengacu pada penurunan

bahkan hilangnya sumber kekuatan emosional tanpa diketahui penyebabnya.

Depersonalisasi mengacu pada perkembangan sikap yang negatif dan

kecenderungan untuk menjauh dari lingkungan. Penurunan pencapaian diri adalah

kecenderungan untuk mempercayai bahwa tujuan dalam pekerjaannya tidak

tercapai, yang ditunjukkan oleh perasaan ketidakcukupan dan rasa harga diri

(27)

Pines dan Aronson (1988) mendefinisikan burnout sebagai kondisi

kelelahan fisik, emosional dan mental yang disebabkan oleh keterlibatan jangka

panjang terhadap situasi yang menuntut. Kelelahan fisik ditunjukkan oleh energi

yang rendah, kelelahan kronis, kelemahan dan keluhan psikosomatis lainnya.

Kelelahan emosional melibatkan perasaan tidak berdaya, putus asa dan perasaan

terjebak. Kelelahan mental mengacu pada perkembangan sikap negatif kepada

seseorang, pekerjaan dan kehidupan.

Menurut Brill (1984), burnout adalah kondisi disfungsional yang hebat yang

berhubungan dengan pekerjaan tanpa menunjukkan kondisi psikopatologi khusus.

Burnout berjalan dalam kurun waktu tertentu dalam suatu situasi kerja dan tidak

akan teratasi tanpa pertolongan dari luar. Stres akibat pemberhentian kerja dan

penderitaan ekonomi tidak termasuk sebagai burnout. Burnout dapat terjadi pada

setiap jenis pekerjaan selama tidak berada di luar konteks pekerjaan. Selain itu,

seseorang yang mengalami burnout tidak dikategorikan sebagai seseorang yang

mengalami gangguan kejiwaan. Seseorang yang mengalami penurunan performa

kerja yang sementara dan dapat pulih kembali juga tidak dianggap mengalami

burnout.

Burnout adalah fenomena multidimensional, yang tidak seperti depresi,

burnout berikatan dengan lingkungan kerja. Selain itu, burnout dibedakan dengan

stres kerja, burnout lebih mengacu pada kegagalan adaptasi sebagai hasil dari

stres kerja yang menetap. Burnout juga dibedakan dengan sindroma kelelahan

kronik. Burnout terkait dengan pekerjaan dan berhubungan erat dengan sindroma

(28)

kelelahan yang tak dapat dijelaskan dan gejala fisik lainnya (Schabracq,

Winnuubst & Cooper, 2003).

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, maka dapat

disimpulkan bahwa burnout adalah sindroma kelelahan emosional,

depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada seseorang

dalam pekerjaannya.

2.2 Dimensi Burnout

Maslach dan Jackson (1986) menyatakan bahwa burnout memiliki tiga

dimensi utama, yaitu kelelahan, penurunan pencapaian pribadi, dan

depersonalisasi . Kelelahan yang dimaksud adalah perasaan lelah yang hebat

terhadap lingkungan pekerjaan. Seseorang yang mengalami burnout akan

mengalami penurunan semangat saat memulai pekerjaan, saat sedang bekerja, dan

seusai bekerja. Mereka akan merasa frustrasi, tertekan, dan mengalami kebuntuan

dalam pekerjaannya. Masalah makan dan tidur yang memperburuk kondisi juga

akan ditemui. Kelelahan yang dikategorikan ke dalam burnout cenderung

berlangsung dalam waktu yang lama.

Dimensi kedua dari burnout adalah penurunan pencapaian pribadi yang

ditandai dengan perasaan penurunan kemampuan diri di lingkungan kerja,

perasaan tidak berdaya, perasaan pengaruh negatif terhadap orang lain, kehilangan

kebahagiaan saat bekerja, merasa semua tugas yang diberikan menjadi berat dan

tidak selesai. Ketika anggota merasa tidak efektif saat bekerja, maka rasa percaya

diri akan berkurang. Mereka merasa belum mencapai banyak hal berharga dalam

(29)

Dimensi ketiga adalah depersonalisasi yang ditandai dengan sikap sinis,

hilangnya empati, sikap memperlakukan klien dengan tidak utuh, penarikan diri

dari hubungan terhadap penerima jasa ataupun rekan kerja. Anggota yang

mengalami burnout merasa tidak ada yang mampu untuk mengerti ataupun

membantunya, sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan

semua masalah tersebut sendirian. Ketika seorang anggota merasakannya, mereka

cenderung merasa bersalah terhadap keputusan di masa lalu dan khawatir atas

masalah yang dialami saat ini (Maslach & Jackson, 1986).

2.3 Manifestasi Burnout

Manifestasi burnout dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu

afektif, kognitif, perilaku, dan motivasi (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

Secara umum, manifestasi afektif yang muncul pada seseorang yang mengalami

burnout adalah suasana hati yang suram dan tertekan. Sumber kekuatan emosional

akan perlahan menurun karena terlalu banyak berfokus pada pekerjaan dalam

waku yang lama. Tanda lainnya dari manifesasi afektif adalah adanya agresi dan

kecemasan. Seseorang yang mengalami bunout memiliki toleransi frustrasi yang

rendah, mudah tersinggung, dan menunjukkan sikap bermusuhan, tidak hanya

kepada pengguna jasa pelayanan, namun juga kepada kolega dan pemimpinnya.

(Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

Perubahan kognitif yang signifikan pada saat seseorang mengalami burnout

adalah perasaan keputusasaan dan ketidakberdayaan. Seseorang akan kehilangan

makna dalam pekerjaannya. Setelah merasa gagal dalam memperbaikinya, mereka

(30)

dengan perasaan ketidakmampuan dalam bekerja dan juga hubungan sosial yang

buruk di lingkungan pekerjaan. Keterampilan kognitif tertentu seperti ingatan dan

perhatian akan terganggu dan membuat proses berpikir menjadi lebih kaku dan

terpisah-pisah. Salah satu gejala yang paling khas dari burnout pada tingkat

interpersonal adalah penurunan keterlibatan dengan penerima jasa. Manifestasi

gangguan kognitif burnout tercermin dari sikap sinis, negatif, pesimis, dan kurang

empati. Pada tingkat organisasi, anggota yang mengalami burnout merasa tidak

dihargai oleh atasan mereka ataupun oleh rekan kerja. Mereka kehilangan

kepedulian terhadap organisasi dan menurunkan rasa percaya terhadap

rekan-rekan dan pemimpinnya (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

Manifestasi perilaku seseorang yang mengalami burnout adalah penarikan

psikologis dan perilaku koping maladaptif. Secara umum, tidak terdapat hubungan

antara burnout dengan kebiasaan konsumsi kopi, rokok, alkohol, dan zat adiktif.

Di tingkat organisasi, manifestasi yang paling nyata dari burnout adalah

penurunan kehadiran kerja tanpa alasan yang jelas dan penurunan performa kerja.

(Maslach, 1976, dalam Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

Di tingkat intrapersonal, motivasi intrinsik seseorang yang mengalami

burnout akan menurun secara perlahan, diikuti oleh penurunan semangat,

antusiasme, dan idealisme. Anggota yang mengalami burnout merasa bahwa tidak

ada hal apapun yang bisa membuat mereka bersemangat saat bekerja.

Kekecewaan terhadap pekerjaan akan meningkat. Pada tingkat interpersonal, salah

satu ciri khas dari burnout adalah penurunan hubungan dengan penerima jasa

(31)

2.4 Pencegahan dan Penanganan Burnout

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani

burnout antara lain: 1) memulai hari kerja dengan perasaan rileks, 2) menerapkan

pola makan yang sehat, 3) berolahraga secara teratur, 4) mengatur pola tidur, 5)

mengurangi hal-hal yang menimbulkan stress kerja, 6) mengurangi aktivitas yang

berhubungan dengan pekerjaan di akhir pekan, 7) mengembangkan kreativitas di

dalam dan luar pekerjaan dan 8) berkonsultasi dengan ahli kejiwaan jika

diperlukan (Maslach & Leiter, 1997 dalam Schabracq, Winnuubst & Cooper,

2003).

Efektivitas manajemen stres sebagai penanganan burnout masih

dikembangkan oleh para ahli. Beberapa ahli sulit untuk menarik kesimpulan

karena studi evaluasi menggunakan sampel, prosedur, kerangka waktu, instrumen

pengukuran, dan metode pelatihan yang berbeda. Beberapa studi juga mengalami

kekurangan metodologis seperti kurangnya kelompok kontrol dan jumlah peserta

yang kecil sehingga memerlukan banyak pengembangan (Kraft, 2006). Di sisi

lain, kelelahan sebagai gejala inti burnout dapat dikurangi dengan latihan

menggunakan teknik koping adaptif, teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif

(Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

Meskipun demikian, dimensi penurunan pencapaian diri dan depersonalisasi

sulit untuk berubah. Hal ini dikarenakan teknik yang digunakan untuk mengatasi

burnout hanya berfokus untuk mengurangi kemunculan gejala alih-alih pada

perubahan sikap depersonalisasi atau peningkatan keterampilan profesional yang

(32)

dampak positif dalam mengatasi aspek kelelahan pada burnout. Meskipun begitu,

program ini dievaluasi secara positif dan tingkat efektivitasnya akan terus

(33)

Gaya kepemimpinan

kepala ruangan:

1. Otokratis

2. Demokratis

3. Laissez-faire

(Lewin 1939, dalam Marquis & Huston, 2010)

Burnout perawat pelaksana:

1. Exhaustion

2. Depersonalization

3. Reduced Personal

Achievement

(Maslach & Jackson, 1986) BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Penelitian

Komponen gaya kepemimpinan terdiri dari kepemimpinan otokratis,

kepemimpinan demokratis, dan kepemimpinan laissez-faire. Komponen burnout

terdiri dari exhaustion, depersonalization dan reduced personal achievement.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan gaya kepemimpinan kepala

ruangan terhadap burnout perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr.

Pirngadi Medan.

Keterangan :

: Diteliti

(34)

2. Definisi Operasional

[image:34.595.113.512.182.451.2]

2.1 Variabel Independen

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Independen

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Gaya Kepemim pinan

Cara kepala ruangan dalam memberikan arahan,

melaksanakan rencana, dan

memotivasi perawat pelaksana di ruang rawat inap RS Dr. Pirngadi Medan. Kuesioner yang terdiri dari 18 pertanyaan dengan 2 pilihan:

Ya = 1 Tidak = 0

Skor tertinggi

Otokratis: No. 1, 4, 7, 10, 13, 16.

Demokratis: No. 2, 5, 8, 11, 14, 17.

Laissez-faire: No. 3, 6, 9, 12, 15, 18.

(35)
[image:35.595.125.511.151.438.2]

2.2 Variabel Dependen

Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Dependen

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Burnout Sindroma fisik, mental dan emosional yang diukur berdasarkan

dimensi exhaustion,

de-personalization,

dan personal achievement pada perawat pelaksana di ruang rawat inap RS Dr. Pirngadi Medan.

Kuesioner dengan 22 pertanyaan yang terdiri dari 3

dimensi burnout (7

kelelahan, 7

depersonalisasi,8

penurunan prestasi) dengan 4 pilihan:

Tidak pernah = 1 Kadang-kadang = 2 Sering = 3

Selalu = 4

Tinggi, Sedang, Rendah

(36)

3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Hipotesis Null (H0): Tidak terdapat hubungan antara gaya

kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di

Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

b. Hipotesis Alternatif (Ha): Terdapat hubungan antara gaya

kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di

Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, ataupun laissez-faire

yang diterapkan oleh kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di ruang

rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan. Dengan demikian, diperoleh

(37)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain korelatif dengan jenis penelitian

kuantitatif dengan metode pengambilan data cross sectional yaitu pengukuran

hubungan variabel independen dan dependen dilakukan pada satu satuan waktu

(Dharma, 2011). Rancangan penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan

gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di ruang

rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

2.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan (Nursalam, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah perawat

pelaksana yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bekerja di

ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan, yaitu berjumlah 173 orang

(Data Tenaga Bidang Keperawatan RSUD Dr. Pirngadi Medan 2015).

2.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian (Dharma, 2011). Penentuan jumlah

sampel dalam penelitian ini diperoleh melalui formula Slovin:

1 )

( 2

d N

(38)

Keterangan: n = besar sampel N = besar populasi

d = batas toleransi kesalahan/error tolerance (10%)

Dari hasil perhitungan, diperoleh jumlah sampel adalah 63 perawat

pelaksana berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di ruang rawat inap

Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

2.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah quota sampling, dimana

peneliti terlebih dahulu membagi proporsi sampel menurut kelas/ruangan yang

telah ditentukan (Dharma, 2011). Kelas yang dimaksud adalah ruangan-ruangan

tempat perawat pelaksana bekerja. Peneliti menetapkan sampel dengan cara

mendata seluruh populasi target, kemudian mengelompokkannya berdasarkan

kelas/ruangan yang ada dan menentukan jumlah sampel dengan membagi jumlah

anggota kelas dalam populasi (jumlah perawat dalam ruangan tertentu) dengan

proporsi jumlah sampel yang diharapkan dan jumlah populasi. Perhitungan dapat

dijabarkan sebagai berikut:

Kelas Anggota

Populasi Sampel Kelas

Sampel/   /

Kelas Anggota

Kelas

Sampel/ 0.36 /

(39)
[image:39.595.118.512.126.453.2]

Tabel 4.1 Pembagian Sampel dan Populasi Menurut Ruangan

Ruangan Populasi Sampel

Rafflesia 10 4

VIP.I (Anggrek 1) 10 4

VIP.II (Anggrek 2) 9 3

PLUS A (Mawar 1) 9 3

PLUS B (Mawar 2) 7 3

E.Terpadu 6 2

R. XV (Dahlia 1) 13 5

R. XVII (Dahlia 2) 12 4

Lantai VI (Tulip 2) 12 4

Lantai VII (Tulip 3) 11 4

R. III (Melati 1) 9 3

R. Neurologi (Melati 2) 5 1

R. VII (Melati 3) 8 3

R. IX (Kenanga 1) 7 3

R. XXI (Asoka 1) 10 4

R. XIV (Asoka 2) 10 4

R. XVIII (Flamboyan) 9 3

R. XXIII (Matahari) 10 4

RRG 6 2

Total 173 63

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap di Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan. Peneliti memilih Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan sebagai lokasi

penelitian karena Rumah Sakit Dr. Pirngadi merupakan rumah sakit pemerintah

rujukan tipe B sekaligus rumah sakit pendidikan yang memiliki jumlah tenaga

keperawatan yang memadai dan bervariasi menurut gaya kepemimpinan yang

diterapkan oleh kepala ruangan dan tingkat burnout yang dialami sehingga

(40)

3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada September 2014-Juli 2015. Pengambilan data

dilakukan pada Mei-Juni 2015.

4. Pertimbangan Etik

Pengumpulan data dilakukan setelah terlebih dahulu peneliti mengajukan

permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (Program Studi

Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara) dan kemudian permohonan izin

penelitian yang telah diperoleh dikirimkan ke tempat penelitian (RSUD. Dr.

Pirngadi Medan). Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang berkaitan

dengan permasalahan etik, yaitu memberi penjelasan kepada calon responden

penelitian tentang tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Hidayat

(2007), mengatakan bahwa ada pertimbangan etik yang perlu diperhatikan pada

saat penelitian yaitu: Informed consent, bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Peneliti

menanyakan kesediaan menjadi responden setelah peneliti memperkenalkan diri,

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dan dampaknya. Jika responden

bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden

tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak mereka. Anonimity,

penelitian tidak mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan

disajikan. Confidentiality, penelitian menjamin kerahasiaan informasi responden

(41)

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner

tersebut terdiri dari tiga bagian: kuesioner data demografi, kuesioner gaya

kepemimpinan kepala ruangan dan kuesioner burnout perawat pelaksana.

Kuesioner bagian pertama berisi data demografi perawat pelaksana meliputi: jenis

kelamin, usia, dan tingkat pendidikan dan masa kerja.

Kuesioner bagian kedua berisi pertanyaan yang memberikan gambaran

perawat pelaksana tentang gaya kepemimpinan kepala ruangan berdasarkan teori

gaya kepemimpinan oleh Lewin (1939 dalam Marquis & Huston, 2010).

Kuesioner tersebut berjumlah 18 pertanyaan berdasarkan 3 gaya kepemimpinan.

Pertanyaan nomor 1, 4, 7, 10, 13, dan 16 mencerminkan gaya kepemimpinan

otokratis. Pertanyaan nomor 2, 5, 8, 11, 14, dan 17 mencerminkan gaya

kepemimpinan demokratis. Pertanyaan nomor 3, 6, 9, 12, 15, dan 18

mencerminkan gaya kepemimpinan laissez-faire. Pilihan jawaban yang diberikan

adalah „Tidak‟ yang diberi skor 0, „Ya‟ yang diberi skor 1.

Kuesioner bagian ketiga berisi pertanyaan mengenai burnout perawat

pelaksana. Kuesioner tersebut berjumlah 22 pertanyaan yang dibagi menjadi 3

bagian berdasarkan 3 dimensi burnout. Dimensi kelelahansebanyak 7 pertanyaan,

dimensi depersonalisasi sebanyak 7 pertanyaan dan dimensi penurunan prestasi

sebanyak 8 pertanyaan. Pilihan jawaban yang diberikan adalah „tidak pernah‟

(42)

6. Validitas dan Reliabilitas

6.1 Validitas

Validitas menunjukkan ketepatan pengukuran suatu instrumen, artinya suatu

instrumen dinyatakan valid apabila instrumen tersebut mengukur subjek dengan

benar. Validitas merupakan syarat mutlak bagi suatu alat ukur agar dapat

digunakan dalam suatu pengukuran. Pada variabel yang tidak bisa diukur secara

langsung, peneliti menjabarkan konsep dari tingkat teoritis sampai dengan

indikator-indikatornya (Dharma, 2011).

Prosedur yang digunakan untuk menguji validitas alat ukur kuesioner gaya

kepemimpinan dan kuesioner burnout adalah uji validitas isi (content validity).

Prosedur validitas alat ukur ditentukan dengan meminta pendapat pakar pada

bidang yang sedang diteliti. Uji validitas dilakukan sebelum pengumpulan data

dengan melakukan konsultasi kepada tiga orang validator ahli: Diah Arruum,

S.Kep, Ns, M.Kep, Hinsa Siburian, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Kepala Bidang

Instalasi Ruang Rawat Inap, dan Ns. Roslina, SKM. S.Kep, M.Kep selaku Kepala

Seksi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

Hasil uji validitas dari instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah 0,86

untuk kuesioner gaya kepemimpinan dan 0,84 untuk kuesioner burnout. Kedua

kuesioner telah dinyatakan valid.

6.2 Reliabilitas

Reliabilitas adalah tingkat konsistensi dari suatu pengukuran yang

menunjukkan apabila pengukuran menghasilkan data yang konsisten jika

(43)

Nilai 1 menunjukkan reliabilitas sempurna yang jarang terjadi akibat kesalahan

acak (random error) beberapa derajat dalam pengukuran. Untuk dapat digunakan

dalam suatu penelitian sebaiknya instrumen memiliki nilai reliabilitas di atas 0,7

(70 % dari varian skor observasi).

Peneliti melakukan uji reliabilitas di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Haji

Medan yang dilakukan sebelum pengumpulan data terhadap 30 perawat yang

memiliki kriteria yang sesuai dengan kriteria penelitian. Penentuan reliabilitas

kuesioner gaya kepemimpinan menggunakan formula kr-21. Penentuan reliabilitas

kuesioner burnout menggunakan program komputer untuk analisa statistik

Cronbach’s alpha. Hasil uji reliabilitas gaya kepemimpinan dari 18 pernyataan

yang diberikan kepada 30 perawat pelaksana di ruang rawat inap adalah 0,74 dan

hasil uji reliabilitas dari 22 pernyataan yang diberikan kepada 30 perawat

pelaksana di ruang rawat intensif adalah 0,818.

7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat izin pelaksanaan

penelitian dari institusi pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara kemudian RS Dr. Pirngadi Medan. Peneliti selanjutnya mengantarkan surat

izin penelitian yang telah disetujui oleh rumah sakit ke Bagian Keperawatan RS

Dr. Pirngadi Medan.

Peneliti menetapkan sampel penelitian setelah mendapatkan izin dari bagian

keperawatan untuk dapat melakukan penelitian di ruangan rawat inap. Sampel

(44)

Setelah sampel terpilih, peneliti mengadakan pendekatan kepada subjek

penelitian yaitu perawat pelaksana melalui kepala ruangan dengan menjelaskan

tujuan, manfaat dan prosedur pelaksanaan penelitian serta meminta persetujuan

calon responden menjadi subjek penelitian. Jika calon responden bersedia, maka

calon responden menandatangani informed consent. Responden selanjutnya diberi

lembar kuesioner dan diminta untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan petunjuk

yang diberikan. Peneliti memberitahu responden untuk mengisi kuesioner sesuai

dengan apa yang dialami, dirasakan dan dilakukan oleh responden dan harus diisi

sendiri oleh responden. Setelah responden selesai mengisi kuesioner, peneliti

memeriksa kelengkapan data. Keseluruhan data selanjutnya dikumpulkan untuk

dianalisa.

8. Analisa Data

Peneliti melakukan analisa data melalui enam tahap. Tahap pertama adalah

editing, yaitu memeriksa kelengkapan data responden dan memastikan bahwa

semua pertanyaan telah terisi sesuai petunjuk. Tahap kedua adalah coding, yaitu

mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

Peneliti membuat kode pada kuesioner sebagai pengganti identitas responden dan

selanjutnya peneliti memberikan kode pada masing-masing pernyataan dalam

kuesioner. Tahap ketiga adalah sorting, yaitu peneliti mengelompokkan data

menurut jenis yang dikehendaki (klasifikasi data), misalnya menurut tanggal dan

sebagainya. Tahap keempat adalah entry data yaitu jawaban-jawaban yang sudah

diberi kode kemudian dimasukkan ke dalam tabel dengan cara menghitung

(45)

keenam adalah data analysis, yaitu data yang telah terkumpul dianalisi kembali

untuk menghindari kesalahan data.

8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan suatu prosedur untuk menganalisa data dari

masing-masing variabel secara terpisah yang bertujuan untuk mendeskripsikan

karakteristik subjek penelitian (Dharma, 2011). Pada analisis ini akan diketahui

distribusi frekuensi mengenai karakteristik responden yang meliputi usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan dan lama masa kerja. Variabel gaya kepemimpinan

kepala ruangan dianalisis menggunakan skala nominal. Setiap pertanyaan

memiliki 2 pilihan jawaban. Variabel burnout dianalisis menggunakan skala

ordinal. Setiap pertanyaan memiliki 4 pilihan jawaban.

8.2 Analisis Bivariat

Analisis Bivariat adalah suatu prosedur analisa hubungan dua variabel

(Dharma, 2011). Analisa digunakan secara komputerisasi untuk melihat hubungan

antara gaya kepemimpinan dengan burnout perawat pelaksana di Rumah Sakit Dr.

(46)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitan ini dibagi atas 4 (empat) bagian: karakteristik responden,

gaya kepemimpinan kepala ruangan, tingkat burnout perawat pelaksana, serta

hubungan gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana

di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

1.1 Karakteristik Data Demografi

Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik demografi responden dapat

[image:46.595.116.510.433.544.2]

dilihat di tabel 5.1 berikut ini:

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi & Persentase Karakteristik Demografi Responden (n=63)

Karakteristik Demografi Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin

Perempuan 58 92,1

Laki-Laki 5 7,9

Usia

<40 38 60,3

(47)

Karakteristik Demografi Frekuensi Persentase (%) Pendidikan

SPK 7 11,1

D-3 39 61,9

S-1 17 27,0

Masa Kerja

<10 18 28,6

10 45 71,4

Sumber: Data Primer

Karakteristik responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas

responden berjenis kelamin perempuan (92,1%). Karakteristik usia responden

yang terbanyak adalah yang berusia kurang dari 40 tahun (60,3%). Dari tingkat

pendidikan, sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan D-3

keperawatan (61,9%). Masa kerja terbanyak responden adalah di atas 10 tahun

(71,4%).

1.2 Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan

Hasil gambaran gaya kepemimpinan kepala ruangan oleh perawat pelaksana

[image:47.595.118.508.141.263.2] [image:47.595.114.515.543.609.2]

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.2 Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan (n=63)

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

Gaya Kepemimpinan

Autokratik 8 12,7

Demokratik 50 79,4

Laissez-faire 5 7,9

Sumber: Data Primer

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan terbanyak yang

diterapkan oleh para kepala ruangan di ruang rawat inap RS Dr. Pirngadi Medan

(48)

1.3 Tingkat Burnout Perawat Pelaksana

Hasil analisa data mengenai tingkat burnout yang dialami oleh perawat

[image:48.595.115.515.202.263.2]

pelaksana dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.3 Tingkat Burnout Perawat Pelaksana (n=63)

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

Burnout

Tinggi 0 0,0

Sedang 5 7,9

Rendah 58 92,1

Sumber: Data Primer

Pada tabel 5.3, terdapat tiga tingkatan burnout yang menjadi fokus

penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana

yang bekerja di RS Dr. Pirngadi Medan menunjukkan tingkat burnout yang

rendah (92,1%), diikuti dengan burnout tingkat sedang (7,9%).

1.4 Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Burnout

1.4.1 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui tingkat kenormalan

pendistribusian data. Uji normalitas data gaya kepemimpinan dan burnout

menggunakan grafik histogram. Jika kedua data terdistribusi normal, maka uji

hipotesis yang dilakukan adalah uji parametrik. Jika salah satu dari data gaya

kepemimpinan dan burnout tidak terdistribusi normal, maka uji yang digunakan

adalah uji non-parametrik.

Berdasarkan hasil uji normalitas dengan grafik histogram, didapatkan

kesimpulan bahwa data gaya kepemimpinan terdistribusi normal, sedangkan data

burnout terdistribusi tidak normal. Dengan demikian, uji hipotesis yang

digunakan adalah uji non-parametrik dengan uji korelasi Spearman.

(49)

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh mengenai hubungan gaya

kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di ruang rawat

inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan, peneliti memutuskan untuk melakukan uji

hubungan dengan menghubungkan setiap sub-variabel Gaya Kepemimpinan

(Otokratis, Demokratis, Laissez-faire) dengan variabel Burnout. Hasil pengolahan

diperoleh sebagai berikut:

Tabel 5.4 Hubungan Gaya Kepemimpinan Otokratis, Demokratis, dan Laissez-faire dengan Burnout Perawat Pelaksana

Variabel/Sub-Variabel P

Gaya Kepemimpinan Otokratis

Burnout -0.112 0.382

Gaya Kepemimpinan Demokratis

Burnout 0.005 0.971

Gaya Kepemimpinan Laissez-faire

Burnout 0.131 0.306

Sumber: Data Primer

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa nilai probabilitas untuk setiap hubungan

lebih besar daripada nilai ฀ (0.1). Dengan demikian, tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, atau

laissez-faire yang diterapkan oleh kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di

ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

2. Pembahasan

2.1 Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Rawat Inap Rumah Sakit Dr.

Pirngadi Medan

Gaya kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin dalam memberikan

[image:49.595.117.510.300.436.2]
(50)

tujuan kelompok secara bersama-sama (Jones, 2007). Gaya kepemimpinan

seseorang muncul dari perilaku dan kepribadiannya dalam berinteraksi dengan

anggota kelompok dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan

bersama. Dengan mengenali gaya kepemimpinan, seorang pemimpin akan mampu

mengetahui bagaimana cara memimpin suatu kelompok pada saat tertentu. Para

anggota juga akan lebih mudah mengenal dan berkolaborasi dengan pemimpin

sehingga tujuan kelompok juga akan lebih mudah tercapai (Kippenberger, 2002).

Gaya kepemimpinan secara umum dibagi menjadi tiga: otokratik,

demokratik, dan laissez-faire. Gaya kepemimpinan otoriter memiliki karakteristik

dimana wewenang mutlak dan tanggung jawab berada pada pemimpin. Gaya

kepemimpinan demokratis memiliki karakteristik dimana wewenang pekerjaan

berada pada pemimpin dan anggota. Gaya kepemimpinan laissez-faire memiliki

karakteristik dimana wewenang pekerjaan lebih banyak berada pada anggota

(Kippenberger, 2002).

Hasil analisa data mengenai gaya kepemimpinan kepala ruangan yang

dipersepsikan oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr.

Pirngadi Medan terhadap 63 orang responden menunjukkan bahwa mayoritas

responden mempersepsikan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh sebagian

besar kepala ruangan adalah gaya kepemimpinan demokratik (79.4%), beberapa

responden mempersepsikan gaya kepemimpinan kepala ruangan sebagai gaya

kepemimpinan otokratik (12.7%), dan hanya sebagian kecil responden yang

mempersepsikan gaya kepemimpinan kepala ruangan sebagai gaya kepemimpinan

(51)

yang menyatakan di dalam penelitiannya di RSUP H. Adam Malik bahwa gaya

kepemimpinan yang sering dan tepat diterapkan di ruangan rawat inap adalah

gaya kepemimpinan demokratis, dimana kepala ruangan dan perawat pelaksana

membuat keputusan bersama-sama.

Gaya kepemimpinan demokratis memiliki orientasi hubungan langsung

kepada anggota dan memberikan bimbingan yang efisien dari para pemimpinnya.

Gaya kepemimpinan demokratis juga memiliki koordinasi pekerjaan yang baik

terhadap seluruh anggota dengan menekankan pada tanggung jawab bersama

antara pemimpin dan anggota serta kerja sama dan kinerja yang baik (Kartono,

2013 dalam Fuadiputra, 2014). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Umam, Hakam dan Susilo (2015) yang menyatakan bahwa gaya

kepemimpinan demokratis yang diterapkan oleh pemimpin memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap motivasi kerja dan kinerja para anggotanya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan

demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang efektif diterapkan di dalam

situasi tertentu seperti di ruangan rawat inap karena situasi ruangan rawat inap

lebih membutuhkan kerja sama tim yang baik dibandingkan pengambilan

keputusan yang cepat dalam melakukan penanganan.

2.2 Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan

Burnout adalah sindroma kejenuhan kerja yang ditandai dengan kelelahan

emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada

(52)

yang terdiri dari tiga dimensi utama: kelelahan emosional, depersonalisasi dan

penurunan pencapaian diri. Kelelahan emosional mengacu pada penurunan

bahkan hilangnya sumber kekuatan emosional tanpa penyebab yang jelas.

Depersonalisasi merupakan perkembangan sikap yang negatif dan kecenderungan

untuk menjauh dari lingkungan. Penurunan pencapaian diri adalah kecenderungan

untuk mempercayai bahwa tujuan dalam pekerjaannya tidak tercapai, yang

ditunjukkan oleh perasaan ketidakcukupan sehinggan menimbulkan rasa harga

diri profesional yang rendah (Maslach & Jackson, 1986).

Hasil analisa data mengenai tingkat burnout yang dialami oleh perawat

pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan terhadap 63

orang responden menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami burnout

tingkat rendah (92.1%) dan hanya sebagian kecil responden yang mengalami

burnout tingkat sedang (7.9%). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kidd dan

Wagner (1992) yang menyatakan bahwa perawat yang bekerja di ruangan critical

care, misalnya intensive care unit dan emergency room, lebih rentan mengalami

burnout tingkat tinggi dibandingkan perawat yang bekerja di ruangan lain,

misalnya di ruangan rawat inap.

Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden yang mengalami burnout

tingkat rendah adalah perawat pelaksana yang berjenis kelamin perempuan

(92.1%). Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaidi,

Wajid dan Zaidi (2011) tentang hubungan karakteristik demografi dengan burnout

guru sekolah di Lahore Pakistan yang menyatakan bahwa tingkat depersonalisasi

(53)

dibandingkan perempuan. Pekerja laki-laki yang mengalami burnout

menunjukkan sikap kehilangan empati dan menarik diri yang lebih nyata

dibandingkan pekerja perempuan. Pekerja laki-laki

Gambar

Tabel 2.1 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Likert
Tabel 2.2 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Hersey-Blanchard
Tabel 2.3 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Lewin
Tabel  3.1 Definisi Operasional Variabel Independen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada hubungan pelaksanaan supervisi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian askep di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara

Judul Tesis : HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN MANAJER KEPERAWATAN TERHADAP MOTIVASI KERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUANG RAWAT INAP RSUD KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2016.. Nama Mahasiswa

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara tentang gaya kepemimpinan terhadap 10 orang perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD Kota

Hubungan fungsi manajemen kepala ruangan menurut persepsi perawat pelaksana dan karakteristik individu dengan pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang instalasi rawat inap

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada kepala ruangan yang ada di Ruang Perawatan Dalam Pria dapat diketahui bahwa kinerja perawat pelaksana yang ada di Ruang

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di ruang inap RSUD

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran kepala ruangan dalam pelaksanaan fungsi manajemen keperawatan; persepsi perawat pelaksana di ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA RUANGAN TERHADAP KINERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUMAH SAKIT PROVINSI SUMATERA