(Studi Deskriptif tentang Tanggapan Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di
Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strara 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
FRANSISKUS B MARBUN
080904061
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
DEPERTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Fransiskus Batista Marbun
NIM : 080904061
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : Tanggapan Masyarakat Terhadap Perilaku Budaya Anak Punk
(Studi Kuantitatif Mengenai Tanggapan Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia terhadap Perilaku Budaya Anak Punk )
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Dra. Lusiana A. Lubis, MA, Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A
NIP. 196704051990032002 NIP. 196208281987012001
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
NIP. 196805251992031001
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168
LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI
NAMA : Fransiskus B Marbun
NIM : 080904061
PEMBIMBING : Dra. LusianaA.Lubis, MA, Ph.D
NO. TGL.PERTEMUAN PEMBAHASAN PARAF
PEMBIMBING
1 16 April 2012 Penyerahan Proposal
2 27 April 2012 ACC Seminar
3 2 Mei 2012 Seminar Proposal
4 10 Mei 2012 Penyerahan BAB I dan II
5 7 Juni 2012 Pembahasan Revisi BAB II dan
penyerahan BAB III
6 1 Juli 2012 Revisi BAB III dan penyerahan
Kuesioner
7 7 Juli 2012 ACC Kuesioner
8 25 Juli 2012 Penyerahan BAB IV
9 31 Juli 2012 Penyerahan revisi bab IV dan
ACC BAB I, II, III, IV, V
DEPERTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Fransiskus Batista Marbun
NIM : 080904061
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : Tanggapan Masyarakat Terhadap Perilaku Budaya Anak Punk
(Studi Kuantitatif Mengenai Tanggapan Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia terhadap Perilaku Budaya Anak Punk )
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Dra. Lusiana A. Lubis, MA, Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A
NIP. 196704051990032002 NIP. 196208281987012001
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
NIP. 196805251992031001
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168
LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI
NAMA : Fransiskus B Marbun
NIM : 080904061
PEMBIMBING : Dra. Lusiana A. Lubis, MA, Ph.D
NO. TGL.PERTEMUAN PEMBAHASAN PARAF
PEMBIMBING
1 16 April 2012 Penyerahan Proposal
2 27 April 2012 ACC Seminar
3 2 Mei 2012 Seminar Proposal
4 10 Mei 2012 Penyerahan BAB I dan II
5 7 Juni 2012 Pembahasan Revisi BAB II dan
penyerahan BAB III
6 1 Juli 2012 Revisi BAB III dan penyerahan
Kuesioner
7 7 Juli 2012 ACC Kuesioner
8 25 Juli 2012 Penyerahan BAB IV
9 31 Juli 2012 Penyerahan revisi bab IV dan
ACC BAB I, II, III, IV, V
i ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Tanggapan Masyarakat terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kota Medan(Studi Deskriptif Tentang Tanggapan Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia). Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat Lingkungan II Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia, terhadap perilaku budaya anak punk di Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi, komunikasi antar budaya, dan perilaku budaya. Metode penelitian adalah metode kuantitatif dengan menggunakan penyebaran kuesioner kepada sejumlah responden yang sebanyak 72 orang. Jumlah sampel didapat dengan menggunakan rumus Arikunto, dengan cara mengambil 20% dari total populasi yang sebanyak 362 orang. Teknik pengambilan sampel adalah Random Sampling. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tabel tunggal. Tahapan-tahapan dalam pengolahan data dimulai dengan penomoran kuesioner, editing, coding, inventarisasi tabel, dan tabulasi data. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa sebagian besar masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini berpendapat bahwa perilaku budaya anak punk dinilai kurang menarik dan terkesan negatif di mata masyarakat. Sebagian besar responden dalam penelitian ini menanggapi bahwa perilaku budaya anak punk merupakan perilaku budaya yang menyimpang dan masih menanggap bahwa budaya yang diadopsi oleh anak punk tersebut adalah hal yang sangat berbeda dengan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya.
ii
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat, kasih dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Tanggapan Masyarakat terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kota Medan (Studi Kuantitaif tentang Tanggapan Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia). Adapun skripsi ini dibuat guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera utara.
Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan yang semaksimal mungkin telah peneliti minimalisir. Oleh karena itu, dengan rendah hati besar harapan peneliti untuk memperoleh kritik dan saran yang berifat membangun dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini dikemudian hari.
Pertama-tama peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua peneliti, bapak tersayang Mangasa Banjarnahor, S.E dan mama tercinta Dra. Yusna Riani Magdalena Sitohang atas doa dan kasih sayangnya selama ini dalam membesarkan peneliti. Semoga apa yang menjadi doa dan harapan orang tua tercinta bagi peneliti dapat terkabul seturut kehendak Yesus Kristus Sang Juru Selamat. Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada adik peneliti, David Vincentius Marbun buat doa dan dukungannya selama ini hingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.
Dalam kesempatan ini peneliti juga menyampaikan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan FISIP USU.
2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A dan Ibu Dra. Dayana Manurung, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
iii
3. Dra. Lusiana A. Lubis, MA, Ph.D selaku dosen pembimbing peneliti yang senantiasa meluangkan waktu serta sabar dalam membimbing peneliti dalam mengerjakan penelitian ini. Merupakan suatu kesempatan yang berharga bagi peneliti dapat memperoleh bimbingan dari Ibu Lusiana. Terimakasih, buat setiap nasehat dan motivasi yang sangat berharga bagi Peneliti.
4. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku dosen wali peneliti yang senantiasa membimbing dan mengarahakan peneliti selama menjalani bangku perkuliahan mulai dari semester satu hingga semester akhir.
5. Seluruh dosen/staf pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, khususnya para dosen Departemen Ilmu Komunikasi. Terimakasih peneliti sampaikan atas jasa-jasa serta ilmu yang telah diberikan selama ini.
6. Bapak Rahmadsyah Zega, S.sos selaku kepala kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia.
7. Bapak Suhendri selaku kepala lingkungan II Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia.
8. Kak Cut, Kak Maya dan Kak Ros yang telah membantu pada setiap urusan adminitrasi yang diperlukan peneliti.
9. Keluarga besar komunikasi angkatan 2008 yang sudah lama bersama-sama dengan peneliti menimba ilmu yaitu kurang lebih empat tahun. Terima kasih buat semua kenangannya selama ini. Semoga kita dapat meraih apa yang kita cita-citakan dan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik. 10.Terima kasih buat Marshella Natasia yang selama ini telah sabar
mendampingi dan memotivasi peneliti untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Tuhan Yesus selalu menyertaimu.
11.Untuk rekan-rekan seperjuangan dalam mengarungi bangku perkuliahan apara Bagor, apara Arnold, apara Idek, lae Frianto, lae Koncho, lae Ibam, lae, impal Suranta Sembiring, lae Yan, om Aprianto, lae Didi bomal, lae Dambo. Semoga kebersamaan kita tidak akan hilang ditelan waktu dan mari raih cita-cita untuk jadi orang yang sukses!!!HURRAA!!!
iv
Simamora dan Sylvi Sihite terima kasih atas bantuannya yang telah mengajari peneliti dalam menyusun skripsi.
13.Untuk sepupu ku yang paling brilian, Friska Finalia Sitohang terimakasih banyak atas bantuan, doa, dan motivasi yang diberikan kepada peneliti selama mengerjakan skripsi ini.
14.Untuk keluarga besar peneliti dari pihak Marbun Banjarnahor dan Sitohang, serta keluarga yang ada di Kupang (Om Petrus, Om Daniel, Bang Riki dan Pater Romualdus Pitan).
15.Dan juga peneliti tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga besar Orang Muda Katolik (OMK) Santo Yoseph Sei Sikambing Medan. Terima kasih buat segala motivasi, dukungan, dan doa kalian selama ini kepada peneliti.
Akhir kata peneliti mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak, semoga Tuhan Yesus Kristus akan membalasnya dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Medan, September 2012 Peneliti,
Fransiskus B Marbun
v DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Pembatasan Masalah ... 8
1.4. Tujuan Penelitian ... 8
1 5. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II URAIAN TEORITIS ... 10
2. 1. Komunikasi ... 10
2. 1. 1. Definisi Komunikasi ... .. 10
2. 1. 2. Bentuk Komunikasi ... 11
2. 1. 3. Proses Komunikasi ... ... 12
2. 1. 4 Fungsi Komunikasi ... ... 16
2. 2. Komunikasi Antarbudaya ... ... 21
2. 2. 1. Pengertian Komunikasi Antarbudaya ... 21
2. 2. 2. Asumsi – asumsi Dasar Komunikasi Antarbudaya 24
2. 2. 3. Tujuan Komunikasi Antarbudaya ... 25
2. 2. 4 Persepsi Dalam Komunikasi Antarbudaya ... 26
2. 2. 4. 1 Proses – proses Verbal ... ... 30
2. 2. 4. 2.Bahasa Verbal ... ... 30
2. 2. 4. 3 Pola – pola Berpikir... 30
2. 2. 4. 4 Proses – proses Nonverbal ... ... 31
2. 2. 5. Perilaku Nonverbal ... .... 32
vi
2. 3. Perilaku Budaya ... 34
2. 3. 1. Perilaku Verbal ... 34
2. 3. 2. Perilaku Nonverbal ... 34
2. 3. 2. 1. Macam – macam Perilaku Nonverbal ... ... 35
2. 4. Kerangka Konsep... 37
2. 5. Model Teoritis ... 38
2. 6. Operasional Variabel ... 39
2. 7. Definisi Operasional ... 39
BAB III METODE PENELITIAN ... 43
3. 1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 43
3.1.1. Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia ... 43
3. 2. Metode Penelitian ... 43
3. 3. Populasi dan Sampel ... 44
3. 3. 1. Populasi ... 44
3. 3. 2. Sampel ... 45
3. 4. Teknik Penarikan Sampel ... 45
3. 5. Teknik Pengumpulan Data ... 46
3. 6. Teknik Analisis Data ... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4. 1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 48
4. 2. Teknik Pengolahan Data ... 49
4. 3. Analisis Tabel Tunggal ... 49
4. 3. 1. Karakteristik Responden ... 49
4. 3. 2. Pengetahuan Tentang Anak Punk ... 53
4. 3. 3. Perilaku Verbal ... 56
4. 3. 4. Perilaku Nonverbal ... ... 63
4. 4. Pembahasan ... 73
vii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76
5.1. Kesimpulan ... 76
5.2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
LAMPIRAN
viii
Nomor Gambar Halaman
1 Diagram Proses Komunikasi ... 13 2 Model Komunikasi Visual David K. Berlo ...15 3 Model Teoritis Penelitian ...38
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
4.1 Jenis Kelamin ... 50
4.2 Usia ... 50
4.3. Pendidikan ... 51
4.4 Pekerjaan ... 52
4.5 Pengetahuan Tentang Keberadaan Anak Punk ... 53
4.6 Frekuensi Bertemu Secara Langsung Dengan Anak Punk ... 54
4.7 Berkomunikasi Secara Langsung Dengan Anak Punk ... ... 54
4.8 Ketertarikan Dengan Topik Pembicaraan ... 55
4.9 Memahami Topik Pembicaraan ... 56
4.10 Frekuensi Berkomunikasi Dengan Anak Punk ... 56
4.11 Kejelasan Informasi Yang Diperoleh ... 57
4.12 Pengaruh Waktu Dalam Proses Berkomunikasi ... 58
4.13 Suasana Penyampaian Pesan ... 58
4.14 Cara Penyampaian Pesan Oleh Anak Punk ... 59
4.15 Pemahaman Terhadap Isi Pesan ... 60
4.16 Tanggapan Terhadap Isi Pesan Yang Disampaikan Anak Punk ... 61
4.17 Manfaat Dari Isi Pesan Yang Disampaikan ... 61
4.18 Sifat Dari Isi Pesan Yang Disampaikan Anak Punk ... 62
4.19 Penampilan Dan Gaya Berpakaian Anak Punk ... 63
4.20 Kewajaran Penampilan Dan Gaya Berpakaian Anak Punk ... 63
4.21 Penampilan Dan Gaya Berpakaian Punk Dianggap Menyimpang ... 64
4.22 Gerakan Badaniah Dari Anak Punk ... 65
x 4.25 Penggunaan Persepsi Inderawi
Dalam Perilaku Budaya Punk ... 67 4.26 Frekuensi Penggunaan Persepsi Inderawi
Oleh Anak Punk ... 67 4.27 Pengunaan Ruang Jarak
Dalam Perilaku Budaya Anak Punk ... 68 4.28 Frekuensi Penggunaan Ruang Jarak
Dalam Perilaku Budaya Anak Punk ... 69 4.29 Pengunaan Sikap Terhadap Waktu
Dalam Perilaku Budaya Punk ...70 4.30 Frekuensi Perhatian Punk Terhadap Penggunaan Waktu .... 71
i ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Tanggapan Masyarakat terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kota Medan(Studi Deskriptif Tentang Tanggapan Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia). Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat Lingkungan II Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia, terhadap perilaku budaya anak punk di Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi, komunikasi antar budaya, dan perilaku budaya. Metode penelitian adalah metode kuantitatif dengan menggunakan penyebaran kuesioner kepada sejumlah responden yang sebanyak 72 orang. Jumlah sampel didapat dengan menggunakan rumus Arikunto, dengan cara mengambil 20% dari total populasi yang sebanyak 362 orang. Teknik pengambilan sampel adalah Random Sampling. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tabel tunggal. Tahapan-tahapan dalam pengolahan data dimulai dengan penomoran kuesioner, editing, coding, inventarisasi tabel, dan tabulasi data. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa sebagian besar masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini berpendapat bahwa perilaku budaya anak punk dinilai kurang menarik dan terkesan negatif di mata masyarakat. Sebagian besar responden dalam penelitian ini menanggapi bahwa perilaku budaya anak punk merupakan perilaku budaya yang menyimpang dan masih menanggap bahwa budaya yang diadopsi oleh anak punk tersebut adalah hal yang sangat berbeda dengan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya.
1
Universitas Sumatera Utara I.1 Latar Belakang
Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu proses peralihan dan pertukaran
informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan
manusia dan lingkungannya. Proses peralihan dan pertukaran informasi itu dilakukan
melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang dipahami secara bersama
(Liliweri, 2001: 5).
Esesnsi komunikasi terletak pada proses, yaitu suatu aktivitas yang melayani
hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah
sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia
(human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan manusia pada
kemarin, kini dan mungkin di masa yang akan datang (Liliweri, 2004: 5).
Komunikasi manusia itu melayani segala sesuatu, akibatnya banyak orang yang
mengatakan bahwa komunikasi itu sangat mendasar dalam kehidupan manusia,
komunikasi merupakan proses yang universal. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh
sikap, perilaku, dan tindakan yang terampil dari manusia (communication involves both
attitudes and skills). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak
berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud
serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2004: 5).
Komunikasi manusia itu dapat dipahami sebagai interaksi antarpribadi melalui
pertukaran simbol-simbol linguistik, misalnya simbol verbal dan non-verbal. Seperti kata
Mehrabian (1972) 55% dari komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol non verbal,
38% melalui nada suara, dan 7% komunikasi yang efektif dinyatakan melalui kata-kata.
Simbol-simbol itu dinyatakan melalui sistem yang langsung seperti tatap muka atau
media (tulisan, visual, aural). Melalui pertukaran simbol-simbol yang sama dalam
menjelaskan informasi, gagasan dan emosi di antara mereka itulah, akan lahir kesamaan
makna atas pikiran, perasaan dan perbuatan (Liliweri, 2004: 6).
Kita harus paham sekarang bahwa komunikasi manusia itu terjadi dalam “ruang
hampa” sosial. Alih-alih, komunikasi merupakan suatu matriks tindakan-tindakan sosial
yang rumit dan saling berinteraksi, serta terjadi dalam suatu lingkungan sosial yang
kompleks. Lingkungan sosial ini merefleksikan bagaimana orang hidup, bagaimana ia
berinteraksi dengan orang lainnya. Lingkungan sosial ini adalah budaya, dan bila kita
2
Universitas Sumatera utara ingin benar-benar memahami komunikasi, kita pun harus memahami budaya (Mulyana
dan Rakmat, 2002 : 18).
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna,
hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek
materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi
melalui usaha individu dan kelompok (Mulyana dan Rakmat, 2002 : 18).
Budaya menampakkan diri dalam pola–pola bahasa dalam bentuk–bentuk
kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan–tindakan penyesuaian
diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang tinggal dalam suatu masyarakat
disuatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu
dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek
materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek
seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis
transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan
sosial. Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana; budaya meliputi semua
peneguhan perilaku yang diterima selama suatu periode kehidupan. Budaya juga
berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang menpengaruhi
hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari.
Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan
bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya
kita (Mulyana dan Rakmat, 2002 : 19).
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya
menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana menyandi pesan,
makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita
sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya
merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam
pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan Rakmat, 2002 : 19).
Hubungan komunikasi dan antarbudaya bersifat timbal balik dan saling
mempengaruhi. Apa yang kita perhatikan atau abaikan, apa yang kita pikirkan dan
bagaimana kita memikirkannya dipengaruhi budaya. Pada gilirannya, apa yang kita
bicarakan dan bagaimana kita membicarakannya, dan apa yang kita lihat turut
membentuk, menentukan dan menghidupkan budaya kita. Budaya takkan hidup tanpa
menyebabkan perubahan pada lainnya (Mulyana dan Rakmat, 2002 : 37).
Universitas Sumatera utara Hal–hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan
komunikasi antarbudaya. Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara
komponen-komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi antarbudaya. Apa yang
terutama menandai komunikasi antarbudaya adalah bahwa sumber dan penerimaannya
berasal dari budaya yang berbeda. Ciri ini saja memadai untuk mengidentifikasi suatu
bentuk interaksi komunikatif yang unik, harus memperhitungkan peranan dan fungsi
budaya dalam proses komunikasi (Mulyana & Jalaludin Rakhmat, 2005: 21).
Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya
lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang
ada dalam suatu situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi
balik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang
berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif dan makna yang dimiliki setiap individu. Konsekuensinya,
perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan
berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Melalui studi dan
pemahaman atas komunikasi antarbudaya, kita dapat mengurangi atau hampir dapat
menghilangkan kesulitan-kesulitan terbsebut (Mulyana & Jalaludin Rakhmat, 2005: 21).
Hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan yang paling realistis
ditunjukkan melalui keberadaan kebudayaan sebagai wadah untuk mempertahankan
masyarakat dari pelbagai ancaman yang mengancam mereka. Kebudayaan bisa
menginformasikan tentang nilai suatu dan beberapa peristiwa yang terjadi di masa lalu,
sekarang dan yang akan datang. Kebudayaan mengajarkan kepada setiap manusia tentang
apa yang harus dibuat oleh generasi manusia (Liliweri, 2001: 10).
Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukan hal yang mudah,
dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang membuat ada
istilah “mereka” dan “kita”. Masalahnya, perkembangan zaman membuat budaya juga
berubah, nilai-nilai budaya dahulu mungkin sekarang sedikit demi sedikit, lambat laun
semakin memudar (Mulyana & Jalaluddin Rakhmat, 2005: 21). Pesatnya perkembangan
teknologi informasi dan modernisasi di kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk
dapat menimbulkan atau memunculkan kebiasaan-kebiasaan yang baru dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbudaya. Dampak dari modernisasi dan pembangunan adalah
terjadinya perubahan atau pembaharuan struktur sosial yang mendorong terjadinya proses
transformasi sosial dan budaya dalam tatanan masyarakat Indonesia (Ronaldo, 2008).
Perubahan pola hidup masyarakat dan perubahan budaya yang ada membuat
manusia dihadapkan pada stimulasi yang kompleks dan memerlukan kejelian untuk
4
Universitas Sumatera utara menerima situasi tersebut. Budaya menampakkan diri dalam pola–pola bahasa dalam
bentuk–bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi
tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang tinggal dalam
suatu masyarakat disuatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan
teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Salah satu budaya yang muncul saat ini
adalah punk (Ronaldo, 2008).
Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London-Inggris. Pada awalnya,
kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan Skinhead. Namun sejak tahun 1980-an,
saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan Skinhead seolah-olah menyatu,
karena mempunyai semangat yang sama. Namun, punk juga dapat berarti jenis musik
atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti Ideologi Hidup yang
mencakup aspek sosial dan politik. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak
kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi
dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu
tingkat Pengangguran dan Kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para
penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang
sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Banyak yang salah
mengartikan punk sebagai “glue sniffer” dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi
wabah penggunaan "lem berbau tajam" untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka.
Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di
jalan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Punk juga merupakan sebuah gerakan
perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan "we can do it ourselves". Punk
sendiri kemudian menyebar luas ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Menjamurnya
anak punk atau yang lebih terkenal dengan sebutan punkers di Indonesia ini tidak terlepas
dari dua faktor yang sangat fundamental yaitu faktor sosial dan faktor ekonomi. Adapun
faktor yang pertama yaitu faktor sosial, dapat dilihat munculnya "gap" atau jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin yang biasa disebut kesenjangan sosial
(Analisadaily.2012. Eksistensi Punk dan Moralitas Bangsa Indonesia. Diakses dari
http://www.analisadaily.com).
Dalam perjalanannya, komunitas punk di kota Medan cukup memiliki catatan
yang panjang. Budaya dan scenes (istilah kelompok dalam komunitas punk) punk muncul
pertama kali berkisar pada akhir tahun 1980 dan di awal 1990. Budaya ini dibawa oleh
anak anak kota Medan yang sekolah atau berkunjung dari pulau Jawa, dan akhirnya
meluas sampai ke pinggiran kota Medan. Tanjung Morawa adalah salah satu kota yang
memiliki scenes yang sudah cukup lama eksis dan merupakan pelopor penyebaran budaya
Universitas Sumatera utara punk di kota Medan. Salah satu scenes awal di kota Medan tidak lepas dari nama
INALUM Brotherhood, walaupun sekarang sudah tidak ada lagi. Punkers yang dulunya
tergabung dan terlibat aktif dalam scenes tersebut masih ada yang bertahan dan tetap
menjalani kehidupan punk sampai sekarang (Newkicks. edisi November 2010. Halaman
15).
Punk yang ada di kota Medan tak ubahnya hanya sekedar musik atau fashion.
Kelompok punk yang terusir dari masyarakat dianggap sampah, dinilai menyimpang,
membuat punkers membentuk kelompok baru untuk berlindung. Solidaritas kelompok ini
sangat penting untuk bertahan hidup. Dalam menjalankan kehidupannya, punk sangatlah
memegang teguh gaya hidup kolektif. Semua untuk satu, satu untuk semua. Sehingga
dapat dikatakan solidaritas hidup mereka di dalam kelompoknya sangat tinggi.
Berkumpul atau sering disebut nongkrong merupakan aktifitas wajib yang seolah tak
perlu ada aturan yang baku dalam menjalankannya. Dari observasi penulis di lapangan
pada bulan Maret 2010, hidup berkelompok dan tinggal dijalanan tanpa tempat tinggal
tetap merupakan salah satu bentuk pemberontakan mereka. Generasi muda yang
tergabung dalam komunitas punk merasa menemukan konsep dan pemikiran mereka
terhadap gaya unik dan khas yang ditonjolkan oleh punk. Dengan dandanan serta gaya
berpakaian yang ekstrem, komunitas ini cukup menarik perhatian banyak masyarakat kota
Medan tentunya (Newkicks. edisi November 2010. Halaman 15). Komunitas punk di
Indonesia, termasuk di kota Medan, memang sangat diwarnai oleh budaya dari barat atau
Amerika dan Eropa. Biasanya perilaku mereka terlihat dari gaya busana yang mereka
kenakan seperti sepatu boots, potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong
ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, rantai dan spike, jaket kulit,
celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan
kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa
orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker
(Analisadaily.2012. Eksistensi Punk dan Moralitas Bangsa Indonesia. Diakses dari
http://www.analisadaily.com).
Dari observasi penulis pada bulan Maret 2010 kehidupan kelompok punk Medan
sangatlah dekat dengan kelompok KMK (kelompok miskin kota) Medan. Dikarenakan
semangat hidup punk yang tinggal dijalanan serta anti kemapanan itu. Mereka sangatlah
perduli dengan kehidupan KMK, yang mereka anggap adalah kawan senasib dari
ketidakadilan pemerintah di Indonesia, khususnya pada kota Medan. Kegiatan/pekerjaan
keseharian anggota punk Medan untuk mencari penghasilan ialah melalui kegiatan
ngamen. Ngamen merupakan cara yang umum dilakukan oleh anak punk di Indonesia,
6
Universitas Sumatera utara khusunya di Medan. Namun kegiatan ngamen ini sebenarnya hanya ada dan dilakukan
oleh komunitas punk di negara Indonesia, karena di negara asal punk dan di negara -
negara lain diluar Indonesia tidak ada satu pun komunitas punk yang anggotanya
melakukan kegiatan me-ngamen, apalagi mengemis. Alat musik yang menjadi ciri khas
anak punk medan ketika ngamen ialah gitar kecil yang disebut ukulele,serta sebuah
gendang yang terbuat dari pipa paralon bekas dan ditutup dengan karet ban bekas yang
berguna seolah, sebagai alat perkusi untuk menjaga ritme musik ketika mereka
mengamen. Berdasarkan observasi penulis pada bulan Maret 2010, yang unik
komunitas-komunitas punk di Medan ini, setiap mereka manggung ataupun berkumpul tidak/jarang
meminum minuman beralkohol yang dibuat oleh pabrik. Ini tentu sangat berbeda dengan
komunitas punk yang berada di daerah lain. Punk Medan memiliki ciri khas minuman
wajib untuk kebersamaannya ialah Tuak. Dimana ketika meminum minuman alkohol
tradisional ini timbul keceriaan dan kebersamaan bagi setiap anggota di dalam kelompok.
Pada awal tahun 2000 mulai muncul berbagai macam komunitas street punk di
kota Medan. Komunitas ini cepat menyebar luas, dan komunitas punkers baru juga
semakin banyak bermunculan. Komunitas street punk di kota tersebut bermunculan mulai
dari Jalan Sutomo, meluas sampai ke daerah Guru Patimpus, Aksara, Juanda, Titi Kuning,
Brayan, Bilal, Belawan, Ayahanda, Griya, Speksi dan akhirnya sampai ke daerah Sei
Sikambing (Newkicks. edisi November 2010. Halaman 15).
Masuk dan menyebarnya kelompok punk pada awal tahun 2000 di daerah Sei
Sikambing C II tersebut dengan cepat mengalami perkembangan dan pertumbuhan.
Komunitas punk yang ada di daerah tersebut dengan cepat melebur kedalam lapisan
masyarakat setempat tanpa merasa malu atau canggung dengan prinsip hidup mereka,
gaya berpakaian, serta budaya lain yang ada pada komunitas mereka. Di daerah kelurahan
Sei Sikambing C II Medan Helvetia, kita dapat menjumpai komunitas punk mulai dari
Halte Sekolah Panca Budi, menyebar ke Perempatan Simpang Sei Sikambing, Pasar
Tradisional Sei Sikambing dan beberapa tempat lain yang masih termasuk dalam daerah
kelurahan tersebut hingga sampai ke Perempatan Jalan Kapten Muslim dan Tengku Amir
Hamzah Medan. Dari pengamatan dan observasi penulis, kelompok punk yang memiliki
anggota cukup banyak dan sering ditemui di daerah Sei Sikambing C II Medan Helvetia
adalah kelompok punk yang sering mangkal di perempatan jalan Gatot Subroto (didepan
kompleks Perumahan Tomang Elok) dan seputar daerah Pasar Sei Sikambing. Punkers
yang berada di areal tersebut sering membaur dengan masyarakat yang ada di daerah
tempat mereka beraktifitas dan mengamen walaupun pada umumnya banyak yang merasa
risih dengan keberadaan mereka. Dari semua penjabaran di atas, maka di dalam
Universitas Sumatera utara melaksanakan penelitian ini, penulis memilih objek penelitian adalah anak punk di daerah
Medan Helvetia, khususnya Kelurahan Sei Sikambing C II, dan subjek penelitian ini
ditekankan pada analisis nilai nilai budaya yang ada di kehidupan anak punk tersebut
serta tanggapan masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia terhadap
perilaku budaya anak punk tersebut. Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II
Kecamatan Medan Helvetia merupakan masyarakat yang heterogen dan merupakan
kawasan yang mobilitas penduduknya cukup tinggi. Kelurahan Sei Sikambing C II
Medan Helvetia juga telah menjadi rumah dan tempat tinggal bagi komunitas punkers
yang ada di kawasan kelurahan Sei Sikambing C II Medan. Kawasan Kecamatan Medan
Helvetia dapat dikatakan sebagai salah satu tempat yang cukup ramai dengan berbagai
macam scenes punk. Oleh karena itulah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini
karena budaya punk yang ada pada mereka secara tidak langsung menarik perhatian dan
menjadi buah bibir di tengah–tengah masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II, Medan
Helvetia. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Tanggapan
Masyarakat terhadap perilaku budaya anak punk di Kota Medan, Kelurahan Sei
Sikambing C II Medan Helvetia.
8
Universitas Sumatera utara I. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana Tanggapan Masyarakat Kelurahan Sei Sikambing C II – Medan Helvetia,
terhadap perilaku budaya anak punk di Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia?”.
I.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas maka perlu dibuat
pembatasan masalah. Dan adapaun pembatasan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berisikan situasi atau perisitiwa
penelitian dan tidak mencari atau menjelaskan hubungan dan menguji.
2. Penelitian ini menganalisis tanggapan masyarakat Kelurahan Sei
Sikambing C II Medan Helvetia terhadap perilaku budaya anak punk di
Kelurahan Sei Sikambing C II Kecamatan Medan Helvetia.
3. Objek Penelitian ini adalah masyarakat lingkungan II yang berada di
Kelurahan Sei Sikambing C II Kecamatan Medan Helvetia
I.4 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian atau riset pasti memiliki tujuan – tujuan tertentu yang akan
dicapai yang memiliki manfaat untuk kedepannya. Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Lingkungan II Kelurahan Sei
Sikambing C II Kecamatan Medan Helvetia tentang perilaku budaya anak punk
di Kelurahan Sei Sikambing C II Medan Helvetia.
I.5 Manfaat Penelitian
Adapun hal - hal yang termasuk sebagai manfaat didalam melakukan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, penelitian ini kiranya dapat menambah cakrawala pengetahuan
terhadap pengaruh komunikasim kelompok dan pembentukan identitas diri bagi
mahasiswa departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wawasan
penelitian di bidang ilmu komunikasi, khususnya tentang Komunikasi Antar
Budaya.
Universitas Sumatera utara 3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak – pihak
yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini khususnya
yang mencari masukan terhadap kelompok Punk.
10
Universitas Sumatera Utara
BAB II
URAIAN TEORITIS
II. 1 Komunikasi
II. 1. 1 Definisi Komunikasi
Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar ataupun yang salah. Seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya
“Komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik,” atau terlalu luas, misalnya “Komunikasi adalah interaksi antara dua mahluk hidup atau lebih,” sehingga para peserta komunikasi ini mungkin termasuk hewan, tanaman, dan bahkan jin (Mulyana, 2007: 64). Banyak definisi komunikasi bersifat khas, mencerminkan paradigma atau perspektif yang digunakan ahli-ahli komunikasi tersebut dalam mendekati fenomena komunikasi.
Paradigma ilmiah (objektif, mekanistik, positivistik) yang penelaahannya berorientasi pada efek komunikasi tampak dominan, mengasumsikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab-abikat, yang mencerminkan pengirim pesan atau yang biasa disebut komunikator/sumber/pengirim/enkoder (yang aktif) untuk mengubah pengetahuan, sikap atau perilaku komunikate/penerima pesan/sasaran/khalayak/dekoder (atau yang dalam wacana komunikasi di Indonesia sering disebut komunikan) yang pasif (Mulyana, 2007: 64).
Tubbs dan Moss mendefinisikan komunikasi sebagai “proses penciptaan makna antara dua orang (komunikator 1 dan komunikator 2) atau lebih”, sedangkan Gudykunst dan Kim mendefinisikan komunikasi (antarbudaya) sebagai “proses transaksional, simbolik yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang (dari budaya yang berbeda)” . Sedangkan Harold Laswell mengatakan bahwa “cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut) “Who Says, What In Which Channel, To Whom, With What Effect?” Atau siapa mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dengan pengaruh bagaimana (Mulyana, 2007: 69).
Universitas Sumatera Utara Menurut Onong Uchjana Effendy (2001:2), komunikasi adalah suatu proses memberi signal menurut aturan aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara dan diubah. Dan sebuah definisi singkat dibuat oleh Harold D. Laswell, bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan: siapa yang menyampaikan (komunikator), apa yang disampaikan (pesan), melalui saluran apa (media), kepada siapa (komunikan), dan apa pengaruhnya (efek) (Effendy, 2006:10).
II. 1. 2 Bentuk Komunikasi
Bentuk-bentuk komunikasi dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Komunikasi vertikal
Komunikasi vertikal adalah komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas atau komunikasi dari pimpinan ke bawahan dan dari bawahan ke pimpinan secara timbal balik.
2. Komunikasi horisontal
Komunikasi horisontal adalah komunikasi secara mendatar, misalnya komunikasi antara karyawan dengan karyawan dan komunikasi ini sering kali berlangsung tidak formal yang berlainan dengan komunikasi vertikal yang terjadi secara formal.
3. Komunikasi diagonal
Komunikasi diagonal yang sering juga dinamakan komunikasi silang yaitu seseorang dengan orang lain yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam kedudukan dan bagian (Effendy, 2000 : 17).
Pendapat lainnya menyebutkan, komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau lateral (menyisi). Dimensi vertikal dapat dibagi menjadi ke bawah dan ke atas. Komunikasi vertikal ke bawah adalah komunikasi yang mengalir dari satu tingkat dalam suatu kelompok atau organisasi ke suatu tingkat yang lebih bawah. Kegunaan dari pada komunikasi ini memberikan penetapan tujuan, memberikan instruksi pekerjaan, menginformasikan kebijakan dan prosedur pada bawahan, menunjukkan masalah yang memerlukan perhatian dan mengemukakan umpan balik terhadap kinerja (Robbins, 2008 : 314-315).
12
Universitas Sumatera Utara Komunikasi vertikal ke atas adalah komunikasi yang mengalir ke suatu tingkat yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi digunakan untuk memberikan umpan balik kepada atasan, menginformasikan mereka mengenai kemajuan ke arah tujuan dan meneruskan masalah-masalah yang ada. Sedangkan dimensi lateral, komunikasi yang terjadi di antara kelompok kerja yang sama, diantara anggota kelompok-kelompok kerja pada tingkat yang sama, diantara manajer-manajer pada tingkat yang sama (Robbins, 2008 : 314-315).
II. 1. 3 Proses Komunikasi
Komunikasi antar manusia (human communication) adalah suatu proses pertukaran informasi yang bentuknya ditentukan oleh banyak faktor seperti; bahasa, pengalaman, latar belakang pendidikan, latar belakang sosial dan budaya, dan kemampuan individu dalam berkomunikasi. Harold D. Laswell, dalam bukunya "Power and Personality" mengatakan bahwa suatu model komunikasi akan menjawab masalah : Siapa, mengatakan apa, dalam saluran apa, kepada siapa, berakibat apa. Beberapa tahun kemudian satu model komunikasi dengan sembilan elemen telah dikembangkan. Dua elemen menggambarkan pihak-pihak utama dalam komunikasi yaitu pengirim dan penerima. Sedang dua elemen lagi menunjukkan alat-alat utama komunikasi yaitu pesan dan media. Empat elemen yang lain lagi menunjukkan fungsi utama komunikasi, yaitu penulisan dalam bentuk sandi (encoding), membaca tulisan sandi (decoding), tanggapan dan
umpan balik. Elemen yang terkhir itu menunjukkan adanya gangguan dalam sistem tersebut (Wallschlaeger, 1992: 324).
Universitas Sumatera Utara Gambar 1. 1 Diagram Proses Komunikasi
Sumber : “Basic Visual Concepts and Principles”, 1992 : 344.
Elemen-elemen tersebut :
1. Pengirim : Pihak yang mengirim pesan kepada pihak lain (yang juga disebut sumber atau komunikator.)
2. Penulisan dan bentuk sandi (encoding): adalah proses mengungkapkan pendapat kedalam bentuk-bentuk simbolik.
3. Pesan : Serangkaian simbol yang dikirim oleh pengirim.
4. Media : Saluran-saluran komunikasi yang dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan dari pengirim kepada penerima.
5. Pembacaan sandi (decoding) : Proses ketika penerima mengartikan simbol-simbol yang dikirim oleh pengirim.
6. Penerima: Pihak yang menerima pesan yang dikirim oleh pihak lain (juga disebut pendengar atau tujuan).
7. Tanggapan: Serangkaian reaksi dari penerima setelah melihat atau mendengar pesan-pesan yang dikirim oleh pengirim.
8. Umpan balik: Bagian dari tanggapan penerima bahwa penerima itu mengkomunikasikan kembali kepada pengirim.
9. Gangguan: Yang dimaksud dalam hal ini adalah gangguan.atau distorsi yang tak terduga selama proses komunikasi, mengakibatkan penerima memperoleh pesan berbeda dari yang dikirimkan pengirim (Wallschlaeger, 1992: 345).
Model-model diatas menekankan faktor-faktor yang penting dalam komunikasi yang ampuh (efektif). Pengirim harus tahu mana yang ingin mereka jangkau dan tanggapan apa yang mereka inginkan. Mereka harus pandai menyandikan pesan, serta memperhitungkan bagaimana khalayak sasaran itu membaca simbol pesan mereka. Selain itu, secara ideal, mereka harus menyediakan saluran-saluran umpan balik sehingga bisa mengetahui tanggapan khalayak terhadap pesan mereka (Wallschlaeger, 1992: 346).
14
Universitas Sumatera Utara Supaya suatu pesan ampuh (efektif), maka proses penyandian pesan dari pengirim harus berhubungan dengan proses pembacaan sandi dan penerimanya. Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi melihat bahwa pesan harus merupakan simbol-simbol penting yang dikenal dengan baik oleh penerima. Apabila pengalaman pengirim makin mirip dengan penerima, nampak pesan pengirim akan lebih mempan. Suatu sumber dapat menyandikan pesan-pesannya dan pihak penerima dapat membaca sandi itu hanya dengan berdasarkan pengalaman masing-masing. Komunikasi yang mempan paling tidak memiliki/menimbulkan lima hal yaitu: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan (Wallschlaeger, 1992: 346).
Komunikasi tidak saja berupa tulisan atau bahasa verbal, namun dapat juga berupa bentuk-bentuk visual yang berupa kode atau sistem kode. Kita mengenal abjad atau tanda baca sebagai bahasa verbal, bahasa tubuh (gesture) dan bahasa tangan sebagai bahasa non verbal, kode morse atau semaphore berupa komunikasi nonverbal, pictogram yang merepresentasikan objek dan konsep, dan lain sebagainya (Wallschlaeger, 1992: 346).
Charles Wallschlaeger dalam bukunya “Basic Visual Concepts and Principles” mengembangkan pemikiran-pemikiran komunikasi visual, termasuk mengembangkan model komunikasi David K Berlo yang lebih dalam membahas model untuk menjelaskan dan membantu pembuatan pesan verbal maupun visual yang dapat dimanfaatkan oleh desainer, seniman, dan arsitek.
Model ini dapat menjelaskan struktur logis dalam menerangkan langkah demi langkah proses komunikasi yang berupa pesan visual sehingga mengembangkan kemungkinan yang semakin besar agar seorang pengamat dapat mengerti dan memberi umpan balik yang diharapkan. Berikut ini langkah-langkah dalam menjelaskan model tersebut;
1. Sumber (penyandian)
Sumber adalah individu atau kelompok pengirim pesan, dalam hal ini, pesan dapat disampaikan oleh desainer, seniman maupun arsitek. Pengirim pesan dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti nilai budaya, kreativitas, pengetahuan, pendidikan, sikap, kemampuan memaknai sandi, dan asosiasi.
2. Pesan
Pesan dapat berupa suatu pernyataan, ide maupun perasaan-perasaan yang ingin dikomunikasikan. Kode-kode pesan tersebut berupa bentuk fisik dan figur dari pesan, yang dapat berupa bahasa verbal, visual, maupun gabungan keduanya
Universitas Sumatera Utara yang tersusun dari tanda-tanda, simbol, struktur atau syntaks. Pesan-pesan visual tersebut dapat berupa foto, ilustrasi, image, produk, dan lain sebagainya.
3. Saluran
Saluran adalah media untuk menyampaikan pesan pesan, yang melibatkan panca indra Indera Penglihatan (Mata), Indera Pendengaran (Telinga), Indera Penciuman (Hidung), Indera Pengecapan (Mulut), Indera Peraba (Tangan), yang dapat dilakukan oleh berbagai media maupun material (berupa hasil cetak, film, televisi, buku, majalah, dll.)
4. Penerima (Pemaknaan sandi)
Merupakan individu atau kelompok yang dimaksud atau ditunjuk untuk menerima pesan. Penerima komunikasi visual ini dapat berupa sekelompok massa dengan karakter yang berbeda-beda, maupun suatu kelompok yang lebih kecil dengan karakter dan latar belakang yang khusus. Penerima pesan, sama dengan pengirim pesan atau sumber juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti nilai budaya, kreativitas, pengetahuan, pendidikan, sikap, kemampuan memaknai sandi, dan asosiasi (Wallschlaeger, 1992: 360).
Gambar 1. 2 Model komunikasi visual David K Berlo yang dikembangkan
oleh Charles Wallschlaeger
Sumber: “Basic Visual Concepts and Principles”, 1992 : 377.
Teori komunikasi menyatakan bahwa sistem kode harus memuat simbol-simbol lengkap dengan hubungan antara simbol-simbol-simbol-simbol tersebut, maksudnya antara simbol dan hubungan dengan yang diwakilinya harus memiliki kesamaan interpretasi bagi pengamatnya. Desainer, juga seniman dan arsitek menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan-pesan dalam bentuk komunikasi visual, sehingga harus memilih bentuk-bentuk yang tepat pada rancangannya
untuk menyampaikan maksud yang ingin disampaikannya (Wallsclaeger, 1992: 381).
16
Universitas Sumatera Utara II. 1. 4 Fungsi Komunikasi
Rudolph F. Verderber mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi sosial, yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Kedua, fungsi pengambilan keputusan, yakni memutuskan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu pada saat tertentu, seperti: apa yang akan kita makan pagi hari, apakah kita akan kuliah atau tidak, bagaimana belajar untuk menghadapi tes. Menurut Verderber, sebagian keputusan ini dibuat sendiri, dan sebagian lagi dibuat setelah berkonsultasi dengan orang lain. Sebagian keputusan bersifat emosional, dan sebagian lagi melalui pertimbangan yang matang. Semakin penting keputusan yang akan dibuat, semakin hati-hati tahapan yang dilalui untuk membuat keputusan. Verderber menambahkan, kecuali bila keputusan itu bersifat reaksi emosional, keputusan itu biasanya melibatkan pemrosesan informasi, berbagi informasi, dan dalam banyak kasus, persuasi, karena kita tidak hanya perlu memperoleh data, namun sering juga untuk meperoleh dukungan atas keputusan kita (Mulyana, 2007: 5).
Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri-sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial
dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat (Mulyana, 2007: 5).
Ada empat fungsi komunikasi berdasarkan kerangka yang dikemukakan William I. Gorden. Keempat fungsi dalam komunikasi tersebut, yakni komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual, dan komunikasi instrumental, tidak saling meniadakan (nutually exclusive). Fungsi suatu peristiwa komunikasi (communication event) tampaknya tidak sama sekali independen, melainkan juga berkaitan dengan fungsi-fungsi lainnya, meskipun terdapat suatu fungsi yang dominan (Mulyana, 2007: 5). Berikut ini adalah penejelasan tentang keempat fungsi komunikasi tersebut :
Universitas Sumatera Utara 1. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, RW, desa, kota dan negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama (Mulyana, 2007: 6).
Implisit dalam fungsi komunikasi sosial ini adalah fungsi komunikasi kultural. Para Ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannnya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Benar kata Edward T. Hall bahwa “budaya adalah komunikasi” dan “komunikasi adalah budaya” (Mulyana, 2007: 6).
Pada satu sisi, komunikasi merupakan mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk suatu kelompok, misalnya “Laki-laki
tidak gampang menangis, tidak bermain boneka,” “Anak perempuan tidak bermain pistol-pistolan, pedang-pedangan, atau mobil-mobilan,” “Jangan makan dengan tangan kiri,” “Jangan melawan orangtua, “Duduklah dengan sopan,” “Jangan menatap mata atasan,” “Bersikaplah ramah kepada tamu,” “Jangan membicarakan kebesaran dunia di dalam masjid,” dan sebagainya. Budaya ini bahkan mempengaruhi kita setelah kita mati. Pengurusan orang yang meninggal apakah mayatnya dikafani atau dalam peti mati, setelah itu apakah ada tahlilan atau tidak, juga bergantung pada norma-norma budaya yang berlaku pada komunitas kita (Mulyana, 2007: 7).
18
Universitas Sumatera Utara Sebagian kesulitan komunikasi berasal dari fakta bahwa kelompok-kelompok budaya atau subkultur-subkultur dalam suatu budaya mempunya perangkat norma berlainan. Misalnya, terdapat perbedaan dalam norma-norma komunikasi antara kaum militer dengan kaum sipil, kaum abangan dengan kaum santri, kaum konservatif dengan kaum radikal, penduduk kota dengan penduduk desa, warga Nadhatul Ulama (NU) dengan warga Muhammadiyah, dan bahkan antara generasi tua dengan generasi muda (Mulyana, 2007: 8).
Oleh karena fakta atau rangsangan komunikasi yang sama mungkin dipersepsi secara berbeda oleh kelompok-kelompok berbeda kultur atau subkultur, kesalahpahaman hampir tidak dapat dihindari. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa berbeda itu buruk. Kematangan dalam budaya ditandai dengan toleransi atas perbedaan. Mengutuk orang lain karena mereka berbeda adalah tanda kebebalan dan kecongkakan (Mulyana, 2001: 8).
Komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi dilakukan untuk pemenuhan-diri, untuk merasa terhibur, nyaman dan tenteram dengan diri-sendiri dan juga orang lain. Dua orang dapat berbicara berjam-jam, dengan topik yang berganti-ganti, tanpa mencapai tujuan yang pasti. Pesan-pesan yang mereka pertukarkan mungkin hal-hal yang remeh, namun pembicaraan itu membuat keduanya merasa senang. Kita bisa memahami mengapa seseorang yang mengemukakan persoalan pribadinya kepada orang lain yang dipercayainya merasa beban emosionalnya berkurang. Komunikasi fatik semcam ini dapat
sekaligus berfungsi sebagai mekanisme untuk menunjukkan ikatan sosial dengan orang yang bersangkutan, apakah sebagai sahabat, teman sejawat, kerabat, mantan dosen, dan sebagainya (Mulyana, 2007: 19).
2. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi ekspresif
Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut dikomunikasikan terutama melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati,
Universitas Sumatera Utara gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan dengan kata-kata, namun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Seorang atasan menunjukkan simpatinya kepada bawahannya yang istrinya baru meninggal dengan menepuk bahunya (Mulyana, 2007: 24).
Perasaan bahkan juga bisa diungkapkan dengan memberi bunga, misalnya sebagai tanda cinta atau kasih sayang atau ketika kita ingin menyatakan selamat kepada orang yang berulang tahun, lulus menjadi sarjana, atau menikah, atau juga menyatakan simpati dan duka-cita kepada orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk seni seperti puisi, novel, musik tarian, atau lukisan. Puisi “Aku” karya Chairil Anwar mengekspresikan kebebasannya dalam berkreasi. Harus diakui, bahwa musik juga dapat mengeskpresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi) manusia (Mulyana, 2007: 25).
3. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi ritual
Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukakn upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup , yang disebut para antropolog sebagai rites of passage , mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan (melamar, tukar cincin), siraman, pernikahan (ijab-qabul, sungkem kepada orang tua, sawer,
dan sebagainya), ulang tahun perkawinan, hingga upacara kematian (Mulyana, 2004: 27).
Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam seseorang. Orang menziarahi makam Nabi Muhammad, bahkan menangis di dekatnya, untuk menunjukkan kecintaan kepadanya. Para siswa yang menjadi pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) mencium bendera merah putih, sering dengan berlinang airmata, dalam pelantikan mereka, untuk menunjukkan rasa cinta mereka kepada nusa dan bangsa, terlepas dari apakah kita setuju terhadap perilaku mereka atau tidak (Mulyana, 2007: 28).
20
Universitas Sumatera Utara Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Ritual menciptakan perasaan tertib (a sense of order) dalam dunia yang tanpanya kacau balau. Ritual memberikan rasa nyaman akan keteramalan (a sense of predictability). Bila ritual tidak dilakukan orang menjadi bingung, misalnya bila dua orang bertemu pada hari lebaran dan orang pertama mengulurkan tangan, sedangkan orang kedua sekadar memandangnya, kebingungan atau ketegangan muncul. Bahkan substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri, yang bersifat “abadi,” dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok (agama, etnik, sosial) kita (Mulyana, 2007: 30).
Hingga kapanpun ritual tampaknya akan tetap menjadi kebutuhan manusia, meskipun bentuknya berubah-ubah, demi pemenuhan jati-dirinya sebagai individu, sebagai anggota komunitas sosial, dan sebagai salah satu unsur dari alam semesta. Salah satu ritual modern adalah olahraga. Sebagaimana dikemukakan Michael Novak dalam bukunya The Joy Sports (1976), olah raga, khususnya kompetisi tingkat dunia, mirip dengan upacara keagamaan. Peristiwa itu mencakup tata cara yang hampir dianggap suci dan harus dipatuhi. Di samping itu, peristiwa itu juga menggunakan lambang-lambang seperti bendera, lagu kebangsaan, kostum, tempat-tempat “suci” yangdikhususkan bagi pemain, pelatih,
penonton, juga batasan waktu, dan sebagainya (Mulyana, 2007: 33).
4. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi instrumental
Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Bila diringkas, maka kesemua tuujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasif). Komunikasi yang berfungsi memberitahukan atau menerangkan (to inform) mengandung muatan persuasif dalam arti bahwa pembicara menginginkan
pendengarnya mempercayai bahwa fakta atau informasi yang disampaikannya akurat dan layak diketahui (Mulyana, 2007: 33).
Universitas Sumatera Utara Sebagai instrumen, komunikasi kita tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi bersifat sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka-panjang (Mulyana, 2007: 34).
Suatu peristiwa komunikasi sesungguhnya seringkali mempunyai fungsi-fungsi yang tumpang tindih, meskipun salah satu fungsi-fungsinya sangat menonjol dan mendominasi. Menjawab apa fungsi komunikasi dalam kehidupan kita, ternyata sebenarnya terdapat berbagai macam jawaban. Manusia tentu saja dapat mengkonseptualisasikan serta mampu mengembangkan pandangan pandangannya mengenai masalah ini berdasarkan bacaan ataupun pengamatan atas peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi di sekitar kita (Mulyana, 2007: 38).
II. 2 Komunikasi Antarbudaya
II. 2. 1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus dicatat bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi” (William B. Hart II, 1996). Kita juga dapat memberikan definisi komunikasi antarbudaya yang paling sederhana yakni, komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar
belakang kebudayaan (Liliweri, 2001: 9-13).
Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi antarbudaya dapat diartikan melalui beberapa pernyataan sebagai berikut:
1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antarpribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budayanya.
2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.
3. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan
22
Universitas Sumatera Utara atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya.
4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seorang yang kebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain. 5. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk
simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya.
6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.
7. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan. (Liliweri, 2001: 9-10).
Kita dapat melihat bahwa proses perhatian komunikasi dan kebudayaan,
terletak pada variasi langkah dan cara berkomunikasi yang melintasi komunitas atau kelompok manusia. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjajagi makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi manusia (Liliweri, 2001: 9-10).
Hammer (1989) mengutip perumpamaan Wilbur Schramm (1982), menggambarkan bahwa lapangan studi komunikasi itu ibarat sebuah oasis, dan studi komunikasi antarbudaya itu dibentuk oleh ilmu-ilmu tentang kemanusiaan yang seolah nomadik lalu bertemu di sebuah oase. Ilmu-ilmu sosial “nomadik” itu adalah antropologi, sosiologi, psikologi dan hubungan internasional. Oleh karena itu sebagian besar pemahaman tentang komunikasi antarbudaya bersumber dari ilmu-ilmu tersebut sebagaimana terlihat dalam beberapa definisi berikut ini:
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. (Samovar dan Porter, 1976: 25). 2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya terjadi diantara prosedur pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. (Samovar dan Porter, 1976: 4)
3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada
Universitas Sumatera Utara perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. (Dood, 1991 : 5).
4. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, konstektual yang dilakukan sejumlah orang- yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu – memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. (Lustig dan Koester Intercultural Communcation Competence,1993).
5. Intercultural communication yang disingkat “ICC” mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.
6. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2001: 10-11). Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan :
1) dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam suatu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;
2) melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;
3) sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;
4) menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara (Liliweri, 2001: 11-12).
Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan karena ketika berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam permalan, derajat ambiguitas, kebingungan,
24
Universitas Sumatera Utara suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat (Liliweri, 2001: 12).
Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarprobadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Di sini, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita (Liliweri, 2001: 12).
II. 2. 2 Asumsi-Asumsi Dasar Komunikasi Antarbudaya
Sitaram dan Codgell mengatakan bahwa komunikasi yang efektif dengan orang lain akan berhasil kalau kita mampu memilih dan menjalankan teknik-teknik berkomunikasi, dan jangan lupa, menggunakan bahasa yang sesuai dengan latar belakang mereka. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa praktek komunikasi antarbudaya sudah berlangsung sepanjang kehidupan manusia meskipun sistematisasi komunikasi antarbudaya baru terjadi tatkala Edward T. Hall memulai penyelidikan tentang interaksi antarbudaya di sekitar tahun 1950-an (Liliweri, 2001: 14).
Komunikasi antarbudaya adalah merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Hammer (1995) meminjam pendapat Hall, mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi karena:
1. secara teoritis memindahkan fokus dari satu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkan.
2. Membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan. 3. Mengubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.
4. Membawa perhatian kita kepada peranan kebudayaan yang menpengaruhi perilaku
(Liliweri, 2001: 14).
Sebuah teori – termasuk teori komunikasi – berbeda dengan hukum – termasuk hukum komunikasi ; kalau hukum dapat diterapkan secara universal maka teori hanya dapat diterapkan dalam suatu lingkungan atau situasi tertentu.
Universitas Sumatera Utara Situasi dimana suatu teori – termasuk teori komunikasi – dapat diterapkan disebut asumsi, dan hanya dengan asumsi orang akan mampu memberikan batas –batas bagi penerapan sebuah teori (Liliweri, 2001: 15)
Dengan kata lain, asumsi sebuah teori komunikasi merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid, tempat di mana sebuah teori komunikasi dapat diaplikasikan. Atas cara berpikir yang sama maka dapat dikatakan, asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan (Liliweri, 2001: 15).
Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:
1. komunikasi antarbudaya di mulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan
2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2001: 15-16).
II. 2. 3 Tujuan Komunikasi Antarbudaya
Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Dalam studi komunikasi, terutama teori informasi, diajarkan bahwa tingkat ketidaktentuan itu akan berkurang manakala kita mampu meramalkan secara tepat proses komunikasi tersebut (Liliweri, 2001: 15-16). Gudykunstt dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas telasi antar pribadi. Dalam buku Liliweri yang berjudul “Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya” (2001: 19-20) usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu
dapat dilakukan melalu tiga tahap interaksi, yakni :
1. pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi);