• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perbandingan Sari Temulawak Dengan Sari Kencur Dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Jamu Instan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Perbandingan Sari Temulawak Dengan Sari Kencur Dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Jamu Instan"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

93

Daftar analisis sidik ragam kadar air

(2)

94

Lampiran 2.

Hasil analisis kadar abu (%)

Perlakuan Ulangan Total (%) Rataan (%)

Daftar analisis sidik ragam kadar abu

(3)

95

Lampiran 3.

Hasil analisis total asam (%)

Perlakuan Ulangan Total (%) Rataan (%)

Daftar analisis sidik ragam total asam

(4)

96

Lampiran 4

Hasil analisis total padatan terlarut (oBrix)

Perlakuan Ulangan Total

(oBrix)

Daftar analisis sidik ragam total padatan terlarut

(5)

97

Lampiran 5.

Hasil analisis daya larut (%)

Perlakuan Ulangan Total (%) Rataan (%)

Daftar analisis sidik ragam daya larut

(6)

98

Lampiran 6.

Hasil analisis kecepatan larut (g/s)

Perlakuan Ulangan Total (g/s) Rataan (g/s)

Daftar analisis sidik ragam kecepatan larut

(7)

99

Lampiran 7.

Hasil analisis indeks warna Perlakuan

Daftar analisis sidik ragam indeks warna

(8)

100

Lampiran 8.

Hasil analisis skor warna

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

Daftar analisis sidik ragam skor warna

(9)

101

Lampiran 9.

Hasil analisis hedonik aroma Perlakuan

Daftar analisis sidik ragam hedonik aroma

(10)

102

Lampiran 10.

Hasil analisis hedonik rasa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

Daftar analisis sidik ragam hedonik rasa

(11)

103

Lampiran 11.

Hasil analisis skor rasa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Daftar analisis sidik ragam skor rasa

(12)

104 Lampiran 12.

Hasil analisis nilai IC50

Perlakuan Total

T1S1 60,21

T1S2 71,73

T1S3 79,58

T1S4 81,50

T2S1 60,83

T2S2 73,73

T2S3 81,50

T2S4 93,56

T3S1 62,77

T3S2 79,11

T3S3 81,50

T3S4 93,56

T4S1 69,22

T4S2 82,37

T4S3 85,95

T4S4 100,83

Total 1257,95

(13)
(14)
(15)

107

Lampiran 14.

Hasil pengukuran kurva baku kurkumin

Larutan kurkumin (ppm) Absorban

5 0,156

10 0,306

15 0,461

20 0,612

25 0,764

Hasil analisis kadar kurkumin

Kode Abrorbansi (λ =405) Kadar kurkumin

T3S1 (1) 0,121 0,78

T3S1 (2) 0,133 0,86

Analisa bahan baku temulawak dan kencur

(16)

108 Lampiran 15

Gambar produk

Perlakuan Foto

Sari temulawak : sari kencur 95% : 5% Suhu 50oC

Sari temulawak : sari kencur 90% : 10%

Suhu 50oC

Sari temulawak : sari kencur 85% : 15%

Suhu 50oC

Sari temulawak : sari kencur 80% : 20%

(17)

109

Perlakuan Foto

Sari temulawak : sari kencur 95% : 5%

Suhu 60oC

Sari temulawak : sari kencur 90% : 10% Suhu 60oC

Sari temulawak : sari kencur 85% : 15% Suhu 60oC

(18)

110

Perlakuan Foto

Sari temulawak : sari kencur 95% : 5%

Suhu 70oC

Sari temulawak : sari kencur 90% : 10% Suhu 70oC

Sari temulawak : sari kencur 85% : 15% Suhu 70oC

(19)

111

Perlakuan Foto

Sari temulawak : sari kencur 95% : 5%

Suhu 80oC

Sari temulawak : sari kencur 90% : 10% Suhu 80oC

Sari temulawak : sari kencur 85% : 15% Suhu 80oC

(20)

87

Adrianto, F. N. 2014. Uji Potensi Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa L.) Asal Indonesia. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia, Jakarta.

Afriastini, J. J., 2002. Bertanam Kencur. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Amir, A. A. 2014. Pengaruh Penambahan jahe (Zingiber officinale roscoe) dengan

Level yang Berbeda terhadap Kualitas Organoleptik dan Aktivitas Antioksidan Susu Pasteurisasi. Skripsi. Universitas Hasanuddin, Makassar. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official

Analytical Chemists. AOAC, Washington.

BPS. 2007. Statistik Tanaman Obat-obatan dan Hias. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional.1995. SNI 01-3743-1995 Gula Merah. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1996. 01-4320-1996. Syaratan Mutu Serbuk Minuman Tradisional Menurut Standar Nasional Indonesia. Balai Besar Industri Kimia Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jakarta.

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2008. Budidaya Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Bernasconi, G., H. Grester, H. Hauser, H. Satuble, dan E. Scheniter. 1995. Teknologi Kimia Bagian 2. Terjemahan: L. Hadojo. Pradnya Paramita, Jakarta.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 2009. Ilmu Pangan. Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta.

Budidaya kencur. http//:www.google.com/budidaya kencur. (16 Februari 2017) Baliwati, Y. F., A. Khomsan, dan C. M. Dwiriani. 2004. Pengantar Pangan dan

Gizi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Burhanuddin, S. 2001. Prosiding Forum Pasar Garam. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(21)

DeMan, M. J. 1989. Kimia Pangan. Penerjemah: K. Padmawinata. ITB-Press. Bandung.

Desrosier, N. W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi Ketiga. Penerjemah: Muchji muljohardjo. UI-Press, Jakarta.

Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2008. Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza). Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian.

Jakarta

Dwijana, D. R. 2011. Perbandingan konsentrasi hidrokoloid dan konsentrasi asam sitrat dalam minuman jeli susu sesuai mutu dan kualitas. Skripsi. Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Pakuan, Bogor.

Endrasari, R., Qanytah, dan B. Prayudi. 2008. Pengaruh pengeringan terhadap mutu simplisia temulawak di kecamatan Tembalang Kota Semarang. Ermawati, D. 2008. Pengaruh penggunaan ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia

Swingle) terhadap residu nitrit daging curing selama proses curing. Skripsi. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Estiasih, T., dan K. Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.

Febriyanti, I., dan A. Setyowati. 2014. Sifat fisik instan temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dengan berbagai rasio penambahan gum arab dan maltodekstrin dari ekstraksi maserasi. Jurnal Agrisains. 5(1): 42-57.

Fennema, O.W. 1985. Principle of Food Science, Food Chemistry, 2nd (ed). Marcel Dekker Inc, New York.

Gaonkar, A. G. 1995. Ingredient Interactions: Effect on Food Quality. Marcell Dekker, New York.

Gujral, H. S., dan S. S. Brar. 2003. Effect of hydrocolloids on the dehydration kinetics, colour, and texture of mango leather. International Journal of Food Prop. 6(2): 267-279.

Hapsoh, dan Y. Hasanah. 2011. Budidaya Tanaman Obat dan Rempah. USU-Press, Medan.

(22)

Harini, B. W., R. Dwiastuti., dan L. W. Wijayanti. 2012. Aplikasi metode spektofotometri visibel untuk mengukur kadar curcuminoid pada rimpang kunyit (Curcuma domestica). Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi (SNAST) periode III. 31-32.

Hasanah, A. N., F. Nazaruddin, A. Febrina, dan A. Zuhrotun. 2011. Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.). Jurnal Matematika dan Sains. 16(3): 1-6.

Hutchings, J. B. 1999. Food Color and Appearance Second Editions. Springer, Maryland.

Koswara, S., C. A. Oktavia, dan Sumarto. 2012. Panduan Proses Produksi Temulawak Instan. LPPM IPB, Bogor.

Krokida, M. K., D. Kouris, dan Marinos. 2003. Rehydration kinetics of dehydrated products. Journal of Food Engineering. 57(1): 1-7.

Kumalaningsih, S., dan Suprayogi. 2006. Teknologi Pangan Membuat Makanan Siap saji. Trubus Agrisarana, Surabaya.

Litbang. 2012. Teknologi Pembuatan Rempah jahe Instan. (27April 2016).

Lingga, P. 2007. Resep-resep Obat Tradisional. Penebar Swadaya, Jakarta.

Manfaat dan Khasiat Temulawak. http//:www.google.com/ manfaat dan khasiat temulawak. (18 Februari. 2017).

Mardiyaningsih, A., dan R. Aini. 2014. Pengembangan potensi ekstrak daun pandan (Pandanus amaryllifolius Roxb) sebagai agen antibakteri. Pharmaciana. 4(2): 185-192.

Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radical DPPH for estimating antioxidant activity. Journal Science Technology. 26(3): 211-219.

Muchtadi, D., dan T. R. Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium lmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Muchtadi, T. R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. IPB-Press, Bogor. Mursito, 2011. Ramuan Tradisional Untuk Gangguan Ginjal. Penebar Swadaya,

(23)

Nawawi, A., I. Rahmiyani, dan A. S. Nursolihat. 2014. Serbuk pandan wangi (Pandanus amarylifolius Roxb.) dan pemafaataannya sebagai penambah aroma pada makanan. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 11(1): 114-120.

Nurjanah, L. I. 2013. Pemanfaatan kandungan air jeruk nipis. Unej Jurnal. 1(1): 1-4.

Oktaviana, P. R. 2010. Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Temulawak (Curcuma xantorrhiza Roxb.) Pada Berbagai Teknik Pengeringan dan Proporsi Pelarutan. Skripsi. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Purba, A., dan H. Rusmarilin. 1985. Dasar Pengolahan Pangan. FP-USU, Medan. Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Producs. TataMc

graw Hill Publishing Company, New Delhi.

Razak, A., A. Djamal, dan G. Revilla. 2013. Uji Daya Hambat Air Perasan Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia s.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri

Staphylococcus Aureus Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas.

2(1): 5-8.

Regianto, H. 2009. Minyak atsiri rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) karakterisasi simplisia, isolasi dan analisis komponen minyak atsiri secara GC-MS. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rukmana, R., 1995. Temulawak Tanaman Rempah dan Obat. Kanisius, Yogyakarta.

Rumokoi, M. 1990. Manfaat Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr). Buletin Balitka no. II Edisi Januari 1990, Jakarta.

Santosa, D., dan D. Gunawan. 2000. Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Kulit. Penebar Swadaya, Depok.

Sayuti, K., dan R. Yenrina. 2015. Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas University Press, Padang.

Sembiring, B. S., dan S. Yuliantini. 2008. Penanganan dan Pengolahan Rimpang Jahe. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sari, G. P. 2011. Studi budidaya dan pengaruh lama pengeringan terhadap jahe merah (Zinggiber officinale Rosc.). skripsi. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Pekanbaru.

(24)

Setiawan, 2011. Berbagai Sumber & Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Gramedia, Jakarta.

Setyoko, B., Senen, dan S. Darmanto. 2008. Pengeringan ikan teri dengan system vakum dan paksa. Majalah Info. 11(1): 1-6.

Sidik, Mulyono M.W., dan A. Muhtadi. 1985.Temulawak (Curcuma xanthorriza Robx.), Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica, Jakarta. Sinurat, E., dan Murniyati. 2014. Pengaruh waktu dan suhu pengeringan terhadap

kualitas permen jeli. JPB Perikanan. 9(2): 133-142.

Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Pusbang-Tepa IPB, Bogor.

Sugindro, E. Mardiyanti, dan J. Djajasastra. 2008. Pembuatan dan mikroenkapsulasi ekstrak etanol biji jinten hitam pahit (Nigella sativa Linn.). Majalah Ilmu Kefarmasian. 5(2):57-6.

Sukari, M. A., N. W. M. Sharif, A. L. C. Yap, S. W. Tang, B. K. Neoh, M. Rahmani, G. C. L. Ee, Y. H. Taufiq-Yap, and U. K. Yusof. 2008. Chemical constituens variations of essential oils from rhizomes of four zingiberaceae species. The Malaysian J. Anal. Sci., 12:3, 638-644.

Sumarni, R., Djamil, R. dan , I. S. Afrilia. 2012. Kadar kurkumin dan potensi antioksidan ekstrak etanol rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe), temu mangga (Curcuma mangga Val et Zyp) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Prosiding Seminar Nasional Pokjanas TOI XLII. 1(1): 1-9.

Sunanto, H. 1993. Aren - Budidaya dan Multigunanya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Susanto, W. H. 1985. Mempelajari Pengawetan Minuman Beras Kencur dengan Perlakuan Fisis dan Kemis. Universitas Brawijaya. Malang.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 1994. Kadar Abu. SNI 01-3451-1994.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2011. Penentuan Daya Larut. SNI 7612-2011. Tranggono, S., Haryadi, Suparmo, A. Murdiati, S. Sudarmadji, K. Rahayu, S.

Naruki, dan M. Astuti. 1991. Bahan Tambahan Makanan (Food Additive). PAU Pangan dan Gizi. UGM-Press, Yogyakarta.

(25)

Wahyunindiani, D. Y., S. Wijana, dan Sucipto. Pengaruh perbedaan suhu dan waktu pengeringan terhadap antioksidan bubuk daun sirsak (Annona

muricata L.). Jurnal teknologi Pangan. 1(1): 2008.

Widiatmoko, M. Dan W. J. Hartomo, 1993. Emulsi dan Pangan Ber-Lesitin. Andi Offset, Yogyakarta.

Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardia. 1980. Pengantar Teknologi Pertanian. Gramedia, Jakarta.

Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. UGM-Press, Yogyakarta.

Wiyono, R. 2006. Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma

xanthorizza roxt) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin,

Konsentrasi Asam Sitrat dan Na. bikarbonat. Skripsi. Universitas Andalas, Padang.

Yuwono, S., dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan Fakultas Teknologi Pangan. Unibraw, Malang.

Youngson, R. 2005. Antioksidan: Manfaat Vitamin C & Bagi Kesehatan. Arcan, Jakarta.

Yuyun, A, dan D. Gunarsa. 2011. Cerdas Mengemas Produk Makanan dan Minuman, Agro Media Pustaka, Jakarta Selatan.

(26)

27

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2016 sampai Juli 2016 di Laboratorium Teknologi Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah temulawak, kencur, gula aren, jeruk nipis, garam, air, yang diperoleh dari pasar tradisional di Medan serta gum arab yang diperoleh dari salah satu toko kimia di daerah Padang Bulan.

Reagensia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NaOH 0,1 N, larutan phenolphtalein 1%, dan larutan alkohol 70%, etanol p.a, kurkumin, DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil), dan metanol.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau stainless steel, pipet tetes, blender, cawan aluminium, tisu rol, loyang ukuran 15 x 30 x 0,3 cm, plastik wrap, handrefraktrometer, magnetic stirrer, sealer, timbangan analitik, panci

stainless steel, oven, sendok, kain saring, kemasan, kertas saring, dan peralatan

gelas, tanur, pemanas listrik, hot plate, kertas whatman 41, kromameter Minolta (tipe CR

(27)

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), yang terdiri dari dua faktor, yaitu:

Faktor I : Perbandingan sari temulawak dengan sari kencur (T) T1 = 95% : 5%

T2 = 90% : 10% T3 = 85% : 15% T4 = 80% : 20% Faktor II : Suhu pengeringan (S)

S1 = 50 oC S2 = 60 oC S3 = 70 oC S4 = 80 oC

Banyaknya kombinasi perlakuan atau Treatment Combination (Tc) adalah 4 x 4 = 16, maka jumlah ulangan (n) minimum adalah sebagai berikut:

Tc (n – 1) ≥ 15 16 (n – 1) ≥ 15 16 n - 16 ≥ 15 16n ≥ 15 + 16 16 n ≥ 31

n ≥ 1,9375 ... dibulatkan menjadi 2

(28)

Model Rancangan

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan model :

Ŷijk = µ + αi+ βj + (αβ)ij + εijk

Ŷijk : Hasil pengamatan dari faktor T pada taraf ke-i dan faktor S pada taraf ke-j dengan ulangan ke-k

µ : Efek nilai tengah

αi : Efek dari faktor T pada taraf ke-i βj : Efek dari faktor S pada taraf ke-j

(αβ)ij : Efek interaksi faktor T pada taraf ke-i dan faktor S pada taraf ke-j

εijk : Efek galat dari faktor T pada taraf ke-i dan faktor S pada taraf ke-j dalam ulangan ke-k

Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji LSR (Least Significant Range).

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan sari temulawak

(29)

Pembuatan sari kencur

Kencur disiapkan dan dibersihkan sisa tanah yang masih menempel dengan air yang mengalir. Kencur diiris-iris lalu diblansing dengan suhu 90 oC selama 2 menit. Kencur yang sudah diblansing kemudian diblender selama 3 menit dengan perbandingan air dan kencur adalah 1: 1. Kain saring disiapkan lalu diblansing kemudian dicuci. Campuran kencur yang telah diblender kemudian disaring dengan menggunakan kain saring untuk mendapatkan sarinya. Skema pembuatan sari kencur dapat dilihat pada Gambar 6.

Pembuatan serbuk gula aren

Gula merah atau gula aren diiris tipis-tipis lalu dimasukkan dalam loyang kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Setelah kering, gula aren dihaluskan dengan cara diblender lalu diayak dengan menggunakan ayakan 40 mesh. Serbuk gula aren disimpan dalam wadah tertutup sebelum dicampurkan pada jamu instan. Skema pembuatan serbuk gula aren dapat dilihat pada Gambar 7.

Pembuatan jamu instan

(30)

perbandingan 95% : 5% (atau 456 : 24 g); 90% : 10% (atau 432 g : 48); 85% : 15% (atau 408 g : 72 g); 80% : 20% atau (384 : 96 g).

Sari temulawak dengan sari kencur serta bahan tambahan dimasukkan kedalam wadah hingga semua bahan bercampur baik dan selanjutnya dimasak dalam panci stainless steel pada suhu 70 oC selama 5 menit. Pemasakan dihentikan, lalu ditunggu sebentar sampai suhu 40 oC lalu dituangkan ke dalam loyang. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan masing-masing pada suhu 50 o

C, 60 oC, 70 oC, dan 80 oC selama 24 jam sesuai perlakuan. Campuran yang telah kering lalu diblender dan diayak dengan ayakan 40 mesh. Dilakukan homogenisasi serbuk sari dan serbuk gula aren. Jamu instan dikemas dalam aluminium foil yang dilapisi klip plastik. Dilakukan analisa setelah disimpan selama 3 hari pada suhu ruang. Skema pembuatan jamu instan dapat dilihat pada Gambar 8.

Pengamatan dan pengukuran data

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisis terhadap parameter sebagai berikut:

1. Kadar air (%) 2. Kadar abu (%) 3. Total asam (%)

4. Total padatan terlarut (oBrix) 5. Daya larut (%)

6. Kecepatan larut (g/s) 7. Indeks warna

(31)

9. Nilai organoleptik hedonik aroma 10. Nilai organoleptik hedonik rasa 11. Nilai organoleptik skor rasa 12. Nilai IC50

Pengujian perlakuan terbaik 13. Kadar kurkumin

Penentuan kadar air (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan selama satu jam pada suhu 105 oC dan telah diketahui beratnya. Sampel tersebut dipanaskan pada suhu 105 oC selama tiga jam, kemudian didinginkan dalam desikator sampai dingin kemudian ditimbang. Pemanasan dan pendinginan dilakukan berulang sampai diperoleh berat sampel konstan. Kadar air dihitung dengan formula sebagai berikut:

Kadar Air (%) =

(32)

Total asam (Ranganna, 1977)

Sampel ditimbang sebanyak 5 gram, dan dimasukkan ke dalam labu ukur serta ditambahkan akuades sampai volume 100 ml. Campuran tersebut kemudian diaduk hingga merata dan disaring dengan kertas saring. Hasil saringan ditampung dalam labu tera dan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Kemudian diambil 10 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer lalu ditambahkan phenolptalein 1% 2-3 tetes. Titrasi dilakukan dengan menggunakan NaOH 0,1N. Titrasi dihentikan setelah timbul warna merah jambu yang stabil. Total asam dihitung dengan formula sebagai berikut:

Total asam (%) = x 100%

FP : Faktor pengencer

Asam dominan : Asam askorbat

Total padatan terlarut (Muchtadi dan Sugiono, 1989)

Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan ditambah akuades sampai berat menjadi 20 g, kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass. Diaduk hingga merata, disaring dengan menggunakan kapas. Filtrat tersebut diambil 1 tetes dan diteteskan pada handrefractrometer. Pembacaan skala diamati dan dicatat nilainya. Kadar total padatan terlarut adalah nilai yang diperoleh pada

handrefractrometer dikalikan dengan faktor pengenceran dan dinyatakan dalam

o Brix.

Penentuan daya larut (SNI-7612, 2011)

Sampel ditimbang sebanyak 15 g lalu dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah berisi air hangat sebanyak 100 ml setelah itu diaduk selama 1 menit dan didiamkan selama 30 menit. Diambil 10 ml sampel dengan menggunakan

(33)

pipet tetes dan dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven dengan suhu pertama 80 oC untuk satu jam pertama, lalu dinaikkan suhunya menjadi 90 oC untuk satu jam, kemudian dinaikkan lagi menjadi 100 oC untuk satu jam ketiga, kemudian dikeluarkan dari oven dan ditimbang, sampel tersebut dimasukkan lagi ke dalam oven selama 30 menit, lalu diangkat dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi sampai diperoleh berat yang konstan. Daya larut dihitung dengan formula sebagai berikut:

Daya larut (%) = =

Keterangan : A : Berat akhir

B : Berat cawan porselen C : Berat sampel

Penentuan kecepatan larut (Yuwono dan Susanto, 1998)

Kecepatan larut jamu instan dilakukan dengan cara melarutkan 15 g bahan dalam 100 ml air hangat dan diaduk. Waktu yang diperlukan serbuk penyegar untuk larut dicatat, kemudian cepat larut jamu instan dihitung dengan formula berikut :

Kecepatan larut (g/s) =

(s) larut Waktu

(g) sampel Berat

Indeks warna (Metode Hunter)

Indeks warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe CR 200, Jepang). Sampel diletakkan pada wadah yang telah tersedia,

kemudian ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel 10(A-B)

(34)

dengan kisaran 0 (hitam) sampai ± 100 (putih). Notasi “a “ menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai “+a” (positif) dari 0 sampai + 100 untuk warna merah dan nilai “–a “ (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna hijau. Notasi “b” menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai nilai “+b” (positif) dari 0 sampai + 70 untuk warna kuning dan nilai “–b “ (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan kecerahan warna. Semakin tinggi kecerahan warna, semakin tinggi nilai L. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus:

Warna = tan-1�

� °Hue. Jika hasil yang diperoleh: 18o – 54o maka produk berwarna red (R)

54o – 90o maka produk berwarna yellow red (YR) 90o – 126o maka produk berwarna yellow (Y)

126o – 162o maka produk berwarna yellow green (YG) 162o – 198o maka produk berwarna green (G)

198o – 234o maka produk berwarna blue green (BG) 234o – 270o maka produk berwarna blue (B)

270o – 306o maka produk berwarna blue purple (BP) 306o – 342o maka produk berwarna purple (P)

342o – 18o maka produk berwarna red purple (RP) (Hutchings, 1999).

Nilai organoleptik skor warna (Soekarto, 1985)

(35)

15 orang panelis. Pengujian organoleptik skor warna dilakukan secara inderawi (organoleptik) terhadap minuman jamu instan yang telah diseduh yang ditentukan berdasarkan skala numerik. Untuk skala organoleptik skor warna dapat dilihat pada Tabel 6.

Nilai organoleptik hedonik aroma (Soekarto, 1985)

Penentuan nilai organoleptik dilakukan dengan uji hedonik aroma. Pengujian dilakukan dengan menyeduh 15 g serbuk dalam 100 ml air hangat. Kemudian sampel minuman yang telah diberi kode diuji secara acak oleh 15 orang panelis. Pengujian organoleptik hedonik aroma terhadap jamu instan yang telah diseduh dilakukan secara inderawi (organoleptik) yang ditentukan berdasarkan skala numerik. Untuk skala organoleptik hedonik aroma dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Skala hedonik aroma

Skala hedonik Numerik

Nilai organoleptik rasa (Soekarto, 1985)

(36)

instan dalam 100 ml air hangat. Kemudian sampel minuman yang telah diberi kode uji secara acak oleh 15 orang panelis. Pengujian organoleptik hedonik rasa dan skor rasa terhadap minuman jamu instan yang telah diseduh dilakukan secara inderawi (organoleptik) yang ditentukan berdasarkan skala numerik. Untuk skala organoleptik hedonik dan skor rasa dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8. Skala hedonik rasa

Skala hedonik Numerik

Sangat tidak suka

Tabel 9. Skala skor rasa

Skala skor Skor

Sangat tidak kesat (khas jamu) Tidak kesat (khas jamu) Agak kesat (khas jamu) Kesat (khas jamu) Sangat kesat (khas jamu)

1 2 3 4 5

Penentuan nilai IC50 dengan metode penangkap radikal bebas DPPH (Sumarni, dkk, 2012)

Pembuatan larutan DPPH (0,4 mµ)

Ditimbang lebih kurang 15,8 mg DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil), kemudian dilarutkan dengan metanol pro analisis hingga 100 ml pada labu ukur, ditempatkan dalam botol gelap.

Pembuatan larutan blanko

(37)

Pembuatan larutan uji

Ditimbang 5,0 mg sampel kemudian dilarutkan dalam 5 ml metanol pro analisis (1000 bpj), larutan ini merupakan larutan induk. Dipipet 25 µl, 50 µl, 125 µl, 250 µl, dan 500 µl larutan induk (triplo) ke dalam labu ukur 5 ml untuk mendapatkan konsentrasi sampel 5, 10, 25, 50 dan 100 µg/ml. Ke dalam masing-masing labu terukur ditambahkan 1 ml larutan DPPH, ditambahkan dengan metanol pro analisis sampai tanda tera, kemudian dihomogenkan.

Pembuatan larutan vitamin C sebagai kontrol positif

Ditimbang 5 mg vitamin C kemudian dilarutkan dalam 5 ml metanol pro analisis (1000 bpj), larutan ini merupakan induk. Dipipet 20 µl, 30 µl, 40 µl, 50 µl dan 60 µl larutan induk (triplo) kedalam labu ukur 5 ml untuk mendapatkan konsentrasi sampel 4, 6, 8, 10 dan 12 µg/ml ke dalam masing-masing labu ukur ditambahkan 1 ml larutan DPPH dan ditambahkan dengan metanol pro analisis sampai tanda tera kemudian dihomogenkan.

Uji aktivitas antioksidan

(38)

21 – 100 bpj, aktivitas rendah jika mempunyai nilai IC50 101 – 200 bpj dan tidak aktif jika mempunyai nilai IC50 di atas 200 bpj (Sumarny, dkk., 2012).

Pengujian perlakuan terbaik

Perlakuan terbaik ditentukan berdasarkan hasil data pengujian semua parameter. Perlakuan terbaik kemudian dianalisa kadar kurkumin.

Kadar kurkumin (Harini, dkk, 2012)

Pembuatan larutan untuk kurva baku

Sepuluh milligram baku kurkumin dilarutkan dalam 100 ml etanol p.a (larutan 1). Diambil 5 ml kurkumin pada larutan 1 dan dimasukkan kedalam labu 50 ml, ditambahkan etanol sampai tanda tera (larutan 2). Diambil 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan kurkumin dari larutan 2 dan ditambahkan etanol 10 ml. Diukur absorban pada panjang gelombang 405 nm.

Pembuatan larutan uji

(39)

Gambar 5. Skema pembuatan sari temulawak

Gambar 6. Skema pembuatan sari kencur Disaring dengan kain saring

Diblender dengan perbandingan temulawak dan air 1:1 Diblansing 2 menit pada suhu 90 oC

Dipotong-potong ukuran 2x3 cm Dibersihkan dan dicuci

Disaring dengan kain saring

Diblender dengan perbandingan kencur dan air 1:1 Diblansing 2 menit pada suhu 90 oC

Dipotong ukuran 2x3 cm Dibersihkan dan dicuci

Sari temulawak

Sari kencur Temulawak

(40)

Gambar 7. Skema pembuatan serbuk gula aren Diayak menggunakan ayakan 40 mesh

Diblender hingga halus selama 2 menit Dimasukkan dalam oven pada

suhu 60 oC selama 24 jam Diiris tipis-tipis

Dimasukkan dalam loyang

(41)

Gambar 8. Skema pembuatan jamu instan

Dikeringkan pada oven selama 24 jam Dituang ke dalam loyang

Didinginkan hingga suhu 40 oC

Diblender selama 1 menit

Diayak dengan ayakan 40 mesh

Ditambah serbuk gula aren 14 %

Homogenisasi dengan cara memblender campuran serbuk sari dan serbuk gula aren

Dikemas dengan aluminium foil yang dilapisi klip plastik

Disimpan selama 3 hari pada suhu ruang

(42)

43

Pengaruh Perbandingan Sari Temulawak dengan Sari Kencur terhadap Parameter yang Diamati

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh terhadap kadar air (%), kadar abu (%), total asam (%), total padatan terlarut (oBrix), daya larut (%), kecepatan larut (g/s), indeks warna (oHue) , skor warna, hedonik aroma, hedonik rasa, dan aktivitas antioksidan yang dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap mutu jamu instan

Parameter

Perbandingan sari temulawak dengan sari kencur

T1

(43)

pada perlakuan T1 sebesar 18,00 oBrix. Daya larut tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 sebesar 72,37% dan terendah pada perlakuan T2 dan T4 sebesar 72,34%. Kecepatan larut tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 dan terendah pada perlakuan T1, perlakuan T2, dan perlakuanT4 sebesar 0,14. Indeks warna tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 sebesar 84,10 oHue dan terendah pada perlakuan T4 sebesar 73,19 oHue. Skor warna tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 sebesar 3,16 dan terendah pada perlakuan T1 sebesar 2,01. Hedonik aroma tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 sebesar 4,13 dan terendah pada perlakuan T4 sebesar 3,03. Hedonik rasa tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 sebesar 4,62 dan terendah pada perlakuan T1 sebesar 3,88. Numerik rasa tertinggi diperoleh pada perlakuan T2 sebesar 4,91 dan terendah pada perlakuan T3 dan T4 sebesar 4,86. Nilai IC50 tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 sebesar 92,36 bpj dan terendah pada perlakuan T4 sebesar 63,26 bpj.

Pengaruh Suhu Pengeringan terhadap Parameter yang Diamati

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa suhu

pengeringan memberikan pengaruh terhadap kadar air (%), kadar abu (%), total asam (%), total padatan terlarut (oBrix), daya larut (%), kecepatan larut (g/s), indeks warna (oHue), skor warna, hedonik aroma, hedonik rasa, dan aktivitas antioksidan yang dapat dilihat pada Tabel 11.

(44)

terlarut tertinggi diperoleh pada perlakuan S4 sebesar 19,70 oBrix dan terendah pada perlakuan S1 sebesar 17,20 oBrix.

Tabel 11. Pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu jamu instan

Parameter Suhu Pengeringan

S1 (50 oC) S2 (60 oC) S3 (70 oC) S4 (80 oC)

Kadar air (%) 5,55 4,77 3,44 2,95

Kadar abu (%) 1,61 1,78 2,24 2,62

Total asam (%) 1,05 0,62 0,48 0,21

Total padatan terlarut (oBrix) 17,20 17,70 18,60 19,70

Daya larut (%) 74,99 72,75 71,64 70,01

Kecepatan larut (g/s) 0,11 0,11 0,14 0,17 Indeks warna (oHue) 80,60 79,60 78,40 77,26

Warna (skor) 3,68 2,66 1,94 1,56

Hedonik aroma (numerik) 4,08 3,72 3,15 2,76 Numerik rasa (numerik) 4,93 4,84 4,85 4,88

Rasa (skor) 4,28 4,33 4,36 4,37

(45)

Kadar Air

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap kadar air jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap kadar air jamu instan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap kadar air jamu instan

Jarak

LSR Perbandingan sari temulawak (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing perlakuan terhadap kadar air jamu instan adalah berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 (95% sari temulawak : 5% sari kencur) yaitu sebesar 4,61% dan kadar air terendah diperoleh pada perlakuan T4 (80% sari temulawak : 20% sari kencur) yaitu sebesar 3,68%. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 9.

(46)

adalah 3-5%. Hal tersebut disebabkan karena temulawak memiliki kadar air yang cukup tinggi dibandingkan kencur. Menurut hasil analisa bahan baku temulawak memiliki kadar air yaitu sekitar 75,04% dan kadar air kencur 70,54% sehingga semakin banyak temulawak yang digunakan maka kadar air jamu instan yang dihasilkan akan semakin tinggi (Koswara, 2012).

Gambar 9. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap kadar air jamu instan

Pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan dapat dilihat pada Tabel 13.

Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing perlakuan terhadap kadar air jamu instan adalah berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 (50 oC) yaitu sebesar

4,61

4,36

4,05

3,68

0 1 2 3 4 5

T1= 95:5% T2= 90:10% T3= 85:15% T4= 80:20%

K

ad

ar

ai

r

(%)

(47)

5,55% dan kadar air terendah diperoleh pada perlakuan S4 (80 oC) yaitu sebesar 2,95%.

Tabel 13. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Hubungan pengaruh suhu pengeringan dengan kadar air jamu instan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan suhu pengeringan dengan kadar air jamu instan Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kadar air jamu instan yang dihasilkan akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin banyak molekul air yang diuapkan (Desrosier, 1988). Kemampuan bahan untuk

5,55

(48)

melepaskan air dari permukaan juga semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang digunakan (Wiyono, 2006).

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap kadar air jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

(49)

(80% sari temulawak : 20% sari kencur, suhu pengeringan 80 oC) yaitu 2,46%. Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap kadar air jamu instan

Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan adalah semakin sedikit sari temulawak yang digunakan dan semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kadar air jamu instan yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini terjadi karena selama pengeringan air yang terkandung dalam bahan akan diuapkan. Pengeringan adalah suatu proses yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar air pada suatu bahan (Sinurat dan Murniyati, 2014). Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka jumlah air yang diuapkan akan semakin banyak sehingga kadar air produk yang dikeringkan akan semakin berkurang. Menurut hasil analisa bahan baku temulawak memiliki kadar air yaitu sekitar 75,04% dan kadar air kencur 70,54%

ŷ = -0,0964S1+ 10,882

Suhu pengeringan (0C)

95% : 5%

90% : 10%

85% : 15%

80% : 20%

(50)

sehingga semakin sedikit temulawak yang digunakan maka kadar air jamu instan akan semakin menurun ditambah suhu pengeringan yang semakin tinggi maka kadar air produk jamu instan akan semakin menurun.

Kadar Abu

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap kadar abu jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar abu jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar abu jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar abu jamu instan

Jarak LSR Suhu

pengeringan

Rataan (%)

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1= 50 oC 1,61 d D

2 0,131 0,180 S2= 60 oC 1,78 c C

3 0,137 0,188 S3= 70 oC 2,24 b B

4 0,141 0,193 S4= 80 oC 2,62 a A

Keterangan: Notasi huruf berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

(51)

2,62% dan kadar abu terendah diperoleh pada perlakuan S1 (50 oC) yaitu sebesar 1,61%.

Hubungan pengaruh suhu pengeringan dengan kadar abu jamu instan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Hubungan suhu pengeringan dengan kadar abu jamu instan Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kadar abu jamu instan yang dihasilkan akan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin banyak air yang keluar dari bahan yang dikeringkan. Menurut Sudarmadji, et.al (1989), bahwa kadar abu tergantung pada jenis, bahan, cara pengabuan, waktu dan suhu yang digunakan saat pengeringan. Jika bahan yang diolah melalui proses pengeringan maka semakin tinggi suhu pengeringan akan meningkatkan kadar abu karena air yang keluar dari dalam semakin besar.

Meningkatnya persentase kadar abu karena penggunaan suhu pengeringan jamu instan yang semakin tinggi sesuai dengan pernyataan Muchtadi dan

1,61

(52)

Ayustaningwarno (2010) yang menyatakan bahwa semakin meningkatnya suhu pengeringan maka semakin besar pengurangan kadar air dan persentasi karbohidrat, protein, mineral semakin tinggi (mineral yang tertinggal dalam bahan pangan semakin banyak) sehingga meningkatkan kadar abu.

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap kadar abu jamu instan

Dari daftar sidik ragam (lampiran 2) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar abu jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Total Asam

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap total asam jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 3) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap total asam jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh suhu pengeringan terhadap total asam jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 3) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap total asam jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap total asam jamu instan dapat dilihat pada Tabel 16.

(53)

1,05% dan total asam terendah diperoleh pada perlakuan S4 (80 oC) yaitu sebesar 0,21%. Hubungan pengaruh suhu pengeringan dengan kadar air dapat dilihat pada Gambar 13.

Tabel 16. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap total asam jamu instan

Jarak LSR Suhu pengeringan Rataan Notasi

0,05 0,01 (%) 0,05 0,01

- - - S1= 50 oC 1,05 a A

2 0,061 0,084 S2= 60 oC 0,62 b B

3 0,064 0,088 S3= 70 oC 0,48 c C

4 0,066 0,090 S4= 80 oC 0,21 d D

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR

Gambar 13. Hubungan suhu pengeringan dengan total asam jamu instan Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka total asam jamu instan yang dihasilkan akan semakin menurun. Selama proses pengeringan berlangsung akan terjadi kerusakan pada komponen gizi pada bahan termasuk asam organik yang terkandung pada bahan dasar pembuatan jamu instan. Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka asam organik pada bahan akan banyak yang rusak sehingga kandungan total

1,05

(54)

asam pada produk akan berkurang. Dengan suhu yang semakin tinggi maka akan terjadi proses penguapan air dari jamu instan. Sebagian dari senyawa volatil akan ikut teruapkan bersama-sama dengan air, sehingga akan mengakibatkan semakin berkurangnya kandungan volatil pada jamu instan yang dihasilkan (Setyoko, et.al., 2008).

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap total asam jamu instan

Dari daftar sidik ragam (lampiran 3) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap total asam jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Total Padatan Terlarut

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap total padatan terlarut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 4) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap total padatan terlarut jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh suhu pengeringan terhadap total padatan terlarut jamu instan

(55)

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap total padatan terlarut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (lampiran 4) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap total padatan terlarut jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Daya Larut

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap daya larut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya larut jamu instan yang dihasilkan sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh suhu pengeringan terhadap daya larut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap daya larut jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap daya larut jamu instan dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap daya larut jamu instan

Jarak LSR Suhu

pengeringan

Rataan Notasi

0,05 0,01 (%) 0,05 0,01

- - - S1= 50 oC 74,99 a A

2 0,744 1,025 S2= 60 oC 72,75 b B

3 0,780 1,069 S3= 70 oC 71,64 c C

4 0,803 1,098 S4= 80 oC 70,01 d D

(56)

Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing perlakuan terhadap daya larut jamu instan adalah berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Daya larut tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 (50 oC) yaitu sebesar 74,99% dan daya larut terendah diperoleh pada perlakuan S4 (80 oC) yaitu sebesar 70,01%. Hubungan pengaruh suhu pengeringan dengan daya larut dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Hubungan suhu pengeringan dengan daya larut jamu instan Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka daya larut jamu instan yang dihasilkan akan semakin menurun. Pengeringan dengan suhu tinggi mempercepat penguapan air sehingga hanya bagian permukaan butiran saja yang kering, sedangkan bagian dalam masih belum kering maksimal. Hal ini mengakibatkan bentuk partikel butiran serbuk menjadi lebih besar sehingga semakin sulit larut dalam air (Usmiati, dkk., 2005). Pengeringan yang dilakukan dengan suhu yang terlalu tinggi maka bahan akan menyebabkan case hardening yaitu dimana keadaan bahan di bagian luar sudah kering tetapi dibagian dalam masih basah, hal ini terjadi karena penggunaan suhu

74,99

(57)

yang terlalu tinggi sehingga permukaan bahan menjadi cepat kering dan mengeras. Permukaan luar yang mengeras menyebabkan bahan susah dilarutkan sehingga daya larut menurun (Winarno, dkk., 1980).

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap daya larut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (lampiran 5) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya larut jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kecepatan Larut

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap kecepatan larut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kecepatan larut jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh suhu pengeringan terhadap kecepatan larut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kecepatan larut jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap kecepatan larut jamu instan dapat dilihat pada Tabel 18.

(58)

Pengaruh perlakuan S3 terhadap kecepatan larut jamu instan berbeda sangat nyata dengan perlakuan S4. Kecepatan larut tertinggi diperoleh pada perlakuan S4 (80 o

C) yaitu sebesar 0,17 g/s dan kecepatan larut terendah diperoleh pada perlakuan S1 (50 oC) dan S2 (60 oC) yaitu sebesar 0,11 g/s.

Hubungan pengaruh suhu pengeringan dengan kecepatan larut dapat dilihat pada Gambar 15.

Tabel 18. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap kecepatan larut jamu instan (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Gambar 15. Hubungan suhu pengeringan dengan kecepatan larut jamu instan Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kecepatan larut jamu instan yang dihasilkan akan semakin

0,11

(59)

meningkat. Hal ini terjadi karena pada suhu pengeringan 80 oC kadar air yang terukur akan semakin rendah dibanding suhu pengeringan 60 oC. Kandungan air pada bahan mempengaruhi kecepatan larut bahan tersebut. Bahan dengan kadar air yang tinggi akan menyebabkan gumpalan-gumpalan pada bahan. Gumpalan tersebut akan sulit dipecah pada saat dilarutkan. Kadar air bahan yang tinggi akan menyebabkan banyak gumpalan sehingga dibutuhkan banyak waktu untuk memecah ikatan antar partikel. Kecepatan larut adalah banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk melarutkan suatu bahan. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk larut maka kecepatan larutnya akan semakin menurun dan sebaliknya (Fennema, 1985).

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap kecepatan larut jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kecepatan larut jamu instan yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Indeks Warna

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap indeks warna jamu instan

(60)

Tabel 19. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap indeks warna jamu instan

Jarak LSR (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing perlakuan terhadap indeks warna jamu instan adalah berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Indeks warna tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 (95% sari temulawak : 5% sari kencur) yaitu sebesar 84,10 oHue dan indeks warna terendah diperoleh pada perlakuan T4 (80% sari temulawak : 20% sari kencur) yaitu sebesar 73,19 o

Hue. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap indeks warna dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap indeks warna jamu instan

84,10

(61)

Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa masing-masing perlakuan

menghasilkan indeks warna jamu instan yang berada pada rentang 54 oHue – 90 oHue sehingga produk tergolong dalam kategori berwarna yellow

red (YR). Semakin sedikit sari temulawak yang digunakan maka nilai indeks

warna jamu instan yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena pada temulawak terdapat pigmen warna kuning yaitu kurkumin yang tinggi (Rukmana, 1995). Semakin banyak temulawak yang digunakan maka pigmen warna kuning pada bahan semakin tinggi sehingga nilai +b yang terbaca pada alat kromameter yang menunjukkan warna kuning pada produk akan semakin tinggi sehingga nilai indeks warna warna jamu instan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Berdasarkan pengujian bahan baku, indeks warna temulawak adalah 98 oHue (tergolong dalam kategori yellow) dan indeks warna kencur adalah 130 o

Hue (tergolong dalam kategori yellow green).

Pengaruh suhu pengeringan terhadap indeks warna jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 7) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap indeks warna jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap indeks warna jamu instan dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap indeks warna jamu instan.

Jarak LSR Suhu pengeringan Rataan (oHue)

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1=50oC 80,60 a A

2 0,5443 0,7500 S2=60 oC 79,60 b B

3 0,5708 0,7822 S3=70 oC 78,40 c C

4 0,5873 0,8034 S4=80 oC 77,26 d D

(62)

Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing perlakuan terhadap indeks warna jamu instan adalah berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Indeks warna tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 (50 oC) yaitu sebesar 80,60 oHue dan indeks warna terendah diperoleh pada perlakuan S4 (80 oC) yaitu sebesar 77,26 oHue. Hubungan suhu pengeringan dengan indeks warna dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Hubungan suhu pengeringan dan indeks warna jamu instan Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa masing-masing perlakuan

menghasilkan indeks warna jamu instan yang berada pada rentang 54 oHue – 90 oHue sehingga produk tergolong dalam kategori berwarna yellow

red (YR). Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka nilai indeks

warna jamu instan yang dihasilkan akan semakin menurun. Pengeringan juga dapat mempengaruhi sifat fisik suatu bahan pangan. Pengeringan dengan menggunakan suhu yang semakin tinggi dan semakin lama waktu pengeringan dapat membuat zat warna dapat berubah yang menyebabkan zat warna ini dapat rusak pada waktu pengeringan (Desrosier, 2008). Selain itu, pengeringan dengan

80,60

(63)

suhu tinggi akan menyebabkan reaksi pencokelatan yang berdampak pada produk. Terjadi perubahan warna pada produk yang menyebabkan niai +b menurun sehingga nilai indeks warna yang terbaca pada alat kromameter menjadi menurun. Berdasarkan pengujian bahan baku, indeks warna temulawak adalah 98 oHue (tergolong dalam kategori yellow) dan indeks warna kencur adalah 130 oHue (tergolong dalam kategori yellow green).

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap indeks warna jamu instan

Dari daftar sidik ragam (lampiran 7) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,01) terhadap indeks warna jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap suhu pengeringan jamu instan dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan sari temulawak dengan

sari kencur dan suhu pengeringan terhadap indeks warna jamu instan

Jarak LSR Perlakuan Rataan

(64)

Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa indeks warna jamu instan tertinggi terdapat pada perlakuan T1S1 yaitu dengan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur 95% : 5% dan suhu pengeringan 50 oC yaitu 85,33 oHue. Indeks warna jamu instan terendah terdapat pada perlakuan T4S4 yaitu dengan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur 80% : 20% dan suhu pengeringan 80 oC yaitu 70,51 oHue.

Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap indeks warna jamu instan. Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan adalah semakin sedikit temulawak yang digunakan dan semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka nilai indeks warna jamu instan yang dihasilkan akan semakin menurun. Dalam temulawak terdapat senyawa kurkumin sebagai sumber kuning (Rukmana, 1995). Proses pengeringan

ŷ= -0,0968S1+ 90,396

Suhu pengeringan (oC)

95% : 5%

90% : 10%

85% : 15%

(65)

dapat mengubah warna pada bahan pangan (Desrosier, 2008). Kurkumin akan rusak jika mengalami proses pengeringan yang menggunakan suhu yang tinggi. Semakin tinggi suhu pengeringan maka akan semakin banyak senyawa kurkumin yang rusak sehingga berpengaruh pada warna produk yang dihasilkan.

Skor Warna

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap skor warna jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 8) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,01) terhadap skor warna jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap skor warna dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap skor warna jamu instan

Jarak

LSR Perbandingan sari temulawak dengan sari kencur

Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - T1= 95:5% 3,16 a A

2 0,124 0,170 T2= 90:10% 2,55 b B

3 0,130 0,179 T3= 85:15% 2,12 c C

4 0,133 0,183 T4= 80:20% 2,01 c C

Keterangan: Notasi huruf berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

(66)

diperoleh pada perlakuan T4 (80% : 20%) yaitu sebesar 2,01. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dengan skor warna dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap skor warna jamu instan

Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa semakin sedikit sari temulawak yang digunakan maka nilai skor warna akan menurun. Nilai skor warna tertinggi adalah 3,16 yang tergolong dalam kategori kuning sedikit cokelat dan nilai skor warna terendah adalah 2,01 yang tergolong dalam kategori agak cokelat. Penggunaan jumlah temulawak yang semakin sedikit akan menghasilkan jamu instan dengan skor warna yang rendah menurut panelis. Dalam temulawak terdapat senyawa kurkumin (Rukmana, 1995) sebagai sumber warna kuning yang memberikan warna yang menarik pada warna produk jamu instan yang dihasilkan. Semakin banyak temulawak yang digunakan maka produk akan semakin kuning karena

3,16

(67)

kandungan kurkumin yang tinggi dan lebih disukai oleh panelis dibandingkan jamu instan yang campuran temulawaknya sedikit.

Pengaruh suhu pengeringan terhadap skor warna jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 8) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap skor warna jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap skor warna jamu instan dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap skor warna jamu instan

Jarak LSR Suhu Pengeringan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1= 50 oC 3,68 a A

2 0,124 0,171 S2= 60 oC 2,66 b B

3 0,130 0,179 S3= 70 oC 1,94 c C

4 0,134 0,183 S4= 80 oC 1,56 d D

Keterangan: Notasi huruf berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Dari Tabel 23 dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing perlakuan terhadap skor warna jamu instan adalah berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Skor warna tertinggi diperoleh pada perlakuan S4 (80 oC) yaitu sebesar 3,68 dan skor warna terendah diperoleh pada perlakuan S1 (50 oC) yaitu sebesar 1,56. Hubungan pengaruh suhu pengeringan dengan skor warna dapat dilihat pada Gambar 20.

(68)

dan semakin lama waktu pengeringan dapat membuat zat warna dapat berubah yang menyebabkan zat warna ini dapat rusak pada waktu pengeringan (Desrosier, 2008).

Gambar 20. Hubungan suhu pengeringan dengan skor warna jamu instan

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap skor warna jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 8) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda nyata (P>0,05) terhadap skor warna jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap skor warna jamu instan dapat dilihat pada Tabel 24.

(69)

Tabel 24. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap skor warna jamu instan

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - T1S1 4,53 a A

2 0,2473 0,3408 T1S2 3,30 c BC

3 0,2594 0,3554 T1S3 2,50 e D

4 0,2669 0,3650 T1S4 2,30 ef DE

5 0,2720 0,3719 T2S1 3,63 b B

6 0,2758 0,3772 T2S2 2,80 d CD

7 0,2785 0,3813 T2S3 2,30 ef DE

8 0,2807 0,3846 T2S4 1,47 fg E

9 0,2823 0,3874 T3S1 3,43 bc BC

10 0,2835 0,3897 T3S2 2,23 ef DE

11 0,2845 0,3917 T3S3 1,53 f E

12 0,2853 0,3933 T3S4 1,27 g E

13 0,2858 0,3947 T4S1 3,10 cd C

14 0,2863 0,3960 T4S2 2,30 ef E

15 0,2865 0,3971 T4S3 1,43 fg E

16 0,2868 0,3980 T4S4 1,20 g E

Keterangan: Notasi huruf berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Dari Tabel 24 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap skor warna jamu instan. Skor warna tertinggi merupakan perlakuan T1S4 yaitu perbandingan sari temulawak dengan sari kencur 95% : 5% dan suhu pengeringan 80 oC yaitu 4,53 dan skor warna terendah merupakan perlakuan T4S1 yaitu perbandingan sari temulawak dengan sari kencur 80% : 20% dan suhu pengeringan 50 oC yaitu 1,2.

(70)

Gambar 21. Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap skor warna jamu instan

Hubungan interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan adalah semakin sedikit temulawak yang digunakan dan semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka nilai skor warna jamu instan yang dihasilkan akan semakin menurun serta sebaliknya jika semakin banyak temulawak yang digunakan dan semakin rendah suhu pengeringan yang digunakan maka nilai skor warna jamu instan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Dalam temulawak terdapat senyawa kurkumin sebagai sumber warna kuning (Rukmana, 1995). Semakin banyak temulawak yang digunakan maka nilai skor warna akan semakin tinggi. Kurkumin menyumbang peranan dalam pembentukan jamu instan yang dihasilkan. Skor warna tertinggi tergolong dalam kategori kuning sedangkan skor warna terendah tergolong dalam kategori kuning kecokelatan.

Proses pengeringan dapat mengubah warna pada bahan pangan (Desrosier, 2008). Kurkumin akan rusak jika mengalami proses pengeringan yang

y = -0,075S1+ 8,0333

Suhu pengeringan (oC)

(71)

menggunakan suhu yang tinggi. Semakin tinggi suhu pengeringan maka akan semakin banyak senyawa kurkumin yang rusak sehingga berpengaruh pada warna produk yang dihasilkan. Suhu pengeringan yang tinggi akan menghasilkan jamu instan dengan skor warna yang rendah. Skor warna tertinggi tergolong dalam kategori kuning sedangkan skor warna terendah tergolong dalam kategori kuning kecokelatan. Warna produk dengan jumlah temulawak yang semakin banyak lebih disukai oleh panelis daripada yang sedikit jumlahnya.

Hedonik Aroma

Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap hedonik aroma jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 9) dapat dilihat bahwa perbandingan sari temulawak dengan sari kencur memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap hedonik aroma jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap hedonik aroma jamu instan dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap hedonik aroma jamu instan

Jarak

LSR Perbandingan sari temulawak (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

(72)

instan berbeda tidak nyata dengan perlakuan T4. Hedonik aroma tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 (95% sari temulawak : 5% sari kencur) yaitu sebesar 4,13 dan hedonik aroma terendah diperoleh pada perlakuan T4 (80% sari temulawak : 20% sari kencur) yaitu sebesar 3,03. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap hedonik aroma jamu instan dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Hubungan perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap hedonik aroma jamu instan

Dari Gambar 22 dapat dilihat bahwa semakin sedikit sari temulawak yang digunakan maka aroma jamu instan yang dihasilkan akan menjadi agak disukai

oleh panelis. Temulawak memiliki aroma khas, berbau tajam dan harum (Rukmana, 1995). Dalam temulawak terdapat minyak atsiri (kamfer,

sikloisoprenmirsen, dan karbinol) sebanyak 10,96% (PAU IPB, 2006). Minyak atsiri tersebut berperan dalam pembentukan aroma khas temulawak. Semakin banyak temulawak yang digunakan maka kandungan minyak atsiri pembentuk

4,13

(73)

aroma khas pada jamu instan akan semakin banyak sehingga aroma jamu instan yang dihasilkan semakin khas dan semakin disukai oleh panelis. Hal tersebut

dapat dilihat dari nilai hedonik tertinggi 4,13 (tergolong dalam kategori sangat suka) dan nilai hedonik terendah adalah 3,03 (tergolong dalam kategori

agak disukai).

Pengaruh suhu pengeringan terhadap hedonik aroma jamu instan

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 9) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap hedonik aroma jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap hedonik aroma jamu instan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap hedonik

aroma jamu instan

Jarak LSR Suhu pengeringan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1= 50oC 4,08 a A

2 0,130 0,179 S2= 60 oC 3,72 b B

3 0,136 0,187 S3= 70 oC 3,15 c C

4 0,140 0,192 S4= 80 oC 2,76 d D

Keterangan: Notasi huruf berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Dari Tabel 26 dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing perlakuan terhadap hedonik aroma jamu instan adalah berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Hedonik aroma tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 (50oC)

yaitu sebesar 4,08 dan hedonik aroma terendah diperoleh pada perlakuan S4 (80 oC) yaitu sebesar 2,76. Hubungan pengaruh suhu pengeringan dengan hedonik aroma dapat dilihat pada Gambar 23.

(74)

menyukai aroma jamu instan, hal tersebut dapat dilihat dari nilai hedonik yang semakin menurun seiring meningkatnya suhu pengeringan. Hal ini disebabkan karena aroma dari temulawak dan kencur itu sendiri hilang akibat suhu pengeringan yang terlalu tinggi. Sesuai dengan pernyataan Buckle, dkk (1987) bahwa pengeringan mempunyai kelemahan seperti terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dan rasa. Ketika air menguap dari permukaan bahan pangan maka sejumlah kecil zat yang mudah menguap akan terbawa.

Gambar 23. Hubungan suhu pengeringan dengan hedonik aroma jamu instan

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap hedonik aroma jamu instan

Dari daftar sidik ragam (lampiran 9) dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda nyata (P>0,05) terhadap hedonik aroma jamu instan yang dihasilkan. Hasil uji LSR pengaruh perbandingan sari temulawak

(75)

dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap hedonik aroma jamu instan dapat dilihat pada Tabel 27.

Tabel 27. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur dan suhu pengeringan terhadap hedonik aroma jamu instan

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - T1S1 4,80 a A

2 0,2596 0,3578 T1S2 4,63 ab AB

3 0,2723 0,3731 T1S3 3,73 c BC

4 0,2802 0,3832 T1S4 3,37 d CD

5 0,2855 0,3904 T2S1 4,13 b B

6 0,2895 0,3959 T2S2 3,50 cd C

7 0,2924 0,4003 T2S3 2,93 e DE

8 0,2946 0,4037 T2S4 3,00 ef E

9 0,2964 0,4067 T3S1 4,17 bc BC

10 0,2977 0,4091 T3S2 3,73 cd CD

11 0,2987 0,4112 T3S3 2,90 ef DE

12 0,2995 0,4129 T3S4 2,37 f F

13 0,3001 0,4144 T4S1 3,47 cd CD

14 0,3005 0,4157 T4S2 3,13 de D

15 0,3008 0,4168 T4S3 2,97 ef DE

16 0,3010 0,4179 T4S4 2,57 f EF

Keterangan: Notasi huruf berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

Gambar

Gambar 5. Skema pembuatan sari temulawak
Gambar 7. Skema pembuatan serbuk gula aren
Gambar 8. Skema pembuatan jamu instan
Tabel 10. Pengaruh perbandingan sari temulawak dengan sari kencur terhadap  mutu jamu instan Perbandingan sari temulawak dengan sari kencur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh interaksi perbandingan sari mengkudu dengan sari nenas dan lama pemanasan terhadap uji organoleptik aroma (numerik). Dari daftar sidik ragam (Lampiran 7)dapat dilihat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu teh daun alpukat dan mengetahui kandungan antioksidan pada teh daun alpukat ( Persea

FORMAT UJI ORGANOLEPTIK PENGARUH PERBANDINGAN SARI BIT (Beta Vulgaris L.) DENGAN SARI KUINI (Mangifera odorata Griff) DAN JUMLAH GUM ARAB TERHADAP MUTU YOGHURT.. Nama Panelis

Pengaruh interaksi antara perbandingan sari bit dengan sari kuini dan jumlah dekstrin terhadap nilai indeks warna serbuk minuman instan Kuinibit. Daftar sidik

Penelitian peningkatan mutu bubur kampiun instan telah dilakukan dengan perlakuan suhu dan waktu pengeringan menggunakan alat pengeringan vakum. Tujuan penelitian adalah untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase tepung ikan teri pada bubur instan, untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan pada bubur instan dan

Hasil uji LSR perbandingan sari mengkudu dengan sari nanas memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen, kadar air, total padatan terlarut, vitamin C, uji

Interaksi antara perbandingan sari batang sereh dengan sari kencur dan konsentrasi serbuk gula aren memberikan pengaruh berbeda nyata (P&gt;0,01) terhadap nilai hedonik