• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotika Hedonisme Dalam Iklan Ice Cream Magnum Versi Iklan Televisi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di lima Kota Besar di Dunia”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Semiotika Hedonisme Dalam Iklan Ice Cream Magnum Versi Iklan Televisi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di lima Kota Besar di Dunia”"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

An Versi Ik

nalisis Semi klan Televis

D

FAKUL

U

HEDON

iotika Hedo si “Undian

RAFSA

DEPARTEM

LTAS ILM

UNIVERSI

NISME DA

onisme Dal Berhadiah di Duni

SKRIP

Diajukan O AN JANI A

(0809040

MEN ILMU

MU SOSIAL

ITAS SUM

2014

ALAM IKL

lam Iklan I h Wisata Be

ia”

PSI

Oleh : ALQUDDU

005)

U KOMUN

L DAN ILM

MATERA U

4

LAN

Ice Cream M elanja di lim

US

NIKASI

MU POLIT

UTARA

Magnum ma Kota Be

TIK

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Hedonisme Dalam Iklan (Analisis Semiotika Hedonisme Dalam Iklan Versi Iklan Televisi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”) yang tayang sejak 2011 sampai 18 maret 2012. Hedonisme kini telah tumbuh dan menyebar luas di masyarakat yang banyak disajikan dalam bentuk perilaku konsumtif, pola hidup mewah serta glamour dan kebahagiaan terhadap benda-benda berharga mahal yang dapat dilihat dari berbagai media iklan terutama televisi. Objek dalam penelitian ini adalah iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”, dalam kaitannya dengan budaya hedonisme yang tayang sejak 2011 sampai 18 maret 2012. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis semiologi Roland Barthes signifikasi dua tahap, denotasi, konotasi dan mitos. Dalam konsep Barthes, tahapan denotasi, konotasi dan mitos digunakan menggunakan analisis leksia dan analisis lima kode pembacaan. Semiotika dipilih karena memiliki kekuatan menganalisis isi media dalam level teks dan konteks serta melihat bagaimana tanda-tanda menghasilkan makna tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertama, sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual, kedua, untuk mengetahui makna denotasi dan konotasi hingga pada tahap mitos, dan ketiga untuk mengetahui bentuk perilaku hedonisme, yang ketiganya terdapat didalam iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”, dalam kaitannya dengan budaya hedonisme yang tayang sejak 2011 sampai 18 maret 2012. Kesimpulan dari penelitian ini adalah keseluruhan sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual yang terdapat pada iklan Ice Cream Magnum ini adalah memberikan gambaran kesenangan dan kebahagiaan yang diingikan oleh masyarakat di era sekarang ini adalah berupa kebutuhan akan materi berupa uang, benda, serta segala sesuatu yang bernilai harga mahal dan mewah. Mitos yang dapat digali pada iklan Ice Cream Magnum ini dibagi menjadi dua. Pertama, adanya anggapan bahwa budaya barat (western) atau budaya populer merupakan kebudayaan yang sangat sempurna. Kedua, Masyarakat barat merupakan representasi hedonisme yang dalam iklan ini memberikan penilaian lebih terhadap definisi kebahagiaan dan kesenangan yang dianalogikan dalam hal kekayaan berupa harta benda, uang, serta segala sesuatu yang bersifat mewah dan mahal. Perilaku hedonisme yang terdapat pada iklan Ice Cream Magnum ini lebih mengarahkan setiap orang berprilaku konsumtif sebagai bagian dari pola hidup mewah, sekaligus berusaha merubah kultur kebiasaan masyarakat untuk menghasilkan pundi-pundi uang guna semata-mata memanfaatkannya kearah konsumtif, tanpa adanya tanggung jawab moral sebagai makhluk sosial.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Allah SWT karena atas berkat dan karuniaNya

penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah (Skripsi) ini tepat pada waktunya.

Skripsi yang berjudul “Hedonisme Dalam Iklan” (Analisis Semiotika

Hedonisme Dalam Iklan Versi Iklan Televisi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia) ini disusun untuk melengkapi seluruh kegiatan akademik yang sudah penulis laksanakan sekaligus sebagai salah satu

persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu

Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera

Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, yang tentunya merupakan sebuah proses

dan hasil dari rangkaian proses akademik selama menjalani pendidikan di

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan juga dari data yang berkaitan baik

yang ditemukan melalui perpustakaan, internet, buku-buku literatur, dan

penelitian.

Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini memperoleh banyak bantuan,

bimbingan motivasi dan doa dari berbagai pihak. Pertama sekali peneliti

mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Amal Yani

dan Ibunda Nursyam Nazara, yang tidak putus-putusnya memberikan doa dan

cinta kasihnya yang amat besar sehingga peneliti mampu menjalani masa

pendidikan dengan baik.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti banyak mendapat bantuan

kontribusi yang sangat besar berupa materi pikiran, maupun dorongan semangat.

Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan FISIP USU

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi

4. Ibu Yovita Sabarina Sitepu, S.sos, M.Si, selaku dosen pembimbing

(4)

kesabaran, perhatian dan masukan yang Ibu berikan dari awal penyusunan

hingga akhir penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing

penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP

USU.

6. Kak Icut, Kak Maya dan seluruh staf yang telah membantu peneliti selama

ini.

7. Om Nizman Alquddus dan Tante Purwanti, serta Om Amin Syah Zega dan

Tante Yunidar Lubis, terima kasih atas semua dukungan moril dan

motivasi kepada penulis selama masa pendidikan.

8. Keluarga sahabat saya Muhammad Fikri, diantaranya Mami, Bunda, Tante, Acit, yang telah banyak membantu Penulis ketika melaksakan

Praktek kerja lapangan.

9. Sahabat yang banyak membantu selama perkuliahan buat sharing selama

skripsi : Yan lazzuardy, Koncho Putra Adilla, M. Novry, serta masih

banyak lagi yang lainnya yang mungkin lupa saya sebut.

10.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis selama menjalani pendidikan, susah

getir dunia kuliah kita jalani bersama kawan, TPP Crew Komunikasi USU:

Oka, Idek, Ibam, Hendra, Josua Partogi, Tista, Didi, Suranta, Arnold,

Budi, Muslim, Frianto, Jeffry, Fadli, Dedi, Novry, Bototo FC : M. Fikri,

Fahmi, Dimas, Luthfi, Reza, Iqbal, Sona, Felix, Gerhard, ayo kita jadi

orang kaya!

11.Seluruh keluarga besar komunikasi 08 yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu, terimakasih telah menjadi teman-teman yang baik selama

masa perkuliahan.

12.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis selama Praktek Kerja Lapangan di

MNC TV Jakarta : Jasinda, Nadin dan Kiki, meski jauh tetapi terus

memberikan motivasi yang tiada hentinya.

13.Sahabat-sahabat SMA Negeri 1 Gunungsitoli : Rickson, Mirwan, Martua,

Anggreani, Eva, Venti, Hilda, Hendry, terimakasih atas seluruh dukungan

(5)

14.Buat Abang dan Adik-Adik Ku Tercinta : Zul Fadli Alquddus, Winanda

Syahputra, Irfan Taufik Alquddus, Muhammad Ridwan Alquddus,

Taufiqurrohman Alquddus, Syarifah Citra Meidina Alquddus, Fitri

Alquddus, Rafael Alquddus, selaku Abang dan adik penulis ucapkan

terimakasih atas motivasi dan serbuan pertanyaan kalian tentang nasib

skripsi abang.

15.Buat Sepupu-sepupu ku : Wirda Syafira Zega, Fahmi Zega, Ikhsan Lubis,

Syafrizal Duha dan Rizky Lubis, saya ucapkan terimakasih atas dukungan

dan motivasinya.

Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini,

penulis memohon maaf sebesar-besarnya. Penulis sangat menerima kritik dan

saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong penulis untuk

dapat semakin maju. Penulis juga berterima kasih atas saran dan kritik yang

diberikan serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses

penyelesaian akademik penulis.

Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua.

Amiin.

Medan, Januari 2014

Penulis

(Rafsan Jani Alquddus)  

 

 

 

 

 

 

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I. 1. Konteks Masalah ... 1

I. 2. Fokus Masalah ... 5

I. 3. Tujuan Penelitian ... 5

I. 4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1. Paradigma Penelitian ... 7

2. 2. Kajian Pustaka ... 10

2. 2. 1. Semiotika ... 10

2. 2. 2. Semiologi Roland Barthes ... 14

2. 2. 3. Hedonisme ... 24

2. 2. 4. Iklan ... 26

2. 2. 5. Model Teoretik ... 28

2. 2. 6. Sinematografi ... 29

2. 2. 6. 1. Tata Kamera ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36

3. 1. Metode Penelitian ... 36

3. 2. Objek Penelitian ... 36

3. 3. Subjek Penelitian ... 37

3. 3. Kerangka Analisis ... 37

3. 4. Teknik Pengumpulan Data ... 37

3. 5. Teknik Analisis Data ... 38

3. 5. 1. Analisis Leksia ... 38

3. 5. 2. Kode Pembacaan ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4. 1. Hasil ... 41

4. 1. 1. Ice CreamMagnum ... 41

4. 1. 1. 1. Magnum Cafe ... 42

4. 1. 2. Sejarah PT. Wall’s ... 44

4. 1. 3. LOWE ... 45

(7)

4. 1. 4. 1. analisis scene kedua ... 50

4. 1. 4. 2. Analisis scene ketiga ... 62

4. 1. 4. 3. Analisis scene keempat ... 70

4. 1. 4. 4. Analisis scene kelima ... 76

4. 1. 4. 5. Analsis scene keenam ... 84

4. 1. 4. 6. Analisis scene ketujuh ... 92

4. 1. 4. 7. Analisis scene kedelapan ... 102

4. 2. Pembahasan ... 107

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 113

5. 1. Simpulan ... 113

5. 2. Saran ... 114

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Identifikasi iklan Ice Cream Magnum ... 49

2. Teknik dalam menyunting gambar iklan Ice Cream Magnum ... 49

3. Storyboard scene kedua ... 52

4. Storyboard scene ketiga ... 63

5. Storyboard scene keempat ... 71

6. Storyboard scene kelima ... 77

7. Storyboard scene keenam ... 85

8. Storyboard scene ketujuh ... 93

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Kategori type tanda dari pierce ... 13

2. Elemen-elemen makna dari Saussure ... 14

3. Peta tanda roland barthes ... 16

4. two orders of signification ... 24

5. bagan teoritik penelitian hedonisme Ice Cream Magnum ... 29

6. Logo Ice Cream Magnum ... 41

7. Cafe ice cream magnum pertama ... 43

8. Cafe ice cream magnum sekarang ... 43

9. Logo walls ... 44

10. Iklan televisi Ice Cream Magnum scene kedua ... 50

11. Iklan televisi Ice Cream Magnum scene ketiga ... 62

12. Iklan televisi Ice Cream Magnum ke empat ... 70

13. Iklan televisi Ice cream Magnum scene kelima ... 76

14 Iklan televisi Ice Cream Magnum scene keenam ... 84

15 Iklan televisi Ice Cream Magnum scene ketujuh ... 92

(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Hedonisme Dalam Iklan (Analisis Semiotika Hedonisme Dalam Iklan Versi Iklan Televisi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”) yang tayang sejak 2011 sampai 18 maret 2012. Hedonisme kini telah tumbuh dan menyebar luas di masyarakat yang banyak disajikan dalam bentuk perilaku konsumtif, pola hidup mewah serta glamour dan kebahagiaan terhadap benda-benda berharga mahal yang dapat dilihat dari berbagai media iklan terutama televisi. Objek dalam penelitian ini adalah iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”, dalam kaitannya dengan budaya hedonisme yang tayang sejak 2011 sampai 18 maret 2012. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis semiologi Roland Barthes signifikasi dua tahap, denotasi, konotasi dan mitos. Dalam konsep Barthes, tahapan denotasi, konotasi dan mitos digunakan menggunakan analisis leksia dan analisis lima kode pembacaan. Semiotika dipilih karena memiliki kekuatan menganalisis isi media dalam level teks dan konteks serta melihat bagaimana tanda-tanda menghasilkan makna tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertama, sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual, kedua, untuk mengetahui makna denotasi dan konotasi hingga pada tahap mitos, dan ketiga untuk mengetahui bentuk perilaku hedonisme, yang ketiganya terdapat didalam iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”, dalam kaitannya dengan budaya hedonisme yang tayang sejak 2011 sampai 18 maret 2012. Kesimpulan dari penelitian ini adalah keseluruhan sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual yang terdapat pada iklan Ice Cream Magnum ini adalah memberikan gambaran kesenangan dan kebahagiaan yang diingikan oleh masyarakat di era sekarang ini adalah berupa kebutuhan akan materi berupa uang, benda, serta segala sesuatu yang bernilai harga mahal dan mewah. Mitos yang dapat digali pada iklan Ice Cream Magnum ini dibagi menjadi dua. Pertama, adanya anggapan bahwa budaya barat (western) atau budaya populer merupakan kebudayaan yang sangat sempurna. Kedua, Masyarakat barat merupakan representasi hedonisme yang dalam iklan ini memberikan penilaian lebih terhadap definisi kebahagiaan dan kesenangan yang dianalogikan dalam hal kekayaan berupa harta benda, uang, serta segala sesuatu yang bersifat mewah dan mahal. Perilaku hedonisme yang terdapat pada iklan Ice Cream Magnum ini lebih mengarahkan setiap orang berprilaku konsumtif sebagai bagian dari pola hidup mewah, sekaligus berusaha merubah kultur kebiasaan masyarakat untuk menghasilkan pundi-pundi uang guna semata-mata memanfaatkannya kearah konsumtif, tanpa adanya tanggung jawab moral sebagai makhluk sosial.

(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah

Saat ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai

manfaatnya, melainkan karena gaya hidup yang disampaikan melalui media

massa. Barang yang ditawarkan pun tidak lagi sekedar persoalan dibutuhkan atau

tidak dibutuhkan, melainkan lebih kepada citra dan identitas. Oleh karena itu,

perilaku konsumsi lebih kepada makna yang dilekatkan pada produk tersebut.

Jean P Baudillard mengungkapkan bahwa terdapat sistem objek atau

kategori barang-barang konsumsi terstruktur yang berbanding lurus dengan sistem

kebutuhan dan pembagian sosial serupa. Dengan demikian, barang-barang

konsumsi selalu membawa makna beragam relasi sosial dan relasi-relasi itu

adalah artikulasi dari pembagian dan struktur sosial yang ada (Martyn, 2006 : 49).

Menurut Handi Irawan, dalam masyarakat konsumtif terdapat suatu proses

adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya

hidup. Hal ini diperoleh melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang

banyak menekankan pada gaya hidup, ambisi, serta identitas diri, yang

memberikan nilai tertentu kepada para konsumen. Hal ini sekaligus merupakan

representasi perilaku konsumen Indonesia yang cenderung menilai dan memilih

sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi

suatu hal justu lebih menarik ketimbang hal itu sendiri (Sunyoto, 2013:5).

Hedonisme pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf dari yunani

yaitu Aristippos (433-335 S.M) mengatakan, hal terbaik bagi manusia adalah

kesenangan, itu terbukti karena sudah sejak kecil manusia merasa tertarik akan

kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi.

Namun kini, perilaku hedonisme telah bergeser kearah perilaku konsumtif yang

saat ini telah melekat pada masyarakat kita. Pola hidup seperti ini sering kita

jumpai di kalangan remaja dan masyarakat mapan, dimana orientasinya tidak

sebatas mengarah pada kenikmatan, kesenangan, serta kepuasan dalam

mengkonsumsi barang secara berlebihan, melainkan sebagai penanda akan gaya

(12)

tentunya tidak terlepas dari peran media, baik cetak maupun elektronik yang

dikemas sedemikian rupa dalam bentuk iklan (Bertens, 2004:235).

Iklan adalah salah satu sarana pesan yang memungkinkan terciptanya

perilaku hedonisme dan konsumtif dengan cara menawarkan suatu produk (barang

atau jasa) yang ditujukan kepada khalayak melalui media. Iklan merupakan bagian

penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan

unsur citra. Objek iklan tidak sekedar ditampilkan dalam keadaan utuh, akan

tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih mendominasi bila

dibandingkan dengan produk itu sendiri (Bungin 2008 : 79).

Melalui iklan kita dihibur, diberi semangat, harapan dan identitas diri,

dengan iklan pula kita didorong atau dilarang untuk berbuat sesuatu (Liliweri,

1992:20). Terkadang sebuah iklan senantiasa diingat oleh konsumen dari

tanda-tandanya, seperti gambarnya yang menarik atau hiasannya yang unik (bukan

nama pengiklan atau penawaran yang diajukannya). Pada akhirnya, jika seorang

mengingat tanda-tanda khas dari suatu iklan, ia akan terdorong untuk mengingat

dan mengidentifikasikan hal-hal penting lainnya yang tertera pada iklan tersebut.

Albert Frey, dalam bukunya yang berjudul advertising (periklanan),

menulis tentang empat jenis bujukan khususnya dalam penyampaian iklan, yaitu

(Rivers dan Jensen, 2003:271) :

- Bujukan primer : bertujuan agar konsumen membeli satu jenis produk tertentu

- Bujukan selektif : bertujuan agar konsumen membeli merek tertentu. - Bujukan emosional : bertujuan agar konsumen mau berfikir dalam

memilih suatu produk.

Namun bagaimanapun itu, iklan tanpa media pada masa kini sulit untuk

terpisahkan. Televisi merupakan media yang banyak digunakan dalam

menyampaikan pesan iklan. Hal ini dikarenakan peranan televisi memiliki

kelebihan jika dibandingkan dengan media lain dalam upaya membantu proses

keberhasilan penyebaran iklan. Selain menarik, televisi juga memiliki sisi kreasi

dan inovasi dalam hal penyampaian informasi, hiburan, dan pendidikan atau

gabungan dari semuanya. Iklan televisi juga mampu mempengaruhi emosi

masyarakat yang bertempat tinggal tersebar dan heterogen dalam memenuhi

standar dan gaya hidup melalui rangsangan visual, sehingga menjadikannya

(13)

memiliki banyak kelemahan yaitu (Morrisan ,2009:386-387) :

1. Biaya mahal : Mahalnya biaya iklan di televisi menyebabkan

perusahaan dengan anggaran terbatas akan sulit untuk beriklan di

televisi. Dengan demikian, hanya perusahaan-perusahaan besar saja

yang mampu beriklan ditelevisi.

2. Informasi terbatas : Dengan durasi iklan yang rata-rata hanya 30 detik

dalam sekali tayang, maka pemasang iklan tidak memiliki cukup

waktu untuk secara leluasa memberikan informasi yang lengkap.

Menurut Willis-Aldridge: “...there is little time to develop a selling

argument or to include much information about the product.” (hanya

ada sedikit waktu untuk mengembangkan argumentasi penjualan atau

memasukkan banyak informasi).

3. Ruang terbatas : Waktu siaran yang diberikan relatif pendek,

dikarenakan dapat mengganggu program tayangan lainnya.

Salah satu iklan televisi tersebut adalah iklan Ice Cream Magnum.

Magnum adalah sebuah brand es krim milik PT.Unilever.Tbk, dan dijual sebagai

salah satu produk dari merek Heartbrand yakni Wall’s. Pada awalnya Magnum

dijual pada tahun 1987 dengan nama Magnum Original memiliki berat 86 gram

(120 ml). Pada tahun keduanya yakni 1994, magnum kembali mengeluarkan

varian terbarunya yaitu Magnum Ice Cream Cone. Atas keberhasilan magnum

tersebut, melalui dua varian yang berbeda magum terus melakukan inovasi yang

ditandai dengan kemunculan Magnum Sandwich Ice Cream tahun 2002, serta

Magnum Gold pada tahun 2010. Dari segi penjualan, magnum berbeda dari merk

es krim lainnya yang menyasar konsumen anak-anak, sejak awal Wall's

memposisikan Magnum sebagai konsumsi dewasa dari ekonomi mapan dengan

usia 25-35 (http:/www.scribd.com/doc/80372687/ Magnum).

Media yang digunakan Ice Cream Magnum dalam mempromosikan

produknya, berupa iklan Ice Cream Magnum versi “undian berhadiah belanja di

lima kota besar di dunia” menggunakan media audio-visual yakni televisi. Iklan

ini sekaligus merupakan objek yang akan menjadi penelitian. Iklan tersebut

menampilkan Rachel Sarah Bilson sebagai bintang dalam iklan Magnum. Rachel

(14)

Dalam iklan tersebut dia ditampilkan layaknya seperti perempuan Asia pada

umumnya dengan rambut hitam dan kulit berwarna putih langsat, dengan aktifitas

berbelanja di lima kota besar di dunia, dengan para laki-laki yang selalu

mendampinginya serta menggunakan mobil sebagai kendaraan, seakan memberi

kesan mewah yang akan di dapat oleh para konsumen dan pemenang undian

wall’s magnum. Iklan Ice Cream Magnum telah banyak ditayangkan di berbagai

stasiun televisi di Indonesia, dimulai sejak tahun 2011 hingga 18 Maret 2012,

yang ditandai dengan berakhirnya masa berlaku iklan tersebut.

Guna membongkar perilaku hedonisme yang terdapat dalam iklan ini,

peneliti menggunakan analisis semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang

tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara

berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan

penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Semiotika mempelajari

sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda

tersebut mempunyai arti. Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda

termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita).

Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna

tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai

konstruksi sosial dimana pengguna tanda tersebut berada (Kriyantono,

2006:263-264).

Peneliti berusaha mencari sistem tanda yang ada dalam iklan ini, sistem

tanda ini akan diteliti lewat cuplikan video yang telah dipilah menjadi

potongan-potongan gambar. Video Ice Cream Magnum versi“undian berhadiah belanja di

lima kota besar di dunia” berdurasi 30 detik menghasilkan 6 scene yang dibagi

dalam 34 gambar dimana setiap gambar akan mewakili setiap adegaan dari setiap

durasinya. Ini dilakukan karena hanya beberapa gambar yang berpotensi menjadi

bahan untuk diteliti. Ini bertujuan untuk membuat penelitian lebih maksimal dan

efisien. Pada akhirnya gambar yang memiliki kekuatan makna yang dijadikan

sebagai objek penelitian tetap. Selain itu, peneliti juga akan melihat narasi dan

Jingle (musik) pada iklan yang mengiringi gambar untuk merepresentasikan

sistem signifikansi iklan tersebut. Keseluruhan elemen yang ada akan diteliti

(15)

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk meneliti iklan televisi

Ice Cream Magnum dalam kaitannya dengan perilaku budaya hedonisme. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan pendekatan semiotika Roland Berthes untuk

melihat lebih dalam upaya menggambarkan hubungan makna yang tersedia

melalui tanda-tanda yang digunakan, pesan yang tidak pernah netral serta mencari

makna yang terdapat dibalik iklan Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah

Belanja di Lima Kota Besar di Dunia” hingga pada tingkat Mitos dan ideologi.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dikemukakan fokus masalah sebagai berikut: “Bagaimana Hedonisme

ditampilkan dalam iklan Ice Cream Magnum versi “ Undian Berhadiah di Lima

Kota Besar di Dunia?”

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual yang

terdapat dalam iklan Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah

Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”.

2. Makna denotasi dan konotasi sampai tahap mitos yang terkandung

dalam visualisasi iklan Ice Cream Magnum versi “undian berhadiah

belanja di lima kota besar di dunia”.

3. Bentuk perilaku hedonisme yang terdapat dalam visualisasi iklan Ice

Cream Magnum versi “undian berhadiah belanja di lima kota besar di

(16)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi khususnya studi analisis

semiotika.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca

agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang

disampaikan dalam sebuah iklan televisi.

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan

(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Penelitian

Guba dan Lincoln mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian

keyakinan –keyakinan dasar (basic Beliefs) atau metafisika yang berhubungan

dengan prinsip – prinsip pokok. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam

pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan

saja, hal ini disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran

akhir (Sunarto dan Hermawan, 2011:4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln

menyebutkan empat macam paradigma yaitu, positivisme, post positivisme,

konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu

pengetahuan sosial: positivisme, interpretatif dan kritis. Sedangkan Cresswel

membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan

Hermawan, 2011:9).

Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis

semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan

struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan

makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks.

Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek

penelitian ini yaitu iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah di

Lima Kota Besar di Dunia”, yang tayang sejak tahun 2011 hingga tanggal 18

Maret 2012. Dengan penafsiran tesebut, peneleliti menyelami teks dan menyikap

makna yang ada dibaliknya. Ketika menfsirkan sesuatu, hal-hal berupa teks,

pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat

mempengaruhi hasil penelitian.

Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik yaitu,

meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan

bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi

dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk

(18)

Meskipun banyak macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga

asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsi-prinsip dasar

ilmu sosial interpretatif yakni bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk

memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis

bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana

berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji

kondisi-kondisi sosial dalam usaha mengungkap struktur-struktur yang sering kali

tersembunyi. Ketiga, pendekatan kritis berupaya menggabungkan teori dan

tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai

perubahan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita (Bungin,2008:

259-260).

Sementara itu, menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang

diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang.

Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Guba dan Lincoln,

menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam,

karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial

mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku,

menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya

dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan

yang timbul dari alasan-alasan subjektif (http://id.wikipedia//org/wiki/ perspektif

konstruktivisme dan kritikal).

Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan–gagasan pokok

konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico seorang epistemolog dari

Italia. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia,

mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta

dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Ia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti

‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu’. Maksudnya adalah seseorang baru

mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun

sesuatu itu (Bungin, 2011:13).

Menurut Paul Suparno, ada tiga macam konstruktivisme yakni

konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, konstruktivisme biasa.

(19)

kita, dimana bentuk tersebut tidak selalu menjadi representasi dunia nyata. Kaum

konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan

kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak

merefleksikan suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas dibentuk

oleh pengalaman seseorang. Dengan kata lain bahwa pengetahuan merupakan

konstruksi dari individu yang mengetahui, dan tidak dapat ditransfer kepada

individu lain yang bersifat pasif. Oleh karena itu, konstruksi terhadap suatu

pengetahuan hanya dapat dilakukan oleh individu itu sendiri, sedangkan

lingkungan menjadi sarana terjadinya konstruksi tersebut (Bungin, 2011:14.

Realisme hipotesis mengungkapkan bahwa pengetahuan adalah sebuah

hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada

pengetahuan yang hakiki. Sedangkan konstruktivisme biasa mengambil semua

konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari

realitas tersebut, yang kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu

gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Namun dari

ketiga konstruktivisme, terdapat kesamaan di mana konstruktivisme dilihat

sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada,

karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingungan atau orang di

sekitarnya. Selanjutnya Piaget mengatakan, pengetahuan akan dibangun oleh

setiap individu melalui realitas yang dilihat berdasarkan struktur pengetahuan

yang telah ada sebelumnya, yang disebut dengan skema/skemata. Dimana

konstruktisme semacam ini yang menurut Berger dan Luckmann, disebut dengan

konstrusi sosial (Bungin, 2011:14). Sehingga penelitian ini dapat juga

digolongkan kedalam penelitian kualitatif konstruktivisme karena sangat

mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan makna yang ingin

dibangun melalui realitas sosial sehingga dapat dikaitkan dengan konteks sosial,

budaya, ekonomi, dan historis.

Dengan demikian, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah

paradigma kritis konstruktivis. Hal ini dimaksud guna memberikan penilaian

akan penting atau tidaknya perilaku hedonisme ada dalam iklan dikaitkan dengan

konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis, dengan cara membongkar segala

(20)

dalam iklan Ice Cream Magnum versi “Undian berhadiah di Lima Kota Besar di

Dunia”. Namun disisi lain peneliti tidak berniat untuk membongkar secara

keseluruhan akan kelemahan dari hedonisme dalam kehidupan sosial, melainkan

hanya menjelaskan keberadaan hedonisme itu sendiri dalam iklan serta gambaran

akan pengaruh yang ditimbulkannya.

2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ‘tanda’ atau

seme, yang berarti ‘penafsir tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan

skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih

bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan

pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya

sendiri.Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya

dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang

ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang

bersangkutan (Sobur, 2004: 17).

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala

yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan

tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang

menggunakannnya. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat

diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada arti yang diberikan, ada

pemaknaan dan ada interpretasi. Fokus utama semiotika adalah tanda. Fiske

mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu (Bungin,

2009:167) :

o Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang

berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

o Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup

(21)

o Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya

bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Menurut Preminger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau

masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari

sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda

tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2006:261). Sementara Roland Barthes

menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk

mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa

objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem

terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh

pengaruh dari dua tokoh utama : Charles Sanders Pierce mewakili tradisi Amerika

dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak

pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki

kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula

diperkenalkan oleh Pierce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk

pemikirannya.

Sebuah tanda menurut Pierce adalah sesuatu yang bagi seseorang

mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain

itu dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan

mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas

icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011:14).

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda

itu mudah dikenali oleh pemakainya.

2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau

eksistensial di antara representamen dan objeknya.

3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional

(22)

Kategori tanda Pierce digambarkan sebagai berikut: Gambar I

Kategori Tipe Tanda dari Pierce

Ikon

Signs Indeks

Simbol Sumber : Bungin, 2006:158

Teori dari Pierce menjadi Grand theory dalam semiotik. Gagasannya

bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce

ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali

semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa

secara keseluruhan (Sobur, 2004:97).

Pierce juga mengatakan, kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda.

Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan

manusia dapat berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat

berarti sebagai setuju dan tidak setuju, tanda pluit, genderang, suara manusia

bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka

dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berarti berhenti

(berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.

Ahli semiotika lainnya Ferinand de Saussure lebih terfokus pada semiotika

linguistik. Saussure menyerang pemahaman historis terhadap bahasa hanya

berfokus kepada perilaku linguistik yang nyata. Berbeda dengan Pierce, Saussure

mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan

petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda

mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda

dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial dikalangan komunitas bahasa. Suatu

kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam

komunitas bahasa.

Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai

sejumlah unit (atau terkadang satu unit tanda). Dalam semiotik, kode dipakai

untuk merujuk pada struktur prilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai

(23)

dalam kode. Pertama, paradigmatik yang merupakan sekumpulan tanda dan dari

dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotik, paradigmatik digunakan

untuk mencari simbol-simbol yang ditemukan dalam teks yang bisa membantu

memberi makna. Kedua, sintagmatik yang merupakan pesan yang dibangun dari

perpaduan tanda-tanda yang dipilih. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah

paradigma dan bahasa adalah sintagma (Kriyantono, 2008:269).

Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified

[image:23.595.124.512.232.472.2]

sebagai berikut :

Gambar 2

Elemen-Elemen Makna dari Saussure Tanda

Terdiri dari

Signification

Signifier + Signified Realitas eksternal

(Eksistensi (Konsep mental) atau makna

fisik dari tanda)

Sumber : Fiske, 2012:73

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,

sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.

Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna

terhadap dunia (Sobur, 2004: 125).

Penting untuk diingat bahwa signified (konsep mental) merupakan produk

dari budaya tertentu seperti halnya signifier (aspek fisik dari tanda). Terlihat jelas

bahwa kata-kata atau (signifiers) berbeda antara bahasa satu dengan yang lain.

Namun hal tersebut membuat sering terjadi kesalahan pemahaman bahwa

signifieds (konsep mental) bersifat universal sehingga menerjemahkan adalah hal

yang mudah karena hanya terkait menggantikan sebuah kata, layaknya seperti

menerjemahkan bahasa Indonesia kedalam bahasa Inggris yang mana maknanya

(24)

pada petani Indonesia pasti sangat berbeda dengan petani Hindu di India, yang

memberi pemahaman bahwasanya kerbau dalam suara Hindu (penanda/signifier)

tidak membuat lebih dekat dalam berbagi konsep. Dengan kata lain, kerbau

bersifat spesifik pada masing-masing budaya seperti juga perbedaan pada bentuk

bahasa dari penanda/signifier di dalam setiap bahasa (Fiske, 2012:74).

2.2.2. Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Dalam konsep

Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga

mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini

merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan

semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif (Sobur,

2004:69).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli

tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara

panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran

kedua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua

ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara

tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur,

2004:69).

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua

tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan

hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini

menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam

tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal.Hal ini

mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek), Dan signifikasi tahap

kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).

Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas

pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes,

terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni

pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure

(25)

konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia

nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi

tertentu. Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai berikut :

[image:25.595.155.460.201.355.2]

Gambar 3

Gambar peta tanda Roland Barthes

1. signifier (penanda)

2. signified (petanda) 3. denotativesign

(tanda denotatif) 4.ConnotativeSignifier

(Penanda Konotatif)

5. ConnotativeSignified (Petanda Konotatif) 6. ConnotativeSign

( Tanda Konotatif)

Sumber: Cobley and Jansz (Sobur, 2004:69)

Dari peta Roland Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi

(objek fisik ) yang dapat ditunjukkan dalam iklan yang sedang diteliti. Pada saat

yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda

adalah penanda konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai

dari penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut

Barthes adalah mitos atau operasi ideologi yang berada dibalik sebuah penanda

(1).

Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk

menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos dan simbol)

dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi

menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau

emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting

dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Roland

Barthes.

Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi, yaitu makna

tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis

(26)

menekankan pada peran pembaca (reader), peran disini berarti walaupun sebuah

tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja

dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam semiologi Roland

Barthes, kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks nantinya akan dicari

makna riil-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu dengan tanda lainnya

akan dicari makna tersirat didalamnya (konotasi).

Tradisi semiotika meyakini manakala realitas media telah terpajang

dihadapan publik atau khalayaknya maka media seketika kehilangan otoritasnya

untuk memaksa tafsiran makna yang dikehendaki. Pemaknaan pun berpindah

ketangan pembaca, pembaca boleh semena-mena karena tafsir realitas tergantung

pengalaman kebudayaan yang dipunyainya.inilah kira-kira yang diimajinasikan

oleh Roland Barthes, ketika ia menggambarkan bagaimana otoritas pembuat

simbol telah berakhir dan pemaknaan pun telah beralih ketangan pembaca

(Sunarto dan Hermawan, 2011:233).

Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana

naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas beruntun yang disebutnya sebagai

leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan

panjang pendek bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan

berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan teks lain

disekitarnya,adalah sebuah leksia. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, berupa

satu-dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf

(Budiman, 2003:53).

Dimensinya tergantung kepada kepekatan (density) dari

konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses

pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran pertama

diantaranya pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah

sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran

pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003:54).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five

major kode) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang

ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2006:65-66):

(27)

muncul dalam teks. Kode teka teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode Proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknnya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan.

4. Kode Gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu.

5. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.

Menurut Lechte, tujuan dari analisis Barthes ini bukan hanya untuk

membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal,

namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal,

rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan

produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur, 2006:66).

Selain penanda teks (leksia) dan lima kode utama yang telah dijelaskan

diatas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah :

1. Penanda dan Petanda

Umberto Eco (dalam Wibowo, 2011:7) menyebut tanda sebagai suatu

‘kebohongan’ dan di dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya.

(28)

dalam iklan Ice Cream Magnum versi Undian Berhadiah yang tayang sejak bulan

Juli 2010 hingga Maret 2011. Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang

dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat di

ambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu

yang lain. Sesuatu yang lain tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada

di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.

Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan

sebuah ide atau petanda (signified). Menurut Barthes, penanda adalah “bunyi yang

bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material

dari bahasa : apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.

Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Dengan kata

lain, petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2004:46).

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada

sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting didalan ujaran.

Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat

dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda.

Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok

kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau

yang didasarkan atas konvensi tertentu dan sifatnya objektif (Sobur, 2004:263).

Denotasi merupakan definisi objektif yang bersifat umum. Tingkat pertanda ini

menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan

rujukannya pada realitas yang mengahasilkan makna yang eksplisit, langsung dan

pasti.

Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi

sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Makna konotatif bersifat subjektif

dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena

sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa

dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh

mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit (kecil). Jadi sebuah kata disebut

(29)

maupun negatif. Jika kita mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki

konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi negatif (netral) (Sobur, 2003:264).

Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna

yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan. Konteks dalam hal

ini untuk memecahkan masalah polisemi. Sedangkan pada makna konotatif,

konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Sedangkan konotasi adalah

aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau

pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar. Konotasi

membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Secara umum (bukan bahasa),

konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang

bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasa/tidak sopan,

peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan

sebagainya.

3. Paradigma dan Sintagmatik a. Paradigma

Barthes adalah seorang pengikut Saussure. Dari jalur Saussurean,

membaca dan menstrukturkan teks dapat dilakukan dalam dua langkah, yaitu

sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik melihat teks sebagai suatu

rangkaian dari satuan ruang dan waktu yang membentuk teks. Pada tingkat

selanjutnya, pemaknaan berikutnya dilakukan secara paradigmatik. Setiap tanda

berada dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma, suatu ralasi in

absentia yang mengabaikan tanda tersebut dengan tanda-tanda lain (Sunarto dan

Hermawan, 2011:240).

Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk

menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan

tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Paradigma adalah satu rangkaian set di mana

sebuah pilihan dibuat dan hanya satu unit dari satu set rangkaian tanda tersebut

yang mungkin dipilih. Contoh yang sederhana adalah huruf-huruf dalam alfabet.

Alfabet membentuk paradigma untuk bahasa tulis dan menggambarkan dua

(30)

1. Satu unit dalam paradigma harus memiliki satu kesamaan artinya

mereka harus berbagi karakteristik yang menentukan keanggotaan

mereka pada sebuah paradigma. Kita harus tahu bahwa M adalah

sebuah huruf dan oleh sebab itu merupakan anggota dari paradigma

alfabet. Kita juga secara seimbang mengenali bahwa 5 dan + bukan

merupakan alfabet.

2. Masing-masing unit dalam sebuah paradigma harus secara jelas

berbeda dengan unit-unit yang lain. Kita harus bisa membedakan satu

tanda dengan tanda-tanda yang lain terkait dengan signifier dan

signified mereka miliki. Alat yang kita gunakan untuk membedakan

satu penanda dengan yang lain disebut fitur pembeda/distingtif dari

sebuah tanda.

Setiap kali kita berkomunikasi kita harus memilih tanda-tanda sebuah

paradigma. Kata-kata adalah sebuah paradigma kumpulan kata (vocabulary)

bahasa Inggris adalah bagian dari paradigma. Kata-kata juga dikategorikan ke

dalam paradigma yang lebih spesifik: paradigma tata bahasa, seperti kata benda

atau kata kerja; paradigma penggunaan-bahasa bayi, bahasa hukum, perbincangan

romantis, umpatan maskulin; ataupun paradigma suara-tiga istilah dari Saussure

untuk menganalisis tanda yang membentuk paradigma dan sering kali digunakan

yakni Sn, Sr, Sd. S di sini secara konvensi mengindikasikan paradigma dan –n, -r,

-d, merupakan fitur pembeda yang mengidentifikasikan unit-unit dalam

paradigma (Fiske, 2012:94). Contoh lain dari paradigma adalah cara mengganti

sorotan kamera di televisi diantaranya potong (cut), menghilang (fade), melembut

(dissolve), hapus (wipe), dan sebagainya; gaya kursi yang kita gunakan di ruang

tamu; hingga tipe mobil yang kita kendarai. Semua itu melibatkan pilihan-pilihan

paradigmatik, dan makna dari unit yang kita pilih sangat ditentukan oleh makna

dari unit-unit yang tidak kita pilih. Dimana kita dapat menyimpulkan dengan

mengatakan di mana ada pilihan di situ ada makna, dan makna dari yang dipilih

(31)

b. Sintagmatik

Normalnya, setelah sebuah unit dipilih dari sebuah paradigma, unit

tersebut akan dikombinasikan dengan unit yang lain. Kombinasi inilah yang

disebut dengan sintagma. Jadi, sebuah kata (dalam bentuk tertulis) adalah sebuah

sintagma visual yang terdiri dari serangkaian pilihan paradigmatik dari huruf di

dalam alfabet. Sebuah kalimat adalah sebuah sintagma kata-kata, contohnya baju

kita pakai adalah sebuah sintagma pilihan-pilihan dari beberapa paradigma topi,

dasi, kemeja, jaket, celana panjang, kaus kaki, dan lain-lain. Cara kita menata

ruangan adalah sebuah sintagma dari pilihan-pilihan paradigma-paradigma kursi,

meja, sofa, karper, wallpapers, dan sebagainya. Sebuah menu merupakan sebuah

contoh dari sebuah sistem yang komplit. Pilihan dari masing-masing makanan (

paradigma) diberikan secara penuh, dimana setiap pelangan mengombinasikannya

menjadi sebuah hidangan, serta pesanan yang diberikan kepada pelayan adalah

sebuah sintagma (Fiske, 2012:95).

Aspek penting dari sintagma adalah aturan dan konvensi yang digunakan

untuk mengombinasikan unit-unit. Pada bahasa kita menyebutnya sebagai tata

bahasa atau sintaksis, pada musik kita menyebutnya sebagai melodi (harmoni

adalah merupakan masalah pilihan paradigmatik); pada pakaian kita menyebutnya

selera yang bagus, atau naluri berbusan, meskipun juga terdapat aturan formal.

Bagi Saussure, kunci untuk memahami tanda adalah hubungan struktural antara

tanda. Terdapat dua tipe hubungan, struktural paradigmatik yang terkait dengan

pilihan dan sintagmatik yang terkait dengan kombinasi (dari tanda-tanda yang

terpilih) (Fiske, 2012:96).

4. Mitos

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami

beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas

sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos tidak dibentuk melalui

penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang

digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat (Wibowo,

2011:17).

Barthes menggunakan mitos sebagai sebagai orang yang mempercayainya,

(32)

mati, manusia dan tuhan, baik dan buruk. Sementara mitos terkini adalah soal

maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang kesuksesan, tentang ilmu

pengetahuan. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah budaya cara berpikir tentang

sesuatu, cara mengonseptualisasi atau memahami hal tersebut. Ia melihat mitos

sebagai mata rantai dari konsep-konsep yang berelasi (Fiske, 2012:143-144).

Mitos tidak didefinisikan oleh objek pesannya, tetapi oleh caranya

menyatakan pesan, tidak ada batas-batas formal bagi mitos, tidak ada batas-batas

yang substansial (Barthes, 2010:296). Di dalam mitos juga terdapat pola dimensi

penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos

dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan

kata lain, mitos juga adalah sebuah sistem pemaknaan tataran kedua.

Barthes mengatakan, cara kerja mitos yang paling penting adalah

menaturalisasi sejarah. Hal ini menunjuk pada fakta bahwa mitos sesungguhnya

merupakan produk sebuah kelas sosial yang telah meraih dominansi dalam sejarah

tertentu. Makna yang disebarluas melalui mitos pasti membawa sejarah, namun

pelaksanaannya sebaga mitos membuat mereka mencoba untuk menyangkalnya

dan menampilkan makna terbaru sebagai sesuatu yang alami (natural), bukan

bersifat historis atau sosial. Sebagai contoh, mitos bahwa perempuan secara

natural lebih memiliki sifat memelihara dan merawat dari pada laki-laki, dengan

demikian tempat natural perempuan adalah di rumah, membesarkan anak-anak

dan merawat suami. Sementara suami, secara natural memainkan perannya

mencari nafkah. Peran ini kemudian menstrukturkan unit sosial yang membuatnya

menjadi universal dan tampak tidak dapat diubah. Hal ini kemudian menciptakan

mitos bahwa perempuan hanya untuk melayani kepentingan laki-laki (Fiske,

2012:146).

Mata rantai konsep-konsep yang membentuk mitos yang saling

berhubungan antara maskulinitas, feminitas dan keluarga yang telah beranak

pinak, tapi tidak secara alami. Dimana feminitas yang mengandung makna natural

dari merawat, domestifikasi, sensitivitas, dan kebutuhan dilindungi, sementara

maskulinitas diberi makna kekuatan, ketegasan, kemandirian, dan kemampuan

bekerja diruang publik. Namun, faktanya laki-laki menguasai sejumlah posisi

(33)

Tentu saja, mitos dapat menaturalisasi makna sangat efektif, dengan

menghubungkannya pada beberapa aspek. Jadi, fakta bahwa perempuan

melahirkan digunakan untuk menaturalsasi makna perawatan dan domestikasi.

Sama halnya, tubuh laki-laki yang besar dan berotot digunakan untuk

menaturalisasi kekuatan sosial dan politik laki-laki (tidak ada hubungannya

dengan kekuatan fisik). Oleh sebab itu, perubahan peran perempuan dalam

masyarakat dan perubahan struktur dalam keluarga mengakibatkan mitos-mitos

ini menemukan posisi dominasinya dalam mitos natural sebelumnya. Dengan kata

lain, mitos yang baru terbentuk bukan berarti menolak mitos sebelumnya secara

keseluruhan, namun menghilangkan beberapa konsep dari mata rantai, dan

menambahkan konsep lainnya. Dimana mitos sifatnya evolusioner dan bukan

bersifat revolusioner (Fiske, 2012:147-148).

[image:33.595.141.466.380.594.2]

Gambar 4.

Two Orders of Signification

Tataran Pertama Tataran Kedua

realitas tanda budaya

bentuk konotasi

penanda

denotasi ---

petanda

isi mitos

Dalam tatanan kedua, Sistem Tanda dari Tatanan Pertama Disisipkan ke Dalam Sistem Nilai Budaya

Sumber : Barthes dalam Fiske, 2012:145

Pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi

konotatif yang nantinya menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak

(34)

cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Yang mana adanya dinamisme

mitos dalam aspek mitos itu sendiri. Fiske mengatakan, mitos bisa berubah

bahkan beberapa dapat berubah dengan cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan

dan nilai budaya di mana mereka berada (Fiske, 2012:149).

Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan, dan ia menyatakan

mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wicara (Barthes,

2010:152). Dengan konotasi dan mitos merupakan cara utama, di mana tanda

bekerja dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan di mana interaksi dan

pengguna atau kebudayaan menjadi sesuatu yang paling aktif (Fiske, 2012:149).

2.2.3. Hedonisme

Hedonisme pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf dari yunani yaitu

Aristippos (433-335 S.M), ia mengatakan hal terbaik bagi manusia adalah

kesenangan, itu terbukti karena sudah sejak kecilnya manusia merasa tertarik akan

kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi.

Sebaliknya berusaha menjauhkan diri dari ketidak senangan. Aristippos

menekankan bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual,

bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan dimasa lampau. Akan tetapi,

ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos mengakui perlu adanya

pengendalian diri, dimana penendalian diri tidak sama dengan meninggalkan

kesenangan (Bertens, 2004:236).

Selain itu, Epikuros (341-270 s.M) seorang filsuf yunani melihat

kesenangan (hedone) sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya

setiap manusia mencari kesenangan, tapi Epikuros memberikan pengertian

tentang kesenangan lebih luas daripada pandangan Aristippos. Walaupun tubuh

manusia merupakan “asas serta akar” kesenangan dan akibatnya kesenangan

badani harus dianggap paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya

kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam menilai kesenangan Epikuros

memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk masa lampau dan masa

depan. Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bia di nilai baik, namun itu tidak

berarti bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Epikuros

(35)

perlu seperti makan dan tidur, keinginan alamiah yang tidak perlu seperti makan

yang enak, keinginan yang sia-sia seperti kekayaan. Kekayaan yang pertama lah

menurut Epikuros harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas

menghasilkan kesenangan paling besar, maksudnya dengan memenuhi keinginan

makan dan tidur dengan teratur akan mendapat kesenangan yang besar (Bertens,

2004:237).

Hedonisme atau pandangan yang menyamakan baik secara “moral” dengan

“kesenangan” tidak saja merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah

filsafat, tetapi dikemudian hari sering kembali di pelbagai variasi. Filsuf Inggris,

John Locke mengatakan, sesuatu dianggap baik apabila menyebabkan atau

meningkatkan kesenangan, sebaliknya, dianggap jahat apabila mengakibatan atau

mengurangi ketidak senangan (Bertens, 2004:241).

Sementara menurut Epikuros, seorag filsuf asal yunani yang lahir pada

tahun 342 SM,  dalam ajarannya  yang  menitikberatkan persoalan kenikmatan

mengatakan,  Apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan

kenikmatan, sedangkan yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan

ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa aturan yang

dijunjung kaum Epikurean, melainkan kenikmatan yang dipahami secara

mendalam. Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti

makan) dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta

keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan/harta yang berlebihan). Keinginan

pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan

kesenangan yang paling besar. Oleh sebab itu kehidupan sederhana disarankan

oleh Epikuros. Tujuannya untuk mencapai ketenteraman jiwa yang tenang,

kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang dalam hidup.

Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan (phoronesis). Menurutnya,

orang yang bijaksana adalah seseorang yang dapat mempertimbangkan pilihan

nikmat atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak

kebutuhan, tetapi mereka yang membatasi kebutuhannya agar dengan cara

membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan dan menghindari tindakan yang

(36)

Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam dimana manusia

pada dasarnya mencari kebahagiaan dan berusaha menghindari diri dari

ketidaksenangan. Psikoanalisis Sigmund Freud mengungkapkan, bahwa

kecenderungan manusia tersebut bahkan terdapat pada taraf yang tidak sadar.

Serigkali manusia mecari kesenagan tanpa diketahuinya. Namun tidak dapat

dipungkiri, keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat

mendasar dalam hidup manusia (Bertens, 2004:238).

2.2.4. Iklan

Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi

nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh

satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta

bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli,

sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa

(Morrisan, 2010:17).

Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia

artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin

abad pertengahan advertere, “mengarahkan perhatian kepada”, sedangkan

reklame berasal dari bahasa Perancis “re-klame” yang berarti berulang-ulang

(Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian

yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak.

Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial.

Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat, sedangkan

Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan

pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu

sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan,

maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2008:65).

Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi

sebuah citra, dan apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik

itu citra kelas sosial, citra seksualitas, dan sebagainya, yang terpenting pencitraan

itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya

(37)

Senada dengan Bungin, Jib Fowles juga mengatakan, iklan tidak sekedar

media komunikasi, namun terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang

terkandung di dalamnya, terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud

produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus

dipahami oleh pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan

(Bungin, 2008:81).

Sementara itu, menurut Stanton, Etzel dan Walker 1994, iklan adalah

suatu bentuk penyajian yang terlebih dahulu melakukan pembayaran oleh sposor

tertentu. Dimana adanya harapan agar iklan dapat mempengaruhi afeksi dan

kognisi konsumen berupa evaluasi, perasaan, pengetahuan, makna, kepercayaan,

sikap dan citra yang berkaitan dengan produk dan merek. Dalam praktiknya, iklan

telah dianggap sebagai manajemen citra yang mampu menciptakan dan

memelihara citra dan makna dalam benak konsumen. Iklan disajikan melalui

berbagai macam media seperti televisi, media massa, media cetak, radio, papan

iklan, dan sebagainya. Walaupun konsumen pada umumnya diekspor pada ratusan

iklan setiap harinya, sebagian besar dari pesan yang disampaikan hanya menerima

perhatian dan pemahaman dari konsumen dalam jumlah yang sangat sedikit

(Sunyoto, 2013:153-154).

Selain itu, iklan semestinya memberikan informasi yang jelas tentang

produk yang ingin disampaikan. Namun kini, guna mendapat penilaian yang baik

iklan cenderung lebih menonjolkan sisi pencitraan dibandingkan apa yang

sebenarnya terdapat dalam iklan produk itu sendiri sebagai tujuan dan alat

mempengaruhi konsumen mengenal dan membeli. Sebagaimana disampaikan oleh

Colston E. Werne, seorang guru besar ilmu ekonomi di Amherst College,

menyebutkan bahwa kini pesan-pesan yang terkandung didalam iklan, diantaranya

(Rivers, 2003:337-338) :

- Menonjolkan nilai-nilai yang sebenarnya tidak penting

- Memunculkan perspektif keliru tentang mutu suatu produk, sehingga lebih

sering menyesatkan daripada memberitahu

(38)

Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen

periklanan, adalah media. Media berperan sebagai penghubung antara perusahaan

dengan konsumennya. Dari seluruh media, televisi seringkali difavoritkan menjadi

media periklanan yang utama, karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian

pesan dan pembentukan citra di dalamnya. Televisi menjadi pilihan utama oleh

banyak pemasar karena karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan

imajinasi nyata dari iklan tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi

lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak

mengetahui kalau iklan televisi umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan

proses kerja yang sangat rumit dan panjang.

2.2.5 Model Teoretik

Model adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari

keseluruhan, unsur, sifat dan komponen yang penting dari fenomena yang

dijadikan model. Model dapat dikatakan sebagai ga

Gambar

Gambar 2 Elemen-Elemen Makna dari Saussure
Gambar peta tanda Roland Barthes
Two Orders of SignificationGambar 4.
Bagan Teoretik Penelitian Hedonisme Gambar 5 Ice Cream Magnum Dalam Iklan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pemaknaan dan penjelasan peneliti mengenai Iklan Kondom Sutra di Televisi, maka dapat terlihat kategori tanda yang terdiri dari ikon, indeks, dan simbol dalam

Narasumber 2 : Dari iklan tersebut yaa yang pasti lah dia menawarkan tentang Oreo ice cream rasa orange yang paling baru ya karena disitu varian rasa yang paling terbaru yang

Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah sistem dalam realitas simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem

versi Indonesia Raisa Hangout akan simbol dan makna gaya hidup dengan ukuran kesenangan sebagai pusat utamanya dikonstruksi menjadi suatu hal yang semestinya. Hedonisme

Penafsiran yang didapatkan dari presentasi tanda visual mengenai identitas budaya Indonesia dalam iklan ini adalah bahwa konsep ke Indonesiaan yang ingin ditampilkan oleh Aqua